Minggu, 25 Oktober 2015

Kakatua besar yang memiliki peran ekologis penting bagi terumbu karang

M. Danie Al Malik
Gambar 1. Bumphead parrotfish, atau Bolbometopon muricatum, dewasa (kiri) dan juvenile (anakan) (kanan)

Gambar: Allen & Erdmann, 2012 

Salah satu ikan terumbu yang memiliki pesona unik dan bernilai ekologis tinggi bagi terumbu karang adalah bumphead parrotfish. Bumphead parrotfish, mempunyai nama latin Bolbometopon muricatum dan merupakan salah satu ikan terumbu yang paling terbesar (ukuran mencapai 120 cm dan berat mencapai 50 kg) dari anggota ikan kakatua, atau parrotfish.




Banyak bumphead parrotfish dewasa ditemukan di sekitar laguna atau terumbu karang dan yang remaja ditemukan sekitar padang lamun atau vegetasi mangrove. Bumphead parrotfish yang mempunyai ciri khas schooling (berenang dalam kelompok) dalam jumlah besar (±100 individu) dan umumnya berkumpul pada kisaran 15 – 20 m di bawah permukaan laut.

Saat pemijahan (proses pelepasan sel telur dan sperma sehingga mengalami pembuahan) berlangsung, bumphead dewasa akan keluar dari kerumunan ikan lalu salah satu bumphead kecil akan mengikuti untuk melakukan perkawinan satu sama lainnya dan lalu memijah secara bersamaan. 

Perilaku ini terjadi sebab bumphead parrotfish merupakan ikan hemafrodit yang berarti ketika remaja mereka betina dan bisa berubah menjadi jantan saat dewasa. Perilaku khas lain saat pemijahan adalah masing-masing ikan bumphead saling berhadap ke depan dan setelah itu secara serentak mengeluarkan kabut sperma dan telur dari masing-masing bumphead parrotfish (Gladstone, 1986).

Gambar 2. Tipe memijah ikan bumphead parrotfish.
Gambar: Gladstone (1986)
Selain ukuran antara bumphead parrotfish jantan yang lebih besar dari pada bumphead parrotfish betina, perbedaan lain ada pada bagian ‘dahi’ mereka. Bumphead parrotfish betina ditandai dengan dahi yang memiliki cekungan di bagian yang dekat tepi atas mulutnya. Sedangkan yang jantan memiliki dahinya lebih maju secara vertikal mulai tepi atas mulutnya (Munoz & Zgliczynski, 2014). 

Tidak seperti parrotfish umumnya, menurut Choat dan Randall (1986), bumphead parrotfish tidak menunjukkan perubahan warna tubuh saat jenis kelamin mereka beralih. Warna tubuh mereka cenderung tetap sama saat jenis kelamin mereka berubah menjadi betina atau jantan saat dewasa.

Gambar 3. Perbedaan dahi bumphead parrotfish jantan dan betina
Gambar: Munoz & Zgliczynski (2014)

Pengamatan nelayan kepulauan Palau temukan bahwa bumphead parrotfish kerap berkumpul di dekat pintu masuk selat-selat kecil di antara terumbu karang pada hari ke-8. Johanes dalam Gladstone (1986) memprediksi bahwa bumphead parrotfish di Palau memijah pada hari ke-8 atau ke-9 siklus bulan setelah matahari terbenam. Serta ada yang memijah pada pagi hari pada hari ke-20 dari siklus bulan (Gladstone, 1986).

Pada siang hari, bumphead parrotfish biasa memakan tanaman alga yang melekat di dasar terumbu dan karang. Saat makan, bumphead akan menabrakan kepala mereka ke dinding karang keras dan memecahkannya menjadi potongan kecil agar lebh mudah masuk ke mulut mereka. Alga yang ada di bongkahan karang akan dicerna dan karang dibuang bersama kotoran mereka. Kotoran bumphead kerap menyerupai butiran pasir halus hasil dari proses kalsifikasi (proses pembentukan kerangka kapur hewan karang di terumbu) yang jatuh kembali ke dasar.

Butiran pasir halus dari hasil pencernaan bumphead parrotfish termasuk bagian proses bio-erosi (bersama biota lainnya) yang andil membangun pantai pasir putih yang indah. Setiap tahunnya, seekor bumphead dapat mengkonsumsi hingga lima ton dinding karang yang sarat akan kandungan karbonat hasil kalsifikasi karang.

Namun saat ini ikan bumphead parrotfish sedang mengalami penurunan terkait beberapa ancaman. Panduan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) tentang Spesies of Concern di tahun 2010 menjelaskan bahwa ancaman langsung yang utama bagi bumphead parrotfish diantaranya penangkapan berlebih, cara tangkap yang merusak, serta berkurangnya atau rusaknya terumbu karang yang menjadi habitat mereka.

Saat ini bumphead parrotfish menjadi bagian dari biota penting yang dipantau dalam kegiatan Reef Check. Ikan ini merupakan salah satu ikan indikator kesehatan ekosistem terumbu karang serta salah satu ikan yang mengalami penangkapan yang berlebihan. 

