Tampilkan postingan dengan label Hiu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hiu. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Desember 2018

DNA barcode untuk melindungi organisme laut di Indonesia


Gambar 1. DNA barcode
(Sumber : Google)
Ketika kita berbicara tentang konservasi, di dalam benak pikiran pastilah suatu hal untuk menjaga, dan melindungi. Dalam buku Biologi Konservasi yang ditulis oleh Indrawan et al, tahun 2007, menyebutkan terdapat lima prinsip tentang konservasi yang tengah berkembang saat ini yaitu: (1) keanekaragaman spesies dan komunitas biologi harus dilindungi, (2) kepunahan spesies dan populasi yang terlalu cepat harus dihindari, (3) kompleksitas ekologi harus dijaga, (4) evolusi harus terus berlanjut, dan (5) keanekaragaman hayati memiliki nilai intrinsik. Hal ini dikarenakan manusia menggantungkan hidupnya terhadap apa yang ada di alam semesta ini, sebagai contoh hewan, tumbuhan, jamur, dan bahkan mikroorganisme layaknya bakteri juga kita perlukan untuk keperluan hidup manusia.

Salah satu cara awal untuk melindungi suatu organisme adalah dengan mengenali organisme tersebut. Pada awalnya, untuk mengenali organisme yaitu dengan mengetahui bentuk tubuh, dan karakteristik hidup pada organisme tersebut. Namun pada saat ini mengenali suatu organisme cukup dari urutan basa nukleotida yang berada di lokus DNA organisme tertentu, sehingga dikenali karakteristik urutan basa nukleotida yang berbeda pada masing-masing spesies bahkan individu masing-masing organisme. Cara tersebut dikenal dengan teknik DNA barcode, Neigel et al (2007) menyebutkan bahwa DNA Barcode merupakan metode identifikasi taksonomi yang menggunakan lokus DNA tertentu salah satunya dengan lokus cytochrome oxidase subunit I (COI) yang berada pada DNA dalam organel sel mitokondria atau dikenal dengan mtDNA. Aspek yang menarik dari metode barcode untuk mengidentifikasi spesies adalah metode tersebut dapat digunakan pada setiap siklus kehidupan organisme tersebut (larva, juvenil atau individu) yang terkadang sulit diidentifikasi melalui cara tradisional yaitu morfologi taksonomik.

Lalu, kenapa harus DNA mitokondria (mtDNA) dan lokus COI ?

mitokondria yang merupakan salah satu organel sel organisme eukariotik (Tumbuhan, Binatang, Manusia, dan beberapa jamur) yang berfungsi sebagai respirasi sel, dan didalam organel tersebut terdapat materi genetik yang disebut dengan mtDNA. mtDNA ini mempunyai kelebihan dibandingkan inti DNA yang terdapat pada organel nukleus yaitu diturunkan secara maternal (melalui satu jalur yaitu dari ibu) sehingga memudahkan dalam memahami struktur nenek moyang atau evolusi dari organisme tersebut (Rahayu dan Nugroho, 2015). mtDNA memiliki jumlah salinan DNA yang banyak, pada sel yang sama terdapat 100-10.000 salinan DNA. Hal itu menyebabkan mengisolasi atau mendapatkan DNA melalui mtDNA lebih mudah daripada DNA inti (Rahayu dan Nugroho, 2015).

