Tampilkan postingan dengan label Polusi Laut. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Polusi Laut. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 Februari 2011

Lautan yang mengasam: Terumbu karang butuh perlindungan jauh lebih besar lagi.

Saat ini manusia terus meng-asam-kan dan menghangatkan lautan dunia. Kita perlu berusaha lebih giat lagi untuk menyelamatkan Terumbu Karang.

Terumbu dengan koral yang terjaga (atas)
dan koral dalam status kelulushidupan rendah, diselimuti alga (bawah).
(Foto: Siham Afatta / Karimunjawa, Indonesia)

Studi terkini dari tim ilmuwan internasional mengemukakan bahwa pengasaman laut dan pemanasan global akan berlangsung bersamaan dengan dampak lokal manusia seperti penangkapan ikan berlebih dan buangan nutrien dari daratan - terus semakin melemahkan terumbu karang dunia disaat mereka sedang mencoba bertahan saat ini.

Permodelan ekologis yang dilakukan oleh tim yang digagas Dr Ken Anthony dari ARC Centre of Excellence for Coral Reed Studies dan Global Change Institute di The University of Queensland menemukan bahwa: terumbu yang sudah mengalami penangkapan berlebih serta terpapar lepasan nutrien dari erosi di daratan akan semakin rentan akan peningkatan CO2 di atmosfir yang diakibatkan pembakaran bahan bakar fosil.

Studi mereka adalah yang pertama kali menggabungkan proses skala global seperti pemanasan iklim dan pengasaman laut, dengan faktor lokal seperti penangkapan berlebih dan buangan aliran dari daratan (runoff); dalam memprediksi kombinasi dampak pada terumbu karang.

'Resep mudah untuk menghapus terumbu karang dari Bumi'
(Foto: Paul Marshall, Ken Anthony)

"Saat kadar CO2 menanjak hingga 450-500 bagian persejuta (ppm) - sebagaimana diprediksi terjadi di 2050 - sejauh apa usaha kita bisa mengelola dampak lokal di terumbu (seperti perikanan dan polusi dari daratan) menjadi penentu untama mampu bertahannya terumbu karang, jika tidak, alga bisa mengambil alih tempat tumbuh koral di terumbu" - dikutip dari artikel ilmiah mereka.

Kondisi laut yang menghangat menyebabkan kematian koral masal yang berkala karena pemutihan, sedangkan pengasaman air laut - akibat CO2 yang larut dari atmosfir - melemahkan koral dengan menganggu kemampuan mereka membangun struktur koral, membuat koral lebih rentan akan dampak badai.

Jika koral juga dipengaruhi oleh buangan nutrisi (polusi) dari daratan - sehingga 'menyuburkan' alga dan diperparah dengan penangkapan berlebih ikan kakatua dan biota lainya berperan menjaga terumbu bersih dari alga sehingga terumbu bisa pulih kembali setelah sebuah gangguan) - maka, dalam situasi ini, terumbu bisa sepenuhnya dilingkupi alga, menggantikan koral yang menetap diatas terumbu.

Permodelan yang dilakukan tim peneliti, meskipun simulasi dilakukan tidak dalam skenario ekstrim, sudah mampu menghasilkan prediksi kritis bagi terumbu di negara berkembang seperti Indonesia - dimana terumbu karang berdampingan selalu dengan tingkat gangguan tinggi dari aktifitas manusia.

Sederhananya, model mereka menguak bahwa semakin banyak CO2 dilepaskan manusia, semakin sulit keadaan bagi koral untuk bertahan. Koral akan membutuhkan segala macam pertolongan yang mereka bisa dapat dari segala usaha pengelolaan yang manusia bisa lakukan untuk mencegah mereka kalah tumbuh dan dilingkupi rumput laut.

Terumbu karang di negara berkembang, dimana terumbu dunia paling banyak berada, seperti Indonesia; saat ini dihadapkan selalu dengan penangkapan berlebih dan nutrifikasi. Mereka saat ini sangat rentan, dimana kapasitas para pengelola terumbu dan pemerintah menentukan nasib mereka di masa depan.

