Tampilkan postingan dengan label Perikanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perikanan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 April 2015

Kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu

M. Danie Al Malik


Perairan Indonesia memiliki keragaman jenis hiu yang cukup tinggi. Setidaknya 116 jenis hiu yang termasuk ke dalam 25 suku ditemukan di wilayah perairan kita. Ikan hiu termasuk dalam kelompok ikan bertulang rawan, atau Elasmobranchii.

Elasmobranchii merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting di dunia. Data FAO melaporkan bahwa total tangkapan ikan-ikan Elasmobrachii di dunia pada tahun 2010 mencapai lebih dari 640 ribu ton. Lebih dari sepertiga jumlah tersebut ditangkap dari Indonesia, bersama dengan India, Spanyol, dan Taiwan. FAO juga menyebutkan total tangkapan perikanan hiu di Indonesia hingga 109,243 ribu ton untuk tahun 2010 sendiri (Gambar 1).


Gambar 1. 20 negara pengekploitasi perikanan hiu terbesar (Indonesia 109,243 ribu ton).
(Sumber: Escobar, K. (2011))
Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah hiu yang ditangkap di Indonesia terus meningkat sejak 1975 hingga 2011. Peningkatan tersebut tegolong signifikan jika di banding dengan Negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Sri lanka dan Thailand (Gambar 1). Jumlah tangkapan hiu di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2000 yaitu mencapai 70.000 ton (Gambar 2).

Gambar 2. Produksi perikanan hiu di Indonesia sejak tahun 1975- 2011.
(Sumber : KKP (2013))
Sejalan dengan peningkatan penangkapan ikan hiu di beberapa dekade terakhir,  skala operasi penangkapan tidak lagi terbatas pada perikanan berskala kecil tetapi sudah merambah hingga perikanan komersial berskala besar. Keadaan ini membuat jenis hiu yang ditangkap juga semakin banyak, termasuk jenis hiu bernilai tinggi seperti hiu botol (Squalidae), hiu lontar (Rhynchobatidae) dan hiu-hiu berukuran besar (Carharhinidae, Lamnidae, Alopiidae, dan Sphyrnidae).

Jenis hiu di atas mempunyai nilai ekologis yaitu sebagai predator di laut sebagai pengontrol sistem rantai makanan, jika fungsi ekologis hiu-hiu tersebut dihilangkan maka bisa memicu tidak terkendalinya jumlah spesies ikan tertentu, sehingga terjadi pemangsaan berlebih pada spesies-spesies ikan, khususnya yang bernilai kormersial. Sejatinya hiu merupakan tangkapan sampingan, namun seiring dengan menurunnya ikan tangkapan utama seperti tuna, hiu beralih menjadi tangkapan yang bernilai ekonomis. 

Di beberapa daerah di Indonesia, perikanan hiu telah menjadi sumber utama mata pencaharian sebagian masyarakat. Tiap mata rantai perdagangan perikanan hiu memberikan topangan pendapatan, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dalam profesi nelayan penangkap, pengumpul, penjual dan pengolah hasil perikanan hiu di daerah-daerah dimana hiu menjadi target tangkapan mereka.

Di beberapa wilayah Indonesia seperti daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lombok-Nusa Tenggara Barat peran wanita menjadi pemain utama dalam melakukan bisnis perdagangan produk hiu sebagai pengelolah hasil perikanan hiu. Hal ini menunjukkan bahwa produk hiu telah menjadi komoditi penting karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal secara langsung. 

Hampir semua bagian tubuh hiu memiliki nilai ekonomi dan dapat memberi keuntungan bagi nelayan dan semua pihak yang terlibat dalam rantai perdagangan hiu.  Bagian hiu yang bisa bernilai ekonomis antara lain daging, tulang rawan, kulit, gigi rahang, jeroan/isi perut, hati, dan sirip. Namun umumnya komoditas hiu utama yang diperdagangkan ada empat kelompok yaitu produk sirip hiu kering (dried fins), sirip hiu basah (salted fins), daging hiu beku (frozen sharks nei) dan produk campuran hiu (fresh or chilled shark).

Produk perikanan hiu yang paling umum diekspor ke luar negeri adalah sirip kering, yang mana di dalamnya juga termasuk sirip pari gitar dan pari cermin/bandrong (suku Rhyncobathidae dan Rhinobatidae). Berdasarkan data dari KKP tahun 2013, sejak tahun 1980 sampai 2006 secara umum terlihat bahwa usaha perdagangan hiu meningkat tajam pada periode 1992 hingga 1995 yaitu mencapai sepuluh ribu ton (Gambar 3). Laporan menyebutkan separuh produk sirip ikan hiu dari Indonesia diekspor ke Jepang, kemudian diikuti oleh Hong kong, Singapura dan Malaysia (Gambar 4).

