Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 April 2015

Kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu

M. Danie Al Malik


Perairan Indonesia memiliki keragaman jenis hiu yang cukup tinggi. Setidaknya 116 jenis hiu yang termasuk ke dalam 25 suku ditemukan di wilayah perairan kita. Ikan hiu termasuk dalam kelompok ikan bertulang rawan, atau Elasmobranchii.

Elasmobranchii merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting di dunia. Data FAO melaporkan bahwa total tangkapan ikan-ikan Elasmobrachii di dunia pada tahun 2010 mencapai lebih dari 640 ribu ton. Lebih dari sepertiga jumlah tersebut ditangkap dari Indonesia, bersama dengan India, Spanyol, dan Taiwan. FAO juga menyebutkan total tangkapan perikanan hiu di Indonesia hingga 109,243 ribu ton untuk tahun 2010 sendiri (Gambar 1).


Gambar 1. 20 negara pengekploitasi perikanan hiu terbesar (Indonesia 109,243 ribu ton).
(Sumber: Escobar, K. (2011))
Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah hiu yang ditangkap di Indonesia terus meningkat sejak 1975 hingga 2011. Peningkatan tersebut tegolong signifikan jika di banding dengan Negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Sri lanka dan Thailand (Gambar 1). Jumlah tangkapan hiu di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2000 yaitu mencapai 70.000 ton (Gambar 2).

Gambar 2. Produksi perikanan hiu di Indonesia sejak tahun 1975- 2011.
(Sumber : KKP (2013))
Sejalan dengan peningkatan penangkapan ikan hiu di beberapa dekade terakhir,  skala operasi penangkapan tidak lagi terbatas pada perikanan berskala kecil tetapi sudah merambah hingga perikanan komersial berskala besar. Keadaan ini membuat jenis hiu yang ditangkap juga semakin banyak, termasuk jenis hiu bernilai tinggi seperti hiu botol (Squalidae), hiu lontar (Rhynchobatidae) dan hiu-hiu berukuran besar (Carharhinidae, Lamnidae, Alopiidae, dan Sphyrnidae).

Jenis hiu di atas mempunyai nilai ekologis yaitu sebagai predator di laut sebagai pengontrol sistem rantai makanan, jika fungsi ekologis hiu-hiu tersebut dihilangkan maka bisa memicu tidak terkendalinya jumlah spesies ikan tertentu, sehingga terjadi pemangsaan berlebih pada spesies-spesies ikan, khususnya yang bernilai kormersial. Sejatinya hiu merupakan tangkapan sampingan, namun seiring dengan menurunnya ikan tangkapan utama seperti tuna, hiu beralih menjadi tangkapan yang bernilai ekonomis. 

Di beberapa daerah di Indonesia, perikanan hiu telah menjadi sumber utama mata pencaharian sebagian masyarakat. Tiap mata rantai perdagangan perikanan hiu memberikan topangan pendapatan, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dalam profesi nelayan penangkap, pengumpul, penjual dan pengolah hasil perikanan hiu di daerah-daerah dimana hiu menjadi target tangkapan mereka.

Di beberapa wilayah Indonesia seperti daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lombok-Nusa Tenggara Barat peran wanita menjadi pemain utama dalam melakukan bisnis perdagangan produk hiu sebagai pengelolah hasil perikanan hiu. Hal ini menunjukkan bahwa produk hiu telah menjadi komoditi penting karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal secara langsung. 

Hampir semua bagian tubuh hiu memiliki nilai ekonomi dan dapat memberi keuntungan bagi nelayan dan semua pihak yang terlibat dalam rantai perdagangan hiu.  Bagian hiu yang bisa bernilai ekonomis antara lain daging, tulang rawan, kulit, gigi rahang, jeroan/isi perut, hati, dan sirip. Namun umumnya komoditas hiu utama yang diperdagangkan ada empat kelompok yaitu produk sirip hiu kering (dried fins), sirip hiu basah (salted fins), daging hiu beku (frozen sharks nei) dan produk campuran hiu (fresh or chilled shark).

Produk perikanan hiu yang paling umum diekspor ke luar negeri adalah sirip kering, yang mana di dalamnya juga termasuk sirip pari gitar dan pari cermin/bandrong (suku Rhyncobathidae dan Rhinobatidae). Berdasarkan data dari KKP tahun 2013, sejak tahun 1980 sampai 2006 secara umum terlihat bahwa usaha perdagangan hiu meningkat tajam pada periode 1992 hingga 1995 yaitu mencapai sepuluh ribu ton (Gambar 3). Laporan menyebutkan separuh produk sirip ikan hiu dari Indonesia diekspor ke Jepang, kemudian diikuti oleh Hong kong, Singapura dan Malaysia (Gambar 4).

Gambar 3. Jumlah ekspor produk perikanan hiu Indonesia dalam kurun waktu 1980-2006.
(Sumber : KKP (2013))
Gambar 4. Proporsi jumlah sirip hiu yang diekspor ke beberapa Negara tujuan pada tahun 2005 dan 2006.
(Sumber : KKP (2013))

Gambar 5. Perdagangan sirip ikan hiu sebagai produk perikanan ekspor yang bernilai tinggi.
(Sumber : Wikipedia)
Tingginya harga sirip hiu menjadi salah satu faktor pemicu tingginya intensitas perdagangan sirip hiu. Sirip hiu umumnya digunakan untuk sup yang merupakan sajian bergengsi di restoran-restoran seafood di beberapa kota besar di Indoensia seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya dengan harga satu porsi sirip hiu mencapai Rp. 500.000,-.

Alasan utama konsumen mau membayar harga yang fantastis ini sebagian besar didorong karena alasan sosial-budaya. Contohnya, sup sirip hiu dianggap makanan berkelas karena konon sup sirip hiu merupakan hidangan khusus raja dan bangsawan di Cina tempo dulu.

Gambar 6. Sup sirip ikan hiu konon sebagai hidangan kerajaan Cina tempo dahulu.
(Sumber : Wikipedia)
Alasan lain menyantap sup sirip hiu adalah kepercayaan sebagian masyarakat akan khasiat dari makanan ini yang dipercaya dapat menambah vitalitas, mencegah bahkan mengobati kanker. Padahal, berdasarkan hasil penelitian Food and Nutrition Information Center, sirip hiu tidak mengandung nutrisi. Sirip umumnya  terdiri dari tulang rawan, yang secara umum tidak mengandung vitamin, namun mengandung glukosamin dan kondroitin.

