Tampilkan postingan dengan label Bakau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bakau. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Maret 2012

Blue Carbon / Karbon Biru: Apakah itu?

Kita mungkin sudah banyak mendengar tentang hutan bakau dan terumbu karang. Namun, samudera dunia juga miliki ragam ekosistem bahari lain, diantaranya padang lamun, rawa asin dan lahan gambut pesisir.

Mangrove / Bakau

Lahan gambut payau yang sudah diolah di Kalimantan
(Foto: goalterzoko.blogspot.com/)
Rawa asin / Salt marsh di Georgia, AS.
(Foto: www.georgialifetraces.com)

Padang lamun di pesisir
(Foto: maruf.wordpress.com)

Ekosistem-ekosistem ini masih jarang didiskusikan sehari-hari. Ayo kita mulai bahas - dan mulai selamatkan.

Bersama hutan bakau (mangrove), padang lamun (seagrass), rawa asin (salt marshes) dan lahan gambut pesisir (coastal wetlands), adalah ekosistem kaya manfaat yang sudah lama bantu masyarakat bertahan - layaknya hutan bakau dan terumbu karang. Mereka menjadi sumber bahan pangan, kayu-kayuan, pusat keragaman spesies penting, pelindung pesisir, hingga menyaring nutrisi dari aliran air tawar darat.

Satu manfaat besar di era perubahan iklim saat ini adalah jasa ekologis mereka dalam penyerapan/sekuestrasi karbon (carbon sequestration).

Bukti ilmiah hingga kini terus bertambah, menguak bahwa ada ekosistem-ekosistem laut tertentu yang berperan sebagai rosot karbon (carbon sinks). Dengan fungsi ini berarti ekosistem berkemampuan menyerap dan memindahkan jumlah besar karbon dari atmosfir setiap harinya, dan menyimpan/mengendapkan-nya dalam badan tumbuhan atau sedimen tempat tumbuh - untuk waktu yang lama.

Sayangnya, mereka juga termasuk ekosistem yang terancam keberadaanya. Bagian dari ekosistem dengan laju penghabisan tercepat saat ini, dikesampingkan oleh aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan.

Sejalan menghilangnya ekosistem-ekosistem ini, tidak saja karbon yang disimpan mereka otomatis terlepas, juga menyempitnya kawasan ekosistem tersebut berarti lebih sedikit karbon yang bisa di-sekuestrasi dari atmosfir bumi kedepannya.

Dari seluruh karbon biologis yang tersimpan didunia, lebih dari separuh (55%) di'simpan' oleh organisme laut hidup - sebab ini disebut 'karbon biru' ('blue carbon').

Beberapa habitat laut yang paling handal menjadi 'karbon biru' diantaranya: hutan bakau, padang lamun dan rawa asin. Luasan habitat mereka hanya menutup 0.5% dari lautan dunia, namun menahan 50% simpanan karbon dunia di sedimen laut. Kasarnya, tiap kilometer persegi luasan habitan ini terdapat lima kali lebih banyak simpan karbon dibanding hutan hujan tropis.

Karbon biru dalam wujud vegetasi pesisir juga menyerap karbon jauh lebih efektif - hingga 100 kali lebih cepat - dan lebih permanen dibandingan hutan daratan.

Substrat gambut tempat vegetasi tumbuh menyimpan karbon dalam lapisan vertikal yang menebal. Sebab sedimen didasar habitat-habitat ini umumnya anoksik (minim/tidak ada oksigen). Dalam keadaan ini kandungan karbon organik tidak terurai dan dilepas hanya oleh mikroba di dalam sedimen itu sendiri.

Substrat pesisir mampu menahan karbon hingga ribuan tahun, berlawanan dengan hutan daratan dimana karbon terpusat di pohon.

Sebagai contoh, kunjungilah hutan mangrove. Kita bisa melihat sedimen kaya zat organik yang 'berkumpul' di akar mangrove, dan menebal sejalan pertumbuhan vertikal bakau. Ini membuat hutan bakau sangat efektif menangkap dan menyimpan karbon yang dilepas oleh manusia melalui gas emisi pembakaran bahan bakar fosil.

Diagram gambarkan bagaimana karbon di atmosfir diserap dan ditahan vegetasi lahan basah di pesisr.
(Gambar: www.habitat.noaa.gov)

Inilah cara sebenarnya mengembalikan karbon yang kita telah kita dari lapisan prehistorik di dalam bumi dalam bentuk minyak. Dan sebaliknya, dengan penghabisan ekosistem dan habitat pesisir dan laut yang menyimpan 'karbon biru', berarti melepaskan jumlah besar karbon, memperburuk dampak perubahan iklim global.