Lokus COI merupakan gen yang mengkode protein dalam mtDNA. Cytochrome oxidase subunit I (COI) merupakan reprensentatif dari semua gen penyandi protein, dan COI banyak digunakan dalam studi variasi genetik maupun hubungan kekerabatan pada suatu organisme. Penggunaan penanda genetik dengan memanfaatkan gen COI dipilih karena merupakan gen yang berevolusi relatif cukup cepat dan paling stabil diantara gen-gen lain yang terdapat dalam mtDNA (Gambar 2.), sehingga sering digunakan untuk analisis keragaman genetik pada klasifikasi organisme yang lebih rendah (famili, genus dan spesies) (Rahayu dan Nugroho, 2015).
Gambar 2. Mitokondria DNA (mtDNA) berserta lokus-lokus gen didalamnya
(Sumber : Wikipedia.org)
Saat ini organisme laut mulai diperhatikan keberlangsungan hidupnya, salah satunya di Indonesia sendiri. Kita ketahui sendiri makhluk karismatik seperti hiu, pari manta, dan paus, bisa membawa surga parawisata sendiri dan dengan adanya hal itu maka pundi-pundi pun akan masuk dalam kantong manusia maupun suatu pemerintahan daerah tersebut. Namun dilain pihak, hewan-hewan tersebut seperti hiu contohnya selalu menjadi perburuan yang hangat karena permintaan ekspor dan sup sirip ikan hiu seperti yang telah di ceritakan dalam artikel Laut & Kita sebelumnya dengan judul : Kesalahan kita terhadap peranan hiu.
Gambar 3. Sirip hiu yang diperdagangkan disalah satu wilayah Indonesia yaitu Bali
(Sumber :Sembiring et al, 2015)
Ketika hiu diburu dan hanya di ambil siripnya dan tubuhnya dibuang sehingga menghilangkan jejak. Menimbulkan kesulitan untuk identifikasi jenis hiu apa tersebut ketika sudah berada dalam pasaran, sehingga tidak diketahui status hiu tersebut berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resource). Namun penelitian Sembiring et al, (2015), dengan menggunakan teknik DNA barcode dapat mengidentifikasi dan mengetahui status sirip hiu tersebut yang diperdagangkan di sekitar pasar tradisional dan eksportir sirip hiu di Indonesia. Hasilnya dari 852 sirip hiu yang didapatkan jenis hiu terbanyak yaitu Carcharhinus falciformis atau silky sharks dengan frekuensi 19.07% yang termasuk status dalam IUCN yaitu near theartened atau hampir terancam, Sphyrna lewini atau hiu martil sebanyak 10.48% termasuk status dalam IUCN yaitu near theartened atau hampir terancam, dan Prionace glauca atau Blue sharks sebanyak 9.25% 10.48% termasuk status dalam IUCN yaitu endangered atau terancam punah.

Selain hiu, Yusmalinda et al, (2017), juga dapat mengidentifikasi cetacea yang terdampar di perairan Indonesia. Mengenali cetacea terdampar merupakan salah satu hal yang sulit, karena sebagian individu yang terdampar hanya menyisakan sebagian tubuhnya, atau sebagian tubuhnya sudah hilang sehingga sulit mengidentifikasinya secara morfologi. Whale Stranding Indonesia (WSI) mencatat bahwa lebih dari 21% cetacean terdampar di Indonesia, tidak terindentifikasi. Sehingga diperlukan seuatu pendekatan teknik DNA barcode untuk menjawab hal tersebut. Dari 26 sampel yang berhasil di amplifikasi atau perbanyak DNA taget dengan proses Polymerase Chain Reaction (PCR), mampu mengidentifikasi 15 spesies dan 13 genus cetacea yang terdampar diperairan Indonesia.
Gambar 4. Paus yang terdampar diperairan Gilimanuk, Bali pada tahun 2010 yang di foto oleh BKSDA, Bali
(Sumber : Yusmalinda et al, 2017)
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian diatas, penggunaan teknologi seperti DNA barcode dapat membantu masyarakat, stakeholder, dan pemerintah dalam bekerja efisien seperti menyelamatkan jenis hiu yang terancam punah atau dilindungi dari perdaganngan sirip hiu dan mengidentifikasi jenis cetacea yang terdampar sehingga dapat memonitoring cetacea yang terdampar. Penggunaan DNA barcode memberikan kemajuan teknologi yang berguna untuk menyelamatkan organisme-organisme yang terancam ataupun untuk konservasi lingkungan.

Referensi 
  • Sembiring A., N.P.D. Pertiwi., A. Mahardini., R. Wulandari., E.M. Kurniasih., A.W. Kuncoro., N.K.D. Cahyani., A.W. Anggoro., M. Ulfa., H. Madduppa., K.E. Capenter., P.H. Barber. 2015. DNA barcoding reveals targeted fisheries for endangered sharks in Indonesia. Fisheries Research. 164 : 130-134 
  • Indrawan, M., Primack R.B., Supriatna J. 2007. Biologi konservasi (Edisi Revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 626 hal 
  • Neigel, J., A. Domingo., J. Stake. 2007. DNA Barcoding as a Tool for Coral Reef Conservation. Coral Reefs. 26 : 487-499 
  • Rahayu, D.D. dan E.D. Nugroho. 2015. Biologi Molekuler dalam Perspektif Konservasi. Plantaxia. Yogyakarta. 185 hlm. 
  • Yusmalinda, N.L.A., A.W. Anggoro., D.M. Suhendro., I.M.J. Ratha., D. Suprapti., Kreb., N.K.D. Cahyani. 2017. Identifikasi Jenis pada Cetacea Terdampar di Indonesia dengan Teknik Molekular. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol. 9 (465-474) (DOI : http://dx.doi.org/10.29244/jitkt.v9i2.19283

Minggu, 19 April 2015

Kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu

M. Danie Al Malik


Perairan Indonesia memiliki keragaman jenis hiu yang cukup tinggi. Setidaknya 116 jenis hiu yang termasuk ke dalam 25 suku ditemukan di wilayah perairan kita. Ikan hiu termasuk dalam kelompok ikan bertulang rawan, atau Elasmobranchii.

