Kamis, 29 Desember 2011

Solusi 8 - Batasan perijinan bagi yang datang dari luar.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari

Salah satu cara tangkap biota laut yang paling sering mengorbankan ekosistem laut adalah teknik pukat, atau trawl. Pukat sederhananya adalah kantong jaring besar yang di tarik kapal. Sayangnya, demi menangkap hewan laut yang hidup dekat dasar, pukat di tarik dekat dan di dasar laut.

Ukuran jaring yang sangat besar, dilengkapi pemberat dan komponen besi membuat pukat serupa buldoser yang meratakan habitat dasar laut. Tidak menutup kemungkinan juga sepanjang jalur 'yang di 'garuk' saat kapal tangkap pukat beroperasi, berton-ton koral dan biota dasar terangkat. Termasuk beton-ton biota tangkapan sampingan yang bukan menjadi incaran juga masuk dalam pukat.

Hasil tangkapan tidak sepadan nilainya jika dibandingkan besarnya habitat dasar yang dikorbankan dan peluang regenerasi populasi spesies laut yang hilang - semua hanya dalam waktu mingguan hingga bulanan armada tangkap pukat beroperasi, .

Praktik pukat tidak pandang tingkatan industri perikanan. Baik armada artisan hingga komersil modern, semua punya teknik tangkap pukat dengan teknologi berbeda, namun prinsip kerjanya sama.

Sudah bertahun-tahun lamanya negara-negara maju dengan perikanan industri modern menetapkan moratorium untuk pembatasan trawiling dasar laut di laut lepas serta pengurangan tangkapan sampingan dari trawling. Namun perusakan habitat dasar masih terjadi. Termasuk penangkapan berlebih dan terancamnya spesies terlindungi akibat tangkapan sampingan.

Di dunia saat ini, jumlah armada dan tenaga kerja komersil industri modern jauh lebih sedikit dibanding armada artisan atau komersil skala-kecil. Ratusan ribu berbanding jutaan. Namun, secara total kemampuan tangkap armada industri moder mampu menyamai ribuan bahkan jutaan armada tangkap artisan atau komersil skala kecil.

Di negara maju, pergerakan armada tangkap dan ikan yang ditangkap dan dijual terpantau dengan baik - hampir akurat. Dari analisa data perikanan industri modern skala besar di dunia, ternyata yang faktor penentu seringnya dan sejauh apa kapal tangkap industri modern besar terus menangkap, khususnya armada pukat, adalah bahan bakar dan perijinan. Ketimbang peraturan, atau legislasi perikanan.

Catatan bagi kita armada industri modern bisa bergerak antar-negara, antar-samudera dan antar-perairan. Indonesia-pun tidak luput dari akses kapal industri komersil skala besar. Baik asing maupun dalam negeri. Juga tidak hanya armada pukat dalam negeri saja yang mengeruk perairan lepas Indonesia.

Kembali ke analisa data perikanan industri di negara-negara maju, ternyata subsidi bahan bakar yang diberikan negara merek pada armada perikanan komersil besar tidak membawa keuntungan tangkap yang sepadan dengan dampak parktik perikanan mereka. Bingung?

Sebagai gambaran sederhana, dengan adanya subsidi bahan bakar dan perijinan tangkap di dalam dan luar negeri, mereka bisa mendaratkan 25% ikan lebih banyak dari 'normal'nya tanpa subsidi bahan bakar. Logisnyam, ada ekstra bensin, pergi bisa lebih jauh dan menangkap lebih lama.

Namun, ternyata dari 25% ekstra tangkapan tersebut, hanya 10% yang membawa keuntungan bagi industri dan negara asal kapal tangkap industrial modern. Sisanya terbuang sebagai tangkapan sampingan yang ditolak oleh pasaran / industri, dan tidak jarang dibuang kembali di laut. Sayangnya lagi, frekuensi 'penggarukan' dasar laut juga tidak kunjung mereda.

Disisi efisiensi tangkapan. Besarnya jumlah tangkapan sampingan dari kapal tangkap industri komersil besar, bisa berarti besar bagi armada tangkap artisan atau skala-kecil yang umumnya memanfaatkan semua hasil tangkapannya baik untuk subsisten (penghidupan) atau komersil. Lebih-lebih armada tangkap industrial modern tidak jarang pula beroperasi di peairan yang sama dengan armada artisan atau komersil skala kecil.

Catat, bahwa daya jangkau kapal industri modern besar bisa merambah antar negara. Baik secara legal - memasuki perairan negara lain dengan perijinan, atau secar ilegal - diam-diam, menyelundupkan ikan keluar dari perairan negara lain.

Saat ini, armada tangkap dalam negeri yang menjalankan praktik pukat juga masih terus berjalan, baik skala artisan hingga industri modern. Ini-pun masih masih jadi sumber tekanan ekologis dari sektor perikanan Indonesia. Namun, catatan besar bagi kita, bahwa Indonesia juga masih terus menjual ijin tangkap bagi kapal asing skala industri besar - yang tidak jarang juga melakukan praktik pukat

Mungkin Indonesia tidak punya kendali mengatur subsidi bahan bakar kapal-kapal industrial besar modern, atau-pun artisan asing. Begitu juga subsidi bahan bakar yang kabarnya diberikan negara. Pastikan subsidi bahan bakar tidak jatuh pada mereka yang menjalankan praktik tangkap yang merusak, seperti pukat yang berpotensi merusak habitat dasar asar dan memicu tangkapan sampingan. Selain itu Indonesia semestinya punya kendali dalam mengatur ijin operasi kapal asing di Perairan Indonesia.

Sebelum kita bisa menangkap dengan cara yang betanggung-jawab pada ekosistem, sebelum kita bisa memeratakan hasil tangkap ikan perikanan nasional untuk ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan nelayan, sebelum kita bisa menciptakan sistem ekonomi perikanan yang berkeadilan: kita perlu masak-masak mempertimbangkan penjualan perijinan tangkap kapal asing di Perairan Indonesia - apalagi mereka yang berpotensi menambah tekanan ekosistem Laut Kita.

Referensi:

Sumaila, U.R., Pauly, D. eds. 2007. Catching more bait: A bottom-up re-estimation of global fisheries subsidies (2nd version). Fisheries Centre Research Reports 14(6):49-53. Fisheries Centre, University of British Columbia, Vancouver.

Rabu, 28 Desember 2011

Solusi 7 - Sistem pasar perikanan yang menerapkan penghargaan bagi parktik yang lestari.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari

Perikanan manusia terus sebabkan tangkapan sampingan. Satwa terlindungi yang terancam tidak luput jadi imbas komersialisasi ikan global saat ini.
(Foto: Reuters)

Puluhan ribu ton biota laut tak sengaja tertangkap dan terbunuh akibat armada tangkap perikanan dunia. Inilah yang disebut tangkapan sampingan (bycatch) yang pada praktiknya juga mengancam biota laut terancam punah seperti hiu dan penyu.

Di negara dengan sistem pengelolaan perikanan yang relatif sudah maju, ada peraturan yang membatasi jumlah tangkapan sampingan yang boleh di ambil oleh Nelayan. Namun peneliti perikanan ungkap bahwa pendekatan regulasi tidak cukup melindungi satwa terancam yang populasinya sedang menurun drastis saat ini seperti penyu dan hiu.

Para peneliti ekonomi-ekologi perikanan tegaskan bahwa cara kita menjalankan pasar ekonomi perikanan juga bisa bawa perubahan. Solusi yang mereka ketengahkan adalah 'tradable bycatch credit', atau jika lugas diterjemahkan sebagai 'kredit tangkapan sampingan yang dapat diperdagangkan'.

Sederhananya, pasar ekonomi perikanan yang menerapkan kredit tangkapan sampingan berarti jika ada nelayan yang tak sengaja menjerat biota laut yang dilindungi diantara biota yang jadi tangkapan sampingannya - maka dia harus membeli 'poin' kredit dari Nelayan lain yang berhati-hati dalam tangkapan sampingannya.

Yang berlaku disini adalah, nelayan yang 'nakal' membayar 'denda'-nya kepada nelayan lain yang berhati-hati.

Sayangnya, walaupun sistim perikanan negara-negara dunia saat ini sudah mulai mengatur ke-'ramah-lingkungan-an cara tangkap mereka - sistim perdagangan ikan masih belum ciptakan dorongan finansial yang membuat pelaku tidak menangkap biota laut yang dilindungi. Justru sistem perdagangan ikan dunia saat ini cederung bangun permintaan yang tak henti akan biota laut yang dilindungi.

Balik ke kredit tangkapan sampingan. Dengan peraturan yang membatasi jumlah tangkapan sampingan, seluruh armada tangkap bisa diberhentikan menangkap saat mereka sudah capai jumlah maksimum yang diperbolehkan. Namun, peraturan ini ternyata buat kecenderungan Nelayan dan armada tangkap untuk secepat dan sebanyak mungkin tangkap ikan ketika 'sadar' bahwa jatah jumlah tangkapan sampingan mereka mendekati batas yang diperbolehkan.

Perilaku semacam itu berpotensi melumpuhkan perikanan sebab waktu dan usaha nelayan menjadi 'membabi-buta' tanpa perhatikan perlindungan satwa laut. Selain itu juga, nelayan yang 'tertib' menjaga batas tangkapannya dalam besaran yang lestari dirugikan akibat pupusnya harapan mereka untuk beri peluang populasi ikan laut pulih.

Solusi sederhana dicontohkan dari perikanan di Hawaii, ialah dengan menerapkan batasan kredit tangkapan sampingan bagi armada tangkap tiap tahunnya - misal, 200 kredit atau 'poin' untuk tiap nelayan yang terdaftar.