Ingin tahu lebih lanjut soal Blue Carbon? Silahkan lontarkan di kolom komentar di bawah. Mungkin tim kontributor bisa bantu bahas.

Referensi:

- UNEP - GRID Arendal, Blue Carbon: The role of healthy oceans in binding carbon http://www.grida.no/publications/rr/blue-carbon/
- UNEP - GRID Arendal, Blue Carbon Portal: http://bluecarbonportal.org/?page_id=168



Jumat, 09 September 2011

Hutan bakau (mangrove) juga sekaya hutan tropis di daratan dalam menyimpan karbon: Pohon-pohon pesisir berperan kritis menurunkan greenhouse gas.

Mangrove sehat mendukung kesehatan biota dan ekosistem pesisir lainnya.
(Ilustrasi: E. Paul Oberlander, Woods Hole Oceanographic Institution)
Hutan bakau di pesisir kita ternyata juga menyimpan karbon seperti hutan-hutan terestrial (darat) lainnya di Bumi, menurut studi dari tim peneliti dari U.S. Forest Service and beberapa universitas. Temuan mereka di terbitkan online di jurnal ilmiah Nature Geoscience.

Tim peneliti dari stasitun riset Pacific Southwest and Northern milik U.S. Forest Service, University of Helsinki dan the Center for International Forestry Research (CIFOR) mengkaji kandungan karbon dari 25 huran mangrove di kawasan Indo-Pasifik dan temukan bahwa tiap hektar hutan mangrove menyimpan hingga empat kali lebih banyak karbon dibanding kebanyakan hutan tropis lainnya di dunia.

Hutan bakau telah lama dikenal sebagai ekosistem pesisir yang sangat produktif. Mereka mampu menjalankan siklus karbon dengan cepat. Namun, hingga temuan tim, belum pernah ada estimasi seberapa besan karbon yang tersimpan dalam ekosistem bakau. Informasi kandungan karbon pada ekosistem hutan itu penting peranannya, sebab, saat kita merombak tata-guna pesisir atau daratan (contoh: tebang pohon bakau, tebang pohon hutan tropis), maka stok karbon yang tersimpan dalam tiap tegakan pohon pada dasarnya hilang (siklus karbon berhenti) atau terlepas ke atmosfir (contoh: ketika pohon terurai atau dibakar akibat proses konsumsi manusia). Demikian saduran dari hasil penelitian yang dipimpin oleh Daniel Donato, ecologis dari Pacific Southwest Reseach Station di Hilo, Hawaii.

Hamparan luas hutan bakau di Sungai Lom, Kalimantan Timur - sedang dalam ancaman pembangunan proyek Jembatan pulau Balang. (Foto: Petr Colas).

Kemampuan hutan mangrove menyimpan jumlah kandungan karbon yang sangat besar terkait sekali dengan tempat hidup mereka di tanah berlumpur (sedimen) yang dalam dan kaya unsur hara. Rata-rata jumlah simpanan karbon dalam bakau-sedimen lima kali lebih besar dibanding hutan daratan tropis, temperate, dan boreal untuk tiap luasan area yang sebanding. Sistem akar hutan mangrove yang rumit, yang menjangkarkan tanaman tersebut ke sedimen yang terendam air, mampu memperlambat air pasang surut yang datang agar materi organik dan anorganik bisa tertangkap di permukaan sedimen. Kondisi rendah oksigen di perairan dan sedimen hutan bakau membuat laju pembusukan lambat, sehingga banyak jumlah karbon mengendap di tanah sedimen.

Bahkan, jika digabung antara tanah sedimen dengan tegakan pohon mangrove, maka hutan mangrove menyimpan jumlah karbon jauh lebih banyak lagi dibanding hutan tropis daratan lainnya.

Seorang nelayan membawa dahan dan ranting pohon mangrove yang ditebangi di kawasan hutan mangrove Mulyorejo, Surabaya, Jawa Timur. (Foto: beritadaerah.com)
Donato dan para peneliti juga melihat betapa besarnya karbon yang terlepas dari pembabatan hutan mangrove. Penelitian mereka menegaskan bahwa jika masyarakat bisa konsisten dalam mengelola bakau, maka hutan bakau adalah kandidat kuat untuk dilibatkan dalam program-program terkait usaha mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan laju deforestasi (penebangan hutan).