Elasmobranchii merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting di dunia. Data FAO melaporkan bahwa total tangkapan ikan-ikan Elasmobrachii di dunia pada tahun 2010 mencapai lebih dari 640 ribu ton. Lebih dari sepertiga jumlah tersebut ditangkap dari Indonesia, bersama dengan India, Spanyol, dan Taiwan. FAO juga menyebutkan total tangkapan perikanan hiu di Indonesia hingga 109,243 ribu ton untuk tahun 2010 sendiri (Gambar 1).


Gambar 1. 20 negara pengekploitasi perikanan hiu terbesar (Indonesia 109,243 ribu ton).
(Sumber: Escobar, K. (2011))
Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah hiu yang ditangkap di Indonesia terus meningkat sejak 1975 hingga 2011. Peningkatan tersebut tegolong signifikan jika di banding dengan Negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Sri lanka dan Thailand (Gambar 1). Jumlah tangkapan hiu di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2000 yaitu mencapai 70.000 ton (Gambar 2).

Gambar 2. Produksi perikanan hiu di Indonesia sejak tahun 1975- 2011.
(Sumber : KKP (2013))
Sejalan dengan peningkatan penangkapan ikan hiu di beberapa dekade terakhir,  skala operasi penangkapan tidak lagi terbatas pada perikanan berskala kecil tetapi sudah merambah hingga perikanan komersial berskala besar. Keadaan ini membuat jenis hiu yang ditangkap juga semakin banyak, termasuk jenis hiu bernilai tinggi seperti hiu botol (Squalidae), hiu lontar (Rhynchobatidae) dan hiu-hiu berukuran besar (Carharhinidae, Lamnidae, Alopiidae, dan Sphyrnidae).

Jenis hiu di atas mempunyai nilai ekologis yaitu sebagai predator di laut sebagai pengontrol sistem rantai makanan, jika fungsi ekologis hiu-hiu tersebut dihilangkan maka bisa memicu tidak terkendalinya jumlah spesies ikan tertentu, sehingga terjadi pemangsaan berlebih pada spesies-spesies ikan, khususnya yang bernilai kormersial. Sejatinya hiu merupakan tangkapan sampingan, namun seiring dengan menurunnya ikan tangkapan utama seperti tuna, hiu beralih menjadi tangkapan yang bernilai ekonomis. 

Di beberapa daerah di Indonesia, perikanan hiu telah menjadi sumber utama mata pencaharian sebagian masyarakat. Tiap mata rantai perdagangan perikanan hiu memberikan topangan pendapatan, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dalam profesi nelayan penangkap, pengumpul, penjual dan pengolah hasil perikanan hiu di daerah-daerah dimana hiu menjadi target tangkapan mereka.

Di beberapa wilayah Indonesia seperti daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lombok-Nusa Tenggara Barat peran wanita menjadi pemain utama dalam melakukan bisnis perdagangan produk hiu sebagai pengelolah hasil perikanan hiu. Hal ini menunjukkan bahwa produk hiu telah menjadi komoditi penting karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal secara langsung. 

Hampir semua bagian tubuh hiu memiliki nilai ekonomi dan dapat memberi keuntungan bagi nelayan dan semua pihak yang terlibat dalam rantai perdagangan hiu.  Bagian hiu yang bisa bernilai ekonomis antara lain daging, tulang rawan, kulit, gigi rahang, jeroan/isi perut, hati, dan sirip. Namun umumnya komoditas hiu utama yang diperdagangkan ada empat kelompok yaitu produk sirip hiu kering (dried fins), sirip hiu basah (salted fins), daging hiu beku (frozen sharks nei) dan produk campuran hiu (fresh or chilled shark).

Produk perikanan hiu yang paling umum diekspor ke luar negeri adalah sirip kering, yang mana di dalamnya juga termasuk sirip pari gitar dan pari cermin/bandrong (suku Rhyncobathidae dan Rhinobatidae). Berdasarkan data dari KKP tahun 2013, sejak tahun 1980 sampai 2006 secara umum terlihat bahwa usaha perdagangan hiu meningkat tajam pada periode 1992 hingga 1995 yaitu mencapai sepuluh ribu ton (Gambar 3). Laporan menyebutkan separuh produk sirip ikan hiu dari Indonesia diekspor ke Jepang, kemudian diikuti oleh Hong kong, Singapura dan Malaysia (Gambar 4).