Dalam sisi global, jika kesepakatan manusia gagal dalam menstabilkan dan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfir Bumi, maka jenis koral pembangun struktur dasar terumbu seperti Acropora, bisa hilang dalam jumlah besar - meskipun usaha pengelolaan di skala lokal dilakukan sebaik apapun.

Spesifiknya, usaha pengelolaan sekala lokal seperti menjaga populasi ikan herbivori serta pencegahan buangan erosi daratan berlebih, zat pupuk dan limbah dari daratan - menjadi kunci peran dalam menjaga ketahanan koral dalam proses penstabilan CO2 di masa depan.

Di Indonesia, tindakan tidak ramah lingkungan pada terumbu karang terkait dengan instabilitas perekonomian masyarakat pesisir. ±90% nelayan Indonesia adalah nelayan skala-kecil. Namun, Lebih 60% keuntungan tangkap ikan di Indonesia mengalir ke 5% nelayan asing.

Komitmen pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan masyarakat nelayan dan pesisir dari kemiskinan, menentukan selamatnya terumbu karang dan kelestarian perikanan Indonesia dalam dekade kedepan. Kesadartahuan dan proaktif masyarakat dalam menjaga kelestarian laut juga akan kritis dalam menentukan nasib pesisir dan laut. 

Referensi
  • Kenneth R. N. Anthony, Jeffrey A. Maynard, Guillermo Diaz-Pulido, Peter J. Mumby, Paul A. Marshall, Long Cao, Ove Hoegh-Guldberg. Ocean acidification and warming will lower coral reef resilience.Global Change Biology, 2011; DOI: 10.1111/j.1365-2486.2010.02364.x

Selasa, 15 Februari 2011

Jeremy Jackson: Bagaimana Kita merusak lautan. (English)

Tim editor saat menengok TED.com mendapatkan presentasi yang mencengangkan dari ekologis terumbu karang Jeremy Jackson yang membeberkan status kritis lautan saat ini: di-tangkap-berlebih, di-panaskan, di-cemarkan, dengan tanda-tanda bahwa semua akan menjadi lebih buruk. Foto yang ciamik dan statistik memperkuat presentasinya. Kenapa simak Jeremy Jackson? Klik disini.





Jumat, 20 Agustus 2010

'Benua' sampah plastik di Samudera Atlantik Utara.

(Gambar: www.inl.co.nz)

Hamparan luas sampah plastik untuk pertama kalinya ditemukan di Samudera Atlantik utara. Kawasan sampah ini lebh besar lagi dibanding 'benua sampah' yang sudah ada di Samudera Pasifik. Satu lagi keadaan darurat yang Kita berikan bagi satwa Laut dunia.

Sampah plastik yang di temukan di sekitar timur Atlantik hingga kawasan bermuda, terdiri dari serpihan yang hanya beberapa milimeter saja ukurannya. Namun, konsentrasi sampah yang luar biasa tingginya lebih dari mencemaskan bagi kehidupan Laut disana.

Dengan jaring bermata halus ditarik kapal peneliti, ilmuwan mengumpukan lebih dari 64.000 buah plastik dari 6.100 lokasi di laut dari survey yang berlangsung 22 tahun. Konsentrasi tertinggi terletak di 32 derajat lintang utara, namun membentang 500 mil arah utara dan selatan.

Kawasan 'sup plastik' di Samudera Atlantik
(Gambar: www.independent.co.uk)

Kara Lavender Law dare the Sea Education Association di Woods Hole, Massachusetts, AS, berkata bahwa besarnya 'bercak sampah' di Atlantik hampir sama dengan yang di Pasifik, dan sirkulasi arus Gyre Pasifik Utara menjebak sampah di areal besar utara khatulistiwa.

"Samudera Pasifik juga dapat perhatian lebih besar akan akumulasi plastiknya, namun kita tidak begitu banyak tahu juga akan Pasifik sehingga sulit untuk membandingkannya dengan Atlantik dalam ukuran 'bercak sampah", ujar Dr Lavender Law. "Namun untuk konsentrasi sampah, kedua lokasi tersebut sepadan tingginya".