Beberapa pelaku pengobatan alternatif memang meyakini bahwa sirip hiu memiliki zat yang dapat memerangi kanker, namun menurut National Center Institute, hanya ada satu penelitian klinis terhadap tulang rawang hiu sebagai perawatan kanker pada manusia yang pernah dipublikasikan dan menunjukkan bahwa tulang rawan hiu tidak efektif melawan kanker. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa perawatan tambahan terhadap pasien yang mendapatkan kemoterapi dengan memberikan beberapa dosis ekstrak sirip hiu dalam jumlah yang berbeda pada 397 pasien tidak memberikan hasil positif.

Sebaliknya sirip hiu diduga mengandung merkuri dalam dosis yang cukup berbahaya, kandungan merkuri tersebut diakibatkan polusi di lautan. Sebagai hewan di puncak rantai makanan, hiu berpotensi mengandung merkuri lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya. Hal ini karena sifat merkuri yang terakumulasi melalui proses makan memakan, atau disebut bioakumulasi.

Bagaimana merkuri di lautan ter-akumulasi di tubuh ikan di tingkat teratas rantai makanan.
(Sumber: Wikipedia)
Sebagai gambaran, studi yang dilakukan oleh Dr. R. Kruse dan Dr. E. Bartelt untuk German Faderal Ministry of Food, Agriculture, and Consumer Protection (BMEL) mereka menyatakan bahwa ditubuh seekor terkandung 0,4 atau 4.000 mikrogram/kg. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan batas aman kandungan merkuri pada makanan tubuh manusia yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu tidak melebihi 0,5 ppm atau 500 mikrogram/kg.

Selain sirip, hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa tubuh hiu memiliki kandungan urea 2 – 2,5% dari total daging, sedangkan ikan tulang sejati (Teleostei) hanya mengandung urea 0,05%. Dengan kata lain, pada hakikatnya mengkonsumsi hiu tidak terbukti bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan ataupun sebagai obat anti kanker, malah dapat berpotensi meracuni tubuh. 

Hal lain adalah masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat baik nelayan maupun masyarakat umum terhadap kelestarian sumber daya ikan hiu. Ikan hiu sangat rentan terhadap penangkapan yang berlebihan. Hiu pada umumnya memiliki pertumbuhan yang lambat dan memerlukan waktu yang lama (beberapa mencapai hingga puluhan tahun) untuk mencapai usia dewasa dan berkembang biak. Selain itu jumlah anak yang dihasilkan setiap tahunnya relatif sedikit dibandingkan dengan kelompok ikan lainnya.

Hiu umumnya memiliki peranan utama sebagai sebagai pemangsa ikan lain, atau predator, sehingga menjadi pengendali populasi spesies dalam sistem rantai makanan di ekosistem laut. Menurut Penasihat Teknis Kawasan Laut The Nature Conservancy (TNC), Bapak Purwanto; keseimbangan ekosistem bisa dijaga salah satunya sebab peranan spesies hiu yang duduk di predator puncak (tidak ada yang memangsa, hanya memangsa) dalam mengendalikan populasi spesies ikan dengan memangsa ikan-ikan sakit atau terluka.

Piramida trofi ekosistem laut.
(Sumber: The University of Waikato)

Demikian juga temuan dari Bornatowski et al (2014) di Brasil selatan yang mendukung peranan hiu sebagai elemen penting dalam rantai makanan. Dari analisa isi perut dari 820 ikan dari 15 spesies elasmobranchii serta catatan dari 23.027 isi perut ikan dari beragam laporan mulai 1980 hingga 2012, Bornatowski et al (2014) mencoba memetakan hewan apa saja yang dimakan spesies hiu predator teratas, dan hiu meso-predator (dimangsa hiu, memangsa ikan non-hiu). 

Penelitian mereka temukan bahwa hiu predator teratas (top predator) seperti Carchahinus obscurus, Carcharias taurus, Sphyrna lewini, dan S. zygaena memangsa spesies-spesies di tingkat rantai makanan di bawahnya yang mencakup hiu-hiu meso-predator, ikan-ikan non-hiu, hingga avertebrata laut dan burung).

Merujuk ke penelitian hiu terdahulu, Bronatowski et al. (2014) beranggapan bahwa konsekuensi dari pengambilan hiu dari alam sifatnya tidak langsung, sebab menurunya hiu memberikan semacam efek domino. Salah satunya adalah bertambahnya populasi spesies ikan (A) yang tidak lagi dimangsa hiu. Namun di sisi lain, penambahan populasi spesies ikan A bisa menyebabkan penurunan besar pada populasi spesies laut lain (B) yang menjadi pakan-nya.

Kekhawatiran muncul ketika melimpahnya spesies ikan A dianggap sebagai ‘pemulihan ekosistem ikan’, padahal sebenarnya indikasi ketidak-seimbangan ekosistem. Demikian juga penurunan spesies B, jika spesies tersebut bernilai komersil, maka ekonomi perikanan dari masyarakat bergantung pada spesies B bisa terancam.

Demikian pula jika spesies B adalah spesies kunci ekosistem, seperti ikan kakatua di terumbu karang yang mengendalikan populasi alga. Jika ikan ‘pembersih’ terumbu karang habis dimangsa berlebih oleh ikan diatasnya, maka pertumbuhan alga yang tak terkendali bisa menutupi karang hidup dan sehat, mengancam terumbu karang.

Hiu hanyalah segelintir dari kelompok hewan yang dimanfaatkan dari lautan. Kebutuhan ikan yang tinggi serta kecanggihan teknologi penangkapan ikan, membuat manusia mengambil ikan dari tingkat spesies teratas, hingga terbawah.
(Sumber: Wikipedia)

Kesadaran akan kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu selama ini, dan kemauan kita semua kepada kelestarian hiu yang memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, sangat diperlukan.

Dengan membatasi, atau tidak, menangkap hiu dan tidak mengkonsumsi daging ataupun sirip hiu, serta aktif dalam kegiatan pelestarian hiu bersama keluarga dan sahabat; maka kita sudah membantu dalam menjaga hiu dari keterancaman. 

