Tampilkan postingan dengan label Ikan Karang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ikan Karang. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Oktober 2015

Kakatua besar yang memiliki peran ekologis penting bagi terumbu karang

M. Danie Al Malik
Gambar 1. Bumphead parrotfish, atau Bolbometopon muricatum, dewasa (kiri) dan juvenile (anakan) (kanan)

Gambar: Allen & Erdmann, 2012 

Salah satu ikan terumbu yang memiliki pesona unik dan bernilai ekologis tinggi bagi terumbu karang adalah bumphead parrotfish. Bumphead parrotfish, mempunyai nama latin Bolbometopon muricatum dan merupakan salah satu ikan terumbu yang paling terbesar (ukuran mencapai 120 cm dan berat mencapai 50 kg) dari anggota ikan kakatua, atau parrotfish.




Banyak bumphead parrotfish dewasa ditemukan di sekitar laguna atau terumbu karang dan yang remaja ditemukan sekitar padang lamun atau vegetasi mangrove. Bumphead parrotfish yang mempunyai ciri khas schooling (berenang dalam kelompok) dalam jumlah besar (±100 individu) dan umumnya berkumpul pada kisaran 15 – 20 m di bawah permukaan laut.

Saat pemijahan (proses pelepasan sel telur dan sperma sehingga mengalami pembuahan) berlangsung, bumphead dewasa akan keluar dari kerumunan ikan lalu salah satu bumphead kecil akan mengikuti untuk melakukan perkawinan satu sama lainnya dan lalu memijah secara bersamaan. 

Perilaku ini terjadi sebab bumphead parrotfish merupakan ikan hemafrodit yang berarti ketika remaja mereka betina dan bisa berubah menjadi jantan saat dewasa. Perilaku khas lain saat pemijahan adalah masing-masing ikan bumphead saling berhadap ke depan dan setelah itu secara serentak mengeluarkan kabut sperma dan telur dari masing-masing bumphead parrotfish (Gladstone, 1986).

Gambar 2. Tipe memijah ikan bumphead parrotfish.
Gambar: Gladstone (1986)
Selain ukuran antara bumphead parrotfish jantan yang lebih besar dari pada bumphead parrotfish betina, perbedaan lain ada pada bagian ‘dahi’ mereka. Bumphead parrotfish betina ditandai dengan dahi yang memiliki cekungan di bagian yang dekat tepi atas mulutnya. Sedangkan yang jantan memiliki dahinya lebih maju secara vertikal mulai tepi atas mulutnya (Munoz & Zgliczynski, 2014). 

Tidak seperti parrotfish umumnya, menurut Choat dan Randall (1986), bumphead parrotfish tidak menunjukkan perubahan warna tubuh saat jenis kelamin mereka beralih. Warna tubuh mereka cenderung tetap sama saat jenis kelamin mereka berubah menjadi betina atau jantan saat dewasa.

Gambar 3. Perbedaan dahi bumphead parrotfish jantan dan betina
Gambar: Munoz & Zgliczynski (2014)

Pengamatan nelayan kepulauan Palau temukan bahwa bumphead parrotfish kerap berkumpul di dekat pintu masuk selat-selat kecil di antara terumbu karang pada hari ke-8. Johanes dalam Gladstone (1986) memprediksi bahwa bumphead parrotfish di Palau memijah pada hari ke-8 atau ke-9 siklus bulan setelah matahari terbenam. Serta ada yang memijah pada pagi hari pada hari ke-20 dari siklus bulan (Gladstone, 1986).

Pada siang hari, bumphead parrotfish biasa memakan tanaman alga yang melekat di dasar terumbu dan karang. Saat makan, bumphead akan menabrakan kepala mereka ke dinding karang keras dan memecahkannya menjadi potongan kecil agar lebh mudah masuk ke mulut mereka. Alga yang ada di bongkahan karang akan dicerna dan karang dibuang bersama kotoran mereka. Kotoran bumphead kerap menyerupai butiran pasir halus hasil dari proses kalsifikasi (proses pembentukan kerangka kapur hewan karang di terumbu) yang jatuh kembali ke dasar.

Butiran pasir halus dari hasil pencernaan bumphead parrotfish termasuk bagian proses bio-erosi (bersama biota lainnya) yang andil membangun pantai pasir putih yang indah. Setiap tahunnya, seekor bumphead dapat mengkonsumsi hingga lima ton dinding karang yang sarat akan kandungan karbonat hasil kalsifikasi karang.

Namun saat ini ikan bumphead parrotfish sedang mengalami penurunan terkait beberapa ancaman. Panduan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) tentang Spesies of Concern di tahun 2010 menjelaskan bahwa ancaman langsung yang utama bagi bumphead parrotfish diantaranya penangkapan berlebih, cara tangkap yang merusak, serta berkurangnya atau rusaknya terumbu karang yang menjadi habitat mereka.

Saat ini bumphead parrotfish menjadi bagian dari biota penting yang dipantau dalam kegiatan Reef Check. Ikan ini merupakan salah satu ikan indikator kesehatan ekosistem terumbu karang serta salah satu ikan yang mengalami penangkapan yang berlebihan. 

Reef Check merupakan sebuah kegiatan pemantauan terumbu karang yang melibatkan masyarakat umum. Melalui Reef Check, masyarakat bisa andil mengenali serta mengukur kelimpahan biota-biota tertentu, seperti bumphead parrotfish, yang menjadi tolak ukur kesehatan ekosistem terumbu karang di sebuah lokasi atau kawasan laut.



Referensi
  • Allen, G., & Erdmann, M. (2012). Reef Fishes of The East Indies. Volumes I-III. Perth, Australia: Tropical Reef Research.
  •  Bowling, T. (2014, 04 25). Bumphead Breaktrough : Tank Raised Parrotfish. Retrieved 08 08, 2015, from http://www.reef2rainforest.com/2014/04/25/bumphead-breakthrough-tank-raised-parrotfish/
  • Gladstone, W. (1986). Spawning Behavior of The Bumphead Parrotfish Bolbometopon muricatum at Yonge Reef, Great Barrier Reef. Japanese Journal of Ichthyology, Vol.33 No.3.
  • Iqbal, M. (2011, December 10). Behavior. Retrieved 8 8, 2015, from http://iqbal-berbagi.blogspot.com/2011/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html
  • Munoz, R. C., & Zgliczynski, B. J. (2014). Spawning Aggregarion Behavior and Reproductive Ecology of the Giant Bumphead Parrotfish, Bolobometopon muricatum, in a remote marine reserve. PeerJ.
  • REEF CHECK. (2006). Instruction Manual : A Guide to Reef Check Coral Reef Monitoring. USA: Reef Check Foundation.
  • NOAA. (2010). Spesies of Concern. Bumphead Parrotfish.



Kamis, 05 Agustus 2010

Jangan berisik di terumbu: Ikan menjauhi habitat baik mereka sebab polusi suara di laut, bahkan hingga kematian.

Meningkatnya polusi suara di lautan membuat ikan menjauh dari habitat yang sesuai bagi mereka, bahkan mungkin hingga kematian, menurut penelitian terbaru oleh tim Britania Raya bekerja di Great Barrier Reef.

Staghorn Damselfish
(Foto: aquarium.aquarioepeixes.com.br)

Setelah beberapa minggu berkembang di laut, bayi ikan tropis bergantung pada suara alam untuk mencari terumbu karang dimana mereka bisa bertahan dan berkembang. Namun, tim peneliti menemukan bahwa pengaruh singkat suara asrifisial (red: buatan) membuat ikan tertarik dengan suara yang tidak sesuai.

Pada penelitian sebelumnya, Dr Steve Simpson, Senior Researcher dari School of Biological Science - the University of Bristol, menemukan bahwa bayi ikan terumbu memanfaatkan bunyi-bunyian dari ikan lain, udang dan bulu babi sebagai patokan mencari terumbu karang. Dengan polusi suara dari kapal laut, pembangkit listrik tenaga angin dan kegiatan eksplorasi minyak yang meningkat, Steve kuatir bahwa perilaku alami ikan ini sedang terancam.

Ketika baru beberapa minggu umurnya, bayi ikan terumbu secara alami ditantang untuk mencari dan memilih habitat yang sesuai. Suara-suara terumbu memberikan informasi vital bagi mereka, namun mereka dapat belajar, mengingat dan tertarik dengan bunyi-bunyian yang salah, dan Kita bisa saja membawa mereka ke arah yang salah; ujar Steve.

Menggunakan perangkap cahaya malam bawah air, Steve dan timnya mengoleksi bayi Damselfish dari kawasan terumbu karang. Ikan-ikan tersebut dikumpulkan dalam tangki dengan speaker bawah air yang memainkan suara alami terumbu atau campuran nada-nada buatan. Malam berikutnya ikan dipindah dalam ruang pilah (semacam tabung panjang dengan beragam percabangan menuju akhir tabung dan ikan bisa bergerak dengan bebas memilih jalur akhir yang mereka kehendaki) dengan suara alami atau buatan di lantunkan. Semua ikan menyukai jalur yang menuju suara terumbu, namun hanya ikan yang telah dipengaruhi campuran nada buatan memilih jalur renang yang berbeda, lainnya cenderung menjauhi suara buatan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan dapat belajar suara-suara baru dan mengingatnya beberapa jam kemudian, menghapus mitos memori-tiga-detik ikan, ujar Steve.

Salah satu kolaborator Steve, Dr Mark Meekan, menambahkan: Ini juga menunjukkan bahwa bayi ikan dapat membedakan suara, dan berdasarkan pengalaman mereka, menjadi tertarik pada suara yang telah mengganggu prilaku mereka pada saat malam terpenting dalam hidup mereka.

Dalam lingkungan yang berisik, perombakan prilaku alami dapat berdampak buruk pada suksenya populasi dan regenerasi stok ikan di masa mendatang.

Steve menambahkan bahwa: Suara yang dihasilkan kegiatan manusia telah meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun kebelakang, sebab perahu mesin kecil, pelayaran, pengeboran, tongkang dan konstruksi laut, dan pengujian seismik yang ada saat ini bisa menyamarkan suara ikan dan petikan capit udang. Jika ikan tidak sengaja mengikuti suara yang salah, pemberhentian akhir mereka bisa jadi dekat dengan daerah konstruksi atau mengikuti arah kapal ke laut lepas.

Lalu, bagaimana menurutmu tentang berita ini untuk Laut dan Kita di Indonesia?

Referensi:
University of Bristol (2010, August 3). Human noise pollution in ocean can lead fish away from good habitats and off to their death. ScienceDaily. Retrieved August 5, 2010, from http://www.sciencedaily.com /releases/2010/08/100803212015.htm

Kamis, 01 Juli 2010

Damselfish, si tukang kebun, bertugas memangkas dan memanen alga di karang.

Semakin dalam penelitian manusia saat ini dalam biologi ikan karang. Salah satu spesies ikan Damselfish, Stegates nigircans, ternyata secara selektif 'memangkas' alga tertentu di karang, dan membiarkan jenis alga merah Polysiphonia untuk tumbuh. Alga kegemaran damselfish initernyata, alga halus tipis yang sering kita jumpai melapisi karang yang baru mati (Recently Dead Coral) atau yang sudah tak berbentuk (Rock). 


 
Stegates nigircans
Stegates nigircans
Stegates nigircans
Stegates nigircans dalam teritorial 'kebun'-nya.

Begini ceritanya, Hiroki Hata dari Universitas Ehime, Jepang, bersama tim peneliti secara khusus menginvestigasi prilaki Damselfish sebagai 'tukang kebun'. Mereka mensurvei 320 teritorial dari 18 jenis Damselfish. Mereka juga menengok hingga alga jenis apa yang berasosiasi dengan mereka. Tidak tanggung-tanggung, pengamatan dilakukan di Mesir, Kenya, Mauritius, Maladewa, Thailand, Borneo, Kepulauan Okinawa dan the Gerat Barrier Reef. 

Menarik sekali bahwa Damselfish ternyata tidak memilik organ untuk mencerna serat selulosa, dan minim akan ensim pencernaan untuk mencerna berbagai jenis alga.Alga kegemaran mereka, alga merah Polysiphonia, tidak begitu bisa bersaing dengan jenis alga lain yang tidak bisa dimakan Damselfish, dan ternyata Damselfish membiarkan mereka Polysiphonia dengan memakan alga-alga lain itu. Luar biasa, ikan Damselfish 'berkebun' !. Dan ketika Poly siphonia sudah cukup lebat, mereka 'panen'. 

Kegiatan 'berkebun' ini sebuah temuan baru keterkaitan mutualistik antara alga Polysiphonia dan jenis Damselfish tertentu, dan menjadi salah satu hal baru tentang hubungan ikan dan alga di habitat air. Menariknya lagi, interaksi alga laut dan Damselfish yang herbivori (pemakan tumbuhan) lebih sering terjadi di Indo Pasifik. 

Dalam kunjungan terumbu berikutnya, menetaplah sejenak ketika jumpa Damselfish. Lihat perilaku mereka memakan alga, jika ada alga lapisan tipis alga yang tidak dimakan, kemungkinan itu Polysiphonia. Ternyata hingga 'beludru' halus alga yang melapisi batuan, karang mati, semua punya peranan. Kelompok Polysiphonia sendiri terdiri lebih dari 100 spesies, dan untuk membedakannya diperlukan mikroskop. Luar biasa kerja para peneliti itu tentunya. 
Referensi 

Hiroki Hata, Katsutoshi Watanabe and Makoto Kato. Geographic variation in the damselfish-red alga cultivation mutualism in the Indo-West Pacific. BMC Evolutionary Biology, 2010