- Nellemann, C., Hain, S., Alder, J. (Eds.), 2008. In Dead Water Merging of ClimateChange with Pollution Over-Harvest, and Infestations in the World’s Fishing Grounds. United Nations Environment Programme, GRID-Arendal, Norway, p. 64.
- Nyström, M., Folke, C., Moberg, F., 2000. Coral reef disturbance and resilience in a human-dominated environment. Trends in Ecology and Evolution 15, 413–417.
- Hoegh-Guldberg, O., Mumby, P.J., Hooten, A.J., Steneck, R.S., Greenfield, P., Gomez, E., Harvell, C.D., Sale, P.F., Edwards, A.J., Caldeira, K., Knowlton, N., Eakin, C.M., Iglesias-Prieto, R., Muthiga, N., Bradbury, R.H., Dubi, A., Hatziolos, M.E., 2007. The carbon crisis: coral reefs under rapid climate change and ocean acidification. Science 318, 1737–1742.
Minggu, 31 Mei 2009
Situasi Saat ini (3 - selesai): Kontribusi kita dalam mengeliminasi ekosistem terumbu karang secara masal.
Jumat, 29 Mei 2009
Situasi Saat Ini (2): Terumbu Karang dalam Perlindungan yang Minim.
Rabu, 20 Mei 2009
Sisi Lain Coral Triangle Initiatives dan World Ocean Conference dalam Artikel-artikel WALHI.
Situasi Saat Ini (1): Terumbu Karang dalam Tekanan Perikanan
- Sadovy, Y.J., Vincent, A.C.J., 2002. Ecological issues and the trades in live reef fishes. Dalam: Sale, P.F. (Ed.), Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a Complex Ecosystem. Academic Press, San Diego, pp. 391–420.
- Sale, P. F. (2008). "Management of coral reefs: Where we have gone wrong and what we can do about it." Marine Pollution Bulletin 56(5): 805-809.
Minggu, 17 Mei 2009
Pengelolaan Lingkungan (3) - Manusia saat ini sebagai hambatan utama.
Saat ini jumlah manusia sudah mencapai tiga kali lipat dari jumlah di waktu orang tua saya baru lahir di awal 1940-an. Sebagian dari populasi ini hidup di negara maju dan daya konsumsi mereka jauh lebih besar dari individu di jaman orang tua saya lahir. Dalam jumlah yang lebih besar lagi, ada mereka yang di negara berkembang s eperti India, Cina, Indonesia, dalam populasi yang berkembang dengan sangat pesat, dan tentunya, bersamaan dengan penggunaan sumber daya alam. Populasi dunia diperkirakan akan tumbuh dari 6.7 milyar (saat ini) hingga 9.2 milyar di 2050 nanti, dan mayoritas dari manusia akan tinggal di kawasan pesisir di negara berkembang, sepertihalnya di Indonesia yang saat ini mencapai 220 juta orang. Bahkan dengan kenyataan seperti ini, diskusi kebijakan di dunia, mulai pemerintahan hingga persepsi tiap individu manusia saat ini umumnya menolak kenyataaan, bahwa manusia adalah pusat permasalahan.