Gambar 3. Jumlah ekspor produk perikanan hiu Indonesia dalam kurun waktu 1980-2006.
(Sumber : KKP (2013))
Gambar 4. Proporsi jumlah sirip hiu yang diekspor ke beberapa Negara tujuan pada tahun 2005 dan 2006.
(Sumber : KKP (2013))

Gambar 5. Perdagangan sirip ikan hiu sebagai produk perikanan ekspor yang bernilai tinggi.
(Sumber : Wikipedia)
Tingginya harga sirip hiu menjadi salah satu faktor pemicu tingginya intensitas perdagangan sirip hiu. Sirip hiu umumnya digunakan untuk sup yang merupakan sajian bergengsi di restoran-restoran seafood di beberapa kota besar di Indoensia seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya dengan harga satu porsi sirip hiu mencapai Rp. 500.000,-.

Alasan utama konsumen mau membayar harga yang fantastis ini sebagian besar didorong karena alasan sosial-budaya. Contohnya, sup sirip hiu dianggap makanan berkelas karena konon sup sirip hiu merupakan hidangan khusus raja dan bangsawan di Cina tempo dulu.

Gambar 6. Sup sirip ikan hiu konon sebagai hidangan kerajaan Cina tempo dahulu.
(Sumber : Wikipedia)
Alasan lain menyantap sup sirip hiu adalah kepercayaan sebagian masyarakat akan khasiat dari makanan ini yang dipercaya dapat menambah vitalitas, mencegah bahkan mengobati kanker. Padahal, berdasarkan hasil penelitian Food and Nutrition Information Center, sirip hiu tidak mengandung nutrisi. Sirip umumnya  terdiri dari tulang rawan, yang secara umum tidak mengandung vitamin, namun mengandung glukosamin dan kondroitin.

Beberapa pelaku pengobatan alternatif memang meyakini bahwa sirip hiu memiliki zat yang dapat memerangi kanker, namun menurut National Center Institute, hanya ada satu penelitian klinis terhadap tulang rawang hiu sebagai perawatan kanker pada manusia yang pernah dipublikasikan dan menunjukkan bahwa tulang rawan hiu tidak efektif melawan kanker. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa perawatan tambahan terhadap pasien yang mendapatkan kemoterapi dengan memberikan beberapa dosis ekstrak sirip hiu dalam jumlah yang berbeda pada 397 pasien tidak memberikan hasil positif.

Sebaliknya sirip hiu diduga mengandung merkuri dalam dosis yang cukup berbahaya, kandungan merkuri tersebut diakibatkan polusi di lautan. Sebagai hewan di puncak rantai makanan, hiu berpotensi mengandung merkuri lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya. Hal ini karena sifat merkuri yang terakumulasi melalui proses makan memakan, atau disebut bioakumulasi.

Bagaimana merkuri di lautan ter-akumulasi di tubuh ikan di tingkat teratas rantai makanan.
(Sumber: Wikipedia)
Sebagai gambaran, studi yang dilakukan oleh Dr. R. Kruse dan Dr. E. Bartelt untuk German Faderal Ministry of Food, Agriculture, and Consumer Protection (BMEL) mereka menyatakan bahwa ditubuh seekor terkandung 0,4 atau 4.000 mikrogram/kg. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan batas aman kandungan merkuri pada makanan tubuh manusia yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu tidak melebihi 0,5 ppm atau 500 mikrogram/kg.

Selain sirip, hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa tubuh hiu memiliki kandungan urea 2 – 2,5% dari total daging, sedangkan ikan tulang sejati (Teleostei) hanya mengandung urea 0,05%. Dengan kata lain, pada hakikatnya mengkonsumsi hiu tidak terbukti bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan ataupun sebagai obat anti kanker, malah dapat berpotensi meracuni tubuh. 

Hal lain adalah masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat baik nelayan maupun masyarakat umum terhadap kelestarian sumber daya ikan hiu. Ikan hiu sangat rentan terhadap penangkapan yang berlebihan. Hiu pada umumnya memiliki pertumbuhan yang lambat dan memerlukan waktu yang lama (beberapa mencapai hingga puluhan tahun) untuk mencapai usia dewasa dan berkembang biak. Selain itu jumlah anak yang dihasilkan setiap tahunnya relatif sedikit dibandingkan dengan kelompok ikan lainnya.

