Tampilkan postingan dengan label Terumbu Karang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Terumbu Karang. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Oktober 2015

Kakatua besar yang memiliki peran ekologis penting bagi terumbu karang

M. Danie Al Malik
Gambar 1. Bumphead parrotfish, atau Bolbometopon muricatum, dewasa (kiri) dan juvenile (anakan) (kanan)

Gambar: Allen & Erdmann, 2012 

Salah satu ikan terumbu yang memiliki pesona unik dan bernilai ekologis tinggi bagi terumbu karang adalah bumphead parrotfish. Bumphead parrotfish, mempunyai nama latin Bolbometopon muricatum dan merupakan salah satu ikan terumbu yang paling terbesar (ukuran mencapai 120 cm dan berat mencapai 50 kg) dari anggota ikan kakatua, atau parrotfish.




Banyak bumphead parrotfish dewasa ditemukan di sekitar laguna atau terumbu karang dan yang remaja ditemukan sekitar padang lamun atau vegetasi mangrove. Bumphead parrotfish yang mempunyai ciri khas schooling (berenang dalam kelompok) dalam jumlah besar (±100 individu) dan umumnya berkumpul pada kisaran 15 – 20 m di bawah permukaan laut.

Saat pemijahan (proses pelepasan sel telur dan sperma sehingga mengalami pembuahan) berlangsung, bumphead dewasa akan keluar dari kerumunan ikan lalu salah satu bumphead kecil akan mengikuti untuk melakukan perkawinan satu sama lainnya dan lalu memijah secara bersamaan. 

Perilaku ini terjadi sebab bumphead parrotfish merupakan ikan hemafrodit yang berarti ketika remaja mereka betina dan bisa berubah menjadi jantan saat dewasa. Perilaku khas lain saat pemijahan adalah masing-masing ikan bumphead saling berhadap ke depan dan setelah itu secara serentak mengeluarkan kabut sperma dan telur dari masing-masing bumphead parrotfish (Gladstone, 1986).

Gambar 2. Tipe memijah ikan bumphead parrotfish.
Gambar: Gladstone (1986)
Selain ukuran antara bumphead parrotfish jantan yang lebih besar dari pada bumphead parrotfish betina, perbedaan lain ada pada bagian ‘dahi’ mereka. Bumphead parrotfish betina ditandai dengan dahi yang memiliki cekungan di bagian yang dekat tepi atas mulutnya. Sedangkan yang jantan memiliki dahinya lebih maju secara vertikal mulai tepi atas mulutnya (Munoz & Zgliczynski, 2014). 

Tidak seperti parrotfish umumnya, menurut Choat dan Randall (1986), bumphead parrotfish tidak menunjukkan perubahan warna tubuh saat jenis kelamin mereka beralih. Warna tubuh mereka cenderung tetap sama saat jenis kelamin mereka berubah menjadi betina atau jantan saat dewasa.

Gambar 3. Perbedaan dahi bumphead parrotfish jantan dan betina
Gambar: Munoz & Zgliczynski (2014)

Pengamatan nelayan kepulauan Palau temukan bahwa bumphead parrotfish kerap berkumpul di dekat pintu masuk selat-selat kecil di antara terumbu karang pada hari ke-8. Johanes dalam Gladstone (1986) memprediksi bahwa bumphead parrotfish di Palau memijah pada hari ke-8 atau ke-9 siklus bulan setelah matahari terbenam. Serta ada yang memijah pada pagi hari pada hari ke-20 dari siklus bulan (Gladstone, 1986).

Pada siang hari, bumphead parrotfish biasa memakan tanaman alga yang melekat di dasar terumbu dan karang. Saat makan, bumphead akan menabrakan kepala mereka ke dinding karang keras dan memecahkannya menjadi potongan kecil agar lebh mudah masuk ke mulut mereka. Alga yang ada di bongkahan karang akan dicerna dan karang dibuang bersama kotoran mereka. Kotoran bumphead kerap menyerupai butiran pasir halus hasil dari proses kalsifikasi (proses pembentukan kerangka kapur hewan karang di terumbu) yang jatuh kembali ke dasar.

Butiran pasir halus dari hasil pencernaan bumphead parrotfish termasuk bagian proses bio-erosi (bersama biota lainnya) yang andil membangun pantai pasir putih yang indah. Setiap tahunnya, seekor bumphead dapat mengkonsumsi hingga lima ton dinding karang yang sarat akan kandungan karbonat hasil kalsifikasi karang.

Namun saat ini ikan bumphead parrotfish sedang mengalami penurunan terkait beberapa ancaman. Panduan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) tentang Spesies of Concern di tahun 2010 menjelaskan bahwa ancaman langsung yang utama bagi bumphead parrotfish diantaranya penangkapan berlebih, cara tangkap yang merusak, serta berkurangnya atau rusaknya terumbu karang yang menjadi habitat mereka.

Saat ini bumphead parrotfish menjadi bagian dari biota penting yang dipantau dalam kegiatan Reef Check. Ikan ini merupakan salah satu ikan indikator kesehatan ekosistem terumbu karang serta salah satu ikan yang mengalami penangkapan yang berlebihan. 

Reef Check merupakan sebuah kegiatan pemantauan terumbu karang yang melibatkan masyarakat umum. Melalui Reef Check, masyarakat bisa andil mengenali serta mengukur kelimpahan biota-biota tertentu, seperti bumphead parrotfish, yang menjadi tolak ukur kesehatan ekosistem terumbu karang di sebuah lokasi atau kawasan laut.



Referensi
  • Allen, G., & Erdmann, M. (2012). Reef Fishes of The East Indies. Volumes I-III. Perth, Australia: Tropical Reef Research.
  •  Bowling, T. (2014, 04 25). Bumphead Breaktrough : Tank Raised Parrotfish. Retrieved 08 08, 2015, from http://www.reef2rainforest.com/2014/04/25/bumphead-breakthrough-tank-raised-parrotfish/
  • Gladstone, W. (1986). Spawning Behavior of The Bumphead Parrotfish Bolbometopon muricatum at Yonge Reef, Great Barrier Reef. Japanese Journal of Ichthyology, Vol.33 No.3.
  • Iqbal, M. (2011, December 10). Behavior. Retrieved 8 8, 2015, from http://iqbal-berbagi.blogspot.com/2011/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html
  • Munoz, R. C., & Zgliczynski, B. J. (2014). Spawning Aggregarion Behavior and Reproductive Ecology of the Giant Bumphead Parrotfish, Bolobometopon muricatum, in a remote marine reserve. PeerJ.
  • REEF CHECK. (2006). Instruction Manual : A Guide to Reef Check Coral Reef Monitoring. USA: Reef Check Foundation.
  • NOAA. (2010). Spesies of Concern. Bumphead Parrotfish.



Senin, 28 April 2014

Ledakan populasi bulu seribu di terumbu karang: Apa penyebabnya?


Saat ini penyebab pasti ledakan populasi bulu seribu di terumbu karang masih belum ditetapkan oleh para ilmuwan. Sejauh ini ada tiga teori utama penyebabnya, namun masih belum ada landasan bukti valid untuk mendukung atau menolak bukti ini.

Bulu seribu / crown-of-thorns starfish / Acanthaster planci.
Foto: MattWright

Teori Pertama: Fluktuasi alami

Bulu seribu, bintang seribu, atau crown-of-thorns starfish mampu menghasilkan 1 milyar telur, hanya dari satu siklus hidup seekor betina. Perubahan keadaan lingkungan laut mempengaruhi kelulushidupan 'bayi-bayi' bulu seribu.

Sebagai gambaran, dengan jumlah sebesar ini, andaikan saja peluang selamat satu larva setiap satu milyar telur meningkat, menjadi satu larva setiap sepuluh juta 'saja', maka satu generasi bisa meningkat pupulasinya sepuluh kali lipat.