Contoh rakteknya, anggap jika denda untuk menangkap penyu adalah 250 poin, maka lebihan 50 poin tersebut harus dilunasi dengan membeli 50 poin dari Nelayan lain yang tertib.

Jika selama musim tangkap ternyata semakin banyak penyu yang tertangkap - anggap terburuknya, hingga Nelayan tidak ada kredit lagi - berarti mereka harus membayar harga 'poin' dari denda tangkapan sampingan dengan menaikkan harga ikan yang mereka jual di pasaran.

Ke siapa mereka membayar 'poin denda' tersebut? Ya ke Nelayan lain yang tertib. Jika tidak ada Nelayan yang tertib lagi, maka di bayar ke pemerintah pengawas perikanan. Namun situasi semacam ini jarang terjadi. Sebab yang diharapkan antar Nelayan ada sistem ekonomi yang saling mendisiplinkan antar mereka sendiri.

Satu contoh lain penerapan skema kredit dilakukan juga pada usaha pelestarian populasi ikan pedang / ikan todak yang sudah ditangkap berlebih. Saat Nelayan sudah dapat jatah kredit / 'poin' tangkapan sampingan tahunan mereka, mereka bisa menjual 'poin' tersebut ke pihak pasar/ industri perikanan.

Dengan dibelinya kredit secara tidak langsung nelayan dibayar untuk mengurangi tangkapannya. Tidak hanya mengurangi terbunuhnya ikan todak atau penyu, namun terciptanya subsidi yang datang dari pasar dagang. Dalam hal ini pasaran membeli sedikit mahal dari nelayan sebab mereka 'tertib' otomatis harga ikan pihak industri dipasaran juga akan naik. Disinilah pasar dagang ikan menciptakan kenaikan nilai jual ikan yang mendorong nelayan yang bertanggung-jawab. Inflasi yang positif.

Prakti semacam ini digagas dari pengamatan perikanan negara maju. Skemanya sejalan dengan konsep kredit emisi yang dapat diperdagangkan yang diterapkan perusahaan pencemar dalam industri energi dan manufaktur.

Namun, syarat utamanya adalah pengelola perikanan engara yang menjamin keberadaan pasar perikanan yang terstruktur dengan rapi dengan jalur lalu lintas ikan terpantau dengan kuat mulai penangkal (nelayan), hingga konsumen.

Catatan besar, disini Nelayan punya kekuatan kuat sebagai pelaku industri dalam menetapkan harga ikan. Sedangkan di Indonesia, Nelayan umumnya dikesampingkan akibat banyaknya perantara pasar ilegal, alias 'tengkulak'. Bahkan tidak jarang, tertib atau tidak tertib dalam cara tangkap, Nelayan tidak punya kuasa tentukan harga Ikan yang pantas buat kesejahteraannya.

Indonesia? Bisa saja kalau kita mau berbenah diri.

Digubah kembali dari laporan penelitian dari Geogre Sugihara oleh Siham Afatta

Ikan hasil kerja keras nelayan terkadang harganya tidak membayar keringat Nelayan. Nelayan yang 'memproduksi' ikan memiliki posisi tawar lemah dalam perdagangan ikan mereka sendiri.
(Foto: www.indomaritimeinstitute.org)
Referensi:

2009. Sugihara, G., and H. Ye. Reducing Chinook salmon bycatch with market-based incentives: individual tradable encounter credits (ITEC). A recommended approach for an industry market-incentive plan. Report and Testimony to the North Pacific Fishery Council (February 2009).

Nasib nelayan kian memburuk. May 23 2011. Indonesia Maritime Institute.

Kamis, 27 Oktober 2011

Solusi 6 - Dengan sedikit penyesuaian alat tangkap kita bisa selamatkan ribuan penyu dan burung laut.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Ilustrasi penyu yang akan terpikat alat tangkap rawai / longline.
Gambar: www.cccturtle.org
Perikanan skala komersil, khususnya yang menggunakan teknik alat 'longline' atau 'rawai', biasa menggunakan ribuan kail berumpan dalam satu tali pancing yang panjangnya mancapai belasan kilometer. Sebab ini, banyak penyu dan burung laut mati tak sengaja tertangkap.

Setiap tahunnya 250.000 lebih penyu secara tidak sengaja mati, tenggelam, atau cacat akibat cara tangkap yang awalnya semata ditujukan untuk tangkap ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol. Praktik semacam ini juga membunuh 300.000 lebih burung laut tiap tahun-nya.

Berita baiknya adalah, modifikasi sederhana dari alat tangkap bisa mengurangi dampak ini. Walaupun saat ini baru dilakukan di sebagian kecil laut dan perikanan dunia, sudah ada solusi di tangan kita.

Penyu terjerat longline
Bagi penyu, sekedar merubah kail bentuk 'J' ke kail lingkar bentuk 'O' ternyata bisa mengurangi kecelakaan penyu tertangkap hingga 90 persen. Penurunan dampak juga bergantung kombinasi antara ukuran kail (lebih besar lebih baik), umpan (pakai ikan ketimbang cumi yang memikat penyu), dan jenis penyu (penyu belimbing cenderung paling banyak yang selamat sebab penyesuaian alat tangkap ini).

Di luar perairan Indonesia, burung Albatross adalah spesies burung lautyang paling sering mengalami kematian 'buatan' ini akibat alat tangkap ikan. Burung laut terkadang mengerubung di belakang kapal terpikat umpan yang melekat di kail - sering kali mereka ikut tenggelam bersama tali pancing atau berbenturan dengan kabel-kabel penarik rawai atau pukat yang bergerak.

Ternyata, dengan sesederhana memasang 'rumbai-rumbai penakut' di bagian tali pancing efektif mengusir burung laut, dan menambah pemberat pada rawai membuat tali pancing berumpan masuk ke air lebih cepat sebelum memikat burung laut.

Pendekatan modifikasi sederhana alat tangkap semacam ini sedang di galakkan di perikanan komersil perairan temperate (bersuhu sedang). Sejauhmana Indonesia praktik penangkapan ikan di Indonesia sudah menerapkan hal serupa - kita perlu telaah bersama.

Digubah kembali dari kutipan tulisan dari Carl Safina oleh Siham Afatta

Jumat, 14 Oktober 2011

Solusi 5 - Bantu nelayan agar tambah bijak dengan hindari tangkapan sampingan (bycatch): Ide inovatif masyarakat berperan dalam modifikasi alat tangkap nelayan agar ramah biota laut.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Setiap harinya, ribuan kilometer tali pancing dan jaring tangkap ikan dibentangkan menusia di lautan. Alat-alat ini menangkap biota laut yang nelayan inginkan - dan juga, sayangnya, yang tidak inginkan.

Itulah 'tangkapan sampingan', atau 'bycatch', akibat kegiatan perikanan manusia yang menjadi ancaman utama bagi keselamatan beragam jenis penyu, hiu, dan spesies laut terancam punah (endangered) lainnya - demikina juga bagi keberlanjutan perikanan kita jangka panjangnya.

Untungnya, dengan modifikasi alat tangkap yang relatif mudah dan sederhana kita bisa mengurangi bycatch.

Di tahun 2004, World Wildlife Fund memulai International SmartGear Competition - sebuah kompetisi internasional untuk mendesain alat tangkap (fishing gear) yang inovatif, praktis dan tepat-biaya yang mampu selamatkan biota laut sekaligus memungkinkan nelayan lebih baik lagi mengincar jenis ikan yang ingin mereka tangkap. Tahun 2011 ini berhadiah total AS$ 57.500.

Di tahun 2005, pemenang utama menggagas ide untuk mengurangi penyu menjadi korban bycatch akibat metode tangkap menggunakan rawai atau longline. Tahu bahwa kebanyakan penyu tertangkap kail di kedalaman dangkal, Steve Beverly menggagas sistem tangkap agar bisa menempatkan kait umpan di kedalaman diatas 100 meter - mengurangi drastis pertemuan antara kait dengan penyu.

Tahun 2006, Michael Herr-mann menggagas penempatan magnit pada tali kail alat tangkap untuk mengusir hiu, sebab mereka sensitif dengan medan magnetik.

Kemudian ada inovasi 'circle hook', atau kait lingkar, modifikasi dari j-hook, atau kait-J; yang ditujukan untuk alat tangkap tuna. Perubahan sederhana bentuk kait, dari huruf J, ke huruf O, ternyata membuat kait lingkar jauh lebih sulit tertelan penyu, ketimbang kait J yang membuat pendarahan dalam dan sulit bernafas jika tertelan mereka.

Lalu ada Turtle Excluder Device, atau alat pelepas penyu, dimana modifikasi dilakukan pada alat tangkap pukat untuk udang. Dimana di bagian dalam pukat (trawl) ditempatkan palka khusus dengan sekat besi agar penyu punya jalur untuk melarikan diri saat terperangkap di kantung pukat, namun juga meminimalisir udang atau ikan yang lepas dari pukat.

Turtle Excluder Device
Penyu melepaskan diri dari pukat / traw melalui palka sekat besi yang disediakan.
Foto: NOAA
Baik anda nelayan, atau guru, pelajar, mahasiswa, insinyur, peneliti atau hobi cari solusi teknis di rumah - semua bisa andil membantu nelayan menjamin alat tangkap mereka ramah biota laut namun tetap mempertahankan fungsi asli alat tangkap untuk kesejahteraan mereka.

Saat anda dengar penyu, hiu, atau biota laut lainnya tak sengaja terjerat jaring nelayan; siapa tahu anda bisa bantu modifikasi alat tangkap para nelayan agar tidak membawa korban bycatch lebih banyak lagi.