Hingga kini, hutan mangrove di penjuru dunia telah mengalami deforestasi yang cepat dan tinggi -- 30 hingga 50 persen bakau dunia telah hilang hanya dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang ini. Deforestasi hutan mangrove berakibat terlepasnya emisi gas greenhouse (gas rumah kaca / GRK) sebesar 0.02-0.12 petagram karbon per tahun-nya, atau 200.000.000.000 hingga 1.200.000.000 kilogram karbon tiap tahun. Angka ini sama dengan 10% atau sepersepuluh dari emisi GRK dari deforestasi di seluruh dunia, menurut penelitian tim.

Indonesia memiliki luasan hutan bakau terbesar di dunia saat ini, diperkirakan sekitar 2.5 hingga 4.5 hektar. Namun, 70% diperkirakan juga sudah dalam keadaan 'rusak'. Menyelamatkan hutan mangrove Indonesia adalah tanggungan generasi masyarakat Indonesia saat ini. Melestarikannya berarti mempersiapkan generasi dewasa Indonesia selanjutnya jauh dari resiko perubahan iklim.

Ingin mulai dengan mangrove di Indonesia? Mulailah dengan search 'Kesemat' di Google - lalu bertindak.

Referensi

Daniel C. Donato, J. Boone Kauffman, Daniel Murdiyarso, Sofyan Kurnianto, Melanie Stidham & Markku Kanninen. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature Geoscience, 2011; DOI: 10.1038/ngeo1123

Rabu, 28 Juli 2010

KeSEMaT, Organisasi Mahasiswa yang Berhasil Menembus Birokrasi Mangrove Nasional dan Internasional

Logo KeSEMaT

Semarang - KeSEMaTONLINE. Dua buah foto di bawah ini adalah foto dua buah backdrop (BD) yang menyematkan lambang KeSEMaT di dalamnya, sejajar dengan institusi nasional di Indonesia. BD sebelah atas dan bawah adalah BD yang menyandingkan KeSEMaT dengan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), Kementrian Kehutanan (KEHUT), Kementrian Dalam Negeri (KDN), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaaan Nasional (BAKOSURTANAL), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Pengkajian dan Pengembangan (LPP) Mangrove dan Mangroves For The Future (MFF), Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) dan Borneo Lestari Foundation (BLF) beserta para mitra kerjanya yang lain.





BD - atas adalah KeSEMaT saat bekerjasama dengan KKP di program Pelatihan Training of Trainer (TOT) Ayo Tanam Mangrove di Pekalongan. Sementara itu, BD bagian bawah adalah saat penyelenggaraan Seminar Mangrove Nasional di Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, hasil kerjasama KeSEMaT dengan BLF. Selanjutnya, selama sembilan tahun perjalanannya di “dunia mangrove” Indonesia, sejak berdirinya di 9 Oktober 2010, KeSEMaT yang sebenarnya masih merupakan organisasi mahasiswa di tingkat Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, terbukti telah berhasil bekerjasama dengan institusi mulai dari tingkat akar rumput sampai dengan kementrian di Jakarta. Berbagai pengalaman pekerjaan dan penghargaan tingkat nasional dan internasional, telah berhasil ditorehkan oleh organisasi mangrove mahasiswa yang berkantor di Jl. Ngesrep Barat V/35 Semarang, ini.

Atas kesuksesannya dalam membangun link dan bermitra dengan banyak institusi dan organisasi non pemerintah ini, maka KeSEMaT, disamping diundang menjadi pemateri di seminar-seminar mangrove tingkat nasional dan internasional, juga seringkali diminta berbicara di dinas dan kampus-kampus di Semarang dan sekitarnya, mengenai kunci kesuksesannya dalam memanajemen organisasinya, sehingga bisa sukses melepaskan dirinya dari “niche” kemahasiswaannya dan menembus jaringan birokrasi (mangrove) dari tingkat daerah hingga nasional dan internasional, yang terkesan sulit ditembus.

Menurut Sdr. Oky Yuripa Pradana (Presiden KeSEMaT), organisasinya dalam waktu dekat ini, kembali akan diundang oleh mahasiswa dan dinas di Semarang dan Rembang. KeSEMaT akan berbicara di (1) Kampus UNDIP dan (2) dinas lingkungan di Rembang, untuk (1) memberikan materi tentang bagaimana agar sukses memanajemen organisasi dan (2) mempresentasikan mengenai kinerja dan sepak terjang KeSEMaT dalam mengelola ekosistem mangrove di Indonesia. Dia juga menambahkan bahwa kesuksesan KeSEMaT ini, semoga saja bisa menginisiasi organisasi mahasiswa lainnya, agar bisa memaksimalkan potensinya dan bertarung di kancah regional, nasional dan internsional, sesuai dengan bidang dan minatnya, masing-masing.