Hiu umumnya memiliki peranan utama sebagai sebagai pemangsa ikan lain, atau predator, sehingga menjadi pengendali populasi spesies dalam sistem rantai makanan di ekosistem laut. Menurut Penasihat Teknis Kawasan Laut The Nature Conservancy (TNC), Bapak Purwanto; keseimbangan ekosistem bisa dijaga salah satunya sebab peranan spesies hiu yang duduk di predator puncak (tidak ada yang memangsa, hanya memangsa) dalam mengendalikan populasi spesies ikan dengan memangsa ikan-ikan sakit atau terluka.

Piramida trofi ekosistem laut.
(Sumber: The University of Waikato)

Demikian juga temuan dari Bornatowski et al (2014) di Brasil selatan yang mendukung peranan hiu sebagai elemen penting dalam rantai makanan. Dari analisa isi perut dari 820 ikan dari 15 spesies elasmobranchii serta catatan dari 23.027 isi perut ikan dari beragam laporan mulai 1980 hingga 2012, Bornatowski et al (2014) mencoba memetakan hewan apa saja yang dimakan spesies hiu predator teratas, dan hiu meso-predator (dimangsa hiu, memangsa ikan non-hiu). 

Penelitian mereka temukan bahwa hiu predator teratas (top predator) seperti Carchahinus obscurus, Carcharias taurus, Sphyrna lewini, dan S. zygaena memangsa spesies-spesies di tingkat rantai makanan di bawahnya yang mencakup hiu-hiu meso-predator, ikan-ikan non-hiu, hingga avertebrata laut dan burung).

Merujuk ke penelitian hiu terdahulu, Bronatowski et al. (2014) beranggapan bahwa konsekuensi dari pengambilan hiu dari alam sifatnya tidak langsung, sebab menurunya hiu memberikan semacam efek domino. Salah satunya adalah bertambahnya populasi spesies ikan (A) yang tidak lagi dimangsa hiu. Namun di sisi lain, penambahan populasi spesies ikan A bisa menyebabkan penurunan besar pada populasi spesies laut lain (B) yang menjadi pakan-nya.

Kekhawatiran muncul ketika melimpahnya spesies ikan A dianggap sebagai ‘pemulihan ekosistem ikan’, padahal sebenarnya indikasi ketidak-seimbangan ekosistem. Demikian juga penurunan spesies B, jika spesies tersebut bernilai komersil, maka ekonomi perikanan dari masyarakat bergantung pada spesies B bisa terancam.

Demikian pula jika spesies B adalah spesies kunci ekosistem, seperti ikan kakatua di terumbu karang yang mengendalikan populasi alga. Jika ikan ‘pembersih’ terumbu karang habis dimangsa berlebih oleh ikan diatasnya, maka pertumbuhan alga yang tak terkendali bisa menutupi karang hidup dan sehat, mengancam terumbu karang.

Hiu hanyalah segelintir dari kelompok hewan yang dimanfaatkan dari lautan. Kebutuhan ikan yang tinggi serta kecanggihan teknologi penangkapan ikan, membuat manusia mengambil ikan dari tingkat spesies teratas, hingga terbawah.
(Sumber: Wikipedia)

Kesadaran akan kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu selama ini, dan kemauan kita semua kepada kelestarian hiu yang memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, sangat diperlukan.

Dengan membatasi, atau tidak, menangkap hiu dan tidak mengkonsumsi daging ataupun sirip hiu, serta aktif dalam kegiatan pelestarian hiu bersama keluarga dan sahabat; maka kita sudah membantu dalam menjaga hiu dari keterancaman. 

Referensi
  • Apriyani, A. (2013, November 21). Racun Methyl Mercury Dalam Tubuh Hiu. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://savesharksindonesia.org/racun-methyl-mercury-dalam-tubuh-hiu/
  • Bornatowski, H., Navia, A. F., Braga, R. R., & Abilhoa, V. (2014). Ecological Importance of Sharks and Rays in a Stuctural Foodweb Analysis in Southern Brazil. International Council for the Exploration of The Sea, Vol 71 (7) : 1586-1592.
  • Darmawan, A., & Ruchimat, T. (2013). Tinjauan Status Perikanan Hiu di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
  • Escobar, K. (2011, January 27). The Future of Sharks : A Review of Action and Inaction. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/reports/2011/01/27/the-future-of-sharks-a-review-of-action-and-inaction
  • Ferretti, F., Worm, B., Britten, G. L., Heithaus, M. R., & Lotze, H. K. (2010). Pattern and Ecosystem Consequences of Sharks Declines in The Ocean. Ecology Letters, Vol 13 (8) : 1055-1071.
  • Maryati. (2013, Maret 19). Populasi Hiu dan Pari Manta Dalam Ancaman. Dipetik April 6, 2015, dari http://www.antaranews.com/berita/364072/populasi-hiu-dan-pari-manta-dalam-ancaman

Sabtu, 17 Januari 2015

Konservasi hiu diatas mangkok



Ikan-ikan dipilah sesuai jenisnya kedalam keranjang, lalu dengan sigap kedua pekerja segera membawa keranjang ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang sudah ramai sebelum terbitnya matahari.