"Untuk pertama kalinya kami bisa melihat batasan utara-selatan di kawasan penumpukan plastik ini. Kami juga menampilkan kumpulan data yang paling besar tentang sampah plastik laut di kawasan Samudera." dia menambahkan. Jaring pengumpul sampah yang digunakan memiliki mata jaring 0.3mm, jadi sampah yang didata berukuran lebih besar dari in. "Kebanyakan serpihan terkumpul lebih kecil dari ukuran penghapus di ujung pinsil anda. Dan sampah ini adalah fragmen / serpihan dari bagian benda yang lebih besar, dan asalnya juga kita tidak tahu."

Kebanyakan plastik adalah polyethylene atau polypropylene, yang lebih ringan berat jenisnya dibanding air laut, sehingga terapung dekat dengan permukaan air. Namun, jenis plastik lain yang lebih beray mungkin juga telah tenggelam ke dasar dan tidak dijumpai.

Lokasi sampling plastik antara tahun 1991-1995 dan 2004-2007
(Gambar: Morét-Ferguson, S, et al. 2010) 

Penelitian ini menemukan bahwa konsentrasi partikel plastik yang tertangkap di jaring cenderung konstan, sejak dimulainya survei di tahun 1986 - namun bukan berarti masalah sampah di samudera ini terkelola. "Tampaknya memang konstan, namun kita juga tidak tahu apakah ini semakin buruk. Sebab, kita hanya mengukur partikel plastik lebih besar dari sepertiga milimeter, dan yang di permukaan saja."

"Alasan yang mendukung adalah, 'larutan' plastik halus yang melewati jaring tidak terkumpulkan oleh kami. Dan plastik halus ini masih bisa terkonsentrasi secara luas di lautan."


"Satu alasan lain adalah, pada serpihan/ bongkahan plastik, pertumbuhan biologis mungkin terjadi dan melingkup plastik sehingga plastik berat dan tenggelam atau berada di bawah permukaan, sehingga tidak terdata kami."

Serpihan kecil plastik membawa ancaman lebih besar bagi satwa laut, dibanding bongkahan besar yang juga bisa menjerat satwa seperti penyu dan burung laut. Kita tahu bahwa serpihan halus plastik bukan makanan hewan laut, dan apay yang terjadi bagi mereka yang menyantapnya - yang juga kita santap kemudian - jelas diluar kemampuan alami mereka.

Referensi
Morét-Ferguson, S, Law, K, Proskurowski, G, Murphy, E, Peacock, E & Reddy, C 2010, 'The size, mass, and composition of plastic debris in the western North Atlantic Ocean', Marine Pollution Bulletin.

Sampah plastik di permukaan laut.
(Foto: www.ficsu.org)

Penyu dan plastik.


Kawasan 'sup plastik' di Samudera Pasifik.


Minggu, 03 Januari 2010

Tumpahan Minyak Montara Cemari Laut Timor, Merugikan Nelayan

Tahun 2009 berlalu, sudah sejauh manakah Kita menindaklanjuti pencemaran minyak di Laut Timor?



Otoritas di Australia mengakui tumpahan minyak mentah akibat meledaknya ladang minyak Montara di Celah Timor, telah memasuki perairan Indonesia. Tumpahan itu kini telah mendekati 51 mil laut dari Pulau Rote yang terletak di wilayah paling selatan Indonesia dan mengancam biota laut di perairan Indonesia, termasuk rumput laut yang dibudidayakan secara besar-besaran di Rote Ndao . Hasil penelitian cepat dari lembaga lingkungan di Timor juga menunjukkan hasil positif terjadinya pencemaran.

Bupati Kabupaten Rote Ndao, Lens Haning, dalam pertemuan dengan Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT), Ibrahim Agustinus Medah dan dua anggota DPRD, Nixon Messakh dan Somy Pandie, di Baa, Sabtu mengatakan, ia baru kembali dari mengikuti pertemuan dengan berbagai pihak terkait di Jakarta yang diprakarsai oleh Departemen Perhubungan, untuk membahas pencemaran Laut Timor.

Dari pertemuan itulah, katanya, ia memperoleh data tertulis dari pihak Australia yang melakukan pemantauan tumpahan minyak hingga ke wilayah perbatasan perairan dengan Indonesia dan menemukan ada gumpalan minyak mentah yang memasuki wilayah selatan Indonesia.