Google KeSEMaT disini.

Jumat, 02 Juli 2010

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (4)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


Salah satu sisi hutan Sungai Wain.

Rute alternatif.

Pembangunan jalan dan jembatan Pulau Balang tidak perlu terjadi. Menurut para konservasionis, rute alternatif yang lebih sederhana bisa terwujud yang juga tetap menjaga teluk, bakau, dan hutan. Rute alternatif juga rute yang lebih cepat bagi masyarakat untuk berkendara antara Balikpapan dan Penajam. Dibawah rencana saat ini, perjalanan antara Penajam dan Balikpapan jadi ditempuh 80 kilometer lebih jauh, yang juga lebih lama dibanding melalui fasilitas penyeberangan kapal feri yang saat ini sudah ada. Proyek alternatif ini membutuhkan jembatan dan jalanan dibangun di tepi paling selatan teluk, menjauhi kawasan mangrove dan hutan hujan tropis. Mungkin yang terpenting bagi para politisi adalah, sementara proyek alternatif ini akan memakan biaya lebih besar pada awalnya, jangka panjangnya akan lebih hemat.

"Tidak ada yang mencoba menghitung kerugian ekonomi akibat perombakan pulau Balang dan investasi besar yang akan dibayar pemerintah untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang diakibatkan proyek." ujar :hota.

Proyek alternatif kedua adalah tidak melakukan pembangunan jalan dan jembatan, melainkan dengan sederhana mengembangkan transportasi ferry antara Balikpapan dan Penajam bersamaan dengan pemutakhiran jalan yang sudah ada.

Meskipun proyek Jembatan Pulau Balang sudah melewati Analisa Dampak Lingkungan, Lhota berkomentar bahwa analisa tersebut jauh dari memuaskan.

"Asisten saya dan saya sendiri menghabisakan sebulan di kawasan tersebut secara sukarela mengumpulkan data untuk dimasukkan dalam ANDAL, namun tidak ada yang digunakan. Melihat data yang diambil, document ANDALtidak mengindahkan banyak ancaman utama bagi kawasan tersebut, seperti ancaman kebakaran hutan di HLSW, ancaman punahnya hutan mangrove akibat isolasi hutan dengan hutan lainnya dan banyak lagi. … Lebih lanjutnya, dokumen ANDAL tersebut sulit didapatkan (membutuhkan empat tahun bagi saya untuk mendapatkan kopi-ya dan hampir tidak ada aktivis lingkungan pernah mendapatkan akses ke dokumen tersebut) dan prakteknya juga tidak pernah dikonsultasikan ke publik…. Sudah jelas bahwa tujuan utama kajian ANDAL tersebut hanya sekedar memenuhi persyaratan hukum untuk memiliki dokumen ANDAL dan tidak untuk mengevaluasi analsisa dampak lingkungan proyek tersebut."



Salah satu sisi hutan Sungai Wain

Langkah maju: lokal vs propinsi dan pusat

Baru-baru ini, pemerintah likal, melihat banyak aspek negati dari proyek tersebut, telah menghindar dari mendukung Jembatan Pulau Balang. Sebaliknya mereka memberikan dukungan pada proyek jalan alternatif yang jauh tidak merusak lingkungan dan pilihan yang lebih baik bagi masyarakt.

Sebagaimana Ade Fadli menjelaskan: "masyarakat lokal hanya ingin mendapatkan fasilitas transportasi yang memadai."

Meskipun pemerintah propinsi dan pusat tepat menjadi suporter yang berlawanan, yang mampu mendorong proyek Jembatan Pulau Balang meskipun dengan kehawatiran dan penolakan dari pihak lokal. Ternyata dana pembangunan jembatan dan jalan sudah dijamin oleh investor dari Korea Selatan.

"Pemerintah propinsin dengan mudahnya menghiraukan masalah lingkungan, Mereka menganngap ada kebutuhan besar untuk mengembangkan transportasi antara Kalimantan Timur dan Selatan, yang sebenarnya juga benar, namun tidak menjelaskan mengapa memilih Jembatan Pulau Balang sebagai solusi jalan raya propinsi mengalahkan beberapa saran alternatif lainya," ujar Frederiksson.

"Alasan utama yang saya bisa lihat dari keinginan kuat untuk membangun rute jalan ini adalah panjangnya jalan yang dibangun (pengeluaran proyek yang besar) dan area terbesar yang tersedia untuk spekulasi harga tanah, yang telah berjalan sejak awal 1990 ketika pembangunan jalan pertamakali direcanakan / mulai dibangun. Sejumlah besar orang berpengaruh di tingkat propinsi dan pusat telah membeli lahan tanah dan akan melihat keuntungan besar ketika jalan ini terwujud," ujar Frederiksson.

"Saya saat ini tidak tahu siapa saja yang telah membeli tanah sepanjang kawasan pembanugnan jalan ini namun orang-orang ini sangat berpengaruh, dan, tentunya, pemangku azas yang sangat berambisi. Korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari kultur orang Indonesian dan rumor lokal telah menjelaskan apa dibalik keputusan-keputusan pemerintah selama ini," seperti apa yang dikatakan nara sumber yang dirahasiakan, dan menambahkan, "tentunya, rumor ini tidak bisa dibuktikan."

Pada akhirnya membangun jalan akan menjadi sebuah kehilangan besar dalam daftar besar hilangnya keanekaragaman hayati dan hutan Indonesia. Negara kepualuan ini - yang memiliki laju deforestasi terbesar di dunia, kehilangan hampir 25 persen hutanny adlam 15 tahun - juga pelepas emisi karbon ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat yang sebagian besar terkait dengan deforestasi. Sebagai tambahan, pulau Borneo telah kehilangan sekitar 50 persen tutupan hutan sejak 1970-an, meskipun dengan meningkatnya pemahaman akan pentingnya jasa ekologis hutan hujan tropis seperti untuk pengendapan karbon (carbon sequestration), preservasi keanekaragaman hayati, dan tangkapan air tawar.

Meskipun Indonesia memiliki sejarah buruk dalam lingkungan, para konservasionis berharap kali ini pemerintah propinsi dan pusat akan sadar dan terbuka, menjamin bahwa pelestarian hutan - termasuk mangrove dan teluk - adalah cara terbaik kedepannya dalam hal ekonomi dan kelestarian lingkungan.


Gibbon borneo. Foto: Petr Colas.

Gibbon borneo, salah satu satwa HLSW yang terancam punah di daftar merah IUCN


Dugong, salah satu satwa HLSW yang juga terancam punah.

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (3)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


Mangrove di Teluk Balikpapan. Foto: Petr Slavik

Tidak banyak yang tersisa.

Pembangunan jalan yang mengakibatkan perusakan hutan bukan hal baru di beberapa daerah di Kalimantan. Pembangunan jalan telah merusak Taman Nasional Kutai, Hutan Konservasi Bukit Soehato, dan Hutan LIndung Manggar. Kawasn suaka alam liar ini telah kehilangan hampir seluruh hutan primer mereka, dan kebanyakan dari taman nasional sudah pernah terbakar setidaknya sekali.

Proses penghancuran hutan perlahan akibat dampak manusia sudah berjalan di hutan Sungai Wain, yang juga terancam dengan rencana konstruksi jalan raya sepanjang tepi selatan.

"Banyak sekali pembalakan liar berlansung sepanjang jalan, lahan dibuka dengan cepat melalui penebangan dan pembakaran dan beberapa rumah kecil awal sudah mulai muncul di kedua sisi jalan. Sebuah proses yang tidak nyaman," ujar Lotha. Meskipun pemerintah menjanjikan pemantauan yang lebih baik, peningkatan penegakan hukum , dan perlindungan hutan, "dalam prakteknya, tidak ada kawasan cagar alam yangberada sepanjang jalan raya provinsi Kalimantan Timur yang tetap bertahan."

Beberapa jumlah spesies di kawasn tersebut saat ini, secara global terancam punah. Kucing teluk, kucing kepala datar, orangutan Borneo, burung Storm's stork, gibbon Borneo, monyet proboscis, semua terdaftar sebagai Endangered (terancam punah) dalam daftar merah IUCN.

Hutan tersebut juga rumah bagi langur berdada putih, jenis primata yang sulit dijumpai yang beru difoto pertama kalinya di tahun 2005. Kebanyakan dari foto yang direkam berasal dari hutan Sungai Wain.

Bagi Frederikkson, yang mempelajari beruang matahari, yang dikategorikan 'Satwa Rentan' , proyek pembangunan akan berdampak buruk pada populasi lokal hewan yang sudah dipelajarinya beberapa tahun.

"Pembangunan akan lebih mengucilkan populasi beruang matahari yang kecil dan rapuh, yang juga, sayangnya, maskot kota Balikpapan sejak tahun 2004. Pembangunan akan menghabisi kawasan tinggal sejumlah beruang , dan akan meningkatkan penjarahan beruang (melali jerat) lebih banyak lagi" ujar Frederikkson. "Saya mengestimasikan bahwa populasi beruang matahari akan berkurang separuh akibat pembangunan jalan ini dan membuat populasi mereka lebih rentan akan kepunahan yang lebih dini."



Seekor langur di hutan Sungai Wain. Foto: Milan Janda

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (2)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


 Salah satu bagian Hutan Lindung Sungai Wain.
Foto: Marian Bartos

Hilangnya kehidupan liar ?

Jika proyek Jembatan Pulau Balang berjalan terus, Teluk Balikpapan akan selamanya berubah.Teluk yang sudah dangkal akan mengalami erosi dan sedimentasi dari pekerjaan konstruksi di sekitar bukit, membuat teluk semakin sulit diaksed oleh perahu besar dan mengarah pada semakinseringnya bandjir di desa-desa pesisir. Jenis satwa di teluk, seperti dugong, buaya dan penyu hijau - yang sudah terusik oleh sedimentasi saat ini - akan menhadapi dampak lebih lagi dari polusi konstruksi.

Mangrove atau hutan bakau - sebuah ekosistem yang sebagian besar sudah hilang di dunia - akan mengalami dampak yang parah juga. Koridor hijau yang memungkinkan spesies satwa berlalulalang antara ekosistem mangrove dan HLSW akan putus.

"Fauna seperti monyet proboscis dan banyak spesies lainnya tidak bisa bertahan dalam jangka waktu lama, bahakna dalam hutan mangrove itu sendiri", Lhota menjelaskan. "Mereka memerlukan akses berkala menuju hutan disebelahnya untuk berbagai suberdaya hidup kunci mereka. Mangrove sendiri bagi mereka saat ini sudah menjadi lingkungan yang kurang cocok sebagai tempat tinggal dengan sumber makanan yang terbatas. Jika mereka terisolasi dari hutan lain, mereka pada awalnya akan terlihat bertahan namun akhirnya hanya tinggal pohon Rhizopora yang tak berpenghuni."

Hilangnya mangrove juga akan mengancam perikanan lokal sebab ikan memerlukan mangrove untuk memijah, beruaya dan tumbuh: mangrove saat ini mungkin harapan terakhir tempat berkembagn ngya ikan di teluk ini.

"Kalimantan Timur hanya memiliki sedikit kawasan mangrove yang tersis, sebab kebanyakan dari kawasan mangrove telah dirubah menjadi tambak udang dan industri. Dan di Balikpapam, inilah hutan mangrove terakhir yang ada," ujar Ade Fadli dari BEBSiC, kelompok konservasi lokal.

Jalan yang menghubungin jembatan ke Balikpapan akan melewati sepanjang tepian HLSW, dimana tegakan utama pohon-pohon dipterocarp terakhir berada di pesisir selatan dan tengah. Meskipun dampak langsung pembuatan jalan menuju hutan lindung akan minimal, jalan akan membukan akses ke hutan lindung untuk "penebangan liar, perataan lahan, dan yang utama, kebakaran hutan," ujar Lotha.

Api adalah ancaman paling besar bagi hutan. Sementara hutan tropis jarang terbakar dengan sendirinya dalam kondisi alami, dampak manusia di Indonesi telah meninggalkan luka pembakaran sepanjang Kalimantan. Sungai Wain memiliki hutan utama yang belum pernah terbakar di kawasan tersebut, saat kebakaran besar 1998 merebak di sepanjang wilayah, hanya sedikit bagian Sungai Wain yang terbakar.

"Hutan Sungai Wain yang baru terbakar sekali saja, teregenerasi dengan baik namun menjadi rentan akan kebarkaran selanjutnya akibat meningkatnya kelembaban dan jumlah besar kayu mati yang mudah terbakar," Lotha menjelaskan. "Jika terbakar kedua kalinya, dia tidak akan meregenerasi dengan mudah. Dengan kecenderungan pemerintah saat ini membuat hutan ini 'hilang selamanya'; kemungkinan bersar perambahan dan alih guna sangat tinggi.

Rumah bagi 100 spesies mamalia dan lebih dari 250 spesies burung, hilangnya hutan akan berdampak buruk pada spesies tropis, termasuk populasi orangutan reintroduksi.

Sebagai tambahan, hutan in ijuga sumber tangkapan air bersih untuk BUMN Pertamina, dan kawasan industri Kariangau Baru. Hilangnya hutan akan mengancam kebutuhan air industri ini, yang digunakan untuk pendinginan dalam penyulingan dan meunum untuk pekerja.

Hutan Sungai Wain adalah "lahan basah terakhir yang tertutupi oleh hutan dan mensuplai airtawar dengan rutin. Air dari kawasan lindung initelah digunakan industir minyak dan para pekerja / kepala rumah tangganya (mencakup 20persen populasi Balikpapan) sejak 1945," Fredrikkson menjelaskan.

Menurut Lhota, Teluk Balikpapan memiliki potensi tinggi untuk ekowisata dan pendidikan yang sebagian besar belum dicermati lebih lanjut.


Monyet proboscis dewasa. Diperkirakan 5 persen monyet proboscis di dunia saat ini berada di sekitar Teluk Balikpapan. Foto: Petr Colas

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (1)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010

Teluk balikpapan di Kalimantan Timur merupakan pusat beragam ekosistem: dugong yang terancam punah memakan lamun di perairan dangkal teluk, monyet proboscis yang bergelayutan di mangrove yang mencapai tinggi 30 meter di sepanjang teluk dan lumba-lumba Irrawady beruaya; melewati mangroce terdapat Hutan Lindung Sngai Wain (HLSW); disini, macan tutul Sunda berburu, beruang matahari memanjat kanopi mencari buah dan kacang, dan reintroduksi populasi orangutan sedang bersarang; namun alam liar ini, bersama semua penghuni yang tak terhitung, terancam oleh pembangunan jembatan dan jalan yang menghubungi kota Penajam dan Balikpapan.

Peta rencana pembanguan Jembatan Pulau Balang dan beberapa proyek alternatif yang lebih ramah lingkungan (garis putus). Gambar: Stanislav Lhota.

Jembatan ini, dikenal dengan Pulau Balang, akan terbentang melewati teluk, melewati pulau Balang, memotong mangrove dari hutan hujan tropis dan melewati sepanjang tepi barat hutan lindung. Sementara dampak langsung adalah deforestasi (penebangan hutan) untuk jalan, pemisahan bakau dari hutan huhan tropis, kerusakan pada karang. Peneliti mengatakan bahwa, penyediaan akses mudah ke mangrove dan hutan tak lain adalah dengan merusak.

Stanislav Lhota, ahli primata dari Universitas Bohemia Selatan berkata "Ancaman paling serius adalah yang tidak langsung, yaitu mebuka akses tak terkendali di seluruh kawasan tersebut".

Proyek ini akan menjadi akses terbuka untuk tempat tinggal, penebangan ilegal, bertambahnya konflik lahan, kebakaran hutanyang berkelanjutan, penjarahan satwa liar. Dampak langsungnya adalah perusakan kawasn mangrove dan satwa liar didalamnya, namun juga (pelan tapi nyata) perusakan sisi barat hutan Sungai Wain," ujar Dr. Gabriella Fredriksson, ahli beruang matahari, bekerja dalam pengelolaan dan konservasi HLSW lebih dari satu dekade kebelakang.

"Perusakan mangrove akan berdampak pada satwa liar bahari yang rentan di teluk (Balikpapan) dan juga perikana akibat hilangnya daerah untuk berkembang", ujar Dr. Danielle Kreb dari LSM lokal RASI, dia telah mempelajari mamalia laut Balikpapan dalam beberapa tahun kebelakang dan menemukan bawha habitat inti lumba-lumba Irrawady berada disekitar Pulau Balang.

Meskipun dampak lingkungan sudah jelas diutarakan oleh konservasionis, pemerintah provinsi dan pusat mendukung proyek ini. Pemerintah lokal, sebaliknya, telah memberi sinyal diakhir tahun 2009 untuk tidak mendukung proyek tersebut, terutama ketika diadakannya rencana alternatif yang tidak akan mengancam ekosistem, dan sebagai tambahan juga memberikan rute yang jauh lebih pendek antara Penajam dan Balikpapan.

Minggu, 31 Mei 2009

Situasi Saat ini (3 - selesai): Kontribusi kita dalam mengeliminasi ekosistem terumbu karang secara masal.