Reef Check merupakan sebuah kegiatan pemantauan terumbu karang yang melibatkan masyarakat umum. Melalui Reef Check, masyarakat bisa andil mengenali serta mengukur kelimpahan biota-biota tertentu, seperti bumphead parrotfish, yang menjadi tolak ukur kesehatan ekosistem terumbu karang di sebuah lokasi atau kawasan laut.



Referensi
  • Allen, G., & Erdmann, M. (2012). Reef Fishes of The East Indies. Volumes I-III. Perth, Australia: Tropical Reef Research.
  •  Bowling, T. (2014, 04 25). Bumphead Breaktrough : Tank Raised Parrotfish. Retrieved 08 08, 2015, from http://www.reef2rainforest.com/2014/04/25/bumphead-breakthrough-tank-raised-parrotfish/
  • Gladstone, W. (1986). Spawning Behavior of The Bumphead Parrotfish Bolbometopon muricatum at Yonge Reef, Great Barrier Reef. Japanese Journal of Ichthyology, Vol.33 No.3.
  • Iqbal, M. (2011, December 10). Behavior. Retrieved 8 8, 2015, from http://iqbal-berbagi.blogspot.com/2011/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html
  • Munoz, R. C., & Zgliczynski, B. J. (2014). Spawning Aggregarion Behavior and Reproductive Ecology of the Giant Bumphead Parrotfish, Bolobometopon muricatum, in a remote marine reserve. PeerJ.
  • REEF CHECK. (2006). Instruction Manual : A Guide to Reef Check Coral Reef Monitoring. USA: Reef Check Foundation.
  • NOAA. (2010). Spesies of Concern. Bumphead Parrotfish.



Minggu, 19 April 2015

Kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu

M. Danie Al Malik


Perairan Indonesia memiliki keragaman jenis hiu yang cukup tinggi. Setidaknya 116 jenis hiu yang termasuk ke dalam 25 suku ditemukan di wilayah perairan kita. Ikan hiu termasuk dalam kelompok ikan bertulang rawan, atau Elasmobranchii.

Elasmobranchii merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting di dunia. Data FAO melaporkan bahwa total tangkapan ikan-ikan Elasmobrachii di dunia pada tahun 2010 mencapai lebih dari 640 ribu ton. Lebih dari sepertiga jumlah tersebut ditangkap dari Indonesia, bersama dengan India, Spanyol, dan Taiwan. FAO juga menyebutkan total tangkapan perikanan hiu di Indonesia hingga 109,243 ribu ton untuk tahun 2010 sendiri (Gambar 1).


Gambar 1. 20 negara pengekploitasi perikanan hiu terbesar (Indonesia 109,243 ribu ton).
(Sumber: Escobar, K. (2011))
Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah hiu yang ditangkap di Indonesia terus meningkat sejak 1975 hingga 2011. Peningkatan tersebut tegolong signifikan jika di banding dengan Negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Sri lanka dan Thailand (Gambar 1). Jumlah tangkapan hiu di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2000 yaitu mencapai 70.000 ton (Gambar 2).

Gambar 2. Produksi perikanan hiu di Indonesia sejak tahun 1975- 2011.
(Sumber : KKP (2013))
Sejalan dengan peningkatan penangkapan ikan hiu di beberapa dekade terakhir,  skala operasi penangkapan tidak lagi terbatas pada perikanan berskala kecil tetapi sudah merambah hingga perikanan komersial berskala besar. Keadaan ini membuat jenis hiu yang ditangkap juga semakin banyak, termasuk jenis hiu bernilai tinggi seperti hiu botol (Squalidae), hiu lontar (Rhynchobatidae) dan hiu-hiu berukuran besar (Carharhinidae, Lamnidae, Alopiidae, dan Sphyrnidae).

Jenis hiu di atas mempunyai nilai ekologis yaitu sebagai predator di laut sebagai pengontrol sistem rantai makanan, jika fungsi ekologis hiu-hiu tersebut dihilangkan maka bisa memicu tidak terkendalinya jumlah spesies ikan tertentu, sehingga terjadi pemangsaan berlebih pada spesies-spesies ikan, khususnya yang bernilai kormersial. Sejatinya hiu merupakan tangkapan sampingan, namun seiring dengan menurunnya ikan tangkapan utama seperti tuna, hiu beralih menjadi tangkapan yang bernilai ekonomis. 

Di beberapa daerah di Indonesia, perikanan hiu telah menjadi sumber utama mata pencaharian sebagian masyarakat. Tiap mata rantai perdagangan perikanan hiu memberikan topangan pendapatan, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dalam profesi nelayan penangkap, pengumpul, penjual dan pengolah hasil perikanan hiu di daerah-daerah dimana hiu menjadi target tangkapan mereka.