Referensi
  • Apriyani, A. (2013, November 21). Racun Methyl Mercury Dalam Tubuh Hiu. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://savesharksindonesia.org/racun-methyl-mercury-dalam-tubuh-hiu/
  • Bornatowski, H., Navia, A. F., Braga, R. R., & Abilhoa, V. (2014). Ecological Importance of Sharks and Rays in a Stuctural Foodweb Analysis in Southern Brazil. International Council for the Exploration of The Sea, Vol 71 (7) : 1586-1592.
  • Darmawan, A., & Ruchimat, T. (2013). Tinjauan Status Perikanan Hiu di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
  • Escobar, K. (2011, January 27). The Future of Sharks : A Review of Action and Inaction. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/reports/2011/01/27/the-future-of-sharks-a-review-of-action-and-inaction
  • Ferretti, F., Worm, B., Britten, G. L., Heithaus, M. R., & Lotze, H. K. (2010). Pattern and Ecosystem Consequences of Sharks Declines in The Ocean. Ecology Letters, Vol 13 (8) : 1055-1071.
  • Maryati. (2013, Maret 19). Populasi Hiu dan Pari Manta Dalam Ancaman. Dipetik April 6, 2015, dari http://www.antaranews.com/berita/364072/populasi-hiu-dan-pari-manta-dalam-ancaman

Kamis, 07 Juni 2012

S.O.S (Save Our Sharks): Darurat bagi Hiu

Ahmad Hafizh Adyas

Bicara soal Hiu, rata-rata orang pasti langsung berfikir mengenai ikan pemangsa manusia yang menyeramkan, mempunyai gigi tajam dan merupakan ikan penguasa lautan yang agresif. Pemahaman tersebut terbentuk di masyarkat karena beredarnya cerita atau mitos di daerah atau suku tertentu hingga media film yang menjangkau hampir semua lapisan masyarakat. Film Jaws mungkin salah satu yang paling terkenal dalam membentuk pemahaman yang tidak tepat mengenai ikan yang termasuk satwa penting ini.

Lalu sebenarnya hiu itu mempunyai peran apa sih di ekosistem laut? dan kenapa Hiu menjadi penting? Ada beberapa fakta menakjubkan mengenai ikan ini yang belum banyak orang tahu. 

Hiu Terumbu Abu-abu / Gray Reef Shark (Carcharhinus amblyrhynchos).
Foto: © Jürgen Freund / WWF-Canon
Hiu atau di indonesia banyak masyarakat yang menyebutnya 'cucut' merupakan hewan yang memiliki ciri khusus, tubuhnya memiliki kerangka tulang rawan lengkap, bukan tulang sejati seperti kebanyakan ikan lainnya. Untuk pernafasannya Hiu menggunakan insang, yang terdapat pada celah yang ada di samping atau sedikit di belakang kepalanya. Hiu mempunyai tubuh yang dilapisi kulit dermal denticles. Keberadaan dermal denticles penting bagi hiu untuk melindungi kulit dari luka, serbuan parasit, dan untuk menambah fungsi aerodinamika ketika berenang di dalam air. Derma denticles begitu keras dan liat sehingga pada zaman dahulu sebelum ditemukan amplas, kulit hiu sering digunakan sebagai penghalus kayu. Bagian menarik lainnya dari Hiu adalah giginya. Gigi hiu gigi hiu terdiri dari beberapa lapisan dan terus tembuh sepanjang hidupnya. Bila ada yang tanggal maka lapisan lainnya akan menggantikan bagian hilang tersebut. Sepanjang hidupnya, Hiu dapat menghasilkan ribuan gigi! Tercatat di beberapa masyarakat tertentu ada yang menggunakan gigi hiu sebagai senjata.

Hingga saat ini ada sekitar 440 jenis hiu yang diketahui yang dapat ditemukan disemua lautan di dunia, dan sebagian kecil dapat ditemukan di estuari dan sungai. Dari ratusan jenis hiu hanya 3 jenis, The great white shark, The tiger shark and The bull shark, yang sering terkait dengan serangan pada manusia. Ketika di laut, kemungkinan anda tenggelam 100 kali lebih tinggi dibanding kemungkinan digigit hiu. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa kemungkinan manusia dibunuh oleh hiu 1 : 300 juta! Bandingkan dengan kemungkinan terbunuh oleh kecelakaan pesawat sebesar 1 : 10 juta.

Hiu telah ada di bumi ini sejak sekitar 464 juta tahun yang lalu, mereka berhasil bertahan dari berbagai seleksi alam. Perannya sebagai salah satu predator tertinggi di ekosistem membuat populasi mereka untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut tetap terjaga selama berjuta-juta tahun. Namun, terlepas dari itu semua dan walaupun hiu dikenal sebagai penguasa lautan, keadaannya di lautan saat ini semakin mengkhawatirkan. Sejak beberapa dekade terakhir ini muncul gangguan baru bagi populasi mahluk berdarah dingin ini, yaitu mahluk berdarah panas dari daratan: Manusia! Hanya untuk memenuhi permintaan sebagian kalangan, diperkirakan 100 juta hiu terbunuh setiap tahunnya, dimana 73 juta diantaranya karena pemotongan sirip hiu untuk sup. 

Gray Reef Shark 'buntung' seusai dibuang dari kapal setelah sirip diambil.
Foto: © Jürgen Freund / WWF-Canon
Saat ini 50-80% sirip hiu dunia didatangkan ke Honkong, dan terdapat kajian yang menyatakan 89% penduduk di hongkong pernah memakan sup sirip hiu pada jamuan perkawinan. Bagi beberapa kalangan memang ini merupakan tradisi turun temurun pada setiap acara perkawinan, sayangnya belakangan ini tradisi ini semakin bergeser. Peningkatan kesejahteraan membuat hidangan sup sirip hiu ini tidak lagi terbatas pada acara perkawinan saja, namun hampir selalu dihidangkan setiap ada perayaan apapun. Pergeseran tradisi ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya permintaan akan hidangan sup sirip hiu. Para nelayan berlomba-lomba menangkap hiu yang akibatnya beberapa jenis hiu yang statusnya terancam meningkat drastis. Pada 2010 terdapat 180 species hiu yang berstatus terancam dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya 15 species. Beberapa jenis hiu pelagis yang berstatus terancam antara lain: Great white shark, Blue shark, Longfin mako, Shortfin mako, Basking shark, Whale shark, Tiger shark, dan Thresher shark. Hampir semua spesies tersebut dapat kita jumpai di Indonesia.

Penangkapan hiu secara berlebihan dapat menjadi masalah karena sebagian besar hiu tidak bereproduksi dengan cepat seperti ikan lainnya, yang berarti sangat rentan terhadap eksploitasi besar-besaran. Sebagai contoh pada hiu-hiu pelagis tingkat reproduksinya hanya 2-3 keturunan saja setiap tahun. Dan sangat lambat untuk mencapai usia matang, sekitar 10 tahun atau lebih. 

Foto: WWF-Indonesia/Observer
Beberapa penelitian mengenai pengaruh menurunnya populasi hiu telah dikemukakan beberapa peneliti. Walaupun beberapa masih bersifat hipotesis namun tidak terbantahkan bahwa hilangnya hiu sebagai predator puncak dapat mempengaruhi kelimpahan, distribusi dan tingkah laku hewan-hewan lainnya di ekosistem lautan. Sebagai contoh terdapat penelitian yang menyatakan bahwa pola distribusi beberapa ikan ekonomis seperti tuna, kerapu dan kakap dipengaruhi oleh keberadaan hiu dalam perairan. Potensi hiu akan lebih berharga bagi kesejahteraan manusia bila dapat kita kelola secara bertanggungjawab. Ambil contoh pada 2011, terdapat kajian yang dilakukan oleh Australian Institute of Marine Science menyatakan bahwa 1 Hiu karang di Palau menghasilkan hampir $2 juta dollar dari ekotourism sepanjang hidupnya. Bandingkan dengan harga jual sirip hiu termahal ukuran jumbo (≥ 30 cm) yang hanya seharga $ 250 dollar/kg.

Di Indonesia dan kebanyakan negara-negara di dunia perikanan hiu masih terus berkembang. Ketiadaan regulasi di negara-negara tersebut mengenai perikanan hiu membuat hewan ini seperti tidak terlindungi oleh keserakahan segelintir manusia.

Hiu yang tertangkap oleh kegiatan perikanan bisa kita klasifikasi menjadi dua bagian. Hiu yang tertangkap memang sebagai target tangkapan dan hiu sebagai bycatch (tertangkap tidak sengaja pada kegiatan perikanan). Secara global, saat ini resiko kepunahan dari ¾ populasi hiu dan pari pelagis meningkat sebagai akibat dari penangkapan yang berlebihan (over fishing). Menurut FAO, lebih dari setengah dari hiu yang beruaya jauh sudah mengalami kelebihan tangkap (overexploited). Di sebagian besar wilayah di dunia mereka telah ditangkap tanpa ada pengelolaan yang baik selama berpuluh-puluh tahun. Hasilnya semakin banyak populasi hiu yang semakin menurun. Sebagai contoh, beberapa populasi hiu di pantai Atlantic telah menurun hingga 99% dalam kurun waktu 35 tahun terakhir dan menuju ke arah kepunahan.

Bagaimanapun, bahkan terkadang ketika suatu negara mengakui bahwa mereka mentargetkan hiu, seringkali hiu masih tidak dikelola sebagai “target tangkapan” dengan pembatasan tangkap dan langkah pengelolaan perikanan lainnya. Hiu yang tertangkap di perikanan komersial harus dengan jelas dibedakan apakah termasuk target tangkapan atau bycatch dan dikelola dengan baik sesuai kategorinya. Untuk hiu sebagai bycatch langkah-langkah mitigasi harus diterapkan, sedangkan hiu sebagai target tangkapan, TAC (total allowable catch) yang jelas serta kuota tangkap harus di berlakukan. Selama ketidakjelasan ini terus terjadi, usaha pengelolaan perikanan hiu akan terhambat.

Di Indonesia sendiri, menurut hasil kajian WWF-Indonesia pada 2010 walau masih terdapat beberapa perikanan hiu di daerah-daerah, namun, kebanyakan hiu yang tertangkap merupakan bycatch dari kegiatan perikanan lain seperti Tuna Longline atau Purse seine. Rendahnya selektifitas alat tangkap seperti longline dan purse seine telah membuat beberapa praktisi perikanan melakukan riset bagaimana menerapkan langkah-langkah mitigasi terhadap bycatch hiu pada alat tangkap tersebut. Beberapa solusi modifikasi alat tangkap seperti penggunaan kail lingkar, imbauan untuk tidak menggunakan wire (kawat) pada tali pancing serta yang terbaru pemasangan magnet di ujung tali pancing terbukti dapat menurunkan tingkat bycatch hiu pada kegiatan perikanan.

Selain karena penangkapan yang berlebih maupun bycatch, hilangnya habitat hiu di laut juga merupakan salah satu faktor penurunan populasi hiu. Laju pembangunan yang sangat cepat tanpa mengindahkan kesinambungan dengan alam serta pencemaran dan polusi laut juga mengakibatkan hilangnya beberapa habitat penting yang dapat mendukung populasi hiu. 

Hiu di-/ter-tangkap armada longline
Foto: © Cat Holloway / WWF-Canon
Tapi hiu bukan tanpa harapan, saat ini beberapa negara-negara kepulauan kecil di Samudra pasifik, seperti Palau dan Kepulauan Marshall yang tengah mempersiapkan suaka hiu terbesar di dunia. Luas daerah suaka yang disiapkan mencakup kawasan laut seluas dua juta kilometer persegi. Rencana ini akan menambah luas suaka hiu yang sudah ada dari 2,7 juta kilometer persegi menjadi 4,6 juta kilometer persegi. Selain itu, Kepulauan Marshall juga akan melarang semua jenis penjualan berbagai produk yang berasal dari hiu dan melarang penangkapan hiu di perairannya.

Yang terbaru adalah lolosnyanya rancangan undang-undang 376 di negara bagian California, USA, setelah melalui hasil kajian bahwa 70% penduduk Chinese-American di California mendukung RUU ini. RUU ini berisi melarang penjualan, perdagangan dan kepemilikan produk hiu, khususnya sirip di negara bagian tersebut. Hal ini menjadi penting karena California dikatakan sebagai sumber terbesar permintaan sirip hiu diluar Asia, sehingga RUU ini menunjukkan langkah besar untuk menurunkan tekanan terhadap populasi hiu. Bila nanti RUU ini disahkan menjadi regulasi hukum yang mengikat, maka California akan mengikuti Hawaii, Washington, dan Oregon, dimana regulasi yang serupa telah berhasil disahkan. Mengingat bahwa tingkat perdagangan hiu saat ini sangat tidak berkelanjutan, maka pendekatan melalui mekanisme pasar seperti ini menjadi sangat penting untuk mengisi gap ketiadaan atau kegagalan regulasi perikanan di lapangan.

Pengelolaan sumberdaya hiu kedepannya harus terus diperbaiki dan ditingkatkan serta dievaluasi agar sumberdaya hiu dapat terus lestari. Hal itu tentu saja juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat pesisir, sehingga semua langkah pengelolaan tersebut dapat dilakukan bukan saja demi keberadaan dan kelangsungan hiu di alam tetapi juga memastikan bahwa masyarakat pesisir khususnya nelayan dapat terus menerus memanfaatkan sumberdaya di lautan untuk kesejahteraannya.