Karena laporan Australia itulah, sebuah tim terpadu yang melibatkan pejabat sejumlah departemen terkait di Indonesia, akan tiba di Kupang pada awal pekan depan, guna melakukan pembahasan terfokus.

Tim itu, menurut Bupati Lens Haning, juga diagendakan melakukan pemantauan langsung ke wilayah selatan perairan Indonesia, guna memastikan bahwa wilayah perairan Indonesia sudah tercemar, dan kemudian membahas berbagai rekomendasi untuk disampaikan kepada pemerintah Indonesia.

Dengan dasar rekomendasi itulah, pemerintah pusat melakukan komunikasi dengan Australia untuk penanganan selanjutnya. Dari pertemuan di Jakarta pada tanggal 21 Oktober lalu, ia mengaku memperoleh informasi bahwa Australia melakukan dua upaya untuk mengatasi masalah tumpahan minyak.

Upaya pertama adalah melakukan penyumbatan terhadap bagian ladang yang meledak dan bocor, namun untuk itu diperlukan waktu sekitar 52 hari. Sementara upaya kedua adalah kemungkinan melakukan penyemprotan terhadap gumpalan minyak mentah yang muncul di permukaan perairan untuk ditenggelamkan.

Menurut Bupati Lens Haning, upaya pertama membutuhkan waktu lama dan daerah yang dekat dengan tumpahan minyak yakni Kabupaten Rote Ndao dan wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, tidak berdaya untuk ikut campur tangan dalam upaya tersebut dan upaya kedua, disebutnya sebagai tidak mengatasi persoalan.

Ketua DPRD NTT, Ibrahim Agustinus Medah menyebut tindakan Australia melakukan penyemprotan untuk menenggelamkan tumpahan minyak, akan sangat berbahaya bagi biota laut di perairan Indonesia, terutama yang dekat dengan Pulau Rote dan sekitarnya.

Bupati Lens Haning, Ketua DPRD NTT, Ibrahim Agustinus Medah dan dua anggota dewan, Nixon Messakh dan Somy Pandie, sepaham bahwa kalaupun tumpahan minyak mentah tidak memasuki wilayah perairan Indonesia, bukan berarti tidak membahayakan biota laut. Karena, jika gumpalan minyak mentah itu terbawa arus dan mencemari perairan Indonesia, maka bahaya bagi penduduk di Rote Ndao selalu mengintai.

Bupati Lens Haning berharap, pemerintah pusat segera mengeluarkan sebuah keputusan yang bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat di wilayah paling selatan Indonesia itu



PENELITIAN AWAL BLDH NTT: TERBUKTI POSITIF MENCEMARI

Hasil analisa Badan Lingkungan Hidup Daerah Nusa Tenggara Timur (BLHD NTT) menunjukkan bahwa Laut Timor sudah positif tercemar minyak mentah (crude oil) yang bersumber dari ladang gas Montara yang meledak pada 21 Agustus lalu. Analisa BLHD NTT ini mengacu pada dua dari empat sample yang diambil dari perairan Laut Timor, kata analis dari BLHD NTT Inti Magarini kepada pers di Kupang, Sabtu, setelah bersama tim dari Posko Pencemaran Laut Timor bentukan pemerintah NTT melakukan penyisiran di Laut Timor sejak Kamis (22/10).

Magarini menegaskan, dua sample yang diambil pertama, baik secara fisik maupun kasat mata sudah positif tercemar minyak mentah (crude oil) yang diduga kuta berasal dari ladang gas Montara yang meledak pada 21 Agustus lalu di Laut Timor.

Pengambilan sample air laut oleh BLHD NTT itu berkaitan dengan laporan media yang memberitakan bahwa ribuan ekor ikan mati di Laut Timor karena wilayah perairan tersebut sudah tercemar minyak.

Guna mengetahui secara pasti dan akurat bahwa Laut Timor tercemar minyak, maka Posko Pencemaran Minyak Laut Timor bentukan pemerintah Provinsi NTT menurunkan sebuah tim yang melibatkan pula Administrator Pelabuhan (Adpel) Tenau Kupang, Polisi Perairan (Polair) Polda NTT, Pertamina, BLHD dan sejumlah wartawan dari media cetak dan elektronik.

