Tampilkan postingan dengan label Alor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Alor. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Desember 2012

Penangkapan Ikan Pelagis di Rumpon Laut Dalam

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID
Dwi Ariyogagautama

Tak afdol rasanya jika sedang ada jadwal kunjungan ke desa Balauring, tetapi tidak melaut.  Sudah menjadi bagian dari pekerjaan yang dibiasakan untuk mengikuti aktivitas nelayan didesa ini. Lagi pula mengumpulkan stock foto nan exotic di tanah lomlen ini juga taka da habisnya.  Kali ini ketua forum nelayan (Pa Zainudin) sendiri yang bersedia menumpangi saya untuk ikut dikapalnya untuk menangkap tuna.

Berangkat jam 5:00 WITA, kami menuju kerumpon pribadi pa Zainudin, hanya 30 menit perjalanan. Sesampai di rumpon sudah ada aktivitas kapal purse seine yang sedang sibuk menarik jaringnya yang cukup besar dan dalam, menurut ketua kedalaman bisa mencapai 50 m. Target penangkapan alat tangkap ini merupakan ikan pelagis kecil seperti tongkol dan layang, namun sering tertangkap juga ikan sura (Rainbow Runner).  Pa Zaenudin kemudian memantau dan membantu proses penarikan jaring lingkar tersebut. Wajar hal ini untuk memastikan penarikan jarring tidak merusak rumpon miliknya dan beliau juga melihat berapa banyak ikan yang berhasil diangkat, karena akan ada pembagian hasil antara kapal pemilik rumpon dengan pemilik kapal purse seine itu sendiri. Sepengetahuan saya didesa ini sistem bagi hasil adalah 1/3 bagian untuk pemilik rumpon dari jumlah ikan yang terjual.

Bagi saya ini merupakan momen yang menarik untuk dituangkan kedalam lensa yang saya bawa..sambil mendayung menghadap sang matahari dibalik pulau Lomlen, klik klik klik berikut gambar yang saya dapatkan.

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID
Purse seine atau pukat cincin merupakan alat tangkap yang sangat efektif dalam penangkapan ikan pelagis kecil, apalagi jika ditambah dengan alat bantu rumpon peluang mendapatkan ikan dalam jumlah banyak semakin besar. Memperhitungkan arah arus, setting atau proses pelepasan jaring dipastikan mendapatkan ikan yang cukup hingga sangat banyak. Dampak negative purse seine adalah dapat menjadi tidak selektif jika mata jaringnya tidak sesuai dengan ikan target dan intensitas penggunaannya tinggi.  Disisi lain nelayan dengan alat tangkap lain yang selektif seperti pancing tuna, juga bergantung pada rumpon yang sama. Salah satu cara yang efektif dalam penangkapan tuna yaitu dengan rumpon dibandingkan dengan mengejar lumba-lumba. Perhitungan BBM dan kepastian keberadaan ikan lebih jelas.

Berdasarkan data WWF diawal tahun Januari-febuari 2012, ketika survey EAFM. Diperhitungkan bahwa pendapatan nelayan rata-rata perbulan baik dimusim paceklik, sedang maupun puncak pada alat tangkap purse seine setidaknya RP. 5.959.000/bulan sedangkan nelayan tuna sebesar Rp. 2.446.000/bulan. Oleh karena itu rumpon memiliki berkah tersendiri bagi penangkap ikan pelagis didaerah ini.

Dalam beberapa kasus, dijumpai juga adanya konflik internal diantara kedua pengguna alat tangkap yang berbeda tersebut diwilayah yang sama yaitu di rumpon terutama ketika trip atau intensitas penggunaan purse seine meningkat atau juga ketika musim puncak tuna tiba waktunya. Didaerah ini ataupun didaerah lainnya seperti di Kabir dan Adang di kabupaten Alor, pemancing tuna hampir tidak mempunyai rumpon khusus untuk dipancing saja yang mereka kelola. Rumpon yang tersebar sepanjang perairan utara Kabupaten Lembata dan Alor merupakan milik nelayan purse seine, lampara, Jala lompo dan perusahaan perikanan tuna yang menginvestasikan rumpon sebagai alat bantu nelayan tuna didesa target mereka.

Pemancing tuna sebagian besar masih bermasalah dalam pengaturan keuangan Rumah Tangga hingga faktor luar (eksternal) seperti perubahan musim perikanan dan faktor alam lainnya terus melemahkan kekuatan ekonominya. Hal ini sangat menyulitkan nelayan untuk dapat menginvestasikan modalnya untuk pembuatan rumpon secara individu, tapi bukan tidak memungkinkan hal ini terjawab jika dikumpulkan secara berkelompok. 