Hanya 'sedikit' saja bulu seribu yang memijah (melepas telur) maka peluang untuk menghasilkan generasi penerusnya masih sangat besar dan hingga berlipat ganda.

Dalam skala lokal, perubahan temperatur air, salinitas atau ketersediaan makanan plankton di perairan - semuanya bisa mendongkrak kelulushidupan larva bulu seribu. Dalam skala laut besar, ada beberapa dugaan ilmiah bahwa ledakan populasi bulu seribu juga berkaitan dengan fenomena El NiƱo-Southern Oscillation (ENSO) yang merubah iklim lokal di sekitar Samudera Pasifik.

Populasi bulu seribu yang merebak dalam waktu singkat ('ledakan' / outbreak) tampak sedang menyelimuti terumbu sembari menggerogoti jaringan koral hidup dibawahnya.
Foto: The Benshi.com

Teori Kedua: Menghabisnya predator

Bukan predator si alien, melainkan biota di laut yang suka memakan bulu seribu. Di laut, predator bulu seribu tidak banyak. Mungkin mereka takut sariawan jika mengunyah bulu seribu. Namun diantaranya adalah: siput laut triton (giant triton snail), ikan napoleon (humphead wrasse), ikan buntal (starry pufferfish).

Siput laut triton bernilai tinggi dan sebelum dilindungi di tahun 1969 mereka kerap ditangkap dan diperdagangkan. Jumlah siput triton di terumbu tergolong rendah. Selain itu, siput triton hanya mampu memangsa satu bulu seribu tiap minggu sehingga kemampuannya untuk mengendalikan ledakan populasi bulu seribu terbilang terbatas.

Ikan napoleon juga dikenal aktif sebagai predator bulu seribu. Namun ikan ini juga bernilai tinggi dan saat ini dilindungi dan tidak boleh ditangkap dan diperdagangkan.

Di terumbu karang, ada ikan-ikan yang senang memangsa bintang laut yang masih kecil. Bintang laut juvenil ('bayi') yang menjadi makanan ikan biasanya yang berusia enam tahun setelah mereka melekat di terumbu dan baru saja mulai memangsa karang hidup. Jika jumlah ikan pemangsa bintang laut menghabis akibat aktifitas perikanan maka situasi ini memungkinkan jumlah bulu seribu juvenil yang tumbu dewasa dalam jumlah yang 'abnormal'.

Namun saat ini belum ada bukti kuat bahwa ikan-ikan yang ditangkap untuk komersil memangsa juvenil bulu seribu dalam jumlah banyak. Kabari kami jika ada temuan yang mendukung ini. 

Terbatasnya bukti juga disebabkan jumlah larva bulu seribu yang bertahan hidup lalu melekat di dasar-pun belum diketahui. Selain itu sulit juga untuk memperkirakaan laju pemangsaaan predator mereka di lapangan. Seberapa besar laju predasi yang diperlukan untuk mencegah ledakan populasi bulu seribu - masih menjadi pertanyaan. Ini bisa menjadi pertanyaan kunci untuk memulai riset.

Teori ketiga: Pengaruh manusia terhadap kualitas air

Banyak laporan ilmiah dari penjuru dunia yang menegaskan adanya hubungan antara curah hujan tinggi yang berkepanjangan dengan mulainya ledakan bulu seribu. Curah hujan tinggi yang berkepanjangan yang menyusuli kemarau, atau musim panas yang berkepanjangan, membuat salinitas air laut menurun dan kaya akan jumlah sedimen dan zat hara (nutrien) yang dibawa dari daratan ke laut - seperti melalui banjir.

Tingkat nutrien yang tinggi mampu meningkatkan jumlah alga mikroskopis di air, yang menjadi makanan larva bulu seribu. Keadaan ini memungkinkan semakin banyak larva bulu seribu yang lulus hidup dan populasi bulu seribu dewasa yang lebih besar. Rendahnya salinitas air juga meningkatkan kemungkinan terjadinya keadaan ini.

Sebab ini, banjir yang membawa run-off dari daratan ke laut bisa memicu ledakan populasi bulu seribu. Namun, saat ini jumlah sedimen dan nutrien yang bermuara di pesisir sudah tidak alami lagi sebab pengaruh aktifitas manusia di daratan. Tingginya nutrien akibat asupan bahan organik dan anorganik dari polusi bisa andil mendukung kelulushidupan larva, atau meningkatkan frekuensi kejadian ledakan populasi.

Foto: Kayal et al. 2012
Foto: Kayal et al. 2012
Kita tidak mau terlalu sering adanya ledakan populasi bulu seribu

Kenapa? Sebab makanan mereka adalah karang hidup, atau koral, yang masih hidup. Mulut radial di tengah tubuh mereka senang mencaplok jaringan lunak hidup dipermukaan karang. Hanya bekas kerangka keras putih dari karang yang mereka sisakan setelah itu. Ketika mereka 'meledak' dalam jumlah banyak, terumbu karang yang berwarna-warni bisa menjadi putih dalam waktu singkat. Kita bicara luasan satu hingga ratusan meter persegi. Dengan kombinasi polusi laut, penangkapan ikan berlebih, dan terdampaknya laut oleh perubahan iklim global, peluang terumbu karang yang rusak untuk pulih sangat kecil.

Ledakan populasi bulu seribu mungkin sudah bagian dari siklus alami laut, namun aktifitas manusia terhadap pesisir dan laut telah bisa membuat 'ledakan yang abnormal'.

Apa yang kita lakukan di darat kembali ke laut.

Referensi
  • CRC Reef Research Centre. What causes crown-of-thorhs starfish outbreaks? 
  • Kayal M, Vercelloni J, Lison de Loma T, Bosserelle P, Chancerelle Y, et al. (2012) Predator Crown-of-Thorns Starfish (Acanthaster planci) Outbreak, Mass Mortality of Corals, and Cascading Effects on Reef Fish and Benthic Communities. PLoS ONE 7(10): e47363. doi:10.1371/journal.pone.0047363





Sabtu, 30 Maret 2013

Saat terancam, koral percepat pertumbuhannya, dan perubahan warna menjadi tandanya.

Protein fluoresen pada tubuh koral
Foto : Cayman Islands Twilight Zone 2007 Exploration, Michael Lesser & Charles Mazel, NOAA-OE.
Penelitian dari the University of Southampton dan National Oceanography di Southampton memberi pemahaman baru tentang bagaimana koral membangun daya tahan dan mekanisme penyembuhan terhadap penyakit dan perubahan kondisi lingkungan.

Kajian yang diterbitkan di jurnal ilmiah Coral Reefs tahun 2012 lalu ungkap bahwa percepatan pertumbuhan menjadi proses fisologis yang melatar belakangi perubahan warna koral yang dipicu penyakit, luka dan stress dari lingkungan.

Studi tersebut menyelidiki peranan pigmen yang menyerupai protein hijau fluoresen  / green fluorecent protein (GFP-like) yang berikan warna hijau, merah dan ungu-biru pada banyak koral penyusun terumbu (reef building corals).

Para peneliti mengamati pigment GFP-like dari spesies koral Laut Merah, Teluk Arab/Persia, dan Fiji lalu temukan bahwa pigmen tersebut berada pada jaringan tubuh koral yang sedang tumbuh seperti di bagian ujung cabang dan tepi koloni, baik koloni yang sehat maupun yang alami kerusakan.

Dr Joerg Wiedenmann, Dosen Senior dari Biological Oceanography sekaligus Kepala Coral Reef Laboratory di the University of Southampton, bersama tim-nya kemukakan bahwa pigmen tersebut menjadi penanda terjadinya percepatan pertumbuhan koral sebagai respon keberadaan unsur biologis asing di dalam tubuh atau koloni koral. Pigment tersebut merupakan penemuan baru komponen kimia yang menjadi indikator proses tumbuh secara berlebihan sebagai wujud pertahanan tubuh alami koral untuk menetralisir keberadaan organisme yang membahayakan dengan cara .

Mereka temukan bahwa percepatan pertumbuhan tersebut merupakan proses di balik 'sindrom bintik biru-merah-mudah / pink-blue spot syndrome' - perubahan warna koral yang dipicu luka pada tubuh koral. Mereka juga temukan bahwa keberadaan cacing tabung (tube worms) dan gastropoda (sesiput laut) pada koloni karang juga berhubungan kuat dengan peningkatan fluoresensi warna merah di tepian bagian koloni alami pertumbuhan berlebih.

Para peneliti berhasil mendeteksi pertumbuhan dan penambahan jaringan tubuh koral menggunakan bio-marka (penanda biologis) dari pigmen GFP-like tersebut. Kandungan protein fluoresen dari koral ini juga sering dimanfaatkan sebagai penanda untuk riset biomedis dan farmasi, sebab fluoresensi mereka mudah sekali dideteksi.

Dr Joerg Wiedenmann menyebutkan bahwa masa depan terumbu karang ditentukan kuat oleh strategi pengelolaan yang mendukung pemulihan dan daya tahan mereka. Kesuksesan usaha pengelolaan terumbu karang juga bergantung pada usaha kita mengidentifikasi area atau kawasan terumbu karang yang rentan terhadap gangguan tingkat tinggi.

Penelitian semacam ini andil membantu identifikasi kesehatan terumbu karang sebab penggunaan pigmen GFP-like sebagai biomarka bisa menjadi indikator terjadinya stress/kerusakan mekanik pada koral, seperti contohnya, yang diakibatkan perenang atau penyelam atau indikasi keberadaan parasit atau penyakit koral.

Penelitan tersebut juga pertegas dampak negatif perubahan keadaan lingkungan terhadap terumbu karang. Pengasaman laut dan penghangatan laut akibat perubahan iklim serta peningkatan nutrisi sebab pencemaran di perairan terumbu mampu menghambat pertumbuhan koral. Dengan demikian ancaman semacam juga akan mengurangi kemampuan koral bertahan terhadap kolonisasi organisme lain, termasuk kemampuan pulih dari kerusakan fisik akibat manusia, seperti perusakan, atau alam, seperti badai.

Referensi:

C. D’Angelo, E. G. Smith, F. Oswald, J. Burt, D. Tchernov, J. Wiedenmann. Locally accelerated growth is part of the innate immune response and repair mechanisms in reef-building corals as detected by green fluorescent protein (GFP)-like pigments. Coral Reefs, 2012; DOI: 10.1007/s00338-012-0926-8

Jumat, 14 Desember 2012

Kurangi limbah kimia berarti bantu terumbu karang hindari pemutihan

Berpikirlah 10 kali saat banyak-banyak menggunakan produk kimia. Baik di kota, ataupun di pesisir dan pulau, lepasan zat anorganik nitrogen dari produk kimia untuk perawatan dan sanitasi tubuh kita, jika terlepas ke perairan, maka kelangsungan hidup terumbu karang lebih rentan alami pemutihan.



Penelitian dari the University of Southampton (US) dan the National Oceanography Centre di Southhampton ungkap bahwa koral (karang) akan lebih rentan terhadap pemutihan (bleaching) jika terjadi ketidak seimbangan nutrian (zat hara) di perairan terumbu hidup.

Koral tersusun atas banyak polip yang terhubung satu dengan lain membangun jaringan hidup yang melapisi kerangka berkapur. Pertumbuhan jaringan tubuh koral bergantung pada alga ber-sel-satu disebut zooxanthellae, yang juga bersimbiosis dengan hidup di dalam jaringan polip karang.

Koral bersama zooxanthellae yang bernaung di dalamnya bergantung satu dengan lain. Sementara koral memberi alga zat hara dan tempat tinggal; alga, sebagai gantinya, menyediakan produk zat hara dari fotosintesis, yang menjadi sumber energi untuk pertumbuhan jaringan koral.

Suhu air yang tinggi - khususnya akibat pemanasan global yang sebabkan meningkatnya suhu rata-rata permukaan air laut di berbagai belahan dunia - dapat menghalangi reaksi fotosintesis yang dilakukan alga. Alhasil, terjadi penumpukan komponen oksigen yang beralih fungsi menjadi racun. Keadaan ini mengancam kesehatan jaringan tubuh koral dan memicu pelepasan zooxanthellae dari koral.

Tanpa alga tersebut, koral tampak putih - keadaan yang disebut sebagai 'bleaching'. Bleaching bisa sebabkan kematian koral, dan pemutihan koral yang terjadi masal mampu berikan dampak buruk pada fauna dan flora bergantung pada habitat terumbu yang dibentuk dari sehatnya pertumbuhan koral.

Sumber: Great Barrier Reef Marine Park Authority
Hasil kajian dari US tersebut diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature Climate Change. Peneliti temukan bahwa pengayaan nutrien (zat hara) di perairan mampu tingkatkan kemungkinan koral alami bleaching yang disebabkan suhu perairan yang tinggi.

Di dalam koral, pertumbuhan zooxanthellae dibatasi oleh jumlah asupan zat hara. Asupan zat hara tersebut dimanfaatkan untuk metabolisme alga yang juga berperan mengirimkan sejumlah ikatan karbon hasil fotosintesis-nya untuk koral inang mereka.

Namun, keseimbangan pertumbuhan alga (zooxanthellae) terganggu saat ketersediaan zat hara tertentu berkurang jauh dibawah kebutuhan fotosintesis jaringan sel alga. Keadaan ini disebut kelaparan zat hara atau nutrient starvation.

Peneliti dari US temukan bahwa saat suplai dari kandungan nitrogen terlarut lebih tinggi dibanding kandungan fosfat yang saat itu sedang rendah dan terbatas, maka alga dalam status kelaparan fosfat. Keadaan ini selanjutnya akan memicu penurunan efisiensi proses fotosintesis alga, dan meningkatkan kerentanan koral mengalami pemutihan yang dipicu peningkatan suhu dan intensitas cahaya.

Penelitian yang dipimpin Dr Jƶrg Wiedenmann ini menduga kuat bahwa dampak terburuk pada kesehatan koral bukan datang dari penambahan berlebih dari satu kelompok zat hara saja, misalnya nitrogen, namun juga berkombinasi dengan penghabisan zat hara lain, seperti fosfat, yang diakibatkan kebutuhan tinggi dari populasi zooxanthellae yang juga bertambah.

Temuan ini memberi penegasan bagi kita pentingnya pengelolaan pesisir kita untuk meredam dampak perubahan iklim. Dengan menjaga keseimbangan zat hara perairan di pesisir, maka kita andil dalam mitigasi dampak perubahan suhu laut terhadap terumbu karang.

Meminimalisir, atau bahkan menghentikan buangan limbah kita, mulai tinja, hingga limbah kimia rumah tangga dan industri - kesemuanya yang mampu mengganggu kesetimbangan zat hara di perairan, termasuk nitrogen dan fosfat - otomatis akan bantu terumbu karang bertahan menghadapi dampak perubahan iklim.

Toh jika kita efektif mengelola limbah, itupun efektif dalam jangka waktu pendek. Keutuhan tekad umat manusia dan bangsa-bangsa - cari tahu: KTT Perubahan Iklim Ke-18 di Doha, Qatar - dalam mengurangi drastis emisi gas rumah kaca juga tidak kalah penting dan kritis peranannya untuk meredam laju pemanasan global, menjamin terumbu karang tetap ada di masa depan.

Referensi:

Jƶrg Wiedenmann, Cecilia D’Angelo, Edward G. Smith, Alan N. Hunt, FranƧois-Eric Legiret, Anthony D. Postle, Eric P. Achterberg. Nutrient enrichment can increase the susceptibility of reef corals to bleaching. Nature Climate Change, 2012; DOI: 10.1038/nclimate1661





Selasa, 04 Desember 2012

Keindahan fluoresensi terumbu karang

Di bawah laut, terumbu karang yang sehat menyimpan pesona kelimpahan warna yang luar biasa menyejukkan mata. Namun, dalam kegelapan, biota-biota di terumbu karang, baik koral, ikan dan organisme lainnya juga menyimpan keindahan dari sifat fluoresensi mereka.

Fluoresensi terjadi saat sebuah benda menyerap satu gelombang cahaya dan memendarkan kembali panjang gelombang cahaya baru. Vidio berikut menayangkan bagaimana ketika cahaya UV (ultraviolet) diberikan pada biota laut - yang tidak tampak mata manusia - mereka melepas warna yang bisa ditangkap mata kita.


Selama ini gelombang UV tidak berperan besar dalam proses pertumbuhan karang / koral. Justru gelombang warna yang tampak-mata manusia (mejikuhibiniu), berperan dalam fotosintesis alga bersel-satu yang tinggal dalam kerangka karang. Prosesnya tidak jauh beda dengan fotosintesis daun.

Alga yang bersimbiosis pada koral memiliki pigmen, sehingga memberi warna pada karang. Sebagai timbal balik jasa tempat tinggal dari koral, alga tersebut juga menghasilkan zat organik yang dimanfaatkan polip karang untuk tumbuh, dalam hal ini membangun jaringan kerangka kapur.

Dalam pertumbuhannya, selapis-demi selapis kerangka berkapur dihasilkan mulai kecil dalam ukuran milimeter hingga besar mencapai struktur besar beraneka rupa dengan luasan meter hingga kilometer persegi. Proses berlangsung lama sekali. Hanya untuk bebrapa milimeter atau sentimeter pertambahan kerangka, diperlukan hitungan tahun. Namun kadan dalam hitungan menit atau detik, mereka rusak sebab diinjak wisatawan, terhantam jangkar kapal, atau badai.


Lihat menit ke 2:00 untuk pertumbuhan karang dalam animasi cepat.

Meskipun demikian, koral menyerap gelombang UV justru sebab fungsi mereka sebagai 'tabir surya' bawah air. Coral dan biota laut lainnya - yang ber-fluoresens jika dipapar sinar UV - diduga berperan meredam gelombang UV yang bisa merusak jaringan biologis makhluk bawah laut. Analoginya kurang lebih serupa dengan penggunaan krim tabir surya agar kulit kita tidak terbakar dan kanker kulit.

Semua keindahan di laut ada fungsinya. Cukup dinikmati sebatas di mata. Penyelaman malam berikutnya, pastikan senter UV kita bawa.



Referensi:

Reef R, Kaniewska P, Hoegh-Guldberg O (2009) Coral Skeletons Defend against Ultraviolet Radiation. PLoS ONE 4(11): e7995


Selasa, 16 Oktober 2012

Edukasi Terumbu Karang dalam 4-menit

Berikut tayangan vidio yang menurut kami yang paling singkat, hanya 4 menit, dan tentunya sangat edukatif seputar terumbu karang saat ini. Vidio ini juga dipandu oleh CĆ©line Cousteau, cucu dari Jacques-Yves Cousteau yang menemukan sistem SCUBA pertama kali.

Vidio ini patut diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Bantuan saudara akan berharga sekali jika bisa menyusun dan mencantumkan subtitel untuk vidio ini.

Terlalu banyak alga 'penolong' bisa berdampak buruk pada koral

Hamparan karang keras sehat bercabang Acropora sp. di Yapen, Papua Barat, Indonesia.
Foto: © Matthew Oldfield 2005

Studi terkini dari ilmuwan Ross Cunning dan Andrew Baker sari Universitas Miami (UM) temukan bahwa jika Koral (karang) terlalu banyak mengandung alga yang bersimbiosis bisa jadi lebih rentan akan dampak perubahan iklim.

Didalam jaringan Koral (hewan di dasar terumbu yang masih banyak keliru dianggap sebagai tanaman), hidup alga (tanaman) ber-sel-satu yang juga jadi kunci kelangsungan hidup hewan Koral sendiri.
Pembesaran mikroskopis alga bersel-satu (bintik coklat) dalam jaringan polip hewan Koral (struktur transparan) yang sedang menjulur dari kerangka Koral.
Foto: Maricopa
Namun, saat temperatur air disekitar terlalu hangat, alga-alga ini terlepas dari Koral. Proses ini menjadi salah satu penyebab terjadinya pemutihan karang (coral bleaching) dan bisa sebabkan kematian karang masal dan luas.

Hingga kini, beberapa peneliti beranggapan Koral dengan jumlah sel alga simbion yang lebih banyak akan lebih toleran dengan pemutihan dengan anggapan mereka 'punya cadangan alga banyak untuk dikorbankan'.

Namun temuan baru yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature Climate Change ini ungkap bahwa semakin banyak alga simbion dalam Koral, semakin parah kondisi pemutihan yang Koral alami. Peneliti beranggapan bahwa, di alam, jika terlalu banyak hal-hal yang baik ternyata bisa berdampak buruk. 



Penelitian Ross dan rekan juga amati bahwa jumlah alga yang menetap dalam jaringa koral berubah-ubah selama masa hidup Koral. Dengan ini, tingkat resiko Koral terhadap pemutihan karang-pun juga tidak tetap dan bervariasi.

Dalam penelitian mereka, Koral Kembang Kol (Pocillopora damicornis) dari teluk Pasifik di Panama. Selama enam bulan koral terus dipantau dalam laboratorium Experimental Hatchery di UM. Selama intu sampel Koral perlahan dihangatkan hingga akhirnya memutih. Jumlah sel alga yang bersimbiosis di dalam Koral ditinjau dengan analisa sampel DNA dengan teknik genetika kepekaan tinggi yang bisa tentukan perbandingan sel alga dengan sel koral. Kemajuan teknik pengukuran ini memungkinkan mereka melihat bahwa Koral dengan lebih banyak alga lebih parah alami pemutihan ketimbang dengan yang lebih sedikit. 

Koral Kembang Kol Pocillopora damicornis.
Foto: loiczsouthasia.org
Laporan penelitian kemukakaan juga implikasi temuan dalam konservasi. Koral akan lebih rentan terhadap pemutihan jika berada dalam lingkungan dengan jumlah alga simbion yang banyak di sekitarnya, seperti terumbu dekat pesisir yang tercemar oleh zat anorganik dari air buangan limbah dan lepasan air dari daratan (runoff).

Pencemaran perairan, di satu sisi, berasal dalam kawasan lokal. Namun, perlu diingat kita punya tekanan di tingkat global dari efek perubahan iklim. Menjaga kualitas perairan akan membeli waktu banyak untuk terumbu karang menghindar dari efek terburuk pemanasan global. Belum lagi ada efek pengasaman laut (ocean acidification) sebab semakin tingginya emisi karbondioksida yang melarut ke laut, yang melapukkan biota berkapur seperti Koral. Ini juga menjadi faktor tambahan yang pengaruhi kerentanan Koral terhadap pemutihan, disarikan dari laporan penelitian.