Gambar 3. Jumlah ekspor produk perikanan hiu Indonesia dalam kurun waktu 1980-2006.
(Sumber : KKP (2013))
Gambar 4. Proporsi jumlah sirip hiu yang diekspor ke beberapa Negara tujuan pada tahun 2005 dan 2006.
(Sumber : KKP (2013))

Gambar 5. Perdagangan sirip ikan hiu sebagai produk perikanan ekspor yang bernilai tinggi.
(Sumber : Wikipedia)
Tingginya harga sirip hiu menjadi salah satu faktor pemicu tingginya intensitas perdagangan sirip hiu. Sirip hiu umumnya digunakan untuk sup yang merupakan sajian bergengsi di restoran-restoran seafood di beberapa kota besar di Indoensia seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya dengan harga satu porsi sirip hiu mencapai Rp. 500.000,-.

Alasan utama konsumen mau membayar harga yang fantastis ini sebagian besar didorong karena alasan sosial-budaya. Contohnya, sup sirip hiu dianggap makanan berkelas karena konon sup sirip hiu merupakan hidangan khusus raja dan bangsawan di Cina tempo dulu.

Gambar 6. Sup sirip ikan hiu konon sebagai hidangan kerajaan Cina tempo dahulu.
(Sumber : Wikipedia)
Alasan lain menyantap sup sirip hiu adalah kepercayaan sebagian masyarakat akan khasiat dari makanan ini yang dipercaya dapat menambah vitalitas, mencegah bahkan mengobati kanker. Padahal, berdasarkan hasil penelitian Food and Nutrition Information Center, sirip hiu tidak mengandung nutrisi. Sirip umumnya  terdiri dari tulang rawan, yang secara umum tidak mengandung vitamin, namun mengandung glukosamin dan kondroitin.

Beberapa pelaku pengobatan alternatif memang meyakini bahwa sirip hiu memiliki zat yang dapat memerangi kanker, namun menurut National Center Institute, hanya ada satu penelitian klinis terhadap tulang rawang hiu sebagai perawatan kanker pada manusia yang pernah dipublikasikan dan menunjukkan bahwa tulang rawan hiu tidak efektif melawan kanker. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa perawatan tambahan terhadap pasien yang mendapatkan kemoterapi dengan memberikan beberapa dosis ekstrak sirip hiu dalam jumlah yang berbeda pada 397 pasien tidak memberikan hasil positif.

Sebaliknya sirip hiu diduga mengandung merkuri dalam dosis yang cukup berbahaya, kandungan merkuri tersebut diakibatkan polusi di lautan. Sebagai hewan di puncak rantai makanan, hiu berpotensi mengandung merkuri lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya. Hal ini karena sifat merkuri yang terakumulasi melalui proses makan memakan, atau disebut bioakumulasi.

Bagaimana merkuri di lautan ter-akumulasi di tubuh ikan di tingkat teratas rantai makanan.
(Sumber: Wikipedia)
Sebagai gambaran, studi yang dilakukan oleh Dr. R. Kruse dan Dr. E. Bartelt untuk German Faderal Ministry of Food, Agriculture, and Consumer Protection (BMEL) mereka menyatakan bahwa ditubuh seekor terkandung 0,4 atau 4.000 mikrogram/kg. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan batas aman kandungan merkuri pada makanan tubuh manusia yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu tidak melebihi 0,5 ppm atau 500 mikrogram/kg.

Selain sirip, hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa tubuh hiu memiliki kandungan urea 2 – 2,5% dari total daging, sedangkan ikan tulang sejati (Teleostei) hanya mengandung urea 0,05%. Dengan kata lain, pada hakikatnya mengkonsumsi hiu tidak terbukti bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan ataupun sebagai obat anti kanker, malah dapat berpotensi meracuni tubuh. 

Hal lain adalah masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat baik nelayan maupun masyarakat umum terhadap kelestarian sumber daya ikan hiu. Ikan hiu sangat rentan terhadap penangkapan yang berlebihan. Hiu pada umumnya memiliki pertumbuhan yang lambat dan memerlukan waktu yang lama (beberapa mencapai hingga puluhan tahun) untuk mencapai usia dewasa dan berkembang biak. Selain itu jumlah anak yang dihasilkan setiap tahunnya relatif sedikit dibandingkan dengan kelompok ikan lainnya.