Digubah kembali dari kutipan tulisan Kimberly Davis, oleh Siham Afatta

Rabu, 12 Oktober 2011

Solusi 4 - Terapkan resiko kredit usaha yang baik: Waktunya kembangangkan skema kredit usaha mikro bagi kaum perempuan di pesisir dan laut - bagian dari atasi penangkapan berlebih (overfishing)


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

'Nelayan-wati' di desa Lermatang, Panimbar, Indonesia. Penguatan dan pemberdayaan ekonomi kaum perempuan memegang potensi kuat dalam meredam praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan berlebih; sekaligus mendukung perencanaan keluarga pesisir dan pulau yang lebih baik serta mendukung kesejahteraan keluarga nelayan ekonomi lemah.
Foto: oxfamindonesia.wordpress.com

Fenomena penangkapan ikan berlebih, atau overfishing, sudah terjadi hampir di semua ekosistem terumbu karang dunia - termasuk Indonesia.

Ada sebuah keseragaman kondisi: pusat kekayaan tertinggi terumbu karang dunia umumnya berada di negara tropis, dimana jumlah penduduk pesisir terus bertambah cepat dan, sayangnya, pekerjaan melaut menjadi pilihan pencaharian terakhir bagi mereka dalam ekonomi lemah.

Tidak sedikit lembaga konservasi mencoba meredam permasalahan ini dengan menawarkan nelayan mata pencaharian pengganti. Namun kebanyakan gagal, sebab pekerjaan nelayan secara sosial ada nilai budaya dan memiliki karakteristik praktik ekonomi yang sulit digantikan.

Jika kita tengok pelaku nelayan yang melaut, maka terlihat mayoritas adalah laki-laki. Dalam kelompok terkecil masyarakat, yaitu keluarga, tidak banyak potensi kaum perempuan telah diberdayakan sepenuhnya dalam membantu menopang kesejahteraan keluarga. Keadaan semacam ini umum dijumpai di masyarakat pulau-pulau di Indonesia. Budaya dan adat terkadang melatarbelakangi.

Sejak tahun 1970-an, Grameen Bank* dan banyak institusi keuangan mikro lainnya telah membantu jutaan orang di negara berkembang untuk memulai kegiatan usaha mandiri (self-employment) tanpa syarat jaminan atau sejarah kredit yang pasti.

Kebanyakan dari inisiatif Grameen Bank terfokus pada perempuan, sebab dianggap memiliki resiko pinjaman yang rendah/baik dan cenderung bertanggungjawab menggunakan investasi usaha mereka semata untuk tujuan kesejahteraan keluarga mereka. Ini penting diterapkan bagi skema keuangan mikro untuk masyarakat nelayan miskin, termasuk di Indonesia.

Sebagai gambaran, seorang perempuan bisa mengajukan pinjaman kecil - misal sekecil Rp. 180.000 - sebagai modal untuk usaha wiraswasta yang memiliki potensi kuat untuk mengurangi kegiatan tangkap ikan keluarganya. Di lalu bisa memulai budidaya kerang atau rumput laut, sebagai contohnya, atau membeli hewan ternak seperti sapi, kambing, atau ayam untuk disembelih dan dijual kembali.

Agar pengajuan pinjaman modal lebih kuat untuk disetujui, penting juga jika rencana usaha yang diajukan perempuan tersebut mengurangi ketergantungan keluarganya yang tinggi pada ikan sebagai bahan makanan. Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan akan terus berlanjut kecuali masyarakat pesisir ekonomi lemah bisa mencari sumber protein hewani alternatif - saat in imasih banyak yang masih bergantung utama pada hasil laut.

Kaum perempuan pesisir dan pulau - mereka yang berpotensi kuat menciptakan  tujuan ganda  dalam meninngkatkan kesejahteraan keluarga pesisir dan pulau ekonomi lemah sekaligus tidak langsung menekan laju penangkapan ikan berlebih dan tidak ramah lingkungan untuk beri peluang ekosistem terumbu karang dan laut pulih.
Foto: oxfamindonesia.wordpress.com
Selain membawa masyarakat mengurangi ketergantungan tingginya sebagai nelayan, inisiatif keuangan mikro untuk kaum perempuan semacam ini juga mendukung usaha konservasi - diantaranya melalui tiga proses kunci:

Pertama, skema keuangan mikro tersebut memberi kesempatan perempuan dengan semangat wirausaha tinggi untuk mengembangkan proyek usaha yang mengutamakan pemikiran, keahlian, situasi serta batasan di tingkat lokal.

Situasi ini akan menciptakan aktifitas ekonomi lokal dengan peluang sukses lebih tinggi dibanding kebanyakan mata pencaharian alternatif saat ini. Banyak pencharian alternatif saat ini umumnya dibentuk oleh pihak / institusi diluar masyarakat itu sendiri - sangat bergantung keahlian praktisi yang datang dari masyarakat itu, dan ada biaya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk memfasilitasi praktisi eksternal tersebut.

Kedua, perempuan dengan keahlian ekonomi lebih ditengah masayrakat cenderung punya suara yang lebih kuat dalam mengelola urusan masyarakat.

Di negara tetangga kita, Filipina, tidak jarang kaum perempuan dilibatkan penuh dalam proses konsultasi pengelolaan sumber daya alam lokal. Di tempat lain juga sama. Kaum perempuan di kepulauan Pasifik sering melaporkan pada peneliti kelautan bahwa separuh hasil tangkap laut datang dari mereka setiap tahun-nya.

Peranan perempuan di pesisir, pualu dan laut besar, hanya saja pihak pemangku kebijaka masih jauh dari memberi perhatian, jauh dari pendataan statistik perikanan, dan bahkan jauh dari bagian pertimbangan untuk pengambilan keputusan pemerintah lokal. Perlu kita tanyakan pada pemangku kebijakan negara kita, sejauh mana mereka telah peka dan andil memperkuat dan memberdayakan ekonomi peeremupuan di pesisir dan pulau.

Keterlibatan peranan perempuan sudah jelas berperan kuat membentuk perencanaan konservasi sumber daya alam laut yang menjunjung suara seluruh masyarakat nelayan - ketimbang umumnya suara laki-laki saja.

Pemberdayaan perempuan juga cenderung membangun keutuhan masyarakat, yang bisa membawa usaha bersama masyarakat yang lebih kompak untuk andil dalam memajukan pengelolaan sumber daya alam.

Ketiga, sebagai imbas terpenting dari inisiatif keuangan mikro bagi perempuan, adalah terciptanya keluarga yang lebih kecil dan lebih berencana. Beberapa pengalam menunjukkan bahwa perempuan yang punya peluang ekonomi lebih besar cenderung memiliki jumlah anak yang lebih sedikit.

Ini sebuah keuntungan besar bagi masyarakat pesisir dan pulau di negara yang menjalankan program keluarga berencana - dimana pertumbuhan populasi menjadi faktor utama penghambat usaha konservasi alam, seperti Indonesia.

Masyarakat bagian dari ekosistem. Konservasi sumber daya pesisir dan laut yang semata melindungi kelestarian biota dan habitat justru menumbuhkan permasalahan baru - soal kesejahteraan manusia.

Pendekatan penguatan dan pemberdayaan sosioekonomi kaum perempuan semacam ini memang bukan solusi utama dalam mengatasi penangkapan berlabih, namun memberikan dampak besar. Bagaimana sistem pasar / perdagangan terus memicu permintaan seafood yang tidak terkendali adalah salah satu pekerjaan besar lain generasi saat ini yang perlu diatasi.

*) Bank Grameen adalah sebuah organisasi kredit mikro yang dimulai di Bangladesh yang memberikan pinjaman kecil kepada orang yang kurang mampu tanpa membutuhkan collateral. Sistem ini berdasarkan ide bahwa orang miskin memiliki kemampuan yang kurang digunakan. Yang berbeda dari kredit ini adalah pinjaman diberikan kepada kelompok perempuan produktif yang masih berada dalam status sosial miskin. Pola Grameen bank ini telah diadopsi oleh hampir 130 negara didunia (kebanyakan dinegara Asia dan Afrika). Jika diterapkan dengan konsisten, pola Grameen Bank ini dapat mencapai tujuan untuk membantu perekonomian masyarakat miskin melalui perempuan. Bank ini terpilih sebagai penerima Penghargaan Perdamaian Nobel (bersama dengan Muhammad Yunus) pada tahun 2006. (Referensi: Wikipedia)
Digubah kembali dari kutipan tulisan Amanda Vincent, oleh Siham Afatta

Selasa, 11 Oktober 2011

Solusi 3 - Ukuran itu penting: Ubah strategi panen ikan kita untuk hindari perubahan evolusioner ikan laut yang tidak alami..


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Ikan laut besar sedang didaratkan di pelabuhan.
Foto: blendungcity.com
Berpuluh-puluh tahun kita merasa benar mendorong para nelayan agar mengambil ikan yang terbesar saja. Mengembalikan ikan yang kecil ke laut agar memberikan kesempatan ikan kecil untuk tumbuh dan bereproduksi, sehingga keberlanjutan cadangan ikan masa depan terjamin - seperti itulah gambaran umumnya.

Namun, temuan riset terkini menjadi pelajaran bahwa cara tangkap 'pilih-pilih ukuran' semacam itu membawa dampak berlawanan dari yang kita kira.

Tidak cuma semakin kecil ukuran ikan yang berkembang biak dalam sebuah stok / populasi, namun ternyata mereka jadi semakin sulit untuk bertahan hidup dan bereproduksi - saat aktifitas penangkapan ikan mereda.

Demi populasi ikan yang lestari, siapa saja yang andil dalam mengelola praktik penangkapan ikan perlu merubah strategi panen mereka, agar perubahan evolusioner (evolusionary change) ikan laut di masa depan yang lebih sesuai, sekaligus menghindari penangkapan berlebih (overfishing).

Perikanan kita harus juga harus mulai melepaskan kembali sebagian besar ikan-ikan laut ukuran besar dewasa yang rutin ditangkap. Ternyata mengurangi jumlah tangkapan saja tidak cukup.

Jika ikan besar tidak ada yang disisakan, hanya mengandalakan kendali jumlah ikan yang tangkap sebagai patokan lestari, maka cadangan ikan laut di masa depan mungkin bisa pulih secara jumlah - namun tidak dalam ke keadaan fisiologis 'normal' mereka. Sebab mereka sudah mengalami evolusi pertumbuhan dan reproduksi yang jauh dari karakteristik aslinya.

Namun hingga saat ini, banyak ahli berasumsi bahwa perubahan evolusi hanya terjadi sangat lambat pada ikan laut liar - membutuhkan ribuan tahun - sehingga bisa diabaikan. Ikan laut liar juga diduga pertumbuhannya akan lebih cepat di kawasan yang ditangkap berlebih, sebab ikan yang berkompetisi untuk 'berebut' makanan lebih sedikit.

Ternyata, arus temuan dari penelitian terkini pada ikan laut liar dan juga yang di-biak-kan, juga dari simulasi ekologi ikan; temukan bahwa: pola panen ikan yang 'pilih-pilih ukuran' (size selective) bisa sebabkan perubahan genetik drastis yang memicu: (1) pertumbuhan ikan yang lebih lambat dan (2) ukuran dewasa yang lebih kecil dan dalam usia lebih muda / dewasa-dini.

Jika regenerasi ikan berlanjut terus demikian maka manusia memicu perubahan evolusi bisa terjadi lebih cepat. Hasil penelitian laboratorium menduga bahwa, dalam kondisi demikian yang berlanjut hanya dalam beberapa lapis generasi ikan, makan hasil panen/tangkapan ikan laut bisa berkurang hingga 50 persen.

Jika kita memang ingin menyisakan ikan lestari untuk generasi masa depan, maka pastikan generasi kita saat ini:
  1. tidak menangkap berlebih (tangkap ikan dalam jumlah yang lestari),
  2. mulai berkomitmen mengelola kawasan larang tangkap (agar ada ruang pasti agar jumlah, ukuran, dan jenis ikan bisa pulih), dan 
  3. jangan pilih-pilih ukuran ikan yang ditangkap untuk jenis ikan laut liar yang bermigrasi (tetapkan ukuran maksimum dan minimum lestari untuk di tangkap).
Yang paling mengkhawatirkan ialah perubahan evolusioner ikan terpantau saat sudah terlajnur terjadi, dan membalikan keadaan ekologis alami ikan laut bisa dikatakan hampir tidak mungkin - diluar kemampuan manusia.

Yang jelas, ini semua tanggungan generasi manusia saat ini yang masih hidup, yang terus mengeruk ikan laut ribuan ton-demi-ribuan-ton, dalam menit-demi-menit.

Ikan laut memiliki ukuran dewasa yang beragam. Manusia perlu cermat memilih ukuran besar dewasa ikan yang ditangkap,  dan juga menyisakan ikan besar dewasa dalam jumlah besar di lautan.
Foto: http://www.pac.dfo-mpo.gc.ca

Digubah kembali dari kutipan tulisan David Conover oleh Siham Afatta

Solusi 2 - Kecil tapi perkasa: Waktunya kita junjung peranan perikanan skala kecil di pasaran nasional dan dunia.


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Kita sering mendengar dari biolog laut dan praktisi konservasi laut disekitar kita, dan juga di dunia - bahwa: Perikanan industri manusia di dunia lebih cepat pengaruhnya dalam membawa ekosistem laut menuju kelumpuhan, khususnya bagi cadangan populasi dan keragaman jenis ikan laut dunia, dibanding perikanan skala kecil / artisan / tradisional.

Namun ternyata, para pemangku kebijakan negara-negara perikanan, termasuk Indonesia, juga cenderung lebih mendukung nelayan skala industri / komersil besar dengan kemudahan akses dagang yang lebih besar dalam ekonomi pasar perikanan regional, nasional dan internasional.

Hal ini juga didukung kuat dengan pandangan umum ekonomi pemerintahan negara-negara dunia bahwa perikanan industri / komersil besar punya kemampuan paling tinggi dalam memanen jumlah ikan dari laut setiap tahunnya. Perikanan ndustri dianggap lebih produktif untuk sebuah negara.

Salah satu contoh armada tangkap perikanan skala kecil di Indonesia.
Foto: Siham Afatta
Ternyata persepsi ini salah. Hasil riset yang meng-estimasi rinci tentang jumlah ikan yang ditangkap manusia secara global tiap tahun-nya, menunjukkan bahwa perikanan skala kecil sebenarnnya juga mendaratkan ikan setara dengan jumlah dari perikanan industri / komersil besar - setidaknya untuk ikan yang ditangkap murni untuk tujuan konsumsi manusia.

Temuan baru ini juga menegaskan bahwa ketahanan pangan masyarakat negara-negara perikanan saat ini tidak bergantung pada perikanan industri dunia, melainkan perikanan skala kecil mereka - baik lokal-regional dan nasional. 

Ini juga berarti keberlangsungan roda perekonomian perikanan skaka kecil suatu negara punya prioritas lebih tinggi dibandingkan perikanan skala industri / komersil besar yang cenderung bergerak antar-negara (transnasional).

Jika kita balik ke soal upaya kita melestarikan cadangan ikan laut kita yang saat ini terus terpuruk, maka perikanan skala kecil punya nilai tambah lagi - sebab perikanan skala industri komersil besar punya track record yang jauh lebih buruk dalam menurunkan jumlah dan keanekaragaman jenis ikan laut suatu negara atau kawasan perairan.

Perikanan tangkap skala kecil, atau perikanan tangkap 'artisan' / 'tradisional',  melibatkan nelayan dalam jumlah dan tugas tenaga kerja yang jauh lebih banyak dan beragam. Mereka cenderung bekerja mengelola ikan yang ditangkap di pesisir, menangkap ikan dengan perahu kecil dan alat tangkap pasif (red: tidak ada / sedikit mekanisme gerak) - sehingga mengkonsumsi bahan bakar yang relatif lebih kecil untuk tiap satuan ikan yang didaratkan.

Sebaliknya, pada perikanan tangkap industri / komersil besar, jumlah pekerja relatif lebih sedikit namun cenderung menggunakan armada yang besar dan sarat konsumsi tinggi bahan bakar, dan menggunakan alat tangkap aktif (punya mekanimsme gerak) dengan daya ambil ikan yang besar - banyak telah meluluhratakan ekosistem dasar menggunakan jaring dan alat tangkap yang diseret di dasar laut. 

Contah kapal tangkap skala industri / komersil besar di Indonesia untuk ikan tuna dengan alat tangkap longline.
Foto: Indosmarin.com.
Dan meskipun armada industri mengolah ikan sejak di laut lepas, pekerja perikanan industri yang bekerja di pesisir juga tidak sedikit - memicu persaingan kerja dengan nelayan lokal artisan / tradisional. sehingga usaha perikanan skala kecil sulit berkompetisi.

Sudah mengkondisi di banyak negara, termasuk Indonesia, dimana harga bahan bakar, seperti solar, yang terus meningkat dan terkadang sudah tidak mampu dijangkau nelayan skala kecil sehingga membatasi ruang pencaharian. Tidak itu saja,  imbas penurunan jumlah cadangan dan keanekaragaman ikan di laut akibat 'daya keruk ikan' armada industri juga dirasakan nelayan artisan / tradisional - dimana ikan ditangkap semakin sedikit dan kecil ukurannya, jarak tempuh ke lokasi tangkap juga semakin jauh.

Banyak pemerintah negara maritim sudah didesak kelompok pemerhati hak asasi nelayan dan lingkungan pesisir laut agar mereka mengurangi subsidi keuangan mereka pada perikanan industri dan supaya lebih berpihak kepada perikanan skala kecil. Indonesia, adalah contoh negara yang sebenarnya cenderung tidak menangkap ikan secara langsung, namun lebih banyak menjual izin tangkap pada armada industri asing untuk menangkap ikan Indonesia di perairan Indonesia.

Sayangnya, arus devisa negara yang dihasilkan dari perijinan asing tidak mengalir langsung perikanan skala kecil / tradisional / artisan dalam wujud aset, infrastruktur, serta mekanisme pasar yang bisa mendukung skala kecil berkompetisi dengan perikanan industri di dalam negeri sendiri. Namun justru balik mengalir kembali pengembangan perikanan industri di Indonesia. Menambah berat tekanan kompetisi bagi perikanan skala kecil.

Dalam kurung waktu panjang kedepan, setidaknya 20 hingga 30 tahun kedepan, bertahannya ekonomi dan budaya perikanan kita bergantung sejauh mana kita bisa mengutamakan hak sosial dan kemajuan ekonomi perikanan skala kecil  - namun dibarengi pengelolaan lestari sumber daya alam ikan di negara kita.

Beberapa poin perbandingan antara perikanan skala besar (PB) dan perikanan skala kecil (PK) yang berlangsung di dunia saat ini:

  • PK memberi peluang kerja lebih besar: PB mempekerjakan sekitar setengah juta orang, sedangkan PK lebih dari 12 juta pekerja.
  • PK juga sama produktifnya: PB mengambil ikan setiap tahunnya untuk konsumsi manusia sebanyak 29 juta ton, sedangkan PK 24 juta ton.
  • Nilai investasi PK lebih ringan: Nilai pekerjaan bagi pekerja di armada tangkap untuk PB antara AS$ 30.000 hingga 300.000, sedangkan PK hanya AS$ 250 - 2.500
  • PK mendukung ketahanan pangan suatu negara: PB setiap tahunnya memanfaatkan ikan tangkapannya untuk kebutuhan konsumsi sekunder / tidak langsung seperti makanan terproses, minyak ikan, dll sebesar 22 juta ton - bukan untuk kebutuhan pangan langsung; sedangkan PK memanfaatkan hampir semuanya langsung untuk konsumsi manusia dengan porsi besar dinikmati dalam negara.
  • PK lebih rendah emisi: PB menggunakan 14 hingga 19 juta ton bahan bakar minyak sedangkan PK hanya 1-3 juta ton.
  • PK lebih efisien dalam konsumsi bahan bakar: Setiap ton bahan bakar minyak yang digunakan PB menghasilkan 2 hingga 5 ton ikan, sedangkan PK lebih efisien sebesar 10 hingga 20 ton.
  • PK melibatkan lebih banyak golongan kerja: Dalam perbandingan nilai usaha perikanan yang setara, PB melibatkan hanya 5 hingga 30 pekerja, sedangkan PK melibatkan 500 hingga 4000 orang.
  • PK jauh lebih menghargai ikan yang ditangkap: Ikan dan avertebrata yang dibuang di laut sebagai 'tangkapan sampingan' dari PB mencapai 10 hingga 20 juta ton, sedangkan PK sangat sedikit.
Sudah jelas, jika prioritas pembangunan perikanan terfokus pada skala kecil, kita tidak hanya memilih perikanan dengan dampak lingkungan dengan resiko lebih rendah, namun juga memberi peluang lebih besar sumber daya ikan untuk pulih serta memberikan keuntungan sosial terkait kesempatan kerja lebih besar dan menjanjikan.

Ayo mulai cintai produk laut hasil perikanan skala kecil lokal.

Tabel perbandingan keuntungan yang didapat antara perikanan skala besar / industri / komersil dengan perikanan skala kecil / tradisional / artisan.
Gambar: scienceblogs.com


Referensi:
Pauly, D. 2006. Maritime Studies (MAST) 4(2): 7-22

Senin, 10 Oktober 2011

Solusi 1 - Perbanyak makan Teri ?


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Ikan Teri - bangun satu generasi yang gemar ikan Teri maka bisa bantu kurangi tekanan tangkap dan dukung pemulihan populasi ikan laut di tingkat teratas yang terancam seperti Tuna, Kakap, Hiu, Ikan Pedang, Kerapu, dan predator lain-nya yang saat ini dieksploitasi berlebih dan hampir habis.
Foto: Maangchi.com
Di daratan, manusia tidak mengambil makanan dari hewan predator di tingkat teratas sepert singa, harimau, dan serigala - justru dari tingkat terendah yang dekat dengan hehijauan.

Di lautan ternyata berbeda, manusia mengambil habis hewan predator teratas laut. Permintaan manusia yang terus tinggi akan tuna, hiu, kerapu, ikan pedang, dan ikan laut predator teratas lainnya terus memicu naiknya harga jual daging ikan-ikan ini - memicu nelayan terus menangkap, hingga keberlanjutan cadangan ikan di laut terancam di banyak tempat di dunia - termasuk Indonesia.

Kabar baiknya adalah kita tidak harus berhenti makan ikan secara total untuk menjamin ketersediaan hidangan laut untuk anak cucu kita - kita hanya perlu merubah kebiasaan makan kita.

Banya spesies ikan di laut saat ini sudah di ekploitasi berlebih oleh kita, namun bukan berarti sumber protein di laut akan habis - sebab alam menyediakan alternatif.

Contoh perhitungan sederhana: Dibutuhkan sekitar 60 juta ton ikan tiap tahun-nya sebagai sumber makanan bagi 3 juta ton tiga jenis ikan tuna tropis yang kita panen setiap tahun-nya.

Jika kita bisa mengurangi menangkap atau menggantikan daging tuna dengan teri, sarden, cumi dan spesies ikan tingkat rendah lain yang disantap tuna, maka kita bisa mengalokasikan cadangan protein laut yang cukup besar bagi jutaan orang di masa depan, dan membantu ikan tingkat atas untuk pulih populasi-nya.

Jarang makan ikan tuna dan ikan besar lainnya? Berarti pola makan anda bisa jadi mendukung kelestarian ikan. Tapi jangan berhenti disitu saja, pemerintah dan masyarakat kita masih jauh dari cukup menjagai kelestarian ikan.

Berjuta-juta ton ikan tuna dan predator laut ekonomis lainnya tiap tahunnya terus diambil dari laut Indonesia - baik secara legal maupun ilegal, baik sampai di piring warga Indonesia, atau dilarikan ke negara lain. Memang tampak negara kita 'produktif' dari laut, namun kelestariannya untuk cadangan ikan masa depan dan kesejahteraan jutaan nelayan yang masih miskin, perlu dipertanyakan dan banyak keraguan.

Sempat makan menu daging ikan yang mahal ? Maka pertanyakan terlebih dahulu, apakah mahal (1) sebab ikan tersebut saat ini sudah jarang ditemui / sulit didapat, alias 'calon punah', atau (2) sebab datang dari luar Indonesia, alias 'mendukung eksploitasi berlebih di negara lain', ataukah (3) sebab harga yang kita bayar benar-benar mengalir  dengan baik untuk dompet  kesejahtaeraan nelayan dalam negeri ? Waktunya kita peka. Ketidak pekaan membawa ketidaklestarian.

Pastinya, tidak hanya ekonomi perikanan kita yang tidak adil bagi nelayan, cara kita memanen ikan dari laut pun juga tidak adil bagi spesies-spesies ikan itu sendiri.

Kita mengambil habis spesies ikan tertentu saja yang manusia gemari untuk kepuasan mulut dan pasar dagang kita. Solusinya adalah: merubah pola panen kita di laut yang rebih ramah ekologi. Caranya? Kita berhenti memanen spesies ikan di tingkat rantai makanan teratas(predator) yang sudah di ambil secara berlebih tiap detiknya, dan mulai memanfaatkan ikan di tingkat jaring makanan terendah.

Betul sekali. Mulai gemari santap Ikan Teri dan teman-teman sekelasnya.

Kita yang selalu bangga termakan gengsi menyantap ikan predator teratas umumnya tidak sadar atau tidak peduli akan kerugian konservasi alam laut yang kita hasilkan. Bahkan, kita sebenarnya sudah menangkap ribuan ton ikan kecil, seperti teri, setiap tahunnya. Namun, dengan kerendahan nalar kita, banyak ikan teri kita larikan ke industri ternak, digiling dan dikirim ke peternakan-peternakan sebagai bahan dasar pakan ayam, babi dan juga ikan budidaya.

Gengsi kita dalam memuaskan idera pengecap di lidah kita, telah membuat ikan di tingkat jaring makanan terendah - seperti teri -  dihargai murah dan dijadikan pakan murah untuk hewan-hewan ternak - yang sebenarnya pemakan tumbuhan pada umumnya. Membuang jutaan peluang untuk ketahanan pangan dan sumber protein warga Indonesia.

Gengsi pola ekonomi kita dalam menghargai ikan telah membuang jumlah besar sumber protein laut yang penting untuk ketahanan pangan jutaan rakyat - belum lagi menghitung emisi bahan bakar yang digunakan untuk pemrosesan pengiriman ikan-ikan tersebut ke industri ternak.

Kesederhanaan membawa keramah-lingkungan-an. Beri waktu untuk ikan di tingkat jaring makanan teratas, seperti ikan perdator yang mencakup tuna, ikan pedang, hiu, kerapu, kakap, dan lainnya - untuk pulih kembali dari ekonomi global manusia yang terus menekan. 

Mulailah hobi makan ikan teri. Pastikan tidak makan karena gengsi lidah dan harga, utamakan kelestarian dan cadangan protein laut dengan melestarikan ikan yang terancam untuk ketahanan pangan masyarakat masa depan.

Di belahan lain dunia, pesan diatas telah mengakar di sebuah masyarakat. Masyarakat negara Peru contohnya, yang sudah andil dalam lebih dari separuh industri makanan laut dunia sejak 1950-an, saat ini mengangkat ikan kecil sekelas teri (anchovies) sebagai fine food atau makanan mewah.

Pemerintah Negara Peru mengkampanyekan semacam 'Minggu Teri', dimana sekitar 18.000 orang andil dalam hidangan fine dining berbahan dasar kelompok ikan anchovy, termasuk fry fish atau teri; yang disajikan 30 restoran mewah besutan koki-koki profesional. Satu lagi terobosan mereka adalah, ikan teri menjadi bagian dari menu dalam program ketahanan pangan nasional.

Apakah ini waktunya ikan teri bagian dari 'empat sehat lima sempurna'?  Laut kita lebih luas, hati dan tenaga kita lebih besar dan banyak, kita bisa beri perubahan besar - jika dilakukan bersama.

Transisi pola makan berarti transisi budaya berarti transisi pola hidup. Ini tidak akan mudah, namun kita harus teladani mereka yang melaut untuk menghidupi keluarga mereka, mereka yang hidup dalam kesederhanaan dan mengajari anak-anak mereka untuk bersyukur dan sederhana dengan 'hidangan apa adanya'. Mencontoh dan belajar dari yang mau makan teri.

Ayo gemar teri. Budaya kita mewarisi banyak cara masak dan hidang teri yang lezat. Kapan lagi? Mulailah dengan menyebarkan artikel opini ini dan segera belanja dan masak ikan teri.

Tapi apakah perbanyak makan teri itu solusi tepat untuk Indonesia?

Digubah dari beberapa kutipan dari tulisan Martin Hall oleh Siham Afatta

Sabtu, 17 September 2011

Mereka yang melekat kuat dengan laut: Warga Bajau berburu di dasar laut

Subin, Nelayan Bajau, di Borneo berburu di dasar laut - dua setengah menit di dasar dari satu tarikan nafas. Cuplikan klip dari BBC Human Planet - Oceans - Into the blue (Pertama kali tayang 13 Januari 2011).



Jumat, 09 September 2011

Hutan bakau (mangrove) juga sekaya hutan tropis di daratan dalam menyimpan karbon: Pohon-pohon pesisir berperan kritis menurunkan greenhouse gas.

Mangrove sehat mendukung kesehatan biota dan ekosistem pesisir lainnya.
(Ilustrasi: E. Paul Oberlander, Woods Hole Oceanographic Institution)
Hutan bakau di pesisir kita ternyata juga menyimpan karbon seperti hutan-hutan terestrial (darat) lainnya di Bumi, menurut studi dari tim peneliti dari U.S. Forest Service and beberapa universitas. Temuan mereka di terbitkan online di jurnal ilmiah Nature Geoscience.

Tim peneliti dari stasitun riset Pacific Southwest and Northern milik U.S. Forest Service, University of Helsinki dan the Center for International Forestry Research (CIFOR) mengkaji kandungan karbon dari 25 huran mangrove di kawasan Indo-Pasifik dan temukan bahwa tiap hektar hutan mangrove menyimpan hingga empat kali lebih banyak karbon dibanding kebanyakan hutan tropis lainnya di dunia.

Hutan bakau telah lama dikenal sebagai ekosistem pesisir yang sangat produktif. Mereka mampu menjalankan siklus karbon dengan cepat. Namun, hingga temuan tim, belum pernah ada estimasi seberapa besan karbon yang tersimpan dalam ekosistem bakau. Informasi kandungan karbon pada ekosistem hutan itu penting peranannya, sebab, saat kita merombak tata-guna pesisir atau daratan (contoh: tebang pohon bakau, tebang pohon hutan tropis), maka stok karbon yang tersimpan dalam tiap tegakan pohon pada dasarnya hilang (siklus karbon berhenti) atau terlepas ke atmosfir (contoh: ketika pohon terurai atau dibakar akibat proses konsumsi manusia). Demikian saduran dari hasil penelitian yang dipimpin oleh Daniel Donato, ecologis dari Pacific Southwest Reseach Station di Hilo, Hawaii.

Hamparan luas hutan bakau di Sungai Lom, Kalimantan Timur - sedang dalam ancaman pembangunan proyek Jembatan pulau Balang. (Foto: Petr Colas).

Kemampuan hutan mangrove menyimpan jumlah kandungan karbon yang sangat besar terkait sekali dengan tempat hidup mereka di tanah berlumpur (sedimen) yang dalam dan kaya unsur hara. Rata-rata jumlah simpanan karbon dalam bakau-sedimen lima kali lebih besar dibanding hutan daratan tropis, temperate, dan boreal untuk tiap luasan area yang sebanding. Sistem akar hutan mangrove yang rumit, yang menjangkarkan tanaman tersebut ke sedimen yang terendam air, mampu memperlambat air pasang surut yang datang agar materi organik dan anorganik bisa tertangkap di permukaan sedimen. Kondisi rendah oksigen di perairan dan sedimen hutan bakau membuat laju pembusukan lambat, sehingga banyak jumlah karbon mengendap di tanah sedimen.

Bahkan, jika digabung antara tanah sedimen dengan tegakan pohon mangrove, maka hutan mangrove menyimpan jumlah karbon jauh lebih banyak lagi dibanding hutan tropis daratan lainnya.

Seorang nelayan membawa dahan dan ranting pohon mangrove yang ditebangi di kawasan hutan mangrove Mulyorejo, Surabaya, Jawa Timur. (Foto: beritadaerah.com)
Donato dan para peneliti juga melihat betapa besarnya karbon yang terlepas dari pembabatan hutan mangrove. Penelitian mereka menegaskan bahwa jika masyarakat bisa konsisten dalam mengelola bakau, maka hutan bakau adalah kandidat kuat untuk dilibatkan dalam program-program terkait usaha mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan laju deforestasi (penebangan hutan).

Hingga kini, hutan mangrove di penjuru dunia telah mengalami deforestasi yang cepat dan tinggi -- 30 hingga 50 persen bakau dunia telah hilang hanya dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang ini. Deforestasi hutan mangrove berakibat terlepasnya emisi gas greenhouse (gas rumah kaca / GRK) sebesar 0.02-0.12 petagram karbon per tahun-nya, atau 200.000.000.000 hingga 1.200.000.000 kilogram karbon tiap tahun. Angka ini sama dengan 10% atau sepersepuluh dari emisi GRK dari deforestasi di seluruh dunia, menurut penelitian tim.

Indonesia memiliki luasan hutan bakau terbesar di dunia saat ini, diperkirakan sekitar 2.5 hingga 4.5 hektar. Namun, 70% diperkirakan juga sudah dalam keadaan 'rusak'. Menyelamatkan hutan mangrove Indonesia adalah tanggungan generasi masyarakat Indonesia saat ini. Melestarikannya berarti mempersiapkan generasi dewasa Indonesia selanjutnya jauh dari resiko perubahan iklim.

Ingin mulai dengan mangrove di Indonesia? Mulailah dengan search 'Kesemat' di Google - lalu bertindak.

Referensi

Daniel C. Donato, J. Boone Kauffman, Daniel Murdiyarso, Sofyan Kurnianto, Melanie Stidham & Markku Kanninen. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature Geoscience, 2011; DOI: 10.1038/ngeo1123

Rabu, 24 Agustus 2011

Soft Coral sama pentingnya dengan Hard Coral.


Soft coral, atau karang lunak, lama dianggap ilmuan kelautan sebagai penyumbang kecil untuk kekokohan struktur terumbu karang. Penelitan terbaru dari Tel Aviv University menampik anggapan ini. Pelestarian karang lunak adalah bagian penting untuk kesehatan laut kita, dan mereka punya peranan besar pada pembangunan terumbu.

Hamparan karang lunak (soft coral) di terumbu karang Misool, Raja Ampat, Indonesia
Penelitan gabungan antara Tel Aviv University dan the Academia Sinica, The National Museum of Natural Science of Taiwan, dan National Taiwan University mengungkap bahwa karang lunak, sebagaimana karang keras (hard coral), - juga berperan besar membentuk pondasi terumbu, menurut Prof. Yehuda Benayahu dari Department of Zoology Tel Aviv University di George S. Wise Faculty of Life Sciences. 

Analisa mendalam terkini pada terumbu karang di Laut Cina Selatan mengungkap bahwa bagian besar dari 'pondasi' terumbu disana terbentuk dari elemen kerangka mikroskopis sclerites dari karang lunak yang berfungsi selayaknya semen pada tembok.

Sclerites mikroskopis - tampak seperti duri kecil dalam jaringan soft coral (lingkaran merah) - di dalam salah satu lengan tentakel soft coral. (Gambar: www.meades.org)
Temuan ini diterbitkan dalam jurnal ilmiah Coral Reefs dan kontras dengan pemahaman umum saat ini tentang karang lunak. Dengan ini, konservasi karang lunak juga sama pentingnya dengan karang keras, lumba-lumba dan paus - semua yang jadi komponen penting lingkungan laut.

- Membangun rumah dari tulang dan daging sendiri

Terumbu merupakan ekosistem yang berasal dari organisme biologis. Umumnya mereka terbangun dari 'semen' hasil sisa kerangka karang keras (hard coral / stony coral) yang mengandung zat berkapur (kalsium karbonat). Karang lunak, pada satu sisi, memiliki sclerites di jaringan tubuh mereka, yang tampak bagaikan duri-duri kecil atau duri landak - juga mengandung zat berkapur.

Di kawasan terumbu Kenting National Park, di Taiwan Selatan, para peneliti menemukan bahwa struktur terumbu disana yang sebelumnya diduga berasal dari karang keras dimasa lalu, ternyata hasil timbunan dari sclerites karang lunak yang telah tersemen dalam waktu yang lama, menjadi pondasi terumbu.

Karang lunak (soft coral) umum dianggap sebagai 'tikar tipis' diatas terumbu. Saat satu koloni karang lunak perlahan terurai, sclerites yang berukuran kurang dari 1 milimeter, diduga tersebar dan berkumpul di dasar terumbu / laut bersama serpihan cangkang kerang, duri bulu babi dan materi kecil lainnya.

Namun ternyata, sclerites menjadi bagian yang menyatu dalam ekosistem terumbu, dimana menjadi bagian utama materi 'pondasi' rumah bagi ikan, sesiput laut, alga dan lainnya.

Diluar lingkungan laut, karang lunak juga berperan dalam melindungi hunian manusia. Bongkahan besar dan struktur terumbu di pesisir yang terbentuk dari 'semen' sclerites karang lunak yang sudah mati, menjadi pemecah gelombang alami - melindungi daratan terhadap erosi pantai dan habitat laut saat topan dan badai.

- Karbon dioksida hasil manusia terus 'merebus' lautan kita.

Karang lunak tidak hanya tersebar luas di kawasan Indo-Pasifik namun juga sangat kaya keanekaragaman hayatinya, termasuk Indonesia sebagai titik utama-nya.

Hamparan luas karang lunak genus Sinularia sp di terumbu sekitar Manado Tua.
(Foto: Massimo Boyer / Kudalaut)
Karang lunak dengan nama kelompok genus Sinularia, salah satu karang lunak yang andil dalam membangun terumbu, terdiri atas sekitar 170 anggota spesies tersebar di dunia. Jumlah kekayaan spesies ini bisa dibilang paling tinggi dibanding kelompok karang keras Staghorn Coral yang yang tercatat beranggota 130 spesies.

Melihat penyebaran dan keanekaragaman karang lunak ini, jelas kelompok karang lunak masih belum diteliti sepenuhnya.

Karang lunak (soft coral) juga terancam terhapus keberadaannya dari laut. Satu penyebab utama adalah meningkatnya tingkat keasamam  / asiditas laut kita, akibat tercampurnya gas karbon dioksida hasil emisi manusia yang terus meningkat ke dalam laut.

Sejalan kita terus membakar bahan bakar minyak, air laut-pun semakin asam, dan materi organik berkapur laut(rangka tubuh karang, cangkang karang, dsb.) melapuk.

Karang lunak tidak cuma perlu dilindungi saja, namun juga perlu dipelajari lebih dalam tentang peranan mereka di ekosistem. Pertanyaan tentang secepat apa laju karang lunak bisa membangun struktur terumbu, ditengah tantangan lingkungan saat ini seperti perubahan temperatur, keasaman laut, dan perubahan muka air laut - masih belum terjawab.

- Referensi

M.-S. Jeng, H.-D. Huang, C.-F. Dai, Y.-C. Hsiao, Y. Benayahu. Sclerite calcification and reef-building in the fleshy octocoral genus Sinularia (Octocorallia: Alcyonacea). Coral Reefs, 2011; DOI: 10.1007/s00338-011-0765-z

Rabu, 17 Agustus 2011

Paus Ramadhan di Teluk Mutiara-Alor Kabupaten Alor-NTT

Dwi Ariyogagautama, 5 Agustus 2011

Tanggal 3 Agustus 2011 yang lalu tepatnya pukul 17:00 WITA terlihat semburan paus sebanyak 4 ekor, 3 berukuran besar dan 1 berukuran kecil. Lokasi pertama terlihat tepat 100-200m didepan kantor WWF-Indonesia Solar Project yaitu di teluk Mutiara -Kabupaten Alor-NTT. Kordinatnya yaitu : LS : -8,22463369, BT 124,53206501. Banyak orang yang melihat kejadian langka ini, bukan hanya staff WWF tapi juga penduduk lokal dan turis yang kebetulan berada di pelabuhan Kalabahi dalam rangka Sail Wakatobi.

Gambar 1. Peta lokasi ditemukannya 4 Paus Biru
Diperkirakan kedalaman teluk ini diatas 30m, dan paus tersebut berenang disekitar bagan apung. Kami sempat merekam paus tersebut dalam jarak sekitar 50m ketika bernafas (breathing), deskripsi yang dapat kami lihat adalah punggungnya yang selebar ±2m memiliki warna hitam dan terdapat bercak-bercak putih. Semburannya tunggal setinggi 5-6m untuk paus yang besar dan ±2m untuk paus yang kecil. Sebelum menyembur terlihat tonjolan terlebih dahulu, kemudian diiringi semburan, 4-5detik kemudian sirip dorsal terlihat kepermukaan (total punggung terlihat dipermukaan 7 detik), diperkirakan punggung yang terlihat sepanjang 4-5 m.

Gambar 2. Urutan Paus ketika bernafas

Gambar 3. Semburan diperkirakan 5-6 meter (Khaifin)

Berdasarkan pengamatan kami, jenis paus yang paling mendekati ciri-ciri tersebut adalah berjenis Paus Biru atau Blue Whale (Balaenoptera musculus). Secara berkelompok paus tersebut berenang bersama anak paus. Hingga Pukul 18:00 WITA 2 paus masih terlihat disekitar bagan apung (1 paus berukuran besar dan 1 paus berukuran kecil)., sedangkan 2 lainnya sudah berenang menjauhi pantai.

Paus Biru itu sendiri termasuk dalam salah satu jenis biota laut yang masuk dalam daftar merah (Red list ) yaitu statusnya terancam punah (endanger) berdasarkan IUCN (2000). Total populasi diseluruh dunia diperikarakan berkisar 5000-12.000 ekor pada tahun 2002 (Wikipedia).

Ancaman-ancaman yang ada juga dapat mempengaruhi populasi yang ada, yaitu seperti terkena baling-baling kapal, aktivitas kesibukan pelayaran di tempat migrasi mereka sehingga dapat mengganggu komunikasi antar Paus Biru, terakumulasinya bahan kimia seperti Polychlorinated biphenyl (PCB) didalam tubuh paus juga sudah pernah ditemukan, dan juga perubahan iklim pun menjadi ancaman terhadap pola distribusi dan pasokan makanan mereka. Sedangkan ancaman keberadaan paus biru yang kami temukan di teluk Mutiara ini yaitu padatnya aktivitas pelayaran dari kapal-kapal cargo dan kapal penumpang antar pulau, kemudian ancaman berikutnya adalah dikhawatirkan ketika air surut.

Hingga tanggal 4 Agustus 2011, paus tersebut pun masih terlihat di lokasi yang sama. Saat ini perairan Kabupaten Alor telah menjadi daerah pencadangan Kawasan konservasi laut Daerah (KKLD) Kabupaten.Alor semenjak dideklarasikan pada Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2009 untuk perluasan daerah KKLD Selat Pantar menjadi KKLD Kabupaten Alor seluas 400.083 ha. Dalam luasan perairan Kabupaten Alor tersebut merupakan salah satu jalur migrasi hewan-hewan laut yang dilindungi, seperti halnya mamalia laut (Cetacean). Berdasarkan data Benjamin Kahn (2002) ditemukan 7 jenis paus dan 5 jenis lumba-lumba yang melintasi perairan kabupaten Alor, serta berdasarkan pengamatan WWF-Indonesia Solar Project terdapat juga Duyung (Dugong dugon). Paus biru telah teridentifikasi dilokasi ini bukan saja sebagai potensi alam yang dapat mengangkat nama Kabupaten Alor, namun upaya untuk melindungi keberadaannya juga sangat penting, melalui KKLD Alor ini diharapkan segala potensi alam laut dapat terkelola dengan baik untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat kabupaten Alor (YG).




Sabtu, 02 Juli 2011

Persepsi masyarakat pesisir: Manakah yang benar dan salah?

(Foto: Helen Brunt / Mongabay.com)
Dwi Ariyogagautama


Banyak pengalaman yang didapat dari bapak-bapak nelayan dan ibu-ibu papalele (pembakul), ada beberapa hal yang positif dan banyak juga yang negatif, kurang pemahaman dan persepsi yang mendarah daging dari leluhur, perlu diluruskan. Teori ilmiah dan konseptual yang tertuang dalam regulasi dan management perikanan, sebaiknya menyerap kearifan lokal yang benar-benar arif, bukan yang benar-benar naif ^^!.

Berikut beberapa petik hal yang pernah gue temuin di desa-desa pesisir, menurut anda manakah yang benar?


Nelayan

Pemikiran logis ajah
Paus mulai terlihat di daerah rumpon merupakah indikasi datangnya musim tuna
Umumnya yang dijumpai adalah jenis Pgymy Pilot Whale, paus ini lebih mendekat kedaratan ketika musim barat yang tentunya gelombang besar. Begitu juga tuna, lumba-lumba yang mengejar ikan lebih kecil yang sedang mencari perlindungan ke daerah yang lebih tenang.

Tuna kecil (baby tuna) umpan yang paling baik untuk menangkap tuna ukuran besar (umumnya diatas 30kg)
Ukuran baby tuna sesuai dengan besaran mulut tuna dewasa, terlebih lagi Baby tuna memiliki jelajah selam lebih dalam dan ketahanan hidup lebih lama dibandingkan tongkol dan cakalang ketika dijadikan umpan hidup. Namun tidak konservatif, jika menggunakan ikan yang masih belum pernah bereproduksi itu, ada cara lain yaitu dengan mengatur kedalaman umpan yang digunakan untuk menangkap tuna yang lebih besar, karena tuna dewasa mampu berenang dikedalaman 100-200m (Yellowfin dan Big eye tuna).

Menangkap lumba-lumba, sama saja mengurangi rejeki
Nelayan suku Bajo, sangat mengandalkan lumba-lumba sebagai indikator dalam menangkap tuna. Salah satu cara menangkap tuna yaitu dengan menggunakan layangan disekitar lumba-lumba. Lumba-lumba diperairan Laut Flores dan Laut Sawu saling bekerjasama dalam pengejarannya menangkap ikan pelagis kecil.  Lumba-lumba yang sering ditemui berasosiasi dengan tuna yaitu Bottlenose dan spiner dolphin.

Banyak kapal dan sarana penangkapan (rumpon),maka semakin banyak pula hasil tangkapannya
Pemikiran yang teramat individualis, that’s why our resource more and more decline. Laju reproduksi ikan tidak secepat peternakan ayam, semakin banyak sarana penangkapan, justru akan membagi rejeki nelayan lebih sedikit atau sebagian nelayan yang bermodal saja yang mendapat banyak hasil, nelayan kecil hanya gigit jari. Pengelolaan dan pemanfaatan secara berkelompok akan mengurangi konflik sosial seperti diatas.

Menghitung berat tuna dengan mengukur panjang sirip anal dan dorsal
Kayanya perlu dikaji lagi deh, walaupun menurut mereka hanya selisih 1-5kg di timbangan sebenarnya. Ini masukan yang baik untuk para peneliti diluar sana. Termasyuk sayah yang pemalas ini ^^!

Bagi suku Bajo, dilarang keras membuang hasil potongan tuna seperti isi perut, insang dan kepala dilaut. Diyakini ikan tuna tidak akan mau datang ketempat tersebut dalam jangka waktu lama
Mirip kaya cerita orang tua, jangan memotong ayam atau burung didepan ayam lainnya..ntar pada sakit karena sock.

Menurut gue sih, ga ada pengaruhnya dikarenakan kemungkinan besar langsung disantap ikan atau biota lainnya sebelum sampai didasar. Lah wong tuna dewasa aja makan baby tuna. Dipastikan mereka tidak merasa bersalah memakan teman sendiri.
Tapi biarlah pemahaman ini dipelihara, setidaknya laut kita jadi bersih toh, walaupun itu sampah organik.

Banyak tertangkapnya tongkol di rumpon, merupakan indikasi terdapat tuna berukuran besar dibawah rumpon
Rumpon yang dimaksud adalah rumpon laut dalam. Alat bantu penangkapan ikan ini, menciptakan ekosistem sendiri ditengah laut, dengan menggunakan daun kelapa, menciptakan gudang makanan bagi ikan herbivore dengan menempelnya alga di permukaan daun kelapa dan tali jangkar. Kemudian dilanjutkan dengan level rantai makanan yang lebih tinggi yaitu carnivora pertama, kedua dan seterusnya hingga top predatornya jatuh kepada ikan marlin, tuna dan hiu.

Tongkol ini bisa menjadi carnivora setingkat dibawah Cakalang dan juga 1 atau 2 tingkat dibawah tuna. Jadi tidak heran ketika musim tongkol datang, cakalang dan tuna sering bermain dipermukaan.

Melakukan pemotasan ikan didaerah berarus tidak berdampak terhadap terumbu karang
Ini pernyataan super duper excuse sekalih (lafal lebay). Dikit atau banyak dosis potasium sianida yang terpapar di terumbu karang, tetap mematikan secara sistemik.
Melemahkan karang, mengurangi tingkat resiliencenya dan mengusir zooxanthela dari kediamannya di polip karang.
Membutakan mata ikan dan melumpuhkan saraf biota lain yang terpapar secara sementara (pada dosis tertentu menjadi permanen).

Bagi nelayan bulan gelap merupakan puncak penangkapan ikan karang terbanyak, seperti kerapu, kakap dan petambak
Pada ikan karang pada saat fase bulan penuh (purnama & gelap) beberapa jenis ikan (Kerapu, kakap, Petambak) melakukan spawning. biasanya ikan melakukan spawaning di tempat-tempat yang mempunyai arus yang kuat. kenapa? hal ini dilakukan untuk menjamin keberhasilan proses regenerasi dari ikan tersebut.
nah berkaitan dengan hal tersebut ikan akan melakukan migrasi ke tempat pemijahannya tersebut (walaupun jarak yg ditempuh bermil2), kemudian pada saat terjadi fase bulan penuh (purnama & gelap), gaya gravitasi bulan terhadap bumi berada titik terbesar. pengaruhnya terhadap permukaan air laut adalah terjadi pasang tertinggi. (kondisi ini juga berlaku bagi penyu yang akan melakukan nesting (bertelur). gampangnya, air pasang tetinggi sangat membantu pergerakan penyu menuju ke daratan ketika akan bertelur). nah pada saat itulah biasanya kita mendapati kondisi arus air laut yang sangat kuat (terutama pada saat terjadi slact time = pergantian dari pasang ke surut ato sebaliknya). pada saat itulah ikan-ikan kerapu melakukan proses spawning. jumlah kumpulan ikan di tempat pemijahan akan semakin bertambah dan terus bertambah ketikan mendekati musim pemijahan. musim pemijahan bisa berlangsung singkat dan bisa juga berlangsung lama (Saryadi, 2011).

Namun pada ikan-ikan pelagis, sumber cahaya merupakan salh satu faktor ikan-ikan tersebut berkumpul. Jika pada bulan purnama cahaya tersebar merata diperairan sehingga ikan pun tidak terpusat disatu tempat. Nah tingkah laku ini lah yang jadi dasar nelayan menggunakan alat bantu lampu atau petromak dilaut, karena ketika bulan gelap, maka cahaya sedikit saja terlihat di permukaan air maka ikan, cumi dan biota lainnya akan terkumpul dicahaya tersebut.

Ketika Paus mulai terlihat menyebrangi perairan laut Flores, merupakan awal bagi petani membuka ladang pertanian.
Musim migrasi paus dari Laut Flores ke Laut Sawu yang melewati selat antara Kabupaten Lembata dan Flores Timur, berlangsung beberapa bulan sebelum musim hujan, umumnya bulan agustus-oktober.
Hal ini lah yang menjadi patokan tetua jaman dulu, dalam menghitung musim hujan dengan gejala alam sekitarnya.
Migrasi paus dari utara ke selatan, merupakan awal yang baik untuk menanam jagung, dan kebun lainnya yang membutuhkan banyak air hujan.

Hiu Bodoh (Whale Shark) senang sekali bermain di rumpon
Mereka tuh jenis hiu yang jinak, dan punya tingkah laku mendekati benda-benda yang terapung dilaut, jangankan rumpon, kapal besar aja suka ditebengi oleh mereka. Oleh karena itu banyak kasus hiu bodoh terkena baling-baling kapal.

Bagi orang Bajo, memakan ikan marlin yang tertangkap oleh mereka itu pamali
Mpe sekarang gue blun dapet jawabannya. Pesan moralnya apa ya bagi leluhur mereka ^^?

Buaya bakau tidak akan menyerang nelayan, jika tidak memiliki salah atau mempunyai niat buruk ketika nelayan berenang didaerah bakau
Berarti yang kena gi apes aja ya !^^.
I have no idea about this one. Tulung dibantu ya



Pemboman ikan didaerah laut lepas tidak membahayakan habitat ikan, tidak seperti membom didaerah terumbu karang
Memang secara kasat mata tidak terlihat pak! Tapi dentumannya itu menggagalkan keberhasilan telur-telur ikan dan biota lain yang terapung-apung, membuat jantungan biota disekitarnya hingga tiwas, menggangu pendengaran mamalia yang super sensitif seperti lumba-lumba dan paus, sampai banyaknya hasil sampingan atau bycatch yang terbuang teggelam cuma-cuma dikarenakan turut mati masal karena dampak bom ini.

Di NTT Ayam berkokok sebagai indikator perubahan pasang surut (pasut)
Selain si ayam bereaksi terhadap transisi gelap ke terang pas pagi hari, tapi yang satu ini bener-bener nyata bin ajaib.. Ternyata ini kemampuan adaptasi ayam yang belum pernah terdata dijurnal-jurnal ilmiah manapun (statement asal hee.hee)..
Lemayan nih digunakan buat praktikum pasut

Air mata duyung digunakan untuk ramuan pelet
Seperti halnya penyu, mata mereka mempunyai kelenjar air mata yang berguna untuk mengatur kadar garam sehingga tidak mengalami dehidrasi. Kelebihan garam tersebut dikeluarkan melalui air mata.
Jadi air mata mereka bukan dipengaruhi oleh faktor emosi loh, seperti pepatah buaya juga bisa nangis loh  hee.hee

Kapal-kapal taiwan sering melakukan penangkapan ilegal diperairan Laut Flores
Membuktikan bahwa kurangnya sosialisasi mengenai kapal-kapal jenis ini diwilayah timur negara kita ini.
Setelah dicermati kemungkinan terbesar adalah kapal tersebut merupakan kapal penangkapan tuna (umumnya dengan longline) dari Bali dengan kaptennya yang asal atau berbahasa taiwan, Cina atau bangsa-bangsa lainnya lah, namun berbendera Indonesia.

Tidak menutup kemungkinan adanya ilegal fishing dari negara lain. Tapi jika gue kapten kapalnya, cukup nyolong diperairan utara Maluku aja udah dapet semuanya. Sangat beresiko dan ngabisin waktu dan biaya aja kalo sampai perairan NTT. Tapi entah lah di Laut Banda hingga Laut Arafuru juga kerap kecolongan..sedihnya L

Hari Jum’at merupakan pantangan nelayan untuk turun melaut
Yupp.mayoritas masyarakat pesisir khususnya nelayan, didominasi oleh umat Muslim. Penyebaran agama Islam jaman dulu kan paling efektif lewat laut. Ditambah lagi kehebatan nelayan asal Sulawesi yang mampu mengarungi lautan Nusantara, turut memperluas ajaran Islam didaerah pesisir.

Dengan melihat lingkaran besar yang melingkari (corona) bulan saatnya penyu naik kedaerah pantai
Si penyu kemungkinan mo bertelur nih. Werewolf aja butuh bulan purnama buat berubah, apalagi penyu. Mereka butuh rembulan yang terang ini untuk naik ke pantai.
Kenapa kalo ada corona kemungkinan bertelurnya besar, sejujurnya gue ga tau bro..maap. masih butuh belajar soal yang satu ini.

Serasah lamun yang terapung oleh jalur arus, sering dijumpai adanya tukik
Sama seperti halnya pantai yang penuh dengan pecahan karang, menunjukan daerah disekitarnya terdapat terumbu karang. Serasah lamun menunjukan didaerah pesisir terdekat banyak terdapat padang lamun. Apalagi beberapa jenis lamun tersebut merupakan makanan dari penyu.

Tukik yang memiliki kemampuan menyelam masih terbatas, membutuhkan benda terapung yang dapat melindunginya dari serangan predator seperti burung laut, dan bersembunyi dari ikan besar. Nah potongan daun lamun yang terapung-apung dari daerah padang lamun ini, sarana yang pas deh untuk ditebengi oleh tukik.
Itu saja dulu dari gue, kalo ada salah-salah persepsi dan jawaban gue, mohon ditanggepi ya..karena ada beberapa pernyataan nelayan yang sama sekali diluar pengetahuan gue untuk bisa menjawabnya. jadi bisa gue luruskan dengan baik dan benar ketika ketemu nelayan-nelayan disini.