Referensi:

Ross Cunning, Andrew C. Baker. Excess algal symbionts increase the susceptibility of reef corals to bleaching. Nature Climate Change, 2012; DOI: 10.1038/nclimate1711


Jumat, 17 Agustus 2012

Bangkit

Sebuah klip trailer dari film planetarium berjudul Coral Rekindling Venus:




Bangkitlah untuk samudera
Bangkitlah untuk lautan
Bangkitlah untuk koral
Bangkilah dalam kemanusiaan

Jantung dunia kini Anda genggam
Bangkitlah, biarkan diriku merasa hidup
Saat air mengalir jatuh dengan sunyi
Ibu-ku mulai menangis
Menangisi anaknya
Membayangkan apa yang digenggam si anak

Bangkitlah untuk koral
Bangkitlah untuk lautan
Bangkitlah saat masih ada yang bisa kita dikorbankan
Bangkitlah saat kita masih miliki kesempatan untuk memilih

============================================

Rise for the ocean
Rise for the sea
Rise for the coral
Rise in humanity

You hold the heart of this world
Rise, let me feel alive
When the waters fall silent
My mother started to cry
Crying for her children
Wonders that she held in her arms

Rise for the coral
Rise for the sea
Rise while there's still something left to lose
Rise while we still have a chance to choose

Lirik dari "Rise" oleh Antony and the Johnsons, soundtrack untuk film planetarium berjudul Coral Rekindling Venus

Situs: www.coralrekindlingvenus.com

Kamis, 31 Mei 2012

#002 - Why alone?


Dami adalah seekor planula (anak koral). Sebagai seekor planula, dia statusnya sejajar dengan anak ubur-ubur, anemon, dan koral lainnya di kelompok filum Cnidaria (Coelenterata). Ditakdirkan lahir berbentuk sosis mikroskopis ber-cilia (bulu) – sangat imut. Dami tidak makan namun motile (aktif bergerak) dan memiliki daya jelajah tinggi di perairan. Baca ini juga: Anak Karang

Strip komik: Dwi Haryanti
Teks: Dwi haryanti & Siham Afatta

Rabu, 16 Februari 2011

Lautan yang mengasam: Terumbu karang butuh perlindungan jauh lebih besar lagi.

Saat ini manusia terus meng-asam-kan dan menghangatkan lautan dunia. Kita perlu berusaha lebih giat lagi untuk menyelamatkan Terumbu Karang.

Terumbu dengan koral yang terjaga (atas)
dan koral dalam status kelulushidupan rendah, diselimuti alga (bawah).
(Foto: Siham Afatta / Karimunjawa, Indonesia)

Studi terkini dari tim ilmuwan internasional mengemukakan bahwa pengasaman laut dan pemanasan global akan berlangsung bersamaan dengan dampak lokal manusia seperti penangkapan ikan berlebih dan buangan nutrien dari daratan - terus semakin melemahkan terumbu karang dunia disaat mereka sedang mencoba bertahan saat ini.

Permodelan ekologis yang dilakukan oleh tim yang digagas Dr Ken Anthony dari ARC Centre of Excellence for Coral Reed Studies dan Global Change Institute di The University of Queensland menemukan bahwa: terumbu yang sudah mengalami penangkapan berlebih serta terpapar lepasan nutrien dari erosi di daratan akan semakin rentan akan peningkatan CO2 di atmosfir yang diakibatkan pembakaran bahan bakar fosil.

Studi mereka adalah yang pertama kali menggabungkan proses skala global seperti pemanasan iklim dan pengasaman laut, dengan faktor lokal seperti penangkapan berlebih dan buangan aliran dari daratan (runoff); dalam memprediksi kombinasi dampak pada terumbu karang.

'Resep mudah untuk menghapus terumbu karang dari Bumi'
(Foto: Paul Marshall, Ken Anthony)

"Saat kadar CO2 menanjak hingga 450-500 bagian persejuta (ppm) - sebagaimana diprediksi terjadi di 2050 - sejauh apa usaha kita bisa mengelola dampak lokal di terumbu (seperti perikanan dan polusi dari daratan) menjadi penentu untama mampu bertahannya terumbu karang, jika tidak, alga bisa mengambil alih tempat tumbuh koral di terumbu" - dikutip dari artikel ilmiah mereka.

Kondisi laut yang menghangat menyebabkan kematian koral masal yang berkala karena pemutihan, sedangkan pengasaman air laut - akibat CO2 yang larut dari atmosfir - melemahkan koral dengan menganggu kemampuan mereka membangun struktur koral, membuat koral lebih rentan akan dampak badai.

Jika koral juga dipengaruhi oleh buangan nutrisi (polusi) dari daratan - sehingga 'menyuburkan' alga dan diperparah dengan penangkapan berlebih ikan kakatua dan biota lainya berperan menjaga terumbu bersih dari alga sehingga terumbu bisa pulih kembali setelah sebuah gangguan) - maka, dalam situasi ini, terumbu bisa sepenuhnya dilingkupi alga, menggantikan koral yang menetap diatas terumbu.

Permodelan yang dilakukan tim peneliti, meskipun simulasi dilakukan tidak dalam skenario ekstrim, sudah mampu menghasilkan prediksi kritis bagi terumbu di negara berkembang seperti Indonesia - dimana terumbu karang berdampingan selalu dengan tingkat gangguan tinggi dari aktifitas manusia.

Sederhananya, model mereka menguak bahwa semakin banyak CO2 dilepaskan manusia, semakin sulit keadaan bagi koral untuk bertahan. Koral akan membutuhkan segala macam pertolongan yang mereka bisa dapat dari segala usaha pengelolaan yang manusia bisa lakukan untuk mencegah mereka kalah tumbuh dan dilingkupi rumput laut.

Terumbu karang di negara berkembang, dimana terumbu dunia paling banyak berada, seperti Indonesia; saat ini dihadapkan selalu dengan penangkapan berlebih dan nutrifikasi. Mereka saat ini sangat rentan, dimana kapasitas para pengelola terumbu dan pemerintah menentukan nasib mereka di masa depan.

Dalam sisi global, jika kesepakatan manusia gagal dalam menstabilkan dan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfir Bumi, maka jenis koral pembangun struktur dasar terumbu seperti Acropora, bisa hilang dalam jumlah besar - meskipun usaha pengelolaan di skala lokal dilakukan sebaik apapun.

Spesifiknya, usaha pengelolaan sekala lokal seperti menjaga populasi ikan herbivori serta pencegahan buangan erosi daratan berlebih, zat pupuk dan limbah dari daratan - menjadi kunci peran dalam menjaga ketahanan koral dalam proses penstabilan CO2 di masa depan.

Di Indonesia, tindakan tidak ramah lingkungan pada terumbu karang terkait dengan instabilitas perekonomian masyarakat pesisir. ±90% nelayan Indonesia adalah nelayan skala-kecil. Namun, Lebih 60% keuntungan tangkap ikan di Indonesia mengalir ke 5% nelayan asing.

Komitmen pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan masyarakat nelayan dan pesisir dari kemiskinan, menentukan selamatnya terumbu karang dan kelestarian perikanan Indonesia dalam dekade kedepan. Kesadartahuan dan proaktif masyarakat dalam menjaga kelestarian laut juga akan kritis dalam menentukan nasib pesisir dan laut. 

Referensi
  • Kenneth R. N. Anthony, Jeffrey A. Maynard, Guillermo Diaz-Pulido, Peter J. Mumby, Paul A. Marshall, Long Cao, Ove Hoegh-Guldberg. Ocean acidification and warming will lower coral reef resilience.Global Change Biology, 2011; DOI: 10.1111/j.1365-2486.2010.02364.x

Sabtu, 13 November 2010

Masa kelam terumbu karang: Garis besar solusi untuk terumbu karang dunia yang terus menghilang.