Sebagian isi tulisan juga telah dipublikasikan di Majalah DiveMag Indonesia Edisi April 2012









Senin, 10 Oktober 2011

Solusi 1 - Perbanyak makan Teri ?


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Ikan Teri - bangun satu generasi yang gemar ikan Teri maka bisa bantu kurangi tekanan tangkap dan dukung pemulihan populasi ikan laut di tingkat teratas yang terancam seperti Tuna, Kakap, Hiu, Ikan Pedang, Kerapu, dan predator lain-nya yang saat ini dieksploitasi berlebih dan hampir habis.
Foto: Maangchi.com
Di daratan, manusia tidak mengambil makanan dari hewan predator di tingkat teratas sepert singa, harimau, dan serigala - justru dari tingkat terendah yang dekat dengan hehijauan.

Di lautan ternyata berbeda, manusia mengambil habis hewan predator teratas laut. Permintaan manusia yang terus tinggi akan tuna, hiu, kerapu, ikan pedang, dan ikan laut predator teratas lainnya terus memicu naiknya harga jual daging ikan-ikan ini - memicu nelayan terus menangkap, hingga keberlanjutan cadangan ikan di laut terancam di banyak tempat di dunia - termasuk Indonesia.

Kabar baiknya adalah kita tidak harus berhenti makan ikan secara total untuk menjamin ketersediaan hidangan laut untuk anak cucu kita - kita hanya perlu merubah kebiasaan makan kita.

Banya spesies ikan di laut saat ini sudah di ekploitasi berlebih oleh kita, namun bukan berarti sumber protein di laut akan habis - sebab alam menyediakan alternatif.

Contoh perhitungan sederhana: Dibutuhkan sekitar 60 juta ton ikan tiap tahun-nya sebagai sumber makanan bagi 3 juta ton tiga jenis ikan tuna tropis yang kita panen setiap tahun-nya.

Jika kita bisa mengurangi menangkap atau menggantikan daging tuna dengan teri, sarden, cumi dan spesies ikan tingkat rendah lain yang disantap tuna, maka kita bisa mengalokasikan cadangan protein laut yang cukup besar bagi jutaan orang di masa depan, dan membantu ikan tingkat atas untuk pulih populasi-nya.

Jarang makan ikan tuna dan ikan besar lainnya? Berarti pola makan anda bisa jadi mendukung kelestarian ikan. Tapi jangan berhenti disitu saja, pemerintah dan masyarakat kita masih jauh dari cukup menjagai kelestarian ikan.

Berjuta-juta ton ikan tuna dan predator laut ekonomis lainnya tiap tahunnya terus diambil dari laut Indonesia - baik secara legal maupun ilegal, baik sampai di piring warga Indonesia, atau dilarikan ke negara lain. Memang tampak negara kita 'produktif' dari laut, namun kelestariannya untuk cadangan ikan masa depan dan kesejahteraan jutaan nelayan yang masih miskin, perlu dipertanyakan dan banyak keraguan.

Sempat makan menu daging ikan yang mahal ? Maka pertanyakan terlebih dahulu, apakah mahal (1) sebab ikan tersebut saat ini sudah jarang ditemui / sulit didapat, alias 'calon punah', atau (2) sebab datang dari luar Indonesia, alias 'mendukung eksploitasi berlebih di negara lain', ataukah (3) sebab harga yang kita bayar benar-benar mengalir  dengan baik untuk dompet  kesejahtaeraan nelayan dalam negeri ? Waktunya kita peka. Ketidak pekaan membawa ketidaklestarian.

Pastinya, tidak hanya ekonomi perikanan kita yang tidak adil bagi nelayan, cara kita memanen ikan dari laut pun juga tidak adil bagi spesies-spesies ikan itu sendiri.

Kita mengambil habis spesies ikan tertentu saja yang manusia gemari untuk kepuasan mulut dan pasar dagang kita. Solusinya adalah: merubah pola panen kita di laut yang rebih ramah ekologi. Caranya? Kita berhenti memanen spesies ikan di tingkat rantai makanan teratas(predator) yang sudah di ambil secara berlebih tiap detiknya, dan mulai memanfaatkan ikan di tingkat jaring makanan terendah.

Betul sekali. Mulai gemari santap Ikan Teri dan teman-teman sekelasnya.

Kita yang selalu bangga termakan gengsi menyantap ikan predator teratas umumnya tidak sadar atau tidak peduli akan kerugian konservasi alam laut yang kita hasilkan. Bahkan, kita sebenarnya sudah menangkap ribuan ton ikan kecil, seperti teri, setiap tahunnya. Namun, dengan kerendahan nalar kita, banyak ikan teri kita larikan ke industri ternak, digiling dan dikirim ke peternakan-peternakan sebagai bahan dasar pakan ayam, babi dan juga ikan budidaya.

Gengsi kita dalam memuaskan idera pengecap di lidah kita, telah membuat ikan di tingkat jaring makanan terendah - seperti teri -  dihargai murah dan dijadikan pakan murah untuk hewan-hewan ternak - yang sebenarnya pemakan tumbuhan pada umumnya. Membuang jutaan peluang untuk ketahanan pangan dan sumber protein warga Indonesia.

Gengsi pola ekonomi kita dalam menghargai ikan telah membuang jumlah besar sumber protein laut yang penting untuk ketahanan pangan jutaan rakyat - belum lagi menghitung emisi bahan bakar yang digunakan untuk pemrosesan pengiriman ikan-ikan tersebut ke industri ternak.

Kesederhanaan membawa keramah-lingkungan-an. Beri waktu untuk ikan di tingkat jaring makanan teratas, seperti ikan perdator yang mencakup tuna, ikan pedang, hiu, kerapu, kakap, dan lainnya - untuk pulih kembali dari ekonomi global manusia yang terus menekan. 

Mulailah hobi makan ikan teri. Pastikan tidak makan karena gengsi lidah dan harga, utamakan kelestarian dan cadangan protein laut dengan melestarikan ikan yang terancam untuk ketahanan pangan masyarakat masa depan.

Di belahan lain dunia, pesan diatas telah mengakar di sebuah masyarakat. Masyarakat negara Peru contohnya, yang sudah andil dalam lebih dari separuh industri makanan laut dunia sejak 1950-an, saat ini mengangkat ikan kecil sekelas teri (anchovies) sebagai fine food atau makanan mewah.