Di beberapa wilayah Indonesia seperti daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lombok-Nusa Tenggara Barat peran wanita menjadi pemain utama dalam melakukan bisnis perdagangan produk hiu sebagai pengelolah hasil perikanan hiu. Hal ini menunjukkan bahwa produk hiu telah menjadi komoditi penting karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal secara langsung. 

Hampir semua bagian tubuh hiu memiliki nilai ekonomi dan dapat memberi keuntungan bagi nelayan dan semua pihak yang terlibat dalam rantai perdagangan hiu.  Bagian hiu yang bisa bernilai ekonomis antara lain daging, tulang rawan, kulit, gigi rahang, jeroan/isi perut, hati, dan sirip. Namun umumnya komoditas hiu utama yang diperdagangkan ada empat kelompok yaitu produk sirip hiu kering (dried fins), sirip hiu basah (salted fins), daging hiu beku (frozen sharks nei) dan produk campuran hiu (fresh or chilled shark).

Produk perikanan hiu yang paling umum diekspor ke luar negeri adalah sirip kering, yang mana di dalamnya juga termasuk sirip pari gitar dan pari cermin/bandrong (suku Rhyncobathidae dan Rhinobatidae). Berdasarkan data dari KKP tahun 2013, sejak tahun 1980 sampai 2006 secara umum terlihat bahwa usaha perdagangan hiu meningkat tajam pada periode 1992 hingga 1995 yaitu mencapai sepuluh ribu ton (Gambar 3). Laporan menyebutkan separuh produk sirip ikan hiu dari Indonesia diekspor ke Jepang, kemudian diikuti oleh Hong kong, Singapura dan Malaysia (Gambar 4).

Gambar 3. Jumlah ekspor produk perikanan hiu Indonesia dalam kurun waktu 1980-2006.
(Sumber : KKP (2013))
Gambar 4. Proporsi jumlah sirip hiu yang diekspor ke beberapa Negara tujuan pada tahun 2005 dan 2006.
(Sumber : KKP (2013))

Gambar 5. Perdagangan sirip ikan hiu sebagai produk perikanan ekspor yang bernilai tinggi.
(Sumber : Wikipedia)
Tingginya harga sirip hiu menjadi salah satu faktor pemicu tingginya intensitas perdagangan sirip hiu. Sirip hiu umumnya digunakan untuk sup yang merupakan sajian bergengsi di restoran-restoran seafood di beberapa kota besar di Indoensia seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya dengan harga satu porsi sirip hiu mencapai Rp. 500.000,-.

Alasan utama konsumen mau membayar harga yang fantastis ini sebagian besar didorong karena alasan sosial-budaya. Contohnya, sup sirip hiu dianggap makanan berkelas karena konon sup sirip hiu merupakan hidangan khusus raja dan bangsawan di Cina tempo dulu.

Gambar 6. Sup sirip ikan hiu konon sebagai hidangan kerajaan Cina tempo dahulu.
(Sumber : Wikipedia)
Alasan lain menyantap sup sirip hiu adalah kepercayaan sebagian masyarakat akan khasiat dari makanan ini yang dipercaya dapat menambah vitalitas, mencegah bahkan mengobati kanker. Padahal, berdasarkan hasil penelitian Food and Nutrition Information Center, sirip hiu tidak mengandung nutrisi. Sirip umumnya  terdiri dari tulang rawan, yang secara umum tidak mengandung vitamin, namun mengandung glukosamin dan kondroitin.

Beberapa pelaku pengobatan alternatif memang meyakini bahwa sirip hiu memiliki zat yang dapat memerangi kanker, namun menurut National Center Institute, hanya ada satu penelitian klinis terhadap tulang rawang hiu sebagai perawatan kanker pada manusia yang pernah dipublikasikan dan menunjukkan bahwa tulang rawan hiu tidak efektif melawan kanker. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa perawatan tambahan terhadap pasien yang mendapatkan kemoterapi dengan memberikan beberapa dosis ekstrak sirip hiu dalam jumlah yang berbeda pada 397 pasien tidak memberikan hasil positif.

Sebaliknya sirip hiu diduga mengandung merkuri dalam dosis yang cukup berbahaya, kandungan merkuri tersebut diakibatkan polusi di lautan. Sebagai hewan di puncak rantai makanan, hiu berpotensi mengandung merkuri lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya. Hal ini karena sifat merkuri yang terakumulasi melalui proses makan memakan, atau disebut bioakumulasi.

Bagaimana merkuri di lautan ter-akumulasi di tubuh ikan di tingkat teratas rantai makanan.
(Sumber: Wikipedia)
Sebagai gambaran, studi yang dilakukan oleh Dr. R. Kruse dan Dr. E. Bartelt untuk German Faderal Ministry of Food, Agriculture, and Consumer Protection (BMEL) mereka menyatakan bahwa ditubuh seekor terkandung 0,4 atau 4.000 mikrogram/kg. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan batas aman kandungan merkuri pada makanan tubuh manusia yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu tidak melebihi 0,5 ppm atau 500 mikrogram/kg.