Terumbu karang dunia sedang bermasalah. Sebab berbagai faktor seperti pengasaman laut, naiknya temperatur akubat perubahan iklim, penangkapan ikan berlebih dan polusi - tutupan karang dunia telah munurun hingga sekitar 125.000 kilometer persegi dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang. Banyak biolog laut, seperti Charlie Veron, mantan kepala peneliti di Australian Institute of Marine Science, memprediksi bahwa terumbu karang akan hilang dalam satu abad kedepan. Tahun 2010 ini-pun, pemutihan karang masal, dimana karang kehilangan protozoa simbiotik-nya dan semakin rentan akan penyakit dan kematian - terjadi di sepanjang pesisir Indonesia, Filipina, dan beebrapa pulau Karibia. Namun, sebuah artikel jurnal di Trends in Ecology and Evolution mencoba mengangkat srategi untuk mengatasi keterpurukan terumbu karang, termasuk beberapa kisah sukses, untuk menyelamatkan mereka.


Atas: Tingginya dan seringnya gangguan lokal dan global pada terumbu memicu lebih seringnya pemutihan karang serta penurunan terumbu karang yang serius di penjuru dunia. Bawah: Terumbu karang yang sehat, seperti di Great Barrier Reef, juga menampung keanekaragaman hayati yang tinggi.
Foto: Atas: © Bruce Carlson; Bawah: © Great Barrier Reef Marine Park Authority


"Saat ini kita SUDAH punya pemahaman ilmiah yang cukup tentang penyebab penurunan terumbu - yang kita perlukan saat ini adalah gambaran yang lebih jelas untuk menolong mereka berbalik arah menuju keadaan optimal mereka di masa lalu, melalui pemulihan," ujar penulis utama, Terry Huges dari Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies di James Cook University.

Berbagai riset dunia telah menunjukkan bahwa terumbu karang memiliki daya lenting (resiliensi) dan mampu pulih dari fenomena gangguan skala besar.

Sebagai contoh, dalam artikel dijelaskan bahwa pada situs terumbu skalal lokal di pulau Heron di Great barrier Reef hampir setiap dekade secara rutin kehilangan hampir seluruh karang-nya akibat badai. Namun tetap memiliki kemampuan pemulihan yang cukup cepat dan kecenderungan struktur terumbu berubah dan berbeda jauh dari keadaan terumbu di masa lalu sangat kecil.

Namun, dampak manusia memiliki pengaruh berbeda dibanding dampak alam, seperti badai. Terumbu karang saat in bukan lagi menghadapi gangguan atau bencana alami yang datang, mereda, dan lewat. Namun, pengaruh manusia yang ditulis sebagai "dampak manusia yang kronis", merupakan gangguan yang konstan dan bertahan dalam kurun waktu lama. Dampak manusia saat ini membuat kemampuan alami karang untuk pulih tidak bisa membandingi 'dentuman' kematian karang yang terus terpicu akibat gangguan manusia.


Mekanisme pemutihan karang. Keadaan normal (kiri) dimana alga ber-sel satu (zooxanthellae) berada di lapisan jaringan karang. Keadaan terganggu (tengah): zooxanthellae lepas dari lapisan jaringan karang. Keadaan sekarat: Karang menuju kematian sebab jaringan karang tidak tumbuh tanpa adanya zooxanthellae, dan alga halus (alga filamen) bisa tumbuh di permukaan kerangka karang yang mati. Proses ini bisa terjadi pada ribuan koloni, menyebabkan fenomena pemutihan karang masal.
Gambar: www.solcomhouse.com/coralreef.htm



"Dalam satu abad kebelakan, banyak terumbu-dekat-pantai di bagian dalam Great Barrier Reef telah tertutupi sedimen dan makroalga, dan menunjukkan sedikit kemampuan atau indikasi akan pemulihan menuju kondisi semula yang 'kaya karang", tulis para peneliti.



Kiri: Terumbu yang memiliki resiliensi / daya lenting tinggi dengan struktur yang kaya akan karang hidup keras. Kanan: Terumbu yang sudah mengalami gangguan dimana struktur sudah berubah dimana komposisi makroalga melampaui jumlah karang keras. Membantu terumbu berbalik dari kanan ke keadaan di kiri adalah salah satu tugas kita dalam mengelola terumbu saat ini.
Foto: Kiri: © E. Turak; Kanan: © A. Hoey


Terry Hughes berkata, "kunci untuk menyelamatkan terumbu terletak di dalam pemahaman kita mengapa beberapa terumbu mengalami degenerasi menjadi hamparan rumput laut dan tidak bisa pulih lagi - kejadian yang disebut "perubahan fase" -; sementara di terumbu lain karang-nya mampu puli kembali dengan sukses - sebuah kemampuan yang disebut daya lenting atau resiliensi.

Para peneliti juga mengangkat beberapa tempat dimana terumbu karang yang berbalik pulih akibat adanya usaha pencegahan dampak manusia terkait penurunan karang di masa lalu. Sebagai contohnya, mengakhiri buangan limbah di Teluk Kanehoe di Hawaii telah memungkinkan karang untuk pulih; kembalinya populasi bulu babi di beberapa bagian kepulauan Karibia telah memungkinkan karang untuk bangkit 'melawan' rumput laut; dan di Filipina regulasi yang lebih efektif untuk penangkapan ikan berlebih telah memungkinkan ikan kakatua untuk pulih kembali - sejenis ikan terumbu yang membantu karang pulih dengan memakan rumput laut (makroalga) kompetitor karang.



Ikan terumbu herbivora: (Arah jarum jam dari pojok atas-kiri) Ikan Kakatua, Surgeonfish, Rudderfish, Angelfish, Damselfish dan, Rabbitfish. Ikan-ikan ini berperan sebagai 'tukang rumput' di terumbu, memakan alga yang tumbuh diantara karang sehingga jumlah alga terkendali dan karang dapat ruang dan cahaya untuk tumbuh. Jika ikan ini dihidangkan  di suatu kawasandan disantap, berarti pertanda ikan perdator ekonomis sudah mulai habis ditangkap, dan ikan herbivora pun jadi incaran, kemampuan pemulihan terumbu pun terancam dan semakin rentan akan gangguan lainya. PERHATIKAN JENIS IKAN YANG ANDA SANTAP, JANGAN MAKAN IKAN-IKAN TERUMBU INI.
Foto: © Garry allen.

"Krisis terumbu karang dunia umumnya terkait juga dengan krisis kepemerintahan, sebab kita sudah tau apa yang perlu dilakukan, namun aksi atau tindakan (untuk mengurangi polusi, menekan emisi gas rumah kaca, mencegah penangkapan berlebih dan merusak) tidak dilakukan," ujar Terry Hughes.

Studi tersebut juga menyarankan agar berbagai pemerintahan untuk melibatkan para peneliti yang memahami studi daya lenting terumbu karang dalam pengembangan kebijakan terkait penyelamatan terumbu karang. Sebagai tambahan, pemerintah sebaiknya fokus dalam pendidikan masyarakat lokal, perubahan mekanisme tata guna lahan dalam mencegah lepasan polusi, memperkuat hukum untuk melindungi terumbu karang, memperbaiki pengaturan penangkapan berlebih, dan bekerja dengan institusi internasional, seperti Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dalam penyediaan perlindungan yang lebih baik bagi karang yang terancam punah.

Namun tentunya, satu bongkahan batu besar lainnya adalah perubahan iklim. Dalam masa pengasaman laut saat ini, sebab meingkatnya emeisi karbon serta menghangatnya temperatur laut - akan membawa keterpurukan terumbu karang meskipun tindakan yang mendukung daya lenting karang dilakukan.

Dalam perspektif global para peneliti mengatakan juga bahwa pemerintah negara dunia juga harus "menghadapi perubahan iklim sebagai isu utama yang paling penting bagi pengelolaan dan konservasi terumbu karang dengan menekan tajam emisi gas rumah kaca."