Kemanusiaan telah lama berperan dalam exploitasi berlebih bagi perikanan. Di masa lalu, ketika manusia mampu berpindah ke kawasan tangkap baru, mereka meng-exploitasi populasi ikan yang baru pula. Di masa itu, si penangkap ikan berpindah tempat hanya ketika dia mengincar ikan di tempat yang berbeda; keadaan dimana 'jangkauan ekologis' kita masih sempit. Saat ini, populasi manusia mampu menjangkau ke kawasan tangkap baru namun dengan armada besar, lebih cepat tempuh-nya dan mampu menetap dalam waktu yang lama. Di abad 21 inilah seluruh manusia di dunia terlibat dalam' 'memancing ikan', baik langsung ataupun tidak langsung. Kita semua bisa meminta ikan, tidak hanya yang memiliki armada tangkap ikan saja - semua terlibat memberi tekanan pada perikanan. Satu contoh tekanan adalah ikan Kerapu, dan segala ikan atau hewan dari terumbu karang, yang saat ini terus diekstraksi untuk sebagai pasokan ikan hidup untuk restoran; ssepertihalnya di Hongkong disajikan trutama bagi masyarakat Asia di negara-negara berkembang. Terus tumbuhnya permintaan manusia akan ikan, khususnya produk ikan karang / reef fish, telah mempercepat runtuhnya / collapse banyak kawasan perikanan karang global - dengan kenyataan pahit terasa di masyarakat lokal pesisir dengan ikan yang hilang. Nelayan lokal dengan armada sederhana semakin jarang menangkap ikan, dan semakin jauh tempat rangkap baru - jangankan kebutuhan perdagangan ikan, kebutuhan ikan untuk makan sehari-haripun sulit. Demikian pula dengan masih sedikitnya spesies ikan karang saat ini yang didaftar IUCN sebagai 'terancam punah' / endangered. Selain penangkapan berlebih / overfishing, bertambahnya populasi manusia di pesisir juga menggerogoti tempat tingga ikan, yaitu terumbu karang; melalui pembangunan pesisir yang tidak sesuai serta polusi. Ditambah lagi dampak perubahan iklim bagi laut - kontribusi dari penduduk dunia yang terus menggunakan bahan bakar minyak dan fosil saat ini.
Masalah utama bagi terumbu karang dan perikanan saat ini ialah, permintaan Kita (manusia) yang terus tumbuh melebihi apa yang bisa diberikan oleh alam. Sistem ekonomi global manusia saat ini - mau tidak mau kita semua terlibat - cenderung ke arah ekstraksi alam. Roda sIstem pemerintahan yang di adopsi dinegara-negara berkembang saat ini juga tidak mengarah dalam kelestarian alam. Politik kita seakan-akan masih menerjemahkan 'pertumbuhan ekonomi' sebagai 'penggerogotan lingkungan'. Bahkan ekonomi-pun tidak menjamin sumberdaya yang diambil bisa tersebar rata di masyarakat - armada perikanan besar untuk perikanan regional terus menekan kesempatan perikanan lokal. Saat ini pertanyaan yang cenderung selalu muncul ialah 'Seberapa banyak ikan yang masih bisa kita ambil? sementara nanti anak cucu kita bertanya 'Seberapa banyak ikan dan terumbu karang yang tersisa untuk kami?. Bahkan terjadinya pengerusakan lingkungan, dengan halus kita menyebutnya 'dampak manusia' bukan 'ulah manusia'.
Minggu, 10 Mei 2009
Pengelolaan Lingkungan (2) – Mengabaikan kebutuhan sosio-ekonomi-ekologi
Sebuah contoh dimana kebutuhan akan sains/ilmiah terabaikan dalam pengelolaan lingkungan: Di negara maju, badan pengelola perikanan telah mampu secara rutin melibatkan penelitian ilmiah dalam pengelolaannya, bahkan selalu selaras dengan perkembangan riset dalam komunitas akademik (universitas, institusi riset). Sayangnya, karena pengelolaan perikanan mereka didukung oleh industri perikanan komersil bermodal besar yang cenderung menangkap satu jenis ikan dengan satu jenis alat tangkap (namun dengan kemampuan tangkap sangat besar), hal ini membuat ilmu sains perikanan di negara maju cenderung tidak efektif jika diterapkan di kawasan perikanan multi-spesies dan multi-alat-tangkap seperti Indonesia. Sayangnya lagi, perikanan ‘multi’ ini terjadi di kebanyakan negara berkembang dan miskin, juga dikawasan tropis, juga dimana sistem terumbu karang terbesar berada. Tambah lagi, badan pengelola perikanan di kebanyakan negara tropis kurang akan sumberdaya ilmuwan terampil sehingga pengumpulan data perikanan terus berjalan namun tidak efektif (data yang dibutuhkan tidak sesuai / tidak mencukupi dengan landasan ilmiah yang lemah). Hasilnya: umumnya perikanan kawasan terumbu karang cenderung tak terkelola, dan jumlah tangkapan selalu lebih tinggi dari yang bisa dipertahankan (untuk regenerasi ikan sebagai jaminan stok di masa depan).