Pemerintah Negara Peru mengkampanyekan semacam 'Minggu Teri', dimana sekitar 18.000 orang andil dalam hidangan fine dining berbahan dasar kelompok ikan anchovy, termasuk fry fish atau teri; yang disajikan 30 restoran mewah besutan koki-koki profesional. Satu lagi terobosan mereka adalah, ikan teri menjadi bagian dari menu dalam program ketahanan pangan nasional.

Apakah ini waktunya ikan teri bagian dari 'empat sehat lima sempurna'?  Laut kita lebih luas, hati dan tenaga kita lebih besar dan banyak, kita bisa beri perubahan besar - jika dilakukan bersama.

Transisi pola makan berarti transisi budaya berarti transisi pola hidup. Ini tidak akan mudah, namun kita harus teladani mereka yang melaut untuk menghidupi keluarga mereka, mereka yang hidup dalam kesederhanaan dan mengajari anak-anak mereka untuk bersyukur dan sederhana dengan 'hidangan apa adanya'. Mencontoh dan belajar dari yang mau makan teri.

Ayo gemar teri. Budaya kita mewarisi banyak cara masak dan hidang teri yang lezat. Kapan lagi? Mulailah dengan menyebarkan artikel opini ini dan segera belanja dan masak ikan teri.

Tapi apakah perbanyak makan teri itu solusi tepat untuk Indonesia?

Digubah dari beberapa kutipan dari tulisan Martin Hall oleh Siham Afatta

Sabtu, 25 Juni 2011

Sekilas tentang Dugong dugon

Dwi Ariyogagautama

Berangkat dari rasa perjumpaaan dengan si duyung, akhirnya menebalkan semangat gue untuk baca report-report lembaga lain tentang mamalia ini.. Padahal enakkan menebalkan dompet ya ^^!.

Dugong atau Duyung dengan nama ilmiah Dugong dugon, berasal dari family Dugongidae. Hanya ada 1 spesies dalam famili ini. Dugong masih sodaraan dengan Manatee atau lebih dikenal dengan pesut. Mereka di ordo yang sama yaitu Sirenia. Dibandingkan mamalia lainnya, mereka justru lebih dekat kekerabatannya dengan gajah. Mamailia memiliki panjang tubuh 2,4 – 3,0 meter dengan berat tubuh berkisar 230 – 908 kilogram (Skalalis, 2007).

Dugong memiliki persebaran yang luas meliputi 37 negara, mulai dari pantai Afrika Timur hingga Vanuatu, namun jika dibandingkan dengan jumlahnya dialam Dugong mengalami masalah serius sehingga mereka digolongkan rentan menuju kepunahan oleh The World Conservation Union (IUCN). Menurut, Perrin, et al (1996) diduga Dugong sudah punah diperairan Kalimantan. Benarkah?

Gambar 1. Persebaran Dugong diseluruh dunia

Berdasarkan data tahun 1994, populasi Dugong di Indonesia diperkirakan sekitar 1.000 ekor saja, yang tersebar disepanjang hamparan lamun di Indonesia, yaitu antara lain (Suwelo & Ginting (pers comm. 2000)):
  1. Sumatera ( Riau, Bangka dan Kepulauan Belitung)
  2. Jawa ( Taman Nasional Ujung Kulon, pantai Cilegon, Pantai Labuhan, Cilacap bagian selatan, Segara Anakan, dan Blambangan(Banyuwangi) bagian tenggara)
  3. Kalimantan ( Teluk Balikpapan, Kotawaringin, Kepulauan Karimata, Teluk Kumai, Kepulauan Derawan)
  4. Sulawesi ( Sulawesi Utara- Arakan Wawontulap, Kepulauan Bunaken, Sulawesi tengah-kepulauan Togian, Wakatobi dan Taman Nasional Takabonerate)
  5. Bali (Bali Selatan ; pantai Uluwatu and Padang-padang)
  6. Nusa Tenggara Timur (NTT) (Sikka, Semau, Sumba, Lembata and Kepulauan Flores, Teluk Kupang, dan Taman nasional Pulau Komodo)
  7. Maluku (Kepulauan Aru termasuk Aru Tenggara Marine reserve, Kepulauan Lease (Haruku, Saparua, Nusa Laut, Seram, and Halmahera bagian selatan (Syamsudinpers comm. 2001)
  8. Papua Barat (Kepulauan Biak dan Padaido, Sorong, pesisir Fakfak, Taman nasional Teluk Cendrawasih dan Taman nasional Wasur)

Bagi Dugong, hamparan padang lamun yang luas merupakan rumah sekaligus tempat yang paling nyaman buat dia, terutama daerah yang terlindungi seperti di teluk, daerah bakau yang luas dan dangkal, daerah pantai yang teduh. Anderson (1981), menyebutkan Dugong akan ke perairan dangkal seperti gosong (pulau pasir) dan Estuarin untuk melahirkan, hal ini diduga sebagai strategi untuk meminimalisir ancaman dari hiu.

Walaupun beberapa referensi menyebutkan Dugong memakan jenis lamun apa saja yang ada disuatu perairan, namun mereka lebih menyukai spesies pioner seperti lamun dengan genus Halophila dan Halodule. Dugong mempunyai kebiasaan makan yang rakus, dimana yang dewasa dapat menghabiskan 25 – 30 kg lamun basah setiap harinya. Dugong yang pernah dipelihara di Gelanggang Samudra Jaya Ancol memakan 30 – 40 kg lamun basah setiap harinya. Sedangkan di kolam penampungan di Australia, duyung sanggup memakan 50 – 55 kg lamun basah per hari (Azkab 1998).

Gambar 2. Jenis Lamun kesukaan Dugong (Halophila dan Halodule) (http://algabase.org)

Tingkat reproduksi Dugongs sangat rendah, jika diandaikan mereka hidup damai sentosa tanpa ada ancaman oleh manusia, populasi mereka hanya bertambah 5% pertahunnya. Hal ini dikarenakan umumnya Dugong hanya melahirkan 1 ekor anak saja setiap 9-10 tahun (Skalalis, 2007). Ditambah lagi ketika ketersediaan makanan mereka kurang, mereka akan menunda musim kawin. Dugong betina tertua yang ditemukan diperairan Indonesia diperkirakan berumur 73 tahun.