Terry Hughes menambahkan, "tanpa tindakan yang segera, pemanasan global dan pengasaman laut dalam waktu kedepan yang belum terlihat akan menjadi jaminan kuat gagalnya terumbu karang. Meskipun memungkinkan sekali untuk memicu pemulihan terumbu karang seusai rentetan pemutihan karang melalui tindakan lokal seperti menjaga dan meningkatkan kualitas air dan melindungi herbivora terumbu, intervensi semacam ini tidak akan menjadikan terumbu 'tahan-perubahan-iklim'."

Namun, pesan di akhir artikel tidak memberikan harapan yang kelam dan terpuruk bagi karang, melainkan: "the world's coral reefs can still be saved… if we try harder".

Terumbu karang masih bisa diselamatkan… jika kita berusaha lebih kuat lagi.

Referensi

Terry P. Hughes, Nicholas A.J. Graham, Jeremy B.C. Jackson, Peter J. Mumby, and Robert S. Steneck. Rising to the challenge of sustaining coral reef resilience. Trends in Ecology and Evolution Vol.25 No.11. doi:10.1016/j.tree.2010.07.011.

Kamis, 05 Agustus 2010

Jangan berisik di terumbu: Ikan menjauhi habitat baik mereka sebab polusi suara di laut, bahkan hingga kematian.

Meningkatnya polusi suara di lautan membuat ikan menjauh dari habitat yang sesuai bagi mereka, bahkan mungkin hingga kematian, menurut penelitian terbaru oleh tim Britania Raya bekerja di Great Barrier Reef.

Staghorn Damselfish
(Foto: aquarium.aquarioepeixes.com.br)

Setelah beberapa minggu berkembang di laut, bayi ikan tropis bergantung pada suara alam untuk mencari terumbu karang dimana mereka bisa bertahan dan berkembang. Namun, tim peneliti menemukan bahwa pengaruh singkat suara asrifisial (red: buatan) membuat ikan tertarik dengan suara yang tidak sesuai.

Pada penelitian sebelumnya, Dr Steve Simpson, Senior Researcher dari School of Biological Science - the University of Bristol, menemukan bahwa bayi ikan terumbu memanfaatkan bunyi-bunyian dari ikan lain, udang dan bulu babi sebagai patokan mencari terumbu karang. Dengan polusi suara dari kapal laut, pembangkit listrik tenaga angin dan kegiatan eksplorasi minyak yang meningkat, Steve kuatir bahwa perilaku alami ikan ini sedang terancam.

Ketika baru beberapa minggu umurnya, bayi ikan terumbu secara alami ditantang untuk mencari dan memilih habitat yang sesuai. Suara-suara terumbu memberikan informasi vital bagi mereka, namun mereka dapat belajar, mengingat dan tertarik dengan bunyi-bunyian yang salah, dan Kita bisa saja membawa mereka ke arah yang salah; ujar Steve.

Menggunakan perangkap cahaya malam bawah air, Steve dan timnya mengoleksi bayi Damselfish dari kawasan terumbu karang. Ikan-ikan tersebut dikumpulkan dalam tangki dengan speaker bawah air yang memainkan suara alami terumbu atau campuran nada-nada buatan. Malam berikutnya ikan dipindah dalam ruang pilah (semacam tabung panjang dengan beragam percabangan menuju akhir tabung dan ikan bisa bergerak dengan bebas memilih jalur akhir yang mereka kehendaki) dengan suara alami atau buatan di lantunkan. Semua ikan menyukai jalur yang menuju suara terumbu, namun hanya ikan yang telah dipengaruhi campuran nada buatan memilih jalur renang yang berbeda, lainnya cenderung menjauhi suara buatan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan dapat belajar suara-suara baru dan mengingatnya beberapa jam kemudian, menghapus mitos memori-tiga-detik ikan, ujar Steve.

Salah satu kolaborator Steve, Dr Mark Meekan, menambahkan: Ini juga menunjukkan bahwa bayi ikan dapat membedakan suara, dan berdasarkan pengalaman mereka, menjadi tertarik pada suara yang telah mengganggu prilaku mereka pada saat malam terpenting dalam hidup mereka.

Dalam lingkungan yang berisik, perombakan prilaku alami dapat berdampak buruk pada suksenya populasi dan regenerasi stok ikan di masa mendatang.

Steve menambahkan bahwa: Suara yang dihasilkan kegiatan manusia telah meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun kebelakang, sebab perahu mesin kecil, pelayaran, pengeboran, tongkang dan konstruksi laut, dan pengujian seismik yang ada saat ini bisa menyamarkan suara ikan dan petikan capit udang. Jika ikan tidak sengaja mengikuti suara yang salah, pemberhentian akhir mereka bisa jadi dekat dengan daerah konstruksi atau mengikuti arah kapal ke laut lepas.

Lalu, bagaimana menurutmu tentang berita ini untuk Laut dan Kita di Indonesia?

Referensi:
University of Bristol (2010, August 3). Human noise pollution in ocean can lead fish away from good habitats and off to their death. ScienceDaily. Retrieved August 5, 2010, from http://www.sciencedaily.com /releases/2010/08/100803212015.htm

Jumat, 08 Januari 2010

Satu lagi alasan kuat untuk menyelamatkan Karang? - Terumbu Karang bertanggung jawab atas keanekaragaman hayati Laut

Analisa fosil menguak bahwa terumbu karang memiliki pengaruh dominan bagi keanekaragaman kehidupan laut.


Fosil karang. Foto: www.ncdc.noaa.gov/

Gugusan terumbu di Great Barrier Reef adalah bangunan bernyawa terbesar di bumi saat ini. Riset terbaru dalam majalah Science (8 Januari) menduga bahwa terumbu karang telah menopang munculnya jenis-jenis hewan baru di planet kita.


Great Barrier Reef, Australia

“Di laut, spesies-spesies baru cenderung muncul di kawasan tropis dan di pesisir yang dangkal,” ujar paleobiologist Carl Simpson dari Universitas Humpboldt di Berslin, salah satu peneliti riset tersebut. Dengan menggunakan ribuan koleksi data fosil, mulai dari moluska hingga mamalia di Amerika Selatan; Simpson dan rekannya menemukan bahwa ketika sebuah fosil ditemukan, kebanyakan organisme memulai evolusinya di kawasan terumbu dan kemudian menyebar ke habitat lain.

Kenyataannya, dari 6.615 invertebrata dasar laut yang di-survei dalam Database Paleobiology, 1.146 berevolusi di ekosistem terumbu. Pengamatan artefak fosil dari kawasan terumbu dan perairan dangkal, lebih lanjutnya, menunjukkan bahwa fosil yang berasal terumbu lebih langka dibandingkan dari habitat lain. Ini berarti selama jutaan tahun terumbu tempat yang esensial bagi organisme untuk berevolusi, namun, mereka yang muncul dari terumbu statusnya lebih langka dibandingkan organisme yang berevolusi di habitat lain (seperti di daratan).


Fosil karang dari era Paleozoik. Foto: www.humbolt.edu

Simpson menunjukkan bahwa teori evolusi barat bahwa terumbu merupakan ‘sumberan’ keanekaragaman bumi di masa Paleozoik (542 hingga 251 juta tahun lalu) – semakin tidak jelas alasannya. Namun, dugaan kuat-nya adalah terumbu telah lama menjadi kawasan penting bagi organisme dalam berevolusi, dan entah umumnya organisme menjadi langka – baik karena disebar ke luar ke habitat lain, atau tidak – masih belum jelas.