Hiu umumnya memiliki peranan utama sebagai sebagai pemangsa ikan lain, atau predator, sehingga menjadi pengendali populasi spesies dalam sistem rantai makanan di ekosistem laut. Menurut Penasihat Teknis Kawasan Laut The Nature Conservancy (TNC), Bapak Purwanto; keseimbangan ekosistem bisa dijaga salah satunya sebab peranan spesies hiu yang duduk di predator puncak (tidak ada yang memangsa, hanya memangsa) dalam mengendalikan populasi spesies ikan dengan memangsa ikan-ikan sakit atau terluka.

Piramida trofi ekosistem laut.
(Sumber: The University of Waikato)

Demikian juga temuan dari Bornatowski et al (2014) di Brasil selatan yang mendukung peranan hiu sebagai elemen penting dalam rantai makanan. Dari analisa isi perut dari 820 ikan dari 15 spesies elasmobranchii serta catatan dari 23.027 isi perut ikan dari beragam laporan mulai 1980 hingga 2012, Bornatowski et al (2014) mencoba memetakan hewan apa saja yang dimakan spesies hiu predator teratas, dan hiu meso-predator (dimangsa hiu, memangsa ikan non-hiu). 

Penelitian mereka temukan bahwa hiu predator teratas (top predator) seperti Carchahinus obscurus, Carcharias taurus, Sphyrna lewini, dan S. zygaena memangsa spesies-spesies di tingkat rantai makanan di bawahnya yang mencakup hiu-hiu meso-predator, ikan-ikan non-hiu, hingga avertebrata laut dan burung).

Merujuk ke penelitian hiu terdahulu, Bronatowski et al. (2014) beranggapan bahwa konsekuensi dari pengambilan hiu dari alam sifatnya tidak langsung, sebab menurunya hiu memberikan semacam efek domino. Salah satunya adalah bertambahnya populasi spesies ikan (A) yang tidak lagi dimangsa hiu. Namun di sisi lain, penambahan populasi spesies ikan A bisa menyebabkan penurunan besar pada populasi spesies laut lain (B) yang menjadi pakan-nya.

Kekhawatiran muncul ketika melimpahnya spesies ikan A dianggap sebagai ‘pemulihan ekosistem ikan’, padahal sebenarnya indikasi ketidak-seimbangan ekosistem. Demikian juga penurunan spesies B, jika spesies tersebut bernilai komersil, maka ekonomi perikanan dari masyarakat bergantung pada spesies B bisa terancam.

Demikian pula jika spesies B adalah spesies kunci ekosistem, seperti ikan kakatua di terumbu karang yang mengendalikan populasi alga. Jika ikan ‘pembersih’ terumbu karang habis dimangsa berlebih oleh ikan diatasnya, maka pertumbuhan alga yang tak terkendali bisa menutupi karang hidup dan sehat, mengancam terumbu karang.

Hiu hanyalah segelintir dari kelompok hewan yang dimanfaatkan dari lautan. Kebutuhan ikan yang tinggi serta kecanggihan teknologi penangkapan ikan, membuat manusia mengambil ikan dari tingkat spesies teratas, hingga terbawah.
(Sumber: Wikipedia)

Kesadaran akan kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu selama ini, dan kemauan kita semua kepada kelestarian hiu yang memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, sangat diperlukan.

Dengan membatasi, atau tidak, menangkap hiu dan tidak mengkonsumsi daging ataupun sirip hiu, serta aktif dalam kegiatan pelestarian hiu bersama keluarga dan sahabat; maka kita sudah membantu dalam menjaga hiu dari keterancaman. 

Referensi
  • Apriyani, A. (2013, November 21). Racun Methyl Mercury Dalam Tubuh Hiu. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://savesharksindonesia.org/racun-methyl-mercury-dalam-tubuh-hiu/
  • Bornatowski, H., Navia, A. F., Braga, R. R., & Abilhoa, V. (2014). Ecological Importance of Sharks and Rays in a Stuctural Foodweb Analysis in Southern Brazil. International Council for the Exploration of The Sea, Vol 71 (7) : 1586-1592.
  • Darmawan, A., & Ruchimat, T. (2013). Tinjauan Status Perikanan Hiu di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
  • Escobar, K. (2011, January 27). The Future of Sharks : A Review of Action and Inaction. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/reports/2011/01/27/the-future-of-sharks-a-review-of-action-and-inaction
  • Ferretti, F., Worm, B., Britten, G. L., Heithaus, M. R., & Lotze, H. K. (2010). Pattern and Ecosystem Consequences of Sharks Declines in The Ocean. Ecology Letters, Vol 13 (8) : 1055-1071.
  • Maryati. (2013, Maret 19). Populasi Hiu dan Pari Manta Dalam Ancaman. Dipetik April 6, 2015, dari http://www.antaranews.com/berita/364072/populasi-hiu-dan-pari-manta-dalam-ancaman