Magarini menjelaskan, pihaknya mengambil empat sampel di perairan Laut Timor untuk melakukan penelitian guna mengetahui sejauh mana tingkat pencemaran minyak di Laut Timor.

“Kita mengambil empat sample air laut untuk diteliti lebih lanjut guna mengetahui tingkat serta kadar pencemarannya,” katanya menjelaskan.

Sampel pertama diambil pada titik kordinat 11.31.213 LS dan 122.59.530 BT, sekitar lima mil dari Pulau Landu di wilayah Kabupaten Rote Ndao. Sampel kedua diambil pada titik kordinat 11.09.372 LS dan 122.56.960 BT yang berlokasi sekitar 10 mil dari Pulau Ndana, juga di wilayah Kabupaten Rote Ndao. Sampel ketiga pada titik kordinat 11.31.797 LS dan 123.24.999 BT di lokasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, sekitar 10 mil dari Pulau Pasir (ashmore reef). Sampel keempat pada titik kordinat 10.43.01 LS dan 123.51.27 BT di wilayah perairan Kolbano, pantai selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Dua dari empat sampel itu (sampel pertama dan kedua, red), kata Magarini, sudah positif atau terindikasi kuat tercemar minyak mentah.

Namun, untuk membuktikan indikasi tersebut, tambahnya, harus dilakukan penelitian lebih lanjut di laboratorium yang hasilnya baru akan diketahui pada Selasa (27/10).

Tim pengambilan sampel pencemaran Laut Timor ini berangkat dari Pelabuhan Tenau Kupang pada Kamis (22/10) malam pukul 22:00 Wita menggunakan sebuah kapal milik Polair Polda NTT dengan nomor lambung 646 menuju ZEE.

Pengambilan sampel pertama dilakukan pada Jumat (23/10) pukul 06:00 Wita, sample kedua pada pukul 07:00 Wita dilokasi yang berbeda. Sedangkan, sampel ketiga diambil pada pukul 12:00 Wita di sekitar Pulau Pasir (ashmore reef) yang berbatasan langsung dengan wilayah perairan Australia. Sampel terakhir diambil pada pukul 18:00 Wita di perairan pantai selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Kolbano.



RUMPUT LAUT MULAI TERPENGARUH DAMPAK NEGATIF TUMPAHAN

Para petani rumput laut di perairan Rote Ndao dan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengaku dirugikan perusahaan minyak Montara yang telah menyebabkan pencemaran minyak mentah (crude oil) yang datang dari laut Timor.

“Kerugian itu nampak terlihat dari hasil panenan yang tercemar minyak mentah, sehingga penawaran pun drastis menurun, bahkan di wilayah tertentu justru tidak ada lagi penawaran,” kata salah satu petani rumput laut, Hermanus Fiah di Kupang, Minggu.

Menurut warga desa Dayama Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao-NTT, melihat fenomena tersebut, dirinya lebih memilih menggantung tujuh tali yang selama ini digunakan berbudidaya rumput laut karena aktivitasnya pasti tidak mendatangkan keuntungan.

“Mungkin akhir tahun 2009 merupakan tahun bencana bagi petani rumput laut di Kabupaten Rote Ndao, karena gara-gara pengusaha minyak dari perusahaan Montara yang tidak hati-hati dalam melaksanakan usahanya,” katanya.

Petani rumput laut lain, Ny Elisabeth Eik Fuah (40), mengeluhkan kerugian serupa. Ia mengaku, harga rumput laut yang dijual kini menurun drastis.

“Dulu standar harga terendah Rp20 ribu per kilogram, sekarang harga sudah turun Rp5000 per kilogram. Tahun ini kita tidak timbang lagi, tetapi langsung jual karena harga sangat rendah,” katanya.

Ny Elisabeth yang mengaku memiliki dua wilayah budidaya, yakni di pantai Ba`a Rote Ndao dan pantai Tablolong Kabupaten Kupang tersebut, tidak biasanya mendapat penghasilan seperti tersebut di atas.

“Biasa setiap dua bulan, saya panen dan hasilnya sekitar satu ton, tetapi mulai Agustus hingga September hasil seperti itu tidak didapati lagi,” katanya.

Ia mengaku sebagian kecil kerugian juga diakibatkan oleh penyakit namun kerugian besar dialami akibat kebocoran sumur minyak Australia di celah Timor beberapa waktu lalu.

Para petani meminta perhatian pemerintah dan lembaa kompeten lain untuk melakukan upaya pencegahan terhadap tumpahan minyak mentah itu, sehingga tidak berdampak lebih luas lagi, karena mengancam kehidupan ekonomi petani yang menggantungkan hidup pada biota laut itu.

“Kami akan menuntut mengembalikan kerugian, jika kelak sudah ada jalan keluar dan ada pihak yang mengaku bertangungjawab terhadap tumpahan minyak mentah tersebut,” katanya.

Sebelumnya petani rumput laut asal Kupang, Idris Mera juga mengaku areal budidaya rumput laut hingga selat Pukuafu mencapai ribuan hektare, sehingga membuat para petani rumput laut di wilayah Pantai Baru mulai resah dengan kondisi perairan budidaya yang sudah mulai tercemar minyak mentah itu.

Muntahan minyak mentah itu diduga kuat berasal dari ladang gas Montara di Laut Timor yang meledak pada 21 Agustus lalu.

Sampai saat ini, upaya untuk menghentikan kebocoran minyak dari ladang gas tersebut oleh PTTEP Australasia, sebuah perusahaan minyak asal Thailand yang mengolah ladang gas itu, belum juga berhasil meski sudah menggunakan peralatan teknologi canggih.

Minyak mentah serta partikel lainnya yang dimuntahkan dari ladang gas Montara itu dilaporkan rata-rata mencapai 500.000 liter setiap hari atau sekitar 1.200 barel.

Sumber : Antara, Oktober 2009



RIBUAN NELAYAN TIDAK BISA MELAUT

Pelaku perikanan tradisional Nusa Tenggara Timur (NTT) terancam mata pencahariannya akibat tumpahan ladang minyak di perairan Australia yang pencemarannya sudah memasuki perairan Indonesia. Sejumlah aktivis lingkungan mendesak pemerintah Australia segera menghentikan dan bertanggung jawab atas pencemaran tersebut.

Menurut Lita Mamonto, Manajer Kampanye Pesisir Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), pihak Australia melalui Australia Maritime Safety Authority (AMSA) telah mengakui secara resmi bahwa tumpahan minyak dari The Montara Well Head Platform telah memasuki wilayah perairan Nusa Tenggara Timur (NTT) sekitar 51 mil laut tenggara Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao. “Diperkirakan sekitar 500.000 liter per hari minyak mentah yang keluar,” kata Lita.

Kawasan tersebut tercemar pada tanggal 21 Agustus 2009. Ledakan dari Ladang Montara di Blok West Atlas, Laut Timor, perairan Australia posisi 12041’S/124032’ T mengakibatkan tumpahan minyak. Pencemaran kali ini cukup besar dan dampaknya hingga ke kawasan pantai selatan Pulau Rote dan Pulau Timor bagian selatan.

Masyarakat mengalami sakit akibat makan ikan tercemar dan nelayan tradisional kian sulit untuk melaut di perairan Laut Timor. “Penghasilan laut nelayan menurun hingga 60 persen, masyarakat sekitar banyak yang sakit di bagian pencernaan akibat mengonsumsi hasil laut yang tercemar tersebut,” tambah Lita.

Kebocoran minyak yang mencemari Laut Timor tersebut kian mencemaskan. Sejauh ini, upaya pencegahan yang dilakukan pihak Australia adalah menyemprotkan dispersant, yang berdampak menyembunyikan genangan minyak ke dasar laut. “Ini tidak menyelesaikan masalah, justru memindahkan masalah, di dasar laut malah akan merusak karang,” kata Mida Saragih, Knowledge Management KIARA.

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/ berita-detail. php?id=39655

Rabu, 30 September 2009

Hanya satu tong sampah untuk sebuah kapal kargo 500 ton.