Selain sirip, hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa tubuh hiu memiliki kandungan urea 2 – 2,5% dari total daging, sedangkan ikan tulang sejati (Teleostei) hanya mengandung urea 0,05%. Dengan kata lain, pada hakikatnya mengkonsumsi hiu tidak terbukti bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan ataupun sebagai obat anti kanker, malah dapat berpotensi meracuni tubuh. 

Hal lain adalah masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat baik nelayan maupun masyarakat umum terhadap kelestarian sumber daya ikan hiu. Ikan hiu sangat rentan terhadap penangkapan yang berlebihan. Hiu pada umumnya memiliki pertumbuhan yang lambat dan memerlukan waktu yang lama (beberapa mencapai hingga puluhan tahun) untuk mencapai usia dewasa dan berkembang biak. Selain itu jumlah anak yang dihasilkan setiap tahunnya relatif sedikit dibandingkan dengan kelompok ikan lainnya.

Hiu umumnya memiliki peranan utama sebagai sebagai pemangsa ikan lain, atau predator, sehingga menjadi pengendali populasi spesies dalam sistem rantai makanan di ekosistem laut. Menurut Penasihat Teknis Kawasan Laut The Nature Conservancy (TNC), Bapak Purwanto; keseimbangan ekosistem bisa dijaga salah satunya sebab peranan spesies hiu yang duduk di predator puncak (tidak ada yang memangsa, hanya memangsa) dalam mengendalikan populasi spesies ikan dengan memangsa ikan-ikan sakit atau terluka.

Piramida trofi ekosistem laut.
(Sumber: The University of Waikato)

Demikian juga temuan dari Bornatowski et al (2014) di Brasil selatan yang mendukung peranan hiu sebagai elemen penting dalam rantai makanan. Dari analisa isi perut dari 820 ikan dari 15 spesies elasmobranchii serta catatan dari 23.027 isi perut ikan dari beragam laporan mulai 1980 hingga 2012, Bornatowski et al (2014) mencoba memetakan hewan apa saja yang dimakan spesies hiu predator teratas, dan hiu meso-predator (dimangsa hiu, memangsa ikan non-hiu). 

Penelitian mereka temukan bahwa hiu predator teratas (top predator) seperti Carchahinus obscurus, Carcharias taurus, Sphyrna lewini, dan S. zygaena memangsa spesies-spesies di tingkat rantai makanan di bawahnya yang mencakup hiu-hiu meso-predator, ikan-ikan non-hiu, hingga avertebrata laut dan burung).

Merujuk ke penelitian hiu terdahulu, Bronatowski et al. (2014) beranggapan bahwa konsekuensi dari pengambilan hiu dari alam sifatnya tidak langsung, sebab menurunya hiu memberikan semacam efek domino. Salah satunya adalah bertambahnya populasi spesies ikan (A) yang tidak lagi dimangsa hiu. Namun di sisi lain, penambahan populasi spesies ikan A bisa menyebabkan penurunan besar pada populasi spesies laut lain (B) yang menjadi pakan-nya.

Kekhawatiran muncul ketika melimpahnya spesies ikan A dianggap sebagai ‘pemulihan ekosistem ikan’, padahal sebenarnya indikasi ketidak-seimbangan ekosistem. Demikian juga penurunan spesies B, jika spesies tersebut bernilai komersil, maka ekonomi perikanan dari masyarakat bergantung pada spesies B bisa terancam.

Demikian pula jika spesies B adalah spesies kunci ekosistem, seperti ikan kakatua di terumbu karang yang mengendalikan populasi alga. Jika ikan ‘pembersih’ terumbu karang habis dimangsa berlebih oleh ikan diatasnya, maka pertumbuhan alga yang tak terkendali bisa menutupi karang hidup dan sehat, mengancam terumbu karang.

Hiu hanyalah segelintir dari kelompok hewan yang dimanfaatkan dari lautan. Kebutuhan ikan yang tinggi serta kecanggihan teknologi penangkapan ikan, membuat manusia mengambil ikan dari tingkat spesies teratas, hingga terbawah.
(Sumber: Wikipedia)

Kesadaran akan kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu selama ini, dan kemauan kita semua kepada kelestarian hiu yang memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, sangat diperlukan.

Dengan membatasi, atau tidak, menangkap hiu dan tidak mengkonsumsi daging ataupun sirip hiu, serta aktif dalam kegiatan pelestarian hiu bersama keluarga dan sahabat; maka kita sudah membantu dalam menjaga hiu dari keterancaman. 

Referensi
  • Apriyani, A. (2013, November 21). Racun Methyl Mercury Dalam Tubuh Hiu. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://savesharksindonesia.org/racun-methyl-mercury-dalam-tubuh-hiu/
  • Bornatowski, H., Navia, A. F., Braga, R. R., & Abilhoa, V. (2014). Ecological Importance of Sharks and Rays in a Stuctural Foodweb Analysis in Southern Brazil. International Council for the Exploration of The Sea, Vol 71 (7) : 1586-1592.
  • Darmawan, A., & Ruchimat, T. (2013). Tinjauan Status Perikanan Hiu di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
  • Escobar, K. (2011, January 27). The Future of Sharks : A Review of Action and Inaction. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/reports/2011/01/27/the-future-of-sharks-a-review-of-action-and-inaction
  • Ferretti, F., Worm, B., Britten, G. L., Heithaus, M. R., & Lotze, H. K. (2010). Pattern and Ecosystem Consequences of Sharks Declines in The Ocean. Ecology Letters, Vol 13 (8) : 1055-1071.
  • Maryati. (2013, Maret 19). Populasi Hiu dan Pari Manta Dalam Ancaman. Dipetik April 6, 2015, dari http://www.antaranews.com/berita/364072/populasi-hiu-dan-pari-manta-dalam-ancaman

Rabu, 15 April 2015

Kompleksitas dan Pemikiran Sistem

Siham Afatta

Saat ini saya sedang belajar memahami kompleksitas.

Ada rasa senang, ketika bisa mempelajari bagaimana sesuatu bisa bekerja dan memahami bagaimana beragam komponen bisa terpadu dan saling berinteraksi. Ketika bisa melihat berbagai hal dalam gambaran besar, dan abstrak, yang juga membantu melihat faktor-faktor yang saling berhubungan diantara hal-hal tersebut.

Kompleksitas adalah kajian tentang keterhubungan antara segala sesuatu. Kita semestinya tertarik dengan kompleksitas, bukanya menjauh. Sebab kompleksitas penting dipahami semua orang, terutama jika kita bekerja dengan permasalahan atau sistem yang kompleks.

Saat kita mendengar istilah "kompleks", kita ingin menghindar sebab kita kerap salah artikan dengan makna "rumit" (atau 'complicated' dalam Bahasa Inggris) yang merujuk makna sulit untuk dipahami atau dimengerti. Namun bukan itu makna yang dimaksud disini.

Sesuatu yang rumit dapat diperkirakan atau diprediksi, ketika kita sudah memahaminya. Sedangkan sesuatu yang kompleks, cenderung sulit diprediksi. Kita mungkin bisa menjabarkan sesuatu yang rumit hingga ke komponen-komponen terkecilnya. Namun kita tidak bisa mengurangi kompleksitas-nya. Sebab dalam kompleksitas kita berbicara hubungan antara bagian-bagian dari sesuatu yang kompleks.

Bingung? Semoga analogi dibawah bisa membantu kita:

Sesuatu yang sangat tidak rumit bisa dicontohkan oleh kunci mobil. Mudah dipahami seab komponen-nya hanya satu, kunci.

Mobil, bisa jadi contoh sesuatu yang rumit. Banyak sekali bagian yang saling terhubung dengan cara yang khusus, dan saling melengkapi, sehingga menjadi mobil. Jika kita ambil salah satu bagian dari mobil, misal komponen mesin, maka mobil akan berhenti atau tidak bisa bekerja. Memang sulit untuk memahami mobil dan bagaimana mobil bekerja, namun ketika kita sudah memahaminya, mudah sekali memprediksi bagaimana mobil akan berfungsi atau berkerja nantinya.

Nah, sesuatu yang kompleks bisa digambarkan sebagai lalu lintas. Kita TIDAK bisa memahami atau memprediksi keadaan lalu lintas hanya dengan memahami bagaimana mobil bekerja. Sebab lalu lintas sebuah sistem yang terbentuk dari interaksi dari banyak mobil (juga dengan benda-benda 'non-mobil' lainnya).

Hubungan diantara para supir mobil akan mempengaruhi lalu lintas. Hubungan ini juga dipengaruhi oleh keadaan tiap individu supir, misalnya dari perilaku dan pengalaman hidup dari tiap supir itu sendiri Demikian juga dari interaksi antara supir saat itu juga mempengaruhi pengalaman dan perilaku setiap individu supir (dan seterusnya… dan seterusnya).

Hubungan yang dinamis ini-lah yang membuat lalu lintas sebagai sistem kompleks.

Cara lain untuk membedakan konsep-konsep di atas (tidak rumit, rumit, dan kompleks) bisa dilihat dari hubungan sebab-akibat (cause-and-effect relationship).

Pada sesuatu yang rumit, hubungan yang terjadi bersifat linier. Masukan (input) secara langsung selaras dengan keluaran (output). Misal: Semakin besar gaya tumbukan antara dua mobil, semakin besar kerusakan fisik yang dialami mobil.

Namun, dalam kompleksitas, hubungan yang terjadi kerap non-linier. Misal: Data menunjukkan insiden mobil bersinggungan satu dengan lain,  terjadi baik saat mobil-mobil kecepatan tinggi, namun juga saat kecepatan rendah. Masukan (input), dalam hal ini 'kecepatan mobil', tidak langsung berhubungan dengan keluaran (output).

Dalam hal ini, banyak ketidak-pastian dalam sistem, sehingga sulit sekali memprediksi keadaan di masa depan dengan presisi. Dalam konteks mobil, kecelakaan mobil dipengaruhi gabungan beberapa hal: keadaan jalan, kondisi pengemudi, keadaan mobil, keadaan alam, dsb…. kompleks!.

Topik ini ternyata juga dijabarkan di Wikipedia dengan cukup baik di laman Compex Adaptive System, atau Sistem yang Kompleks dan Adaptif (SKA). SKA memiliki beberapa ciri utama, antara lain:
  • Jumlah bagian/komponen (termasuk jenis-jenis bagian-nya) yang ada di dalam sistem, serta jumlah hubungan antara bagian-bagian di dalam sistem, memiliki sifat non-trivial, alias tidak sederhana, tidak mudah dan tidak cepat terjadi.
  • Sistem tersebut memiliki semacam memori atau daya ingat, dimana hal di masa lalu yang berpengaruh di masa kini. DIantaranya adalah fenomena umpan balik, atau feedback.
  • Sistem tersebut mampu beradaptasi dengan sendirinya sesuai dengan sejarah-nya, atau feedback.
  • Hubungan antara sistem dan dengan lingkunganya sifatnya juga non-trivial, atau non-linier.
  • Sistem tersebut dapat dipengaruhi oleh, atau dapat beradaptasi dengan sendirinya terhadap lingkungannya; dan
  • Sistem tersebut sangat sensitif dengan keadaan awal-nya.

Sayangnya, kita umumnya memiliki kesulitan untuk memahami hubungan sebab-akibat khususnya ketika sifatnya non-linear. Kita umumnya mampu melihat pola-pola. Namun cenderung hanya pola dari bagian-bagian yang memiliki hubungan langsung dan saling berdekata dan saat itu, bukan pola-pola yang dari bagian-bagian yang terpisah jauh secara ruang bahkan waktu.

Jika kita ingin memecahkan masalah yang pada dasarnya bersifat kompleks, maka akan lebih mudah dilakukan jika kita memulainya denggan memahami bagaimana terbentuknya kompleksitas sistem.

Kita TIDAK bisa menggunakan pendekatan reduksionisme (reductionism) untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks.

Nah, segala sesuatu yang kompleks bukan berarti tidak mungkin diatasi. Jika sebuah permasalah itu kompleks, dan kompleksitas-nya dipertimbangkan, maka pendekatan yang kita ambil dalam mencari jalan keluar tidak perlu lagi dianggap "sulit sekali".

Situasi ini bisa di-analogi-kan dengan fenomena selancar, atau surfing. Berselancar itu kompleks.

Untuk bisa berdiri diatas papan selancar mengikuti ombak, kita haru tahu kapan dan kekuatan ombak yang datang, seberapa kuat dan kapan harus mengayuh dengan tangan, dan saat disaat sudut antara ombak dan papan selancar mana kita harus naik dan berdiri di atas papan selancar, selain itu menjaga keseimbangan mengikuti perubahan kekuatan ombak dan arah aning, dsb. Terlihat sulit sekali bukan ?!

Namun ternyata banyak juga orang yang bisa berselancar. Sebab 'resep dasar' untuk berselancar sudah terbentuk di masyarakat. Mulai dari memilih papan selancar yang sesuai dengan badan kita; panduan untuk memperkirakan cuaca, ombak, dan arus yang sesuai untuk diselancari; serta tahapan-tahapan latihan dalam selancar mulai tengkurap, duduk, hingga berdiri di papan; hingga keamanan dan keselamatan selancar, dst.

Tetapi tidak semua permasalahan kompleks bisa diatasi dengan mudah, sebagaimana kita mau berselancar. Memiliki 'resep dasar' untuk sebuah sistem kompleks tertentu belum berarti akan membawa hasil yang sama. Bahkan malahan akan membawa hasil yang berbeda ketika faktor-faktor yang membentuk kompleksitas tersebut telah berubah.

Di bawah ini adalah beberapa contoh sistem yang sudah haikikinya memiliki kompleksitas, dan dalam mendekati permasalahan-nya kita perlu pemikiran sistem (systems thinking).
  • Internet, juga termasuk sistem kompleks.
  • Masyarakat juga termasuk sistem kompleks. Masyarakat, atau society, mengandung bermacam-macam sistem kompleks (sub-sistem) didalamnya, diantaranya sistem manusia, sistem ekologi dimana dia tinggal, sistem budaya. Dalam masyarakat terdapat orang-orang yang berbeda yang memiliki sudut pandang, nilai, kepercayaan, dan kemauang yang berbeda-beda.
  • Manusia sendiri juga sebuah sistem kompleks yang tersusun dari sistem kompleks lain. Sistem otak, sistem kekebalan, bahkan setiap sel tubuh - semuanya kompleks.
  • Alam, atau ekosistem, juga termasuk sistem kokmpleks dan adaptif. Juga terdiri dari berbagai sistem kompleks lain, yang juga terbentuk dari sistem kompleks lain.
Bisnis, mata pencaharian, juga contoh sistem kompleks. Bisnis terbentuk dari interaksi antara lingkungan internal (budaya dalam lingkungan kerja) dengan lingkungan external (berbagai situasi ekonomi dan aktifitas bisnis lainnya). Termasuk juga dari interaksi antara berbagai bagian dari beragam keadaan lingkungan internal bisnis itu sendiri (antara tiap individu pekerja, dengan berbagai pengalaman hidup mereka, dengan beragam struktur dan peraturan) - yang juga menentukan perubahan keadaan bisnis tersebut. Hal serupa juga berlaku dalam sistim pemerintahan. Sebab keadaan tersebut, banyak bisnis dan pemerintahan alami kesulitan berorganisasi bahkan diantara mereka sendiri, dan di dalam lingkungan mereka - sebab mereka tidak mempertimbangkan kompleksitas dalam sistem mereka.

Demikian saat kita bicara kesehatan manusia, tidak dipungkiri kita akan bahas banyak faktor yang dipertimbangkan. Termasuk interaksi antara satu faktor dengan faktor-faktor lain. Dari sini jelas sekali, kita tidak bisa mempengaruhi atau memprediksi kesehatan atau perilaku seseorang secara keseluruhan dengan melihat sebatas satu bagian sederhana dari sistem kompleks tersebut.

Sebagai contohnya lagi, saat sekelompok nelayan menolak atau sulit untuk andil dalam aktifitas pelestarian pesisir dan laut, apakah sebab mereka belum sadar pentingnya konservasi? ataukah dengan penetapan kawasan konservasi laut justru menambah beban pencaharian mereka? ataukah sebab aktifitas konservasi tidak tawarkan solusi ekonomi sehingga kurang termotivasi untuk mengadopsi cara tangkap ramah lingkungan? ataukah sebab tidak adanya ragam pencaharian lain yang memungkinkan mereka untuk mengurangi, menunda, atau berhenti menangkap agar populasi ikan pulih? ataukah sebab adanya praktik korupsi, ilegal, serta  kolusi dengan pihak pengelola perikanan sehingga penangkapan ikan terus tak terkendali? Kompleksitas semacam ini juga perlu ditinjau dengan Pemikiran Sistem.

Pemikiran sistem. Andaikan pemikiran ini sudah saya dapatkan sejak masa sekolah - seperti ini. Tidak ada kata telat untuk memulai berpikir sistem.

Kamis, 19 Maret 2015

Ancaman perubahan iklim terhadap pemutihan karang serta dampaknya bagi Nelayan Indonesia

Danie Almalik

Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan iklim tropis sebab letaknya di antara 6° LU dan 11° LS, yang sejajar dengan garis khatulistiwa. Iklim dan posisi geografis ini yang membuat Indonesia salah satu Negara paling kaya akan keanekaragaman dan kelimpahan hayati terutama di lautan. Indonesia telah disebut sebagai megacenter of biodiversity karena keanekaragaman terumbu karang mencapai lebih dari 480 spesies karang keras mencakup 60% dari spesies karang yang telah di identifikasi didunia, dan keanekaragaman ikan karang mencapai lebih dari 1650 spesies.

Hal ini menguntungkan masyarakat Indonesia sendiri khususnya masyarakat pesisir yang umumnya bekerja sebagai nelayan karena akan berdampak dalam perkembangan sosial-ekonomi mereka. Hal ini diperkuat dengan data Direktorat Jendral Perikanan tahun 2000 yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah masuk dalam Negara-negara penangkap ikan utama di urutan ke-enam setelah Peru, Rusia, USA, Jepang, dan China dengan jumlah tangkapan mencapai 3,70 juta ton per tahunnya.

Peta Indonesia sebagai negara kepulauan.
(Sumber: Wikipedia)
Namun saat ini bumi telah mengalami perubahan pola iklimnya sebab perubahan komposisi gas di lapisan atmosfer yang menyelimuti bumi. Beberapa jenis gas ini disebut ‘gas rumah kaca’ sebab sifatnya yang memerangkap energi panas serta mengatur suhu bumi. Dalam bidang agrikultur, rumah kaca adalah bangunan berdinding dan atap kaca yang digunakan petani untuk menjaga kesetablilan suhu untuk menumbuhkan jenis-jenis tanaman tertentu di dalamnya.

Terkait ini, ‘efek rumah kaca’ adalah fenomena penghangatan permukaan bumi dan lapisan di bawah atmosfer yang bersumber dari energi matahari. Energi matahari masuk ke bumi melalui lapisan atmosfer yang transparan, tanpa mengalami perubahan dan kemudian memanaskan permukaan bumi. Namun radiasi infra merah yang terlepas dari permukaan bumi sebagian diserap oleh beberapa jenis gas di atmosfer. Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca. Secara alami gas  CO2    terkandung secara diudara dalam jumlah kecil dan aman bagi manusia. 
Efek rumah kaca.
(Sumber: Coralwatch)
Prof. Stephan I Zeeman dari University of New England Department of Marine Science dalam seminar nasional yang berjudul ‘Impact of Global Climate Change on Marine Resources Conservation’ pada tanggal 12 maret 2015 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang menyampaikan bahwa pada ilmuan sepakat bahwa salah satu penyebab perubahan iklim adalah manusia. Pembakaran minyak bumi dan batu bara oleh manusia telah meningkatkan jumlah CO yang dibebaskan ke atmosfer melebihi keadaan di masa sebelum Revolusi Industri. Data yang direkam bulan Februari 2015 ini dari Mauna Loa Observatory di Institute of Oceanography menunjukkan bahwa konsentrasi CO di atmosfir Bumi sudah mencapai 399.85 ppm (bagian- per-juta/part-per-million) pada sudah melampui batas aman bagi bumi yaitu 350 ppm.