Pengaturan alat tangkap pelagis perlu diperhatikan dalam pemaanfaatannya, terlebih lagi jika dihadapi dengan adanya alat tangkap yang massif dan selektif didalam satu ruang wilayah yang sama dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Beberapa hal langkah yang diusulkan untuk diambil oleh berbagai pihak dalam mewujudkannya antara lain :
  1. Perlunya pengaturan jumlah rumpon pada wilayah tertentu - Sebenarnya sudah ada aturannya ditingkat pusat terkait rumpon seperti pembahasan tulisan sebelumnya,yaitu jarak antar rumpon yaitu 10 mil, tidak dipasang seperti pagar, dan harus memiliki perizinan yang sesuai dengan lokasi peletakannya, yaitu 2-4mil (perijinan kabupaten), 4-12 mil (perijinan provinsi) dan 12-200 mill (perijinan pusat). Identifikasi lebih baik dilakukan terlebih dahulu, karena permasalahan perijinan masih belum dipenuhi dibanyak tempat, kemudian diiringi dengan sosialisasi dalam memberikan pemahaman aturan rumpon tersebut dengan fokus menjawab permasalahan teknis didaerah kepulauan. Dan langkah terakhir dengan membuat sistem punish and reward pada pemilik rumpon yang mematuhi ataupun yang melanggar aturan yang sudah ada. Jika sudah ada zonasi perairan tersebut tentunya pengaturan ini bisa diintegrasikan didalam dokumen rencana pengelolaan kawasan (Management plan)
  2. Perlunya pengaturan jumlah effort (usaha penangkapan) bagi alat tangkap purse seine - Pemanfaatan purse seine tidak salah dalam hal ini selama menjawab kebutuhan ketahanan pangan lokal maupun domestic, namun akan berdampak buruk jika berlebihan dalam menjawab kebutuhan industri.  Melakukan Pengawasan dan pemantauan dalam pengecheckan kesesuaian ukuran mata jaring, pengaturan jumlah instensitas penangkapan memang sulit dilakukan, namun tetap perlu diimplementasikan untuk memberikan waktu bagi ikan target untuk recovery atau bereproduksi atau alternative lainnya adalah dengan membatasi perijinan kapal purse seine yang beroperasi pada wilayah tertentu dan memprioritaskan bagi nelayan dengan alat tangkap selektif lainnya.
  3. Pendampingan dalam pengelolaan keuangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) - Jika melihat pendapatan nelayan sebenarnya sudah melampaui UMR yang ada didaerah tersebut. Memberikan pemahaman kepada pengelolaa keuangan keluarga seperti istri nelayan dalam mengatur keuangan sangat menentukan tingkat kesejahteraan nelayan. Ketika musim puncak tentunya pendapatan nelayan melebihi dari angka disebutkan namun juga harus dapat menutupi kebutuhan ketika musim paceklik. Priortas pengeluaran untuk kepentingan kebutuhan pokok dan pendidikan anak harusnya lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk kegiatan social atau pesta sesuai adat yang ada.
  4. Mendorong pemasaran perikanan yang memiliki nilai tambah dalam hal ekonomi,social dan lingkungan - Sering dijumpai permintaan pasar melebihi dari kemampuan sumberdaya ikan disuatu daerah untuk recovery, walaupun minim sekali informasi seberapa banyak stock yang ada pada lembaga autoritas ataupun lembaga peneliti lokal. Kecenderungan pengurangan sumberdaya sudah terindikasi dengan menurunnya trend ukuran ikan dalam 5-10 tahun dan semakin jauhnya wilayah tangkapan nelayan. Tanpa mengindahkan peran pemerintah dalam mendorong pembangunan daerah, keberlanjutan perikanan juga perlu diiringi dalam proses pembangunan ini. Servis pemerintah dalam mendorong usaha perikanan yang kondusif bagi private sector perikanan juga diiringi dengan kontrol yang intensif untuk memastikan usaha tersebut memiliki nilai lebih dalam peningkatan pendapatan nelayan dengan harga yang sesuai, mendorong pembelian sesuai ukuran layak tangkap ikan yang ditargetkan, memenuhi perijinan dan peraturan yang berlaku termasuk kearifan lokal yang ada, serta memastikan adanya pencatatan perikanan yang dilaporkan. Meningkatkan nilai tambah ekonomi dapat didorong dengan menjaga kualitas produk ikan sehingga mendapatkan harga lebih tinggi, untuk perikanan tuna dapat mengacu pada buku panduan praktik (BMP) perikanan tuna dalam pendampingan teknis hal tersebut. Buku panduan dapat didownload pada link berikut ini. http://www.wwf.or.id/?24808/BMP---Perikanan-Tuna 

Setelah melihat aktivitas kapal purse seine tersebut, pa Zainudin kembali ke niat awal untuk mendapatkan tuna dan seperti biasa, kapal yang saya naikin selalu saja mendapatkan tuna dewasa yang siap didokumentasikan. Pada kesempatan ini, pa ketua mendapatkan 1 ekor tuna dengan bobot 60 kg, harga pada saat itu sebesar Rp.24.000/kg, dalam menjaga mutu ikan kami pun bersegera kembali menuju desa untuk menjual hasil tangkapan tersebut. Lumayan juga mendapatkan Rp.1.440.000 dalam sekali trip. Berikut oleh-oleh dari lapangan, semoga tidak pernah bosan melihat foto ini kawan (YG).

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID

Rabu, 30 Mei 2012

Musim tuna di perairan Laut Flores

Dwi Ariyogagautama - 14 September 2011


Akhirnya setelah 6 bulan nelayan melewati musim paceklik tuna yang bekepanjangan dalam tahun ini, terdengar kabar yang menggembirakan dari nelayan tuna di Kelurahan Kabir (kab. Alor) dengan hasil tangkapan mereka sebanyak 11 ekor tuna dengan berat rata-rata 50-60 kg perhari. Hal ini bagi mereka merupakan permulaan dari musim tuna di wilayah perairan laut Flores, cukup beralasan kenapa mereka bilang ini baru “Permulaan”, karena biasanya ketika musim tuna hasil tangkapan nelayan didesa ini bisa mencapai 1 ton/hari. (red :ikan apa beras tuh ^^!.)

Tuna merupakan salah satu jenis ikan beruraya (migrary species), seperti halnya paus dan penyu, tuna menjelajahi lautan Pasifik hingga melewati Laut sawu dalam siklus hidupnya. Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor yang biasa kami singkat menjadi “Solar” ditemukan 2 jenis tuna besar yaitu tuna ekor kuning/Madidihang/Serea/Yellowfin tuna dan Mata besar/Big eye tuna. Wilayah ini merupakan koridor pintu masuk semua jenis biota beruraya yang berasal dari laut Flores menuju laut Sawu atau sebaliknya. Kami sering menyebutnya bottle neck, sesuai artinya analogi ini ibarat leher botol yang mengecil dibandingkan badan botol itu sendiri, yaitu potensi sumberdaya perikanan yang tersebar di lautan luas, kemudian terkonsentrasi pada wilayah yang sempit diantara selat-selat diantara kepulauan 3 kabupaten tersebut. Oleh karena itu tuna yang dipastikan jalur migrasinya melewati koridor tersebut, mengalami tantangan untuk menghindari ancaman terhadap nelayan dengan mata-mata kailnya dan rumpon yang tersebar secara acak di perairan tersebut.

Bagi nelayan yang dinamakan musim puncak tuna, itu berarti bertepatan pada waktunya tuna sedang melewati daerah ini dalam migrasinya. Tekanan selain penangkapan tuna yang terpusat yaitu sering dijumpai tuna yang sedang bertelur pada musim tuna tersebut, yang berarti (tanpa didasari paper manapun !^^) wilayah pemijahan tuna tersebut pastinya masih di perairan NTT, melihat ukuran telur yang ditemukan pada tuna yang tertangkap yang rata-rata sepanjang 25 cm. Dilematik banget ketika kita membatasi penangkapan nelayan ketika musim tuna seperti ini.


Oke kembali ke ide utama, Namun tahun ini entah kenapa musim paceklik tuna tahun ini semakin panjang, sebelumnya musim tersebut berlangsung dari 5 bulan mulai dari Maret-Juli setiap tahunnya, namun saat ini berlangsung hingga Awal September. Sedangkan musim puncak penangkapan tuna biasanya november-febuari, taun ini masih belum diketahui apakah turut bergeser juga waktunya. Kejadian ini tidak berlangsung di wilayah Solar saja, nelayan penangkap tuna di Wakatobi juga mengalami kesulitan yang sama, biasanya musim tuna hanya selisih 1-2 bulan antara Wakatobi dan Solar.

Perubahan iklim jelas mempengaruhi pola migrasi tuna secara tidak langsung, baik melalui perubahan waktu musim barat dan timur hingga semakin panjangnya musim pancaroba diwilayah ini. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita beradaptasi terhadap perubahan iklim tersebut, dengan jalan mengurangi faktor tekanan dari kita sendiri. Solusi ini memang bukan hal baru, namun cuman mengingatkan kalian aja.

1. Regulasi alat tangkap

Ini paling dasar, pancing atau handline jelas yang direkomendasikan dalam penangkapan tuna. Pancing merupakan alat tangkap yang paling selektif dan ramah lingkungan, tapi tunggu dulu, jangan lupa ukuran tuna yang tertangkap dan banyaknya alat tangkap yang dioperasikan membuat hal ini juga sama tidak disarankan.

Secara teknis kedalaman penggunaan mata kail dan ukuran mata kail menentukan sekali besar kecilnya tuna yang tertangkap. Pemasangan pancing dipermukaan walaupun selektif tidak dipungkiri bisa mendapatkan tangkapan sampingan, seperti lumba-lumba.

Banyaknya armada tentunya banyak juga alat tangkap yang dipergunakan, ditambah lagi semakin rajinnya nelayan berupaya. Pemda harus tegas dalam pembatasan hal ini, kemudian bagaimana dengan alat tangkap longline???? Semenjak melihat penangkapan secara tradisional nelayan kita yang jago-jago begitu dengan alat tangkap seadanya tetapi mendapatkan hasil yang banyak, apalagi longline. Gue masih belum setuju dengan adanya longline seramah lingkungan apapun.