Kawasan terumbu dekat pantai (back-reef) dan hutan bakau (mangrove) saat ini sudah beralih menjadi hamparan pantai dan bangunan jasa pariwisata (hotel, resort, dll.); menghapus banyak kawasan kembang-biak (nursery ground), tak ada lagi yang menyaring dan menahan sedimen serta polutan yang datang baik dari muara atau dari pesisir. Tengoklah pantai Utara Jawa untuk contohnya. Mangrove dan hamparan dangkal laguna kaya akan lamun dialihfungsikan menjadi pantai untuk wisatawan, serta bentuk lain dari pembangunan kawasan pesisir - semua semakin pesat sejalan semakin padatnya populasi pesisir. Dampak polusi bagi terumbu karang yang berasal dari pertanian dan industri-pun tidak jarang sumebrnya sangat dekat dengan pesisir. Demikian juga dengan limbah rumah tangga dan saluran pembuangan lainnya yang langsung menuju kolom air pesisir, tanpa diolah terlebih dahulu. Keadaan tersebut ini mengakibatkan nutrien berlebih di kolom air, memicu pertumbuhan berlebih alga (alga blooms), alga semakin mudah mengalahkan karang dalam kompetisi ruang untuk tumbuh. Karang semakin terhimpit oleh alga, ketika penangkapan berlebih ikan sudah mulai menghapus populasi ikan herbivori yang bertugas mengendalikan populasi alga (Nellemann et al., 2008). Polutan lainya dari industri dan agrikultur juga secara halus mempengaruhi keadaan biologis organisme laut lainnya, dan kurangnya perhatian ilmiah akan hal ini juga cukup mencemaskan - sebab secara perlahan dan jagnka panjang zat polutan juga mempengaruhi pertumbuhan biologis kebanyakan organisme di terumbu karang; dan saat kini kita terus meracuni mereka tanpa henti(Nystrom er al. 2000). Karbon dioksida yang dilepas manusia serta gas rumah kaca lainnya telah mempengaruhi perubahan ilklim global dan juga memberikan tekanan bagi terumbu karang akibat temperatur air yang menghangat, bertambah banyak dan kuat-nya badai, serta pengasaman laut (ocean acidification) (Hoegh-Guldberg et al., 2007).


Pembuangan limbah daratan langsung ke kolom air laut pesisir.
(Foto: Steve Spring/Marine Photobank)

Meningkatnya temperatur di muka air laut telah mengakibatkan msemakin seringnya fenomena pemutihan karang, dalam geografis yang besar, dan prediksi iklim dari IPCC menyatakan bahwa pemutihan karang masal akan menjadi even tahunan di masa depan di banyak belahan dunia. Terlalu banyak pemutihan menyebabkan karang mati, dan daya tahan terumbu (resistence) ditentukan oleh daya pulih mereka (recovery), kemampuan berkoloni kembali dan tumbuh dalam jumlah yang cukup, diantara episode-episode pemutihan tersebut. Namun sayangnya, lebih banyak dan menguat-nya badai berarti lebih besar lagi kemungkinan rusaknya terumbu karang. Pengasaman laut berdampak lagi langsung pada kemampuan karang dan organisme lainnya dalam membangun kerangka kalsium karbonat yang mereka butuhkan, bersamaan dengan itu juga kemampuan mereka untuk pulih terus tertekan dengan dampak lainnya, dan ada alasan kuat bahwa terumbu karang, yang mulai dieksplorasi mendalam oleh manusia di awal 1970-an, akan terhapus dari planet ini di tahun 2050-an, JIKA kita tidak mengambil langkah nyata dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, dan jika bersamaan dengan itu kita tidak meningkatkan efektifitas dalam mengelola dampak skala lokal manusia terhadap karang (Hoegh-Guldberg et al., 2007).


Kaitan antara penumpukan CO2 di atmosfir, pengasaman laut dan terhambatnya proses kalsifikasi (pengapuran) organisme laut seperti terumbu karang (Hoegh-Guldberg et al 2007)

Disini kita tidak berbicara masalah punahnya satu spesies, atau hilangnya banyak gugusan terumbu karang lokal; disini ktia berbicara tentang eliminsai global sebuah ekosistem, sebuah langkah negatif terbesar peradaban manusia saat ini.

Referensi:
  • Nellemann, C., Hain, S., Alder, J. (Eds.), 2008. In Dead Water Merging of ClimateChange with Pollution Over-Harvest, and Infestations in the World’s Fishing Grounds. United Nations Environment Programme, GRID-Arendal, Norway, p. 64.
  • Nyström, M., Folke, C., Moberg, F., 2000. Coral reef disturbance and resilience in a human-dominated environment. Trends in Ecology and Evolution 15, 413–417.
  • Hoegh-Guldberg, O., Mumby, P.J., Hooten, A.J., Steneck, R.S., Greenfield, P., Gomez, E., Harvell, C.D., Sale, P.F., Edwards, A.J., Caldeira, K., Knowlton, N., Eakin, C.M., Iglesias-Prieto, R., Muthiga, N., Bradbury, R.H., Dubi, A., Hatziolos, M.E., 2007. The carbon crisis: coral reefs under rapid climate change and ocean acidification. Science 318, 1737–1742.