Simpson menambahkan bahwa, terumbu nampaknya juga telah tidak membantu organisme lautan dari kejadian kepunahan masal, seperti yang terjadi di akhir masa Paleozoik yang menghapus hingga 90 persen kehidupan laut. Ini kemungkinan besar terbukti sebab “ pembentukan terumbu itu sendiri juga sebuah proses yang terganggu akibat kejadian pemusnahan masal yang memberikan kerusakan parah bagi terumbu,” ujar Richard Aronson dari the Florida Institute of Technology, yang tidak terlibat dalam penelitan tersebut. “Pada periode tersebut terumbu pada umumnya tidak terlibat dalam pemulihan pengkayaan keankearagaman hayati, karena mereka harus terlebih dahulu berekonstruksi hingga sehat untuk bias memberikan fungsi ekosistem-nya sepenuhnya”.


Ilustrasi terumbu karang pra dan pasca kepunahan masal (bawah dan atas).
Gambar: Ron Testa, Scott Lidgar / New Scientist

Aronson menambahkan, “ Namun, terumbu karang telah lama memberikan peluang ekologis bagi beragam peranan organisme seperti: ruang/tempat menetap, sirkulasi air dan lain-lain”. Jutaan tahun terumbu telah menopang evolusi tidak hanya sponge dan sejenisnya namun juga sesiputan, udan, bulu babi, ikan dan bahkan hewan yang sudah punah seperti trilobita.

Dalam proses jutaan tahun, kompetisi tinggi untuk tempat tinggal dan makanan di terumbu juga memberikan kepunahan bagi beberapa organisme – memberi peluang organisme baru untuk masuk dan mengambil peranan dalam ekosistem terumbu.

Berdasarkan beberapa estimasi matematika, 99.9 persen dari spesies yang pernah ada di Bumi sudah punah. Tersisa saat ini diestimasikan antara lima hingga 100 juta dan ilmuwan saat ini baru bisa mengidentifikasi dua juta spesies. Ini berarti dalam kurun waktu 4.5 juta tahun usia Bumi yang bisa diperkirakan benak manusia saat ini, milyaran spesies telah punah.

Kita, manusia yang baru menempati bumi hanya dalam puluhan ribu tahun, sebenarnya hanya mencicipi sisa kekayaan hayati bumi saat ini.

Dengan ancaman yang didera terumbu karang jaman modern saat ini yang dating dari manusia, belum bisa menjamin kelestarian - jangankan ribuan tahun kedepan -, untuk 50 tahun kedepan-pun belum pasti.


Pemandangan terumbu karang yang 'lumrah' di pesisir Jawa.
Foto: S. Afatta, O. Hoehg-Guldberg

Aronson menambahkan, “Jika siklus kehidupan terumbu karang di era modern saat ini, terputus begitu saja hanya dalam dalam kurun waktu puluhan tahun perjalanan manusia kedepan. Apalagi yang bisa diandalakan habitat lain daya dukung keanekaragaman tertinggi Bumi saat ini hilang?”

Digubah kembali dari situs Scientific American

Jumat, 20 November 2009

Anak karang vs Lautan asam

Dwi Haryanti

Bulan Maret lalu saya mendapatkan kesempatan untuk turut serta dalam sebuah riset di lapangan untuk mengamati spawning masal karang. Saya bersama beberapa rekan ditempatkan di sebuah pulau kecil di bagian timur kepulauan Karimunjawa. Kesempatan langka yang sudah lama saya nanti-nantikan, karena sebagai mahasiswa sains yang selalu berkutat dengan topik-topik mengenai biologi dan reproduksi karang, saya sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuk telur karang secara langsung.

Coral spawning SUPER slick - kumpulan telur, embrio dan larva yang terapung di Scott's Reef, Great Barrier Reef Australia(James Guest, Jurnal Science, 2008) 

Anda pernah melihat telur karang?

Jika Anda beruntung, pada hari-hari di sekitar bulan purnama, di musim-musim peralihan (dalam hal ini, di Indonesia, yang saya ketahui sekitar bulan Maret-April dan Oktober-Novenber) mungkin Anda akan menemui satu malam dimana laut menebarkan bau amis, dan terlihat semacam slick berwarna pink-orange mengapung di laut ataupun terbawa arus menuju pantai dan dermaga. Saat itulah karang sedang melakukan spawning masal. Masyarakat lokal di Karimunjawa menyebutnya “Tai Arus”, mungkin karena bau amisnya, dan warnanya. Namun dengan begitu saya jadi lebih mudah mengingatnya :)

Telur karang dilepaskan bersama-sama dengan satu tujuan: memperbesar kesempatan sebuah generasi baru untuk hidup dan tumbuh. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi calon-calon anak karang yang baru dilepaskan. Selain hempasan ombak ke pantai yang berpotensi menggagalkan mereka untuk hidup, ada juga predator seperti ikan. Yang berhasil dibuahi akan berkembang menjadi satu individu baru bernama ‘planula’.

Sebelum menempel ke dasar perairan dan membentuk koloni karang, planula akan mengembara mencari tempat yang cocok untuk menetap. Badannya yang dibekali dengan kandungan lemak memiliki dua fungsi, pertama sebagai pengatur daya apung (Ya, benar, meski sangat kecil, mereka juga aktif berenang, dengan bulu-bulu getar mikroskopis), dan juga sebagai cadangan makanan. Satu tantangan tersendiri untuk para planula pengembara agar dapat menemukan tempat baru sebelum cadangan makanan mereka habis. Dan belum berhenti disitu, karena setelah settle atau menempel, planula akan mulai bermetamorfosis, membentuk polip (bentuknya tidak akan seperti telur lagi, melainkan akan berubah menjadi seperti mangkok, dengan mulut dan tentakel), dan membangun kerangka kapur.


Tahapan metamorfosis planula, dari bentuk telur lonjong, hingga polip kerangka kapur muda.

Terumbu karang, yang kita lihat sebagai taman bawah laut berwarna-warni, seperti yang kita ketahui, komponen penyusun utamanya tak lain adalah hewan-hewan karang kecil yang mengendapkan kerangka kapur hingga dalam berbagai bentuk dan rupa. Merekalah planula-planula pengembara yang berhasil bertahan hidup. Dalam siklus hidupnya, fase metamorfosis planula menjadi polip dapat dikatakan sebagai tahapan yang sangat rentan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keberhasilan metamofosis sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti suhu, pencahayaan-kaitannya dengan radiasi sinar matahari, dan juga tingkat keasaman laut (pH). 



'Coral Spawning sata bulan purnama, Okinawa, Jepang - www.aquageographic.com

Apabila kita menyimak posting sebelumnya mengenai asidifikasi laut dan segala skenario di masa depan yang berkaitan dengan perubahan komposisi kimia lautan, maka faktor-faktor diatas perlu digarisbawahi. Laut yang asam tidak hanya mengikis perlahan terumbu karang (dewasa, jika boleh dikatakan demikian) yang sudah ada, namun juga dapat menghambat regenerasi dan pertumbuhan anak-anak karang.

 Coral spawning di Florida Keys, AS dari NOAA

Seberapa besar kelentingan atau daya tahan mereka terhadap perubahan lingkungan, dan seberapa jauh anak karang yang baru akan tumbuh dapat beradaptasi terhadap laut yang asam memang belum diketahui. Tugas kita adalah untuk mengkaji dan mengerti, lalu bersama-sama melakukan upaya-upaya untuk turut menjaganya. Menekan emisi karbon menjadi solusi yang dapat dilakukan hampir oleh semua orang. Hal kecil yang akumulasi dampaknya bisa jadi besar. Memberi kesempatan satu generasi untuk hidup.

Untuk Laut, dan untuk Kita.

Referensi:
~ Omori & Fujiwara (2004) Manual for restoration and remediation of coral reef.
~ Munasik (2002) Reproduksi seksual karang di Indonesia: Suatu kajian.
~ Kleypas et al (2006) Impacts of ocean ccidification on coral reefs and other marine calcifier