Senin, 31 Desember 2018

DNA barcode untuk melindungi organisme laut di Indonesia


Gambar 1. DNA barcode
(Sumber : Google)
Ketika kita berbicara tentang konservasi, di dalam benak pikiran pastilah suatu hal untuk menjaga, dan melindungi. Dalam buku Biologi Konservasi yang ditulis oleh Indrawan et al, tahun 2007, menyebutkan terdapat lima prinsip tentang konservasi yang tengah berkembang saat ini yaitu: (1) keanekaragaman spesies dan komunitas biologi harus dilindungi, (2) kepunahan spesies dan populasi yang terlalu cepat harus dihindari, (3) kompleksitas ekologi harus dijaga, (4) evolusi harus terus berlanjut, dan (5) keanekaragaman hayati memiliki nilai intrinsik. Hal ini dikarenakan manusia menggantungkan hidupnya terhadap apa yang ada di alam semesta ini, sebagai contoh hewan, tumbuhan, jamur, dan bahkan mikroorganisme layaknya bakteri juga kita perlukan untuk keperluan hidup manusia.

Salah satu cara awal untuk melindungi suatu organisme adalah dengan mengenali organisme tersebut. Pada awalnya, untuk mengenali organisme yaitu dengan mengetahui bentuk tubuh, dan karakteristik hidup pada organisme tersebut. Namun pada saat ini mengenali suatu organisme cukup dari urutan basa nukleotida yang berada di lokus DNA organisme tertentu, sehingga dikenali karakteristik urutan basa nukleotida yang berbeda pada masing-masing spesies bahkan individu masing-masing organisme. Cara tersebut dikenal dengan teknik DNA barcode, Neigel et al (2007) menyebutkan bahwa DNA Barcode merupakan metode identifikasi taksonomi yang menggunakan lokus DNA tertentu salah satunya dengan lokus cytochrome oxidase subunit I (COI) yang berada pada DNA dalam organel sel mitokondria atau dikenal dengan mtDNA. Aspek yang menarik dari metode barcode untuk mengidentifikasi spesies adalah metode tersebut dapat digunakan pada setiap siklus kehidupan organisme tersebut (larva, juvenil atau individu) yang terkadang sulit diidentifikasi melalui cara tradisional yaitu morfologi taksonomik.

Lalu, kenapa harus DNA mitokondria (mtDNA) dan lokus COI ?

mitokondria yang merupakan salah satu organel sel organisme eukariotik (Tumbuhan, Binatang, Manusia, dan beberapa jamur) yang berfungsi sebagai respirasi sel, dan didalam organel tersebut terdapat materi genetik yang disebut dengan mtDNA. mtDNA ini mempunyai kelebihan dibandingkan inti DNA yang terdapat pada organel nukleus yaitu diturunkan secara maternal (melalui satu jalur yaitu dari ibu) sehingga memudahkan dalam memahami struktur nenek moyang atau evolusi dari organisme tersebut (Rahayu dan Nugroho, 2015). mtDNA memiliki jumlah salinan DNA yang banyak, pada sel yang sama terdapat 100-10.000 salinan DNA. Hal itu menyebabkan mengisolasi atau mendapatkan DNA melalui mtDNA lebih mudah daripada DNA inti (Rahayu dan Nugroho, 2015).