Teman saya berbagi sebuah wacana tentang lemahnya komitmen pengelola kapal dan perusahaan terkait dalam menjaga lingkungan Laut:

Standar keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan internasional (ISPS Code) merupakan peraturan minimum keamanan internasional untuk pelabuhan dan kapal. Kode ini secara internasional digalakkan sejak 2004 terkait dengan serangan 11 September di AS. Tidak lain tidak bukan, AS hanya ingin kapal-kapal yang diijinkan bersandar di pelabuhan mereka datang dari palabuhan yang menerapkan kode ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Penerapan ISPS baru diterapkan sejak 2005, hasil tinjauan United States Coast Guard (USCG) di 2008 baru bisa mengizinkan 16 pelabuhan di Indonesia. Sisi baik yang pribadi saya lihat dari penerapan aturan ini, terutama dalam kesadartahuan keamaan dalam bekerja dan kelestarian lingkungan.

Saya bekerja di sebuah pelabuhan di Cilegon, Banten. Secara subjektif, saya menilai di sana bahwa ISPS Code hanya sekedar pelengkap untuk meningkatkan grade pelabuhan tersebut agar disebut sebagai pelabuhan 'internasional'. Namun dimplementasi-nya belum berjalan, contohnya pada pengelolaan sampah kapal.

Di negara lain, apa bila kedapatan kapal membuang sampah (baik padat ataupun cair) kelaut, maka kapal tersebut tidak di perbolehkan untuk berlabuh di seluruh dermaga pada negara tersebut selama 6 bulan sampai 3 tahun. Inilah alasan yang mendorong setiap pengelola kapal menyediakan dana tambahan untuk menampung sampah dan membuangnya ketika telah sandar di suatu pelabuhan.

Di Indonesia, jelas beberbeda. Saya sering kali melihat kapal besar milik BUMN (Semen Gr**ik) seperti MV Yu**co dan MV Ce**in, menyediakan tampungan sampah hanya sebuah drum (bertuliskan PER***INA ) dikaitkan di belakang kapal dan diposisikan diluar badan kapal menghadap laut langsung.

Bisa dibayangkan untuk perjalanan Gresik - Cigadig yang memakan waktu berapa hari (baik perjalanan dan menambat), apakah cukupkan satu tempat sampah untuk menampung sampah selama itu?. Belum menghitung tambahan limbah cair jika memang drum itu di tujukan untuk limbah padat saja, kemanakah dibuangnya?

Laut pun jadi korban. Tabiat kapal semacam ini nampaknya tidak sedikit, dan nampaknya tidak ada yang terkena sangsi larang labuh hingga saat ini, sejauh yang saya amati.

Satu pengalaman lagi ketika saya sedang melakukan preventive maintenance di suatu bagian pelabuhan sandar MV (merchant vessel/kapal dagang). Saya melihat seorang ABK sedang melakukan prosedur pembuatan barrier / penghalang, agar tumpahan oli tidak menyebar di laut. Janggalnya, saya lihat ABK tersebut sedang menggunakan majun ( kain perca yang dijahit menjadi satu ) untuk mengelap ceceran oli dan grease di lantai. Ternyata, mereka memasang barrier hanya sepenuhnya mengelilingi geladak kapa, sehingga bagian yang tidak terpasang barrier menjadi jalan keluar oli menyebar ke permukaan laut luas.

Dikala kesibukan si ABK, saya bertanya “Sedang apa Pak?”; ABK menjawab, “Lagi ngasih makan ikan”, sembari berusaha membersihkan ceceran oli di laut menggunakan majun yang di ikat tali kemudian di celupkan ke air diterjen kemudian di lemparkan ke arah ceceran oli di laut.

Sangat disayangkan. Sebab, di pelabuhan tempat saya bekerja, yang tiap hari kapal besar membawa bijih bisi bersandar; masih bisa dijumpai terumbu karang di beberapa titik. Berapakah keuntungan yang didapat bagi mereka yang menjalankan perusahaan ini? Berapakah banyakkah kejadian semacam ini di Indonesia tiap harinya?

Kustiaditya Wiguna

Jangan tunggu Laut marah, karena kita semua berpura-pura buta dengan hal seperti ini.



Bahkan negara maju seperti Jepang, di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif-nya bisa kecolongan jadi 'bak sampah laut' selama 15 dari Korea Selatan. Bagaimana dengan Indonesia?
(Foto: www.japanprobe.com)