Peningkatan gas rumah kaca mengakibatkan diantaranya peningkatan suhu rata-rata atmosfer bumi. Peningkatan suhu dan konsentrasi COdi atmosfer memiliki efek yang sangat besar terhadap pola iklim dan cuaca. Prof. Stephan I Zeeman juga menyebutkan dampak perubahan iklim diantanya adalah banjir, erosi pantai, badai yang lebih besar. Perubahan iklim juga berdampak pada kehidupan laut seperti pemutihan karang, dan kerusakan habitat. Bapak Purwanto dari The Nature Conservancy untuk Indonesia dalam seminar yang sama menjelaskan saat ini salah satu ancaman besar dari dampak perubahan iklim di Indonesia adalah pemutihan karang.

Zooxanthella yang hidup bersimbiosis dalam lapisan jaringan hidup hewan karang (lihat inset kanan).
(Sumber: (Dean & Kleine, 2011)
Peningkatan suhu menjadi penyebab utama terjadinya pemutihan karang, sejenis alga mungil ber-sel tunggal yang di sebut 'zooxhantella' hidup didalam lapisan terdalam (gastrodemis) hewan karang yang sehat. Zooxhantella memberi nutrisi pada karang sekaligus memberi warna pada karang. Sebaliknya karang berperan sebagai inang bagi zooxhantella untuk hidup dalam sebuah hubungan yang menguntungkan. Bila karang terganggu dan mengalami stress, alga ini akan terlepas sehingga warna karang akan memucat, inilah yang disebut ‘pemutihan karang’ atau coral bleaching.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif di lautan. Hal ini menjadikan terumbu karang sebagai ekosistem dengan potensi keragaman spesies biota yang paling tinggi dilaut sekaligus memegang nilai ekonomis sangat tinggi. Terumbu karang merupakan habitat bagi ratusan jenis ikan-ikan karang. Termasuk diantaranya ikan karang komersil bernilai ekonomis tinggi, seperti ikan kerapu, ikan kakap merah, dan ikan karang ekonomis lainnya.

Pemutihan pada hewan karang jenis Acropora sp.
(Sumber: Ekspedisi Corallium XVI – Pulau Nyamuk, Kep. Karimunjawa. MDC)
Fenomena pemutihan karang yang semakin sering terjadi dan semakin meluas membuat terancamnya masyarakat Indonesia terutama masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Rusaknya terumbu karang sebagai tempat berlindung, mengasuh, dan mencari makan bagi ikan; berarti hilangnya potensi regenerasi ikan di masa depan; serta ancaman bagi aset ikan yang penting mata pencaharian bagi nelayan dan masyarakat pesisir lainnya saat ini dan di masa depan.

Dalam kurun waktu yang sulit diperkirakan, dan perubahan yang sulit dideteksi, semakin seringnya pemutihan karan akan membuat hasil tangkapan nelayan menurun dan akan berdampak pada peralihan pola ekploitasi laut sehat menjadi ekploitasi yang tidak sehat.

Sayangnya, perubahan iklim, seperti pemanasan atmosfir adalah proses yang perlahan terjadi. Dampak perubahan iklim pada lautan yang terjadi saat ini merupakan imbas emisi gas rumah kaca manusia di masa lalu. Imbas emisi kita lepas saat ini baru akan dirasakan dampaknya di masa depan, oleh generasi selanjutnya. Kita sebagai masyarakat Indonesia yang sudah mengetahui konsekuensi dari perubahan iklim global terhadap laut kita, sepatutnya bisa memberikan harapan di tingkat lokal.

Diantara kegiatan yang bisa kurangi emisi gas rumah kaca adalah membantu carikan solusi penghidupan bagi masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya dengan menebang hutan mangrove secara berlebihan, serta menangkap ikan dengan cara yang merusak karang. Termasuk juga aktif andil dalam penanaman ulang hutan dan mangrove serta tanaman-tanaman lain yang menjadi paru-paru Bumi. Selain itu kita juga bisa mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, mulai hemat bahan bakar untuk mengurangi polusi yang menambah gas rumah kaca di atmosfer.

Banyak hal kecil di keseharian kita yang bisa membari harapan besar bagi lingkungan, termasuk karang dan Nelayan. Mari jaga Laut kita selagi kita dapat menikmatinya!