Prioritas ekologi juga bisa terabaikan (secara tidak sengaja, keadaan mengesampingkan fokus ilmiah) ketika terjadi fragmentasi dalam pengelolaan lingkungan, baik diantara maupun didalam jurisdiksi, ketika berbagai aspek alam dikelola oleh berbagai departemen lingkungan, pertanian, kesehatan, pariwisata, kelautan , perikanan, kehutanan, dan seterusnya. Khusus Laut, fragmentasi juridiksi cenderung merusak, karena di laut, baik ikan maupun polutan (bahan pencemar) tidak ada yang mengikuti batasan politik - semua mampu berenang di air. Didalam suatu jurisdiksi (kawasan dimana peraturan pengelolaan berlaku), departemen yang berbeda cenderung memiliki tujuan (goal) pengelolaan yang berbeda; hal ini memperkuat kecenderungan birokratis untuk mempertahankan lebih pada daerah ‘kekuasaan’ dan mempertahankan batasan pengelolaan. Tragisnya, prioritas pengelolaan ekologi yang urgent dan praktikal seringkali terabaikan. Sebagai contoh, departemen perikanan terlalu fokus mempertahankan nilai ekonomis industri perikanan lokal – menstimulir penangkapan terus menerus, departemen pariwisata membuka akses publik seluas-luasnya untuk pemanfaatan produk dan jasa dari terumbu karang, departemen kehutanan dengan tidak efektifnya terfokus pada mengendalikan kepatuhan masyarakat pada teritorial konservasi alam. Hal ini terus-menerus terjadi, dan semakin sulit dianalisa hingga proses kunci ekosistem menjadi prioritas sekunder – ketika sadar, krisis sudah terjadi – stok ikan berkurang dan sangat sulit didapat, terumbu karang collapse, rusak, hampir tidak mungkin untuk restorasi kembali.
Pengelolaan konservasi terumbu karang yang saat ini cenderung terarah kepada tujuan pariwisata dan kelestarian biodiversitas, umumnya telah mengadopsi sebuah palu besar bernama Daerah Perlingungan Laut (DPL) / Marine Protected Area (MPA) – dan mencoba mengatasi tiap permasalahan (sosio-ekonomi-ekologi) bagaikan semudah menghantam paku. MPA banyak macamnya dan, pada dasarnya, mencoba mengatur aktivitas manusia dalam kawasan yang telah ditentukan. Landasan teorinya ialah, jika kita melindungi situs atau kawasan dari aktifitas ekstraktif, maka ketahanan dan kelangsungan hidup / survisorship (keselamatan, kepenyintasan) organisme yang berada didalamnya akan meningkat. Dengan survivorship meningkat, reproduksi meningkat, menambah larva dan organisme dewasa dalam generasi berikutnya. Teori ini (MPA) terus berkembang saat ini menjadi cabang ilmiah yang, hingga kini, mencoba mengatakan seberapa besarkah MPA yang efektif? Seberapa berdekatan MPA harus berada? Dan bentuk dan lokasi geografis apakah yang terbaik?. Prioritas kebutuhan manusia (sosioekonomi) juga bisa terabaikan. Banyak MPA diterapkan, dan telah berfokus dengan mengatur penangkapan ikan dan dan aktifias lainnya, bahkan hingga penutupan suatu kawasan dari segala kegiatan – berharap panen ikan akan meningkat diluar kawasan tanpa larangan tangkap. Namun, harapan ini kebanyakan tidak tercapai melalui MPA, dan umumnya dikarenakan mengabaikan kebutuhan manusia (faktor sosioekonomi) setempat. DI negara berkembang dengan cakupan kawasan pesisir dan pulau yang luas, nelayan sulit mematuhi peraturan MPA, karena keadaan ekonomi memaksa mereka untuk mencari penghidupan dan yang terpenting - makan. Sekali lagi lahan kerja dikurangi, tanpa ada solusi yang kuat -kebutuhan manusia terabaikan, walaupun dalam niat baik konservasi laut. Lupa bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem saat ini.