Lokus COI merupakan gen yang mengkode protein dalam mtDNA. Cytochrome oxidase subunit I (COI) merupakan reprensentatif dari semua gen penyandi protein, dan COI banyak digunakan dalam studi variasi genetik maupun hubungan kekerabatan pada suatu organisme. Penggunaan penanda genetik dengan memanfaatkan gen COI dipilih karena merupakan gen yang berevolusi relatif cukup cepat dan paling stabil diantara gen-gen lain yang terdapat dalam mtDNA (Gambar 2.), sehingga sering digunakan untuk analisis keragaman genetik pada klasifikasi organisme yang lebih rendah (famili, genus dan spesies) (Rahayu dan Nugroho, 2015).
Gambar 2. Mitokondria DNA (mtDNA) berserta lokus-lokus gen didalamnya
(Sumber : Wikipedia.org)
Saat ini organisme laut mulai diperhatikan keberlangsungan hidupnya, salah satunya di Indonesia sendiri. Kita ketahui sendiri makhluk karismatik seperti hiu, pari manta, dan paus, bisa membawa surga parawisata sendiri dan dengan adanya hal itu maka pundi-pundi pun akan masuk dalam kantong manusia maupun suatu pemerintahan daerah tersebut. Namun dilain pihak, hewan-hewan tersebut seperti hiu contohnya selalu menjadi perburuan yang hangat karena permintaan ekspor dan sup sirip ikan hiu seperti yang telah di ceritakan dalam artikel Laut & Kita sebelumnya dengan judul : Kesalahan kita terhadap peranan hiu.
Gambar 3. Sirip hiu yang diperdagangkan disalah satu wilayah Indonesia yaitu Bali
(Sumber :Sembiring et al, 2015)
Ketika hiu diburu dan hanya di ambil siripnya dan tubuhnya dibuang sehingga menghilangkan jejak. Menimbulkan kesulitan untuk identifikasi jenis hiu apa tersebut ketika sudah berada dalam pasaran, sehingga tidak diketahui status hiu tersebut berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resource). Namun penelitian Sembiring et al, (2015), dengan menggunakan teknik DNA barcode dapat mengidentifikasi dan mengetahui status sirip hiu tersebut yang diperdagangkan di sekitar pasar tradisional dan eksportir sirip hiu di Indonesia. Hasilnya dari 852 sirip hiu yang didapatkan jenis hiu terbanyak yaitu Carcharhinus falciformis atau silky sharks dengan frekuensi 19.07% yang termasuk status dalam IUCN yaitu near theartened atau hampir terancam, Sphyrna lewini atau hiu martil sebanyak 10.48% termasuk status dalam IUCN yaitu near theartened atau hampir terancam, dan Prionace glauca atau Blue sharks sebanyak 9.25% 10.48% termasuk status dalam IUCN yaitu endangered atau terancam punah.

Selain hiu, Yusmalinda et al, (2017), juga dapat mengidentifikasi cetacea yang terdampar di perairan Indonesia. Mengenali cetacea terdampar merupakan salah satu hal yang sulit, karena sebagian individu yang terdampar hanya menyisakan sebagian tubuhnya, atau sebagian tubuhnya sudah hilang sehingga sulit mengidentifikasinya secara morfologi. Whale Stranding Indonesia (WSI) mencatat bahwa lebih dari 21% cetacean terdampar di Indonesia, tidak terindentifikasi. Sehingga diperlukan seuatu pendekatan teknik DNA barcode untuk menjawab hal tersebut. Dari 26 sampel yang berhasil di amplifikasi atau perbanyak DNA taget dengan proses Polymerase Chain Reaction (PCR), mampu mengidentifikasi 15 spesies dan 13 genus cetacea yang terdampar diperairan Indonesia.
Gambar 4. Paus yang terdampar diperairan Gilimanuk, Bali pada tahun 2010 yang di foto oleh BKSDA, Bali
(Sumber : Yusmalinda et al, 2017)
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian diatas, penggunaan teknologi seperti DNA barcode dapat membantu masyarakat, stakeholder, dan pemerintah dalam bekerja efisien seperti menyelamatkan jenis hiu yang terancam punah atau dilindungi dari perdaganngan sirip hiu dan mengidentifikasi jenis cetacea yang terdampar sehingga dapat memonitoring cetacea yang terdampar. Penggunaan DNA barcode memberikan kemajuan teknologi yang berguna untuk menyelamatkan organisme-organisme yang terancam ataupun untuk konservasi lingkungan.

Referensi 
  • Sembiring A., N.P.D. Pertiwi., A. Mahardini., R. Wulandari., E.M. Kurniasih., A.W. Kuncoro., N.K.D. Cahyani., A.W. Anggoro., M. Ulfa., H. Madduppa., K.E. Capenter., P.H. Barber. 2015. DNA barcoding reveals targeted fisheries for endangered sharks in Indonesia. Fisheries Research. 164 : 130-134 
  • Indrawan, M., Primack R.B., Supriatna J. 2007. Biologi konservasi (Edisi Revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 626 hal 
  • Neigel, J., A. Domingo., J. Stake. 2007. DNA Barcoding as a Tool for Coral Reef Conservation. Coral Reefs. 26 : 487-499 
  • Rahayu, D.D. dan E.D. Nugroho. 2015. Biologi Molekuler dalam Perspektif Konservasi. Plantaxia. Yogyakarta. 185 hlm. 
  • Yusmalinda, N.L.A., A.W. Anggoro., D.M. Suhendro., I.M.J. Ratha., D. Suprapti., Kreb., N.K.D. Cahyani. 2017. Identifikasi Jenis pada Cetacea Terdampar di Indonesia dengan Teknik Molekular. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol. 9 (465-474) (DOI : http://dx.doi.org/10.29244/jitkt.v9i2.19283

Senin, 20 Agustus 2018

Terumbu Karang dalam Perkembangan Bioteknologi di Indonesia

Menurut LIPI (Sukarno, 1995), terumbu karang adalah salah satu ekosistem dasar laut yang banyak ditemukan di kawasan tropis. Ekosistem ini unik sebab dihuni spesies hewan karang dan tanaman alga penghasil zat kapur yang menjadi bahan dasar struktur 'bangunan' terumbu yang rumit dan kaya bentuknya.

Bangunan alami yang dibentuk hewan karang ini juga menjadi tempat hidup kelompok biota lain. Beragam kelompok biota hidup di dasar terumbu mulai dari moluska, krustasea, echinodermata, polichaeta, porifera, dan tunikata. Selain itu, keadaan terumbu yang sehat bisa menjadi naungan ratusan jenis spesies plankton hingga ikan dapat ditemukan di perairan sekitarnya.

Suharsono (2008) menjelaskan bahwa, sebab biota-biota tersebut, terumbu karang menjadi gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut. Bagi biota, terumbu karang menjadi tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, berpijah, daerah asuhan dan tempat berlindung bagi hewan laut lainnya.

Terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik secara global yang mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Terumbu karang merupakan sumber bahan makanan langsung maupun tidak langsung dan sumber obat-oatan. Terumbu karang sebagai pelindung pantai dan hempasan ombak dan sumber utama bahan-bahan kontruksi.

Gambar 1. Terumbu karang di lautan
Sumber :Veron (2000)
Banyak studi ataupun penelitian menyinggung dalam bidang terumbu karang yang salah satunya untuk kelestarian terumbu karang. Di era zaman modern ini banyak bidang ilmu sebagai pemecahan masalah yang dihadapi saat sekarang ini melalui terumbu karang salah satunya dengan pendekatan 'bioteknologi'.

Menurut Abdullah dan Saktiyono (2007), Bioteknologi merupakan penerapan (aplikasi) secara terpadu antara ilmu-ilmu diantaranya ilmu mikrobiologi, kimia, biokimia, genetika, biologi sel, biologi molekuler, dan teknik kimia yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Namun, pada akhir-akhir ini istilah bioteknologi lebih sering diterapkan pada aplikasi biologi ke arah molekuler atau genom, dimana materi genetik dimanipulasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Salah satu penerapan ilmu Bioteknologi yang diterapkan untuk memecahkan permasalah pada terumbu karang adalah penemuan bakteri yang bersimbiosis terhadap penyakit karang jenis Acropora yaitu Black Band Disease (BBD) yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono dan Prof Ocky Karna Radjasa di perairan Karimunjawa pada tahun 2006.

BBD merupakan penyakit akibat bakteri virulen (yang dapat menyebabkan penyakit) terutama menyerang jenis karang batu. Komunitas bakteri BBD didomonasi oleh jenis cyanobacteria (bakteri autotrof fotosintetik yang berbahaya bagi hewan dan manusia karena memproduksi racun bagi saraf, hati, dan sel).

Komunitas bakteri yang berasosiasi dengan penyakit BBD pada karang bercabang Acropora sp, dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik kultur dependent (membuat kultur jaringan baru yang sama dengan induknya). Teknik molekuler 16S rDNA (amplifikasi 16S DNA ribosom) digunakan untuk penanda karakterisasi antara individu yang pengerjaannya meliputi ekstraksi dan amplifikasi DNA, sekuensiasi gen rDNA hasil amplifikasi PCR, dan analisis filogenetik.
Gambar 2. Karang Acropora sp. terkena penyakit BBD
Sumber : Google
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu teknik perbanyakan (amplikasi) potongan DNA secara invitro. PCR melibatkan 3 proses yaitu Denaturasi (pemisahan) rantai DNA template, Annealing (penempelan) pasangan primer pada DNA target, dan Extension (pemanjangan) primer atau reaksi polimeresasi yang dikatalisis oleh DNA polimerase (Rahayu & Nugroho, 2015).

Analisis sekuen gen 16S rDNA menunjukkan bahwa isolat BBD1 memiliki kekerabatan terdekat dengan bakteri Myroboides odaratimimus (99.0%), isolat BBD2 dengan Bacillus algicola (99.0%), isolat BBD3 adalah M.A. bacterium (99.0%). Jadi Bakteri M. odoratimimus strain BBD1, B. algicola strain BBD2, dan Marine Alcaligenaceae bacterium strain BBD3 merupakan bakteri yang berasosiasi dengan penyakit Black band Disease (BBD) diperairan Karimunjawa.

Hasil ini memberikan informasi mengenai komunitas bakteri yang berasosiasi dengan suatu penyakit yaitu BBD pada karang, sehingga memungkin penerapan suatu cabang pendekatan molekuler yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono dan Prof Ocky Karna Radjasa di perairan Karimunjawa pada tahun 2006 dapat menerangkan suatu etilogi penyakit yaitu etilogi penyakit pada BBD yang menjangkit terumbu karang.

Penerapan ilmu bioteknologi yang lainnya juga diperlihatkan pada penelitan yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono tentang karakteristik dan identifikasi Bakteri Simbion Karang Goniastrea aspera yang resisten terhadap logam berat copper (Cu) di Pulau Panjang, Jepara pada tahun 2009.

Di lingkungan laut, metal Cu digunakan sebagi cat pelindung kapal untuk mencegah biokorosi. Namun ketika pelaku industri maritim secara kolosal mengalihkan penggunaan cat pelindung berbasis metal Pb ke cat pelindung berbasis metal Cu, menyebabkan kandungan metal Cu juga meningkat di lingkungan laut yang dapat mengganggu ekosistem terumbu karang.

Febrita et al. (2013), menuturkan bahwa kandungan logam berat terutama logam berat CU dalam perairan dapat meningkat, terutama dengan meningkatnya aktivitas seperti transportasi, pelabuhan, industri minyak bumi, dan pemukiman penduduk yang padat.


Gambar 3. Aktivitas pengecatan kapal
Sumber : Google
Goering et al. (1995), menjelaskan bahwa metal Cu merupakan unsur yang esensial yang diperlukan dalam jumlah sedikit oleh organisme. Namun, apabila unsur tersebut terdapat dalam jumlah berlebih akan bersifat toksik terhadap organisme laut. Disamping itu, keberadaan Cu pada ekosistem perairan terus mendapatkan perhatian karena daya toksisitas semakin meningkat.

Metode yang digunakan dengan mengisolasi (misahkan bateri yang diinginkan dari karang) bakteri serta menguji sensitivasi dengan metode agar, uji MIC (Minimal inhibitory concentration) untuk melihat hasil isolat yang memiliki toleransi tertinggi terhadap logam Cu, Ekstraksi dan Amplikasi DNA dengan PCR. Pelenitian yang dilakukan Sabdono (2009) mendapatkan hasil yang menunjukkan adanya keragaman bakteri terhadap toleransi logam Cu meskipun bakteri tersebut diisolasi dari jenis karang yang sama.

Hal lain ditunjukkan dengan pendekatan molekular dalam pengolahan terumbu karang. sekarang-pun mulai diperhatikan. Saat kondisi terumbu karang semakin rusak, ini akan mengakibatkan perubahan komposisi spesies dalam hal ini komposisi spesies terumbu karang akan semakin menurun, sedangkan perubahan komposisi spesies akan mengurangkan akan keanekaragamn genetik pada suatu populasi.

Ambariyanto dalam pidato pengukuhan guru besar Universitas Diponegoro pada tahun 2010 menjelaskan bahwa kondisi sumberdaya hayati yang rusak akan mengabitkan banyaknya organisme laut yang mengalami kepunahan. Keanekaragaman genetik merupakan suatu variasi di dalam populasi, di karenakan adanya keragaman individu yang mendiami suatu populasi tersebut. Keanekaragaman genetik dapat dijadikan kunci konservasi karena dapat menjaga populasi dari kerusakan ataupun kepunahan.

Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma et al. (2016), dengan karang lunak Sarcophyton trocheliophorum pada populasi laut Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi dengan mencoba melihat keanekaragaman genetik spesies tersebut serta pentinga terhadap kawasan konservasi. Penelitian dengan menggunakan penanda genetik ND2 (NDAH dehydrogenase-2 merupakan gen protein) yang terdapat pada mitokondria DNA.

Hasil yang didapatkan Kusuma et al. adalah keanekaragaman genetik karang lunak S. trocheliophorum di daerah perairan Jawa sebesar 0.600, perairan Sulawesi sebesar 0.815, dan perairan Nusa Tenggara sebesar 0.972. Hal ini menandakan bahwa keanekaragaman genetik S. trocheliophorum di Jawa lebih kecil dibandingkan dengan Sulawesi dan Nusa Tenggawa, yang dimungkinkan karena aktivitas manusia yang berdampak pada perairan di daerah Jawa lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.

Masih banyak lagi hasil penemuan dalam bidang bioteknologi dari terumbu karang yang pada intinya ekosistem terumbu karang merupakan anugerah yang telah diciptakan seperti ekosistem lainnya yang memberikan banyak manfaat untuk kita, tidak hanya kepentingan ekologis tetapi juga dapat memecahkan permasalahan dalam kehidupan manusia, seperti yang telah disebutkan. Mari jaga terumbu karang kita agar tetap lestari dan sampai anak cucu kita, agar dapat melestarikannya dan mengembangkan terus keilmuan alam.

Referensi
  • Ambariyanto. (2010). Kebijakan Pengelolahan Organisme Laut dilindungi : Kasus Kerang Raksasa. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. UNDIP 
  • Abdullah, M., & Saktiyono. (2007). IPA Terpadu SMP dan MTs Jilid 3A. Jakarta: Erlangga. 
  • Febrita Elya, Darmadi, Trisnani T. (2013). Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu) Pada Siput Merah (Cerihidea sp) di Perairan Laut Dumai Provinsi Riau. Prosiding Semirata FMIPA. Universitas Lampung. Lampung 
  • Kusuma A. B., Bengen D.G., Maduppa H., Subhan B., & Arafat D. (2016). Keanekaragaman Genetik Karang Lunak Sarcophyton trocheliophorum pada Populasi Laut Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Jurnal Enggano, Vol. 1 (1) : 89-86. 
  • Rahayu D.W., & Nugroho E.D. (2015). Biologi Molekuler : dalam Perspektif Konservasi. Penetbit : Plantaxia, Yogyakarta. 
  • Sabdono, A. (2009). Karakteristik dan Identifikasi Bakteri Simbion Karang Goniastrea aspera Resisten Terhadap Logam Berat Copper (Cu) dari P.Panjang, Jepara. Ilmu Kelautan , Vol.14 (3) :117-125 
  • Sabdono, A., & Radjasa, O. K. (2006). Karakteristik Molekuler Bakteri yang Berasosiasi dengan Penyakit BBD (Black Band Disease) pada Larang Acropora dp di Perairan Karimunjawa. Ilmu Kelautan , Vol. 11 (3) : 158-162. 
  • Suharsono. (2008). Jenis-Jenis Karang di Indonesia. Jakarta : LIPI Press. 
  • Sukarno, R. (1995). Ekosistem Terumbu kArang dan Masalah Pengelolahannya, Materi Pendidikan dan PelatihanMetodologi Penelitian Penentuan Kondisi Karang. LON-LIPI-UNDIP. 1-10 hal 
  • Veron, J. (2000). Coral of The World : Volume 1-3. Australia: Australian Institute of Marine Science.