Angka 1.000 ekor seperti dijelaskan diawal itu masih diakui belum valid, angka sebenarnya tentunya lebih rendah, terutama lagi assesment tersebut tahun 2002, dah 9 tahun yang lalu bo. Metode pengambilan data umumnya menggunakan transek sejajar dengan garis pantai dan interview masayarakat, namun dibeberapa tempat seperti Australia bagian utara dan negara-negara Arab menggunakan survey udara (naik pesawat ^^!, modal bener) sepanjang pantai, sehingga dapat mencakup persebaran dan dan kelimpahan berdasarkan gradasi kedalaman.

Ancaman alam dan antropogenik turut meningkatkan angka kematian hewan pemalu ini. Predator alamia Dugong adalah Hiu, Paus pembunuh (Orcinus Orca) dan buaya. Sedangkan dari faktor manusia yaitu perburuan baik untuk kebutuhan adat, konsumsi hingga diperdagangkan, tidak sengaja tertangkap dan hasil sampingan (by catch) dari pengunaan jaring, terluka dikarenakan baling-baling kapal, dan degradasi habitatnya yang berdampak pada pengurangan ketersediaan makanan, seperti penambangan, reklamasi pantai, pembersihan pantai (umumnya pembuatan bangunan pantai) dan sedimentasi tinggi akibat penebangan hutan.

Di Kabupaten Lembata, sebagian masyarakat memiliki kepercayaan bahwa Dugong merupakan penjelmaan dari orang yang meninggal, sehingga penduduk akan menjaganya. Namun berbeda halnya dengan suku Aborigin di Australia mereka mengkonsumsi Dugong untuk kepentingan adat. Sedangkan suku Bajo dan sebagian besar masyarakat di daerah gue kerja (Solar) justru mempercayai bahwa dengan mengumpulkan air matanya atau mengkonsumsi daging Dugong dapat menarik lawan jenis.WTF idea..

Ketidakseimbangan angka kehidupan dan kematian Dugong tersebut, merupakan ancaman yang serius terhadap populasi mamalia ini, kalo bisa dibilang langka..sudah pantaslah..berapa persen kah orang Indonesia yang melihat Dugong di alam J. Apakah kita hanya berharap melihat di tempat hiburan di Ancol saja? Kasihan sekali Dugong itu berada di aquarium L (pasca nonton filem “The Cove”)

Upaya konservasi sudah sejak lama dilakukan di negeri tercinta kita ini, salah satunya yaitu pada pertengahan tahun 1980, Pemerintah provinsi NTT membuat aturan untuk menjaga Dugong dengan memberikan hadiah kepada masyarakat yang menolong Dugong yang terdampar. Hal ini tidak berlangsung dengan baik, karena pemerintah tidak meregulasikannya secara hukum.

Jika ingin melindungi Dugong dalam jangka panjang, lebih baik kita memperhatikan habitatnya juga, management yang komprehensif (cah ileh, ngerti kaga ^^!) antara isu penebangan liar dan tata ruang peisisir kudu sejalan. Pariwisata tidak harus bikin bangunan di pantai juga kan? kuliner juga ga harus reklamasi pantai juga toh?

Pengaturan bukaan lahan untuk garamisasi yang sedang digalakan juga melihat sikon. Identifikasi dulu jenis dan luasan lamun dan kemungkinan daerah Dugong, sebelum memutuskan, dukung dan implementasikan program-program penanaman pohon yang diadakan oleh berbagai pihak tanpa berpikir ada kepentingan politis atau green washingoleh sebagian oknum ..opsss hee,heee

Pendidikan dan kampanye terhadap masyarakat mengenai kelangkaan jenis ini juga jangan pernah berhenti, mpe berbusa juga kudu diperjuangkan. Tanamkan ke anak-anak kita jangan hanya senang melihat Duyung di BBC chanel, Natgeo atau di aquarium raksasa saja.

Selagi ilmuwan-ilmuwan yang bersemangat dalam membuat riset tentang mamalia laut, ahli hukum menunggu hasil riset ilmuwan dalam menyusun Undang-undang perlindungan, pemerintah dan LSM yang berkoar-koar secara moral untuk menjaganya, sebaik kita juga dukung dengan memperluas lahan hijau. (YG)


Referensi :

  • Marsh, HELENE. 2002.Dugong Status Report and Action Plans for Countries and Territories.UNEP
  • Azkab, M.H. 1998. Duyung sebagai pemakan lamun. Oseana Volume XXIII, Nomor 3 & 4, 1998: 35 – 39. P3O-LIPI, Jakarta.
  • Skalalis, Diana, 2007. Karya Tulis : Model Konservasi Dugong (Dugong dugon Muller). Universitas Padjajaran.

Sabtu, 05 Maret 2011

Perikanan skala kecil kita saat ini (3): Mensejahterakan nelayan, bukan memperkaya.



(Lanjutan)

Bagaimana dengan ekonomi perikanan berbasis kesejahteraan (welfare-based model)?

Untuk model ekonomi perikanan yang satu ini, fokus utama bukan pada menjaga kekayaan laut, namun menjaga kesejahtaeraan nelayan, dalam hal ini nelayan skala kecil.

Model ekonomi berbasis kesejahteraan membantah model ekonomi perikanan berbasis kekayaan dimana: kelimpahan sumberdaya ikan tidak ada hubungan linier dengan kesejahteraan nelayan.

Disini hukum "sedikit ikan = terlalu banyak yang menangkap ikan = terlalu sedikit pendapatan = kemiskinan" tidak berlaku. Sebab model kekayaan membuat ilusi bahwa "jika ikan bisa diperbanyak maka nelayan kaya".

Namun, untuk Indonesia model berbasis kekayaan saat ini tidak sesuai, sebab wealth-model datang dari konsep perikanan barat negara maju. Model ini berjalan baik dengan asumsi sektor pencaharian non-perikanan, seperti agrikultur, industri, pariwisata; lebih menarik bagi masyarakat dan mendominasi perekonomian nasional.

Indonesia saat initidak seperti itu. Banyak sedikitnya ikan bukan penentu utama banyak sedikitnya orang terlibat dalam perikanan skala kecil, sehingga tidak secara langsung menentukan kaya-miskin-nya mereka yang terlibat. Sebab perikanan skala kecil di Indonesia bikan masalah kaya/miskin, namun masalah bekerja atau tidak bekerja, dan rentan atau tidak rentan, dan sejahtera atau tidak sejahtera.