Referensi:
Sale, P. F. 2008. Management of coral reefs: Where we have gone wrong and what we can do about it. Marine Pollution Bulletin 56:805-809.
Pengelolaan Lingkungan (1) - dalam beberapa sudut pandang.
Apakah kita saat ini sedang mengelola lingkungan atau hanya mengelola ekologi? Pentingkah pertanyaan ini? Namun, keduanya berbeda menurut Sale (2008) dan telah memberikan paradigma besar bagi masyarakat global dalam memanfaatkan sumberdaya dunia.
Menurutnya saat ini dalam proses 'pengelolaan lingkungan', umumnya dilakukan secara 'gegabah’ tanpa pertimbangan ilmiah, khususnya disaat para pemangku asaz (stakeholder), dengan kepentingan mereka yang berbeda-beda, mulai mencari jalan tengah untuk mempertahankan barang dan jasa yang bisa mereka ambil dari ekosistem alam. Di satu sisi, ada sektor swasta dan sebagian besar cabang pemerintahan terus mencari ruang, energi, air dan sumberdaya yang bertujuan untuk membangun roda perekonomian yang menyediakan lapangan kerja, kemakmuran dan produk bernilai untuk masyarakat, diantaranya pangan. Di lain sisi, ada mereka (yang umumnya lemah dalam kekuasaan politik) yang menghidupi dirinya dengan meng-ekstraksi sumberdaya alam (e.g. ikan oleh nelayan) dan mereka sepenuhnya berharap agar bisa terus melakukan itu. Dalam situasi seperti ini pengelolaan cenderung berpihak pada 'kebutuhan manusia' ketimbang 'kebutuhan alam'.
Koloni karang diambil sebagai bahan bangunan untuk membuat dinding yang menahan naiknya muka air laut di Pulau Guraici, Halmahera, Indonesia. Sebuah contoh nyata efek domino negatif saling terkait antara sosial, ekonomi, dan ekologi. (Andrew H Baird/Marine Photobank.)
Di pihak berlawanan, ada mereka (para konservasionis) yang selalu melihat gambaran besar pentingnya kelestarian barang dan jasa yang didapat dari ekosistem (pengelolaan ekosistem), bahkan terkadang hingga mengorbankan pekerjaan atau kesejahteraan ekonomi mereka. Dalam situasi seperti ini pengelolaan seakan berpihak pada 'kebutuhan alam' ketimbang 'kebutuhan manusia'. Di pihak yang sama ada masyarakat sains (ekolog, ilmuwan) yang seakan-akan terus berkorban dengan tidak mendapat jatah, namun ternyata tidak juga. Mereka juga bisa 'melebihi jatah' ketika sebagian besar argumen ilmiah saat ini berpihak dengan masyarakat konservasionis ketika terlalu terbawa dalam arah penegasan kepedulian lingkungan mereka, sehingga keadaan alam disampaikan tidak dengan apa adanya, mengesampingkan ‘kebutuhan manusia’. Apakah ini yang ideal?
Kenyataanya ialah, saat ini, menurut Sale (2008), untuk menjadi 'pengelola alam' adalah mereka yang mencoba untuk mengelola dampak manusia (menjaga kebutuhan ekosistem) sekaligus mengatur berbagai pihak diatas mengambil jatah keuntungan dari keberadaan ekosistem alam (menjaga kebutuhan sosioekonomi). Mengelola alam dalam sudut pandang sosio-ekonomi-ekologi. Jika saat ini kita menyatakan diri kita sebagai 'pengelola alam', pertanyaanya ialah: Apakah kita sudah bisa mempertimbangkan semua kebutuhan tersebut? Manakah kebutuhan yang terabaikan? Apakah sosial, ekonomi, ataukah ekologi yang akan dikesampingkan.
Referensi:
Sale, P. F. 2008. Management of coral reefs: Where we have gone wrong and what we can do about it. Marine Pollution Bulletin 56:805-809.