Tidak boleh lengah berdiri diantara lalu lalang pengangkut ikan di salah satu pelabuhan perikanan terpadat di pesisir Pulau Jawa tersebut. Aktifitas bongkar muat dan transaksi semua berlangsung cepat, menjadi pemandangan sehari-hari di pelabuhan ini.


Di sebuah pelataran di TPI tampak sebuah kerumunan khusus bagi pengepul yang membeli ikan jenis hiu dan pari gitar. Saat itu tiga pengepul yang sedang mengamati dan memberikan arahan kepada anak buahnya untuk memotong sirip disemua bagian tubuh hiu dan pari gitar.

Sirip dikumpulkan jadi satu tumpukan besar, sedangkan dagingnya akan dijual kembali ke pembeli lainnya. Tampak juga tumpukan moncong-moncong pari gitar, salah satu pengepul berniat menjualnya untuk diekspor sebagai bahan baku kosmetik.



Tidak tanggung-tanggung. Dua jam saja berada ditengah aktifitas tersebut, hitungan kasar saya lebih dari 160 ekor hiu martil telah dipotong siripnya. Kebanyakan ukuran mereka kecil, menandakan usia juvenil.

Semua hiu dan pari yang ada saat itu merupakan tangkapan sampingan dari alat tangkap payang yang umum dioperasikan nelayan dengan kapal kapasitas 20-30 GT. Betul – sampingan - bukan tangkapan yang utama diincar nelayan. Keistimewaan fungsi biologi hiu saat itu tidak masuk perhitungan lagi. Baik hiu dan ikan tangkapan sampingan semata sama-sama ikan.

Daging hiu dijual untuk diolah menjadi daging asap atau daging yang kemudian dipasarkan di kota-kota sekitar di Jawa Timur. Seperti komoditi pangan lain, daging hiu juga bagian pasar domestik di Indonesia.

Pasaran hiu domestik bertahan antara lain sebab permintaan konsumen domestik terhadap produk olahan hiu, harga yang murah sebagai tangkapan sampingan, ketidakpahaman masyarakat terhadap pentingnya hiu dan peraturan yang ada. Bahkan saat sudah jadi daging olahan, tidaklah mudah bagi masyarakat untuk membedakan apakah itu daging hiu atau pari.

Beragam tantangan besar perlu kita kelola bersama untuk mengurangi tekanan pada populasi hiu. .
Beberapa pengusaha sirip hiu di Indonesia kini mulai memahami bahwa beberapa jenis hiu dilarang untuk diperdagangkan. Sembari mengambil beberapa sirip punggung hiu martil dengan panjang sekitar dua jengkal dewasa, pengepul menjelaskan bahwa sirip tersebut sudah dilarang, bahkan untuk memasarkannya keluar negeri pun tidak sembarangan.

Adanya kebijakan pengaturan perdagangan hiu baik di negara konsumen hiu dan di Indonesia berdampak pada bisnis sirip hiu. Pengusaha lebih berhati-hati dalam melayani kuota permintaan serta memilih jalur pemasaran sirip hiu. Namun, insentif peluang akses transportasi melalu udara maupun laut akan menjadi insetif utama untuk mempertahankan bisnis sirip hiu.

Di akhir 2014, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menambah deretan kebijakan perdagangan hiu yang ada.

KKP telah menambahkan  jenis hiu yang telah diratifikasi dalam CITES ke dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 59/ PERMEN-KP /2014 tentang  Larangan Pengeluaran Ikan Hiu koboi (Carcharinus longimanus), dan Hiu Martil (Sphyrna spp) dari Wilayah RI ke luar negara RI. 

Diharapkan peraturan ini, dalam penerapanya, membuat perizinan ekspor komoditi hiu yang lebih selektif.



Rantai perdagangan hiu dari nelayan hingga konsumen, dari tangan pengepul hingga restoran umumnya tidak terekspos ke khalayak luas, sebab umumnya tertutup. Namun semua bisa andil kurangi tekanan pada hiu.

Bersama dengan pemerintah yang menerapkan pengaturan dan pengawasan perdagangan hiu, masyarakat memiliki peranan yang sama kuat dalam mengontrol laju permintaan komoditi berbahan dasar hiu.

Kita sebagai konsumen bisa bantu dengan berusaha lebih cermat dan bijak, untuk tidak memilih hiu atau ikan laut yang populasinya terancam untuk hidangan laut kita.

Berdasarkan data WWF-Indonesia tahun 2014 di DKI Jakarta setidaknya 60-120 menu makanan berbahan olahan sirip hiu setiap bulannya dikonsumsi setiap restoran yang menyajikan menu hisit ini. Ini masih jauh angka konsumsi hiu sebenarnya yang mungkin lebih besar lagi, sebab belum menghitung konsumsi daging hiu di tingkat rumah tangga.

Kita sebagai masyarakat bisa lebih cermat dan bijak dengan:
  1. Tidak mengkonsumsi produk olahan hiu dan souvenir dari bagian hiu.
  2. Selalu bertanya kepada penjual mengenai bahan baku daging ikan yang akan dibeli, terutama pada ikan asin, daging asap dan abon ikan.
  3. Turut menginformasikan lokasi kuliner hiu melalui sosmed ke account twitter @ditkkji dan ditambahkan hashtag #SOSharks #Saveshark.
  4. Mendorong perusahaan kargo, ekspedisi, perhotelan dan restoran untuk tidak membeli, mengangkut, dan menyediakan produk hiu dengan mengisi petisi online atau mengirimkan surat resmi ke perusahaan.
  5. Mendorong Pemerintah provinsi untuk membuat kebijakan pelarangan konsumsi hiu melalui media komunikasi yang tersedia saat ini, seperti sosmed.
  6. Memberikan meneruskan informasi ini ke keluarga dan teman.

Sabtu, 03 Agustus 2013

Untaian Domino Yang Terus Berjatuhan Karena Dampak dari Aktivitas Penangkapan Hiu

Mochamad Iqbal Herwata Putra

Setiap mahluk hidup yang ada di bumi diciptakan memiliki perananya masing-masing untuk menjaga keseimbangan ekosistem di bumi, akan tetapi kita sebagai manusia terkadang lupa atau mengabaikan “peranan-nya”.

Peranan anggota masyarakat dalam sebuah “ekosistem” tak jauh beda dengan peranan biota terhadap ekosistem yang ada dilautan, setiap mahluk hidup yang ada dilaut memiliki peranannya masing-masing untuk membuat keseimbangan.

Lautan hidup, kedalaman menyimpan rahasia, dan kita berimajinasi didalamnya, dalam cerita atau mitos. Banyak sekali cerita dan mitos yang dan membuat “mindset”  yang salah kepada masyarakat terhadap biota yang ada dilaut, mungkin yang paling banyak menjadi korban adalah HIU, dibanyak cerita, mitos, atupun film memberikan reputasi yang buruk terhadap hiu, sosok hiu yang menyeramkan dan memakan manusia, padahal hiu sama sekali tidak tertarik kepada manusia bahkan takut terhadap manusia. Hiu adalah mahluk hidup yang pemalu dan penuh kehati-hatian dan jarang ditemui, menjadi hal langkan bagi seorang penyelam untuk dapat berenang langsung di alam. Kasus penyerangan yang biasanya terjadi terhadap manusia biasanya hiu salah mengartikan manusia sebagai makanannya.

Statistik 2009 mencatat manusia berenang dilautan 7 milyar kali, hanya 60 orang yang tercatat diserang hiu dan diakhiri dengan 5 kematian, itu seperti 5 butir pasir dilautan. Bandingkan dengan angka 24.000 orang yang setiap harinya mati tersambar petir.

Hiu memerankan peran penting di setiap ekosistem dilautan yang begitu kompleks, dan manusia ikut memainkan peranan itu karena manusia juga ikut memanfaatkan hasil laut dan menjadi ujung dari setiap rantai makanan sehingga manusia masuk didalamnya.

Kesemua mahluk hidup bergantung satu sama lain. Sederhanannya bila seorang peranan polisi dihilangkan maka tingkat kriminalitas akan semakin tinggi dan tidak ada yang mengamankan dan menekan angka kriminalitas, sehingga kesemua peranan anggota masyarakat saling keterkaitan satu sama lain membentuk sebuah keseimbangan, dan bila salah satu peran dari anggota masyarakat tidak dijalankan maka akan berdampak buruk ke anggota masyarakat yang lain, hal tersebut seperti efek “domino” yang saling berhubungan.