2. Regulasi alat bantu penangkapan

Gue lebih cenderung dalam konteks pengaturan rumpon, sebenarnya hal ini sudah diatur dalam Kepmen 30 tahun 2004 yang mengatur perijinan pemasangan yaitu:
2 – 4 mil laut à Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten/Kota
Di atas 4 – 12 mil laut à Dinas Perikanan Kelautan Provinsi
Di atas 12 – 200 mil laut à Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, KKP
Tapi apakah ini dipatuhi oleh kabupaten kepulauan?? Jawabnya jelas tidak berlaku (*dibeberapa daerah). Otonomi daerah membuat hal ini menjadi sia-sia, kebijakan tiap kabupaten dalam mengejar tuntuan Pendapatan Angaran Daerah (PAD) menghalalkan pemasangan rumpon sebanyak mungkin untuk menangkap tuna semaksimal mungkin. Damn

Instalasi rumpon tradisional

Penggunaan rumpon secara kolaboratif atau bersama-sama lebih baik dibandingkan memperbanyak rumpon pribadi yang cenderung rawan konflik sosial.

3. Regulasi wilayah tangkap

Saya akui sangat-sangat sulit untuk membagi wilayah tangkapan nelayan, walaupun dengan konsep zonasi pada MPA. Pembatasan waktu penangkapan pada wilayah tertentu ketika tuna bertelur juga masih dilematik antara kepentingan ekonomi dan konservasi. Namun sesuai fakta dilapangan bahwa adanya penggunaan purse seine di rumpon sangat tidak konservatif, bahkan sering juga ditemukan mata jaring <2inci. Selain menghabiskan sumberdaya ikan pelagis kecil, juga menimbulkan konflik antar nelayan dikarenakan makanan tuna sudah habis disapu rata sehingga tuna sulit ditemukan lagi dirumpon.

Walaupun sudah diatur tidak ada lagi perpanjangan perijinan kapal-kapal dengan purse seine, tetap saja dilapangan juragan kapal mengakalinya dengan memotong ukuran purse seine menjadi setengahnya, bisa disebut mini purse seine. Apapun bentuk dan ukurannya, purse seine, sebaiknya perlu ada kebijakan tidak diperbolehkannya penggunaan purse seine/mini purse seine yang dikombinasikan dengan rumpon.

4. Mengurangi permintaan produk (market demand)

Saya paling suka cara ini, segala bentuk eksploitasi sumberdaya laut sangat ditentukan oleh permintaan pasar. Walaupun saat ini sedang gencar-gencarnya kampanye untuk mengkonsumsi green product yang berarti produk tersebut ditangkap dengan cara yang ramah lingkungan, terdata, minim bycatach, hasil tangkapan dengan ukuran layak tangkap (dewasa dan tidak bertelur) dan berijin namun perlu diperhatikan juga sumber stocknya di alam. Kalau kita mengkonsumsi 1 atau beberapa jenis produk laut yang itu-itu aja seperti kerapu, tuna dan lobster, dipastikan stocknya yang sebelumnya banyak pasti berkurang. Alangkah bijaksananya jika kita mngkonsumsi produk-produk laut yang masih banyak stoknya di alam. Silakan download panduan untuk mengkonsumsi Seafood dengan bijak (Seafood Guide)

5. Mencabut ijin usaha pengusaha yang terlibat perdagangan tuna yang destructive

Ini masih berkaitan dengan point no. 4. ini pengalaman saya di lapangan. Perusahaan akan terus mencari produk tuna untuk pemasarannya, masalah akan muncul ketika permintaan produk khususnya yang eksport meningkat, sedangkan kapasitas nelayan tuna diwilayah tersebut terbatas, dengan berbagai cara ditempuh oleh perusahaan yang nakal. Mulai dari tingkatan terendah yaitu menambang armada, mendatangkan nelayan dari daerah lain, hingga level terparah menggunakan alat tangkap apapun termasuk menggunakan bom atau potasium. Mereka pun punya trik-trik sehingga produk tersebut tidak dapat diidentifikasikan hasil bom atau potas oleh konsumen manapun. Kalaupun produk yang didapat terdapat bagian yang rusak, bagian yang rusak akan dijual dalam bentuk bakso atau tuna kaleng. Malahan laku diproduksi di Surabaya. Who knows toh?

Ketegasan pemerintah untuk menyidik dan mencabut ijin perusahaan ini sangat diharapkan. Jangan berharap didemo dulu atau black campaign baru bergerak. Jangan takut untuk kehilangan PAD periode bapak, tapi pikirkan kelangsungan PAD wilayah bapak seterusnya.

6. Penghargaan bagi nelayan untuk penangkapan tuna yang tidak bertelur dan telah dewasa

Selama ini nelayan berasumsi menangkap lebih banyak lebih baik dibandingkan sedikit dengan harga dan kualitas baik, karena harga produknya sama saja atau tidak berbeda signifikan. Dalam menentukan harga pasar memang kompleks, tapi dengan kita hanya membeli produk ramah lingkungan lebih mahal sedikit saja harapannya, perusahaan juga melebihkan sedikit harga beli nelayan dengan produk yang baik, terutama yang sudah besar dan tidak bertelur.

Award tidak selalu dengan uang, penghargaan sosial dari keluarga, pemdes dan pemda juga sangat ampuh loh..apalagi dengan mendapatkan gelar-gelar kehormatan. Tergantung apapun yang menjadi berharga diadat tertentu pokonya.

7. Pengembangan rantai dingin diwilayah fishing ground tuna

Dalam mendukung produk kualitas ini jelas perlu diperhatikan, penangkapan banyak tapi harga rendah jelas itu juga pemborosan sumberdaya ikan dan ekonomi si nelayan. Improvisasi perusahaan dan nelayan dalam mengatasi rantai dingin perlu didukung. Project saya saat ini yaitu membuat palka pengawetan tuna dengan karpet ikan di kapal-kapal tradisional. Dibuat desain seflexible mungkin sehingga bisa dipindah-pindahkan sesuai keiinginan nelayan. Doakeun lancar ya guys.

8. Kebijakan yang sinergi antar wilayah administrasi

Ini sih klasik ya, antar kabupaten dalam 1 provinsi aja bisa punya kebijakan yang berbeda. Bahkan berlawanan, jadi mo ngomong apapun soal pengelolaan disuatu daerah tetapi daerah lain tidak sinergi, pengelolaan tersebut tidak jadi efektif. Nah kabupaten koridor perikanan tuna ini lah kunci sukses ga sukesnya pengelolaan perikanan tuna.



Semoga pertunaan di Indonesia semakin terkelola dengan bijak, tidak seperti nasib sodara-sodara tuna yang lain seperti Blue Fin Tuna yang semakin langka hingga hari ini (YG).



Rabu, 17 Agustus 2011

Paus Ramadhan di Teluk Mutiara-Alor Kabupaten Alor-NTT

Dwi Ariyogagautama, 5 Agustus 2011

Tanggal 3 Agustus 2011 yang lalu tepatnya pukul 17:00 WITA terlihat semburan paus sebanyak 4 ekor, 3 berukuran besar dan 1 berukuran kecil. Lokasi pertama terlihat tepat 100-200m didepan kantor WWF-Indonesia Solar Project yaitu di teluk Mutiara -Kabupaten Alor-NTT. Kordinatnya yaitu : LS : -8,22463369, BT 124,53206501. Banyak orang yang melihat kejadian langka ini, bukan hanya staff WWF tapi juga penduduk lokal dan turis yang kebetulan berada di pelabuhan Kalabahi dalam rangka Sail Wakatobi.

Gambar 1. Peta lokasi ditemukannya 4 Paus Biru
Diperkirakan kedalaman teluk ini diatas 30m, dan paus tersebut berenang disekitar bagan apung. Kami sempat merekam paus tersebut dalam jarak sekitar 50m ketika bernafas (breathing), deskripsi yang dapat kami lihat adalah punggungnya yang selebar ±2m memiliki warna hitam dan terdapat bercak-bercak putih. Semburannya tunggal setinggi 5-6m untuk paus yang besar dan ±2m untuk paus yang kecil. Sebelum menyembur terlihat tonjolan terlebih dahulu, kemudian diiringi semburan, 4-5detik kemudian sirip dorsal terlihat kepermukaan (total punggung terlihat dipermukaan 7 detik), diperkirakan punggung yang terlihat sepanjang 4-5 m.

Gambar 2. Urutan Paus ketika bernafas

Gambar 3. Semburan diperkirakan 5-6 meter (Khaifin)

Berdasarkan pengamatan kami, jenis paus yang paling mendekati ciri-ciri tersebut adalah berjenis Paus Biru atau Blue Whale (Balaenoptera musculus). Secara berkelompok paus tersebut berenang bersama anak paus. Hingga Pukul 18:00 WITA 2 paus masih terlihat disekitar bagan apung (1 paus berukuran besar dan 1 paus berukuran kecil)., sedangkan 2 lainnya sudah berenang menjauhi pantai.

Paus Biru itu sendiri termasuk dalam salah satu jenis biota laut yang masuk dalam daftar merah (Red list ) yaitu statusnya terancam punah (endanger) berdasarkan IUCN (2000). Total populasi diseluruh dunia diperikarakan berkisar 5000-12.000 ekor pada tahun 2002 (Wikipedia).

Ancaman-ancaman yang ada juga dapat mempengaruhi populasi yang ada, yaitu seperti terkena baling-baling kapal, aktivitas kesibukan pelayaran di tempat migrasi mereka sehingga dapat mengganggu komunikasi antar Paus Biru, terakumulasinya bahan kimia seperti Polychlorinated biphenyl (PCB) didalam tubuh paus juga sudah pernah ditemukan, dan juga perubahan iklim pun menjadi ancaman terhadap pola distribusi dan pasokan makanan mereka. Sedangkan ancaman keberadaan paus biru yang kami temukan di teluk Mutiara ini yaitu padatnya aktivitas pelayaran dari kapal-kapal cargo dan kapal penumpang antar pulau, kemudian ancaman berikutnya adalah dikhawatirkan ketika air surut.

Hingga tanggal 4 Agustus 2011, paus tersebut pun masih terlihat di lokasi yang sama. Saat ini perairan Kabupaten Alor telah menjadi daerah pencadangan Kawasan konservasi laut Daerah (KKLD) Kabupaten.Alor semenjak dideklarasikan pada Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2009 untuk perluasan daerah KKLD Selat Pantar menjadi KKLD Kabupaten Alor seluas 400.083 ha. Dalam luasan perairan Kabupaten Alor tersebut merupakan salah satu jalur migrasi hewan-hewan laut yang dilindungi, seperti halnya mamalia laut (Cetacean). Berdasarkan data Benjamin Kahn (2002) ditemukan 7 jenis paus dan 5 jenis lumba-lumba yang melintasi perairan kabupaten Alor, serta berdasarkan pengamatan WWF-Indonesia Solar Project terdapat juga Duyung (Dugong dugon). Paus biru telah teridentifikasi dilokasi ini bukan saja sebagai potensi alam yang dapat mengangkat nama Kabupaten Alor, namun upaya untuk melindungi keberadaannya juga sangat penting, melalui KKLD Alor ini diharapkan segala potensi alam laut dapat terkelola dengan baik untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat kabupaten Alor (YG).




Sabtu, 02 Juli 2011

Persepsi masyarakat pesisir: Manakah yang benar dan salah?

(Foto: Helen Brunt / Mongabay.com)
Dwi Ariyogagautama


Banyak pengalaman yang didapat dari bapak-bapak nelayan dan ibu-ibu papalele (pembakul), ada beberapa hal yang positif dan banyak juga yang negatif, kurang pemahaman dan persepsi yang mendarah daging dari leluhur, perlu diluruskan. Teori ilmiah dan konseptual yang tertuang dalam regulasi dan management perikanan, sebaiknya menyerap kearifan lokal yang benar-benar arif, bukan yang benar-benar naif ^^!.

Berikut beberapa petik hal yang pernah gue temuin di desa-desa pesisir, menurut anda manakah yang benar?


Nelayan

Pemikiran logis ajah
Paus mulai terlihat di daerah rumpon merupakah indikasi datangnya musim tuna
Umumnya yang dijumpai adalah jenis Pgymy Pilot Whale, paus ini lebih mendekat kedaratan ketika musim barat yang tentunya gelombang besar. Begitu juga tuna, lumba-lumba yang mengejar ikan lebih kecil yang sedang mencari perlindungan ke daerah yang lebih tenang.

Tuna kecil (baby tuna) umpan yang paling baik untuk menangkap tuna ukuran besar (umumnya diatas 30kg)
Ukuran baby tuna sesuai dengan besaran mulut tuna dewasa, terlebih lagi Baby tuna memiliki jelajah selam lebih dalam dan ketahanan hidup lebih lama dibandingkan tongkol dan cakalang ketika dijadikan umpan hidup. Namun tidak konservatif, jika menggunakan ikan yang masih belum pernah bereproduksi itu, ada cara lain yaitu dengan mengatur kedalaman umpan yang digunakan untuk menangkap tuna yang lebih besar, karena tuna dewasa mampu berenang dikedalaman 100-200m (Yellowfin dan Big eye tuna).

Menangkap lumba-lumba, sama saja mengurangi rejeki
Nelayan suku Bajo, sangat mengandalkan lumba-lumba sebagai indikator dalam menangkap tuna. Salah satu cara menangkap tuna yaitu dengan menggunakan layangan disekitar lumba-lumba. Lumba-lumba diperairan Laut Flores dan Laut Sawu saling bekerjasama dalam pengejarannya menangkap ikan pelagis kecil.  Lumba-lumba yang sering ditemui berasosiasi dengan tuna yaitu Bottlenose dan spiner dolphin.

Banyak kapal dan sarana penangkapan (rumpon),maka semakin banyak pula hasil tangkapannya
Pemikiran yang teramat individualis, that’s why our resource more and more decline. Laju reproduksi ikan tidak secepat peternakan ayam, semakin banyak sarana penangkapan, justru akan membagi rejeki nelayan lebih sedikit atau sebagian nelayan yang bermodal saja yang mendapat banyak hasil, nelayan kecil hanya gigit jari. Pengelolaan dan pemanfaatan secara berkelompok akan mengurangi konflik sosial seperti diatas.

Menghitung berat tuna dengan mengukur panjang sirip anal dan dorsal
Kayanya perlu dikaji lagi deh, walaupun menurut mereka hanya selisih 1-5kg di timbangan sebenarnya. Ini masukan yang baik untuk para peneliti diluar sana. Termasyuk sayah yang pemalas ini ^^!

Bagi suku Bajo, dilarang keras membuang hasil potongan tuna seperti isi perut, insang dan kepala dilaut. Diyakini ikan tuna tidak akan mau datang ketempat tersebut dalam jangka waktu lama
Mirip kaya cerita orang tua, jangan memotong ayam atau burung didepan ayam lainnya..ntar pada sakit karena sock.

Menurut gue sih, ga ada pengaruhnya dikarenakan kemungkinan besar langsung disantap ikan atau biota lainnya sebelum sampai didasar. Lah wong tuna dewasa aja makan baby tuna. Dipastikan mereka tidak merasa bersalah memakan teman sendiri.
Tapi biarlah pemahaman ini dipelihara, setidaknya laut kita jadi bersih toh, walaupun itu sampah organik.

Banyak tertangkapnya tongkol di rumpon, merupakan indikasi terdapat tuna berukuran besar dibawah rumpon
Rumpon yang dimaksud adalah rumpon laut dalam. Alat bantu penangkapan ikan ini, menciptakan ekosistem sendiri ditengah laut, dengan menggunakan daun kelapa, menciptakan gudang makanan bagi ikan herbivore dengan menempelnya alga di permukaan daun kelapa dan tali jangkar. Kemudian dilanjutkan dengan level rantai makanan yang lebih tinggi yaitu carnivora pertama, kedua dan seterusnya hingga top predatornya jatuh kepada ikan marlin, tuna dan hiu.

Tongkol ini bisa menjadi carnivora setingkat dibawah Cakalang dan juga 1 atau 2 tingkat dibawah tuna. Jadi tidak heran ketika musim tongkol datang, cakalang dan tuna sering bermain dipermukaan.

Melakukan pemotasan ikan didaerah berarus tidak berdampak terhadap terumbu karang
Ini pernyataan super duper excuse sekalih (lafal lebay). Dikit atau banyak dosis potasium sianida yang terpapar di terumbu karang, tetap mematikan secara sistemik.
Melemahkan karang, mengurangi tingkat resiliencenya dan mengusir zooxanthela dari kediamannya di polip karang.
Membutakan mata ikan dan melumpuhkan saraf biota lain yang terpapar secara sementara (pada dosis tertentu menjadi permanen).

Bagi nelayan bulan gelap merupakan puncak penangkapan ikan karang terbanyak, seperti kerapu, kakap dan petambak
Pada ikan karang pada saat fase bulan penuh (purnama & gelap) beberapa jenis ikan (Kerapu, kakap, Petambak) melakukan spawning. biasanya ikan melakukan spawaning di tempat-tempat yang mempunyai arus yang kuat. kenapa? hal ini dilakukan untuk menjamin keberhasilan proses regenerasi dari ikan tersebut.
nah berkaitan dengan hal tersebut ikan akan melakukan migrasi ke tempat pemijahannya tersebut (walaupun jarak yg ditempuh bermil2), kemudian pada saat terjadi fase bulan penuh (purnama & gelap), gaya gravitasi bulan terhadap bumi berada titik terbesar. pengaruhnya terhadap permukaan air laut adalah terjadi pasang tertinggi. (kondisi ini juga berlaku bagi penyu yang akan melakukan nesting (bertelur). gampangnya, air pasang tetinggi sangat membantu pergerakan penyu menuju ke daratan ketika akan bertelur). nah pada saat itulah biasanya kita mendapati kondisi arus air laut yang sangat kuat (terutama pada saat terjadi slact time = pergantian dari pasang ke surut ato sebaliknya). pada saat itulah ikan-ikan kerapu melakukan proses spawning. jumlah kumpulan ikan di tempat pemijahan akan semakin bertambah dan terus bertambah ketikan mendekati musim pemijahan. musim pemijahan bisa berlangsung singkat dan bisa juga berlangsung lama (Saryadi, 2011).

Namun pada ikan-ikan pelagis, sumber cahaya merupakan salh satu faktor ikan-ikan tersebut berkumpul. Jika pada bulan purnama cahaya tersebar merata diperairan sehingga ikan pun tidak terpusat disatu tempat. Nah tingkah laku ini lah yang jadi dasar nelayan menggunakan alat bantu lampu atau petromak dilaut, karena ketika bulan gelap, maka cahaya sedikit saja terlihat di permukaan air maka ikan, cumi dan biota lainnya akan terkumpul dicahaya tersebut.

Ketika Paus mulai terlihat menyebrangi perairan laut Flores, merupakan awal bagi petani membuka ladang pertanian.
Musim migrasi paus dari Laut Flores ke Laut Sawu yang melewati selat antara Kabupaten Lembata dan Flores Timur, berlangsung beberapa bulan sebelum musim hujan, umumnya bulan agustus-oktober.
Hal ini lah yang menjadi patokan tetua jaman dulu, dalam menghitung musim hujan dengan gejala alam sekitarnya.
Migrasi paus dari utara ke selatan, merupakan awal yang baik untuk menanam jagung, dan kebun lainnya yang membutuhkan banyak air hujan.

Hiu Bodoh (Whale Shark) senang sekali bermain di rumpon
Mereka tuh jenis hiu yang jinak, dan punya tingkah laku mendekati benda-benda yang terapung dilaut, jangankan rumpon, kapal besar aja suka ditebengi oleh mereka. Oleh karena itu banyak kasus hiu bodoh terkena baling-baling kapal.

Bagi orang Bajo, memakan ikan marlin yang tertangkap oleh mereka itu pamali
Mpe sekarang gue blun dapet jawabannya. Pesan moralnya apa ya bagi leluhur mereka ^^?

Buaya bakau tidak akan menyerang nelayan, jika tidak memiliki salah atau mempunyai niat buruk ketika nelayan berenang didaerah bakau
Berarti yang kena gi apes aja ya !^^.
I have no idea about this one. Tulung dibantu ya



Pemboman ikan didaerah laut lepas tidak membahayakan habitat ikan, tidak seperti membom didaerah terumbu karang
Memang secara kasat mata tidak terlihat pak! Tapi dentumannya itu menggagalkan keberhasilan telur-telur ikan dan biota lain yang terapung-apung, membuat jantungan biota disekitarnya hingga tiwas, menggangu pendengaran mamalia yang super sensitif seperti lumba-lumba dan paus, sampai banyaknya hasil sampingan atau bycatch yang terbuang teggelam cuma-cuma dikarenakan turut mati masal karena dampak bom ini.

Di NTT Ayam berkokok sebagai indikator perubahan pasang surut (pasut)
Selain si ayam bereaksi terhadap transisi gelap ke terang pas pagi hari, tapi yang satu ini bener-bener nyata bin ajaib.. Ternyata ini kemampuan adaptasi ayam yang belum pernah terdata dijurnal-jurnal ilmiah manapun (statement asal hee.hee)..
Lemayan nih digunakan buat praktikum pasut

Air mata duyung digunakan untuk ramuan pelet
Seperti halnya penyu, mata mereka mempunyai kelenjar air mata yang berguna untuk mengatur kadar garam sehingga tidak mengalami dehidrasi. Kelebihan garam tersebut dikeluarkan melalui air mata.
Jadi air mata mereka bukan dipengaruhi oleh faktor emosi loh, seperti pepatah buaya juga bisa nangis loh  hee.hee

Kapal-kapal taiwan sering melakukan penangkapan ilegal diperairan Laut Flores
Membuktikan bahwa kurangnya sosialisasi mengenai kapal-kapal jenis ini diwilayah timur negara kita ini.
Setelah dicermati kemungkinan terbesar adalah kapal tersebut merupakan kapal penangkapan tuna (umumnya dengan longline) dari Bali dengan kaptennya yang asal atau berbahasa taiwan, Cina atau bangsa-bangsa lainnya lah, namun berbendera Indonesia.

Tidak menutup kemungkinan adanya ilegal fishing dari negara lain. Tapi jika gue kapten kapalnya, cukup nyolong diperairan utara Maluku aja udah dapet semuanya. Sangat beresiko dan ngabisin waktu dan biaya aja kalo sampai perairan NTT. Tapi entah lah di Laut Banda hingga Laut Arafuru juga kerap kecolongan..sedihnya L

Hari Jum’at merupakan pantangan nelayan untuk turun melaut
Yupp.mayoritas masyarakat pesisir khususnya nelayan, didominasi oleh umat Muslim. Penyebaran agama Islam jaman dulu kan paling efektif lewat laut. Ditambah lagi kehebatan nelayan asal Sulawesi yang mampu mengarungi lautan Nusantara, turut memperluas ajaran Islam didaerah pesisir.

Dengan melihat lingkaran besar yang melingkari (corona) bulan saatnya penyu naik kedaerah pantai
Si penyu kemungkinan mo bertelur nih. Werewolf aja butuh bulan purnama buat berubah, apalagi penyu. Mereka butuh rembulan yang terang ini untuk naik ke pantai.
Kenapa kalo ada corona kemungkinan bertelurnya besar, sejujurnya gue ga tau bro..maap. masih butuh belajar soal yang satu ini.

Serasah lamun yang terapung oleh jalur arus, sering dijumpai adanya tukik
Sama seperti halnya pantai yang penuh dengan pecahan karang, menunjukan daerah disekitarnya terdapat terumbu karang. Serasah lamun menunjukan didaerah pesisir terdekat banyak terdapat padang lamun. Apalagi beberapa jenis lamun tersebut merupakan makanan dari penyu.

Tukik yang memiliki kemampuan menyelam masih terbatas, membutuhkan benda terapung yang dapat melindunginya dari serangan predator seperti burung laut, dan bersembunyi dari ikan besar. Nah potongan daun lamun yang terapung-apung dari daerah padang lamun ini, sarana yang pas deh untuk ditebengi oleh tukik.
Itu saja dulu dari gue, kalo ada salah-salah persepsi dan jawaban gue, mohon ditanggepi ya..karena ada beberapa pernyataan nelayan yang sama sekali diluar pengetahuan gue untuk bisa menjawabnya. jadi bisa gue luruskan dengan baik dan benar ketika ketemu nelayan-nelayan disini.