Spesifiknya, ada mekanisme fungsi 'tersembunyi' dari perikanan skala kecil. Pertama, perikanan skala kecil menjadi 'katup pengaman' bagi mereka yang memiliki keterbatasan keahlian perkerjaan yang hanya bisa bergantung langsung dan kuat pada sumber daya alam terbuka. Kedua, perikanan skala kecil merupakan 'jaringan keamanan' sebagai sektor pekerjaan alternatif atau tambahan bagi mereka di sektor non-perikanan yang sedang butuh sokongan sebab ganguan dalam pencaharian.

Lalu bagai mana ekonomi berbasis kesejahteraan bisa menggantikan pendapatan konsep 'sewa laut' dari ekonomi berbasis kekayaan?

Kuncinya terletak dalam bagaimana Indonesia mau membawa nelayan skala kecil memiliki akses untuk pasar global. Dalam hal ini siklus perputaran 'uang ikan ' dipersempit. Disini nelayan skala kecil memiliki kapasitas penuh dalam menangkap, mengolah, mendistribusikan, hingga memasarkan ke luar Indonesia, dan arus perputaran uang ada di lingkaran nelayan skala kecil.

Dalam hal ini akselerasi transaksi dipercepat, dan resiko salah kelola arus pendapatan jauh diperkecil. Sebab kelompok-kelompok nelayan menanggung resiko 'balik modal' masing-masing. Jauh lebih baik ketimbang andil dalam 'pasar global semu' dimana nelayan industri (armada asing atau pengusaha asing) datang, menyewa laut, menangkap dan membayar ikan yang ditangkap, kemudian dikumpulkan di pusat, lalu didistribusikan kembali dalam berbagai wujud ke masyarakat - sebuah siklus yang terlalu panjang.

Dalam situasi perubahan iklim saat ini Kerentanan perikanan skala kecil (nelayan tradisional dan komersil skala kecil) akan meningkat, baik sebab semakin tingginya resiko bekerja, dan terganggunya produktifitas dan distribusi ikan.

Intervensi perlu dilakukan dari skala lokal hingga pusat untuk meningkatkat kapasitas perikanan skala kecil agar tidak termarginalkan dan memiliki posisi tawar kuat dalam kompetisi pasar perikanan nasional dan global global. Dalam prosesnya, fokus 'penyewaan laut' perlu dialihkan, dengan lebih lagi pada penyediaan jaringan pengamanan sosial, kredit mikro dan pengadaan asuransi jiwa formal bagi nelayan skala kecil agar bisa melemahkan proses pemiskinan yang terstruktur dalam jangka panjangnya, serta kesiapan yang lebih matang dalam merespon 'gagal panen' dan resiko gejolak alam lainnya.

Bukan berarti 'sewa laut' tidak penting. Hanya saja prioritas saat ini ialah meningkatkan kapasitas perikanan skala kecil yang tidak dipungkiri sangat intensif pekerja, dan menjanjikan ruang pencegahan kemiskinan dari daya tampung perikanan skala kecil untuk mereka yang sangat bergantung pada alam dan sebagai alternatif sektor kerja bagi mereka transisi di sektor non-perikanan. Alhasil, sebuah sektor kerja yang bisa mencegah kemiskinan.

Nelayan mungkin tergolong miskin, namun pastikan mereka tetap sejahtera (bisa bekerja, ada pendapatan, dan memiliki jaminan sosial dan asuransi sebagaimana mestinya jaminan pekerja di Indonesia).

Perikanan skala kecil kita saat ini (2): Laut bukan sawah.



(Lanjutan)


Kesalahan lain Indonesia adalah kita memanen ikan dari laut layaknya memanen padi di daratan. Hampir tidak mungkin untuk menetapkan kepemilikan laut layaknya petani yang memiliki petak sawah. Siapa yang memanen ikan pun juga tidak bisa dikendalikan layaknya petani garapan yang dengan mudahnya dipilih dan dikontrak pemilik sawah untuk memanen padi.

Cerita yang terjadi adalah dalam satu petak sawah, dua kelompok petani dengan bersamaan memanen padi. Namun, kelompok pertama petani menanam dan memanen dengan bantuan tangan dan kerbau. Kelompok kedua dengan mesin traktor otomatis yang 100x lebih besar kapasitas dan kecepatan panennya.

Kelompok pertama adalah gambaran bagaimana nelayan skala kecil tidak begitu diminati dalam ekonomi perikanan 'berbasis kekayaan' yang digandrungi Indonesia saat ini. Sebab kurang cepat untuk permintaan global.

Cerita masih berlanjut. Kelompok petani pertama tidak mau kalah. Dalam petak sawah siap panen baru, jumlah petani dan kerbau mereka gandakan 100x lipat. Akhirnya mereka bisa menyamakan daya panen padi mereka dengan kelompok petani bermesin. Namun sayangnya, ternyata beras kelompok petani sederhana tidak bisa dijual di pasaran global.

Ternyata petani sederhana tidak punya akses dan lisensi pasar, beras mereka tidak di-eco-labeling, dan tidak ada sertifikat kontrol kualitas. Alhasil padi harus dijual harga lokal, dan tiap petani dapat 1/100 bagian dari keuntungan. Demikian gambaran nelayan skala kecil yang 'memanen' laut bersama dengan nelayan industri.

Tunggu dulu. Bukankah nelayan skala kecil nantinya mendapat 'cipratan' keuntungan dari biaya 'sewa' laut yang dikeluarkan para nelayan industri (dari pengusaha asing, tepatnya) untuk pengadaan ijin tangkap mereka?

Betul, namun benar-benar sebuah cipratan sayangnya. Sebab tugas mendistribusikan pendapatan 'sewa' laut dari nelayan industri (±10% perikanan nasional) ke jutaaan nelayan skala kecil (±90% dari perikanan nasional !) bugan tugas mudah bagi Indonesia yang memiliki banyak cacat kepemerintahaan saat ini.

Belum lagi, saat 'cipratan' itu datang, nelayan skala kecil disuguhi paket-paket mata pencaharian baru yang kabarnya pendapatannya lebih menjanjikan. Belum lagi, peralihan ini didesak dengan kenyataan bahwa stok ikan dilaut menipis, dan dengan dalih cara tangkap nelayan skala kecil yang merusak.

Tidak lain, kenyataan dan dalih ini sebenarnya hasil dari dihiraukannya prioritas untuk pengawasan, pemantauan dan pengelolaan penangkapan ikan serta pembaharuan alat tangkap dan aset pencaharian nelayan skala kecil -- kesemuanya yang semestinya diwujudkan dari pendapatan 'sewa' laut tersebut.


Lanjut ke bag. 3: Mensejahterakan nelayan, bukan memperkaya.