Keterkaitan satu sama lain seperti untaian efek domino yang dihasilkan
(Gamber: Video Sanctuary Indonesia)
Hal tersebut sama seperti Hiu, bila fungsinya di hapuskan maka keseimbangan di lautan menjadi terganggu. Penelitian di Hawai menunjukan peranan Hiu Harimau terhadap ketersedian stok ikan Tuna muda dan Kuwe, mengapa demikian? Penelitian menunjukan adannya keterkaita antara Hiu Harimau, Burung Laut, Ikan Tuna muda dan Kuwe. Dalam area yang aman maka terjadi keseimbangan, tetapi bila peranan Hiu Harimau dihilangkan akan berdampak buruk pada stok Ikan Tuna muda dan Kuwe, hal tersebut karena Hiu Harimau memakan Burung laut, dan burung laut memakan Ikan Tuna muda dan Kuwe, bila peranan Hiu Harimau dihilangkan maka akan terjadi ledakan populasi Burung Laut sehingga akan lebih banyak memakan Ikan Tuna muda dan Kuwe, dampaknya perikanan hawai bisa terpuruk, itu seperti untaian kartu domino yang terus berjatuhan.

Keseimbangan ekosistem akan menghasilkan melimpahnya ikan Tuna muda dan Kuwe
Jatuhnya untaian kartu domino juga terjadi dilaut karibia, disini Hiu memerankan peranan pentingnya dalam menjaga keseimbangan kesehatan terumbu karang, dimana ada keterkaitan antara Hiu, kerapu, dan ikan herbivore (pemakan alga). Dalam area yang aman keterkaitan biota tersebut membentuk suatu keseimbangan di ekosistem terumbu karang, namun bila peran Hiu dihilangkan apa yang akan terjadi? Ledakan alga yang menutupi terumbu karang dan berdampak hilangnya terumbu karang rumah untuk para ikan ! mengapa demikian? Ternyata keterkaitannya adalah Hiu memerankan sebagai pengontrol populasi Kerapu yang memiliki selera makan yang tinggi terhadp ikan herbivore, apabila peran hiu dihilangkan maka akan terjadi ledakan populasi kerapu, ledakan populasi kerapu ini di sambut baik nelayan, namun kesenangan itu hanya sementara karena dengan predasi yang tinggi terhadap ikan herbivore  maka pertumbuhan alga tidak terkontrol dan menutupi terumbu yang lambat lamun merusak strukturnya dan akhirnya mati, hilangnya terumbu karang hilang juga rumah untuk para ikan hidup dan pada akhirnya perikanan juga ikut terpuruk.

Keterkaitan ikan Hiu, Kerapu, dan ikan Herbivor dalam menjaga kesehatan terumbu karang
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Ikan keluarga Achanturidae (Pemakan alga) yang mengontrol pertumbuhan alga
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)

Manusia memburu hiu secara brutal, hanya untuk memuaskan pasar untuk sup sirip hiu, akan tetapi dampaknya begitu besar terhadap ekosistem dilautan dan ekonomi masyarakat. Tetapi kita seakan buta dan tuli bahwa telah terjadi “kebakaran di bawah laut sana”  yang dapat merugikan manusia pada akhirnya. Hiu bukanlah tandingan untuk ikan-ikan ekonomis lainnya yang dapat menghasilkan keturunan dengan cepat, Hiu sangat lambat untuk dewasa secara seksual dan menjadi sangat terancam populasi nya oleh aktivitas pemancingan. Tapi kita memperlakukannya seperti ikan-ikan lainnya dan di buru secara terus menurus oleh kapal industry perikanan, dan dampaknya populasi-nya menurun secara global. Hiu bukanlah tandingan untuk kenur panjang, jaring pukat, dan permintaan pasar yang tinggi untuk sup sirip Hiu.

Tingkat reproduksi ikan Hiu
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Ikan Hiu di TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Sirip hiu yang dijemur
Pada akhirnya kembali lagi kepada kita manusia yang memiliki akal dan dapat mengendalikan ekosistem agar tetap terjaga keseimbangan-nya, sudah seharusnya kita peduli terhadap lingkungan karena kita sendiripun hidup didalamnnya. Sudah banyak gerakan-gerakan penentangan penangkapan hiu namun kembai lagi kepada kita sebagai konsumen, masih maukah kita membiarkan kebakaran terjadi dibawah laut sana? Sudah seharusnya kita menjadi manusia yang semakin bijak dengan memutuskan untuk tidak mengkonsumsi Hiu.

Hiu Martil yang diambil sirip-nya
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Aksi kampanye anak-anak pelajar negara Guam dengan sukses melobi pemerintahnya untuk menghentikan praktek perdagangan Hiu
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)