Rabu, 26 Desember 2012

Penangkapan Ikan Pelagis di Rumpon Laut Dalam

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID
Dwi Ariyogagautama

Tak afdol rasanya jika sedang ada jadwal kunjungan ke desa Balauring, tetapi tidak melaut.  Sudah menjadi bagian dari pekerjaan yang dibiasakan untuk mengikuti aktivitas nelayan didesa ini. Lagi pula mengumpulkan stock foto nan exotic di tanah lomlen ini juga taka da habisnya.  Kali ini ketua forum nelayan (Pa Zainudin) sendiri yang bersedia menumpangi saya untuk ikut dikapalnya untuk menangkap tuna.

Berangkat jam 5:00 WITA, kami menuju kerumpon pribadi pa Zainudin, hanya 30 menit perjalanan. Sesampai di rumpon sudah ada aktivitas kapal purse seine yang sedang sibuk menarik jaringnya yang cukup besar dan dalam, menurut ketua kedalaman bisa mencapai 50 m. Target penangkapan alat tangkap ini merupakan ikan pelagis kecil seperti tongkol dan layang, namun sering tertangkap juga ikan sura (Rainbow Runner).  Pa Zaenudin kemudian memantau dan membantu proses penarikan jaring lingkar tersebut. Wajar hal ini untuk memastikan penarikan jarring tidak merusak rumpon miliknya dan beliau juga melihat berapa banyak ikan yang berhasil diangkat, karena akan ada pembagian hasil antara kapal pemilik rumpon dengan pemilik kapal purse seine itu sendiri. Sepengetahuan saya didesa ini sistem bagi hasil adalah 1/3 bagian untuk pemilik rumpon dari jumlah ikan yang terjual.

Bagi saya ini merupakan momen yang menarik untuk dituangkan kedalam lensa yang saya bawa..sambil mendayung menghadap sang matahari dibalik pulau Lomlen, klik klik klik berikut gambar yang saya dapatkan.

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID
Purse seine atau pukat cincin merupakan alat tangkap yang sangat efektif dalam penangkapan ikan pelagis kecil, apalagi jika ditambah dengan alat bantu rumpon peluang mendapatkan ikan dalam jumlah banyak semakin besar. Memperhitungkan arah arus, setting atau proses pelepasan jaring dipastikan mendapatkan ikan yang cukup hingga sangat banyak. Dampak negative purse seine adalah dapat menjadi tidak selektif jika mata jaringnya tidak sesuai dengan ikan target dan intensitas penggunaannya tinggi.  Disisi lain nelayan dengan alat tangkap lain yang selektif seperti pancing tuna, juga bergantung pada rumpon yang sama. Salah satu cara yang efektif dalam penangkapan tuna yaitu dengan rumpon dibandingkan dengan mengejar lumba-lumba. Perhitungan BBM dan kepastian keberadaan ikan lebih jelas.

Berdasarkan data WWF diawal tahun Januari-febuari 2012, ketika survey EAFM. Diperhitungkan bahwa pendapatan nelayan rata-rata perbulan baik dimusim paceklik, sedang maupun puncak pada alat tangkap purse seine setidaknya RP. 5.959.000/bulan sedangkan nelayan tuna sebesar Rp. 2.446.000/bulan. Oleh karena itu rumpon memiliki berkah tersendiri bagi penangkap ikan pelagis didaerah ini.

Dalam beberapa kasus, dijumpai juga adanya konflik internal diantara kedua pengguna alat tangkap yang berbeda tersebut diwilayah yang sama yaitu di rumpon terutama ketika trip atau intensitas penggunaan purse seine meningkat atau juga ketika musim puncak tuna tiba waktunya. Didaerah ini ataupun didaerah lainnya seperti di Kabir dan Adang di kabupaten Alor, pemancing tuna hampir tidak mempunyai rumpon khusus untuk dipancing saja yang mereka kelola. Rumpon yang tersebar sepanjang perairan utara Kabupaten Lembata dan Alor merupakan milik nelayan purse seine, lampara, Jala lompo dan perusahaan perikanan tuna yang menginvestasikan rumpon sebagai alat bantu nelayan tuna didesa target mereka.

Pemancing tuna sebagian besar masih bermasalah dalam pengaturan keuangan Rumah Tangga hingga faktor luar (eksternal) seperti perubahan musim perikanan dan faktor alam lainnya terus melemahkan kekuatan ekonominya. Hal ini sangat menyulitkan nelayan untuk dapat menginvestasikan modalnya untuk pembuatan rumpon secara individu, tapi bukan tidak memungkinkan hal ini terjawab jika dikumpulkan secara berkelompok. 

Pengaturan alat tangkap pelagis perlu diperhatikan dalam pemaanfaatannya, terlebih lagi jika dihadapi dengan adanya alat tangkap yang massif dan selektif didalam satu ruang wilayah yang sama dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Beberapa hal langkah yang diusulkan untuk diambil oleh berbagai pihak dalam mewujudkannya antara lain :
  1. Perlunya pengaturan jumlah rumpon pada wilayah tertentu - Sebenarnya sudah ada aturannya ditingkat pusat terkait rumpon seperti pembahasan tulisan sebelumnya,yaitu jarak antar rumpon yaitu 10 mil, tidak dipasang seperti pagar, dan harus memiliki perizinan yang sesuai dengan lokasi peletakannya, yaitu 2-4mil (perijinan kabupaten), 4-12 mil (perijinan provinsi) dan 12-200 mill (perijinan pusat). Identifikasi lebih baik dilakukan terlebih dahulu, karena permasalahan perijinan masih belum dipenuhi dibanyak tempat, kemudian diiringi dengan sosialisasi dalam memberikan pemahaman aturan rumpon tersebut dengan fokus menjawab permasalahan teknis didaerah kepulauan. Dan langkah terakhir dengan membuat sistem punish and reward pada pemilik rumpon yang mematuhi ataupun yang melanggar aturan yang sudah ada. Jika sudah ada zonasi perairan tersebut tentunya pengaturan ini bisa diintegrasikan didalam dokumen rencana pengelolaan kawasan (Management plan)
  2. Perlunya pengaturan jumlah effort (usaha penangkapan) bagi alat tangkap purse seine - Pemanfaatan purse seine tidak salah dalam hal ini selama menjawab kebutuhan ketahanan pangan lokal maupun domestic, namun akan berdampak buruk jika berlebihan dalam menjawab kebutuhan industri.  Melakukan Pengawasan dan pemantauan dalam pengecheckan kesesuaian ukuran mata jaring, pengaturan jumlah instensitas penangkapan memang sulit dilakukan, namun tetap perlu diimplementasikan untuk memberikan waktu bagi ikan target untuk recovery atau bereproduksi atau alternative lainnya adalah dengan membatasi perijinan kapal purse seine yang beroperasi pada wilayah tertentu dan memprioritaskan bagi nelayan dengan alat tangkap selektif lainnya.
  3. Pendampingan dalam pengelolaan keuangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) - Jika melihat pendapatan nelayan sebenarnya sudah melampaui UMR yang ada didaerah tersebut. Memberikan pemahaman kepada pengelolaa keuangan keluarga seperti istri nelayan dalam mengatur keuangan sangat menentukan tingkat kesejahteraan nelayan. Ketika musim puncak tentunya pendapatan nelayan melebihi dari angka disebutkan namun juga harus dapat menutupi kebutuhan ketika musim paceklik. Priortas pengeluaran untuk kepentingan kebutuhan pokok dan pendidikan anak harusnya lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk kegiatan social atau pesta sesuai adat yang ada.
  4. Mendorong pemasaran perikanan yang memiliki nilai tambah dalam hal ekonomi,social dan lingkungan - Sering dijumpai permintaan pasar melebihi dari kemampuan sumberdaya ikan disuatu daerah untuk recovery, walaupun minim sekali informasi seberapa banyak stock yang ada pada lembaga autoritas ataupun lembaga peneliti lokal. Kecenderungan pengurangan sumberdaya sudah terindikasi dengan menurunnya trend ukuran ikan dalam 5-10 tahun dan semakin jauhnya wilayah tangkapan nelayan. Tanpa mengindahkan peran pemerintah dalam mendorong pembangunan daerah, keberlanjutan perikanan juga perlu diiringi dalam proses pembangunan ini. Servis pemerintah dalam mendorong usaha perikanan yang kondusif bagi private sector perikanan juga diiringi dengan kontrol yang intensif untuk memastikan usaha tersebut memiliki nilai lebih dalam peningkatan pendapatan nelayan dengan harga yang sesuai, mendorong pembelian sesuai ukuran layak tangkap ikan yang ditargetkan, memenuhi perijinan dan peraturan yang berlaku termasuk kearifan lokal yang ada, serta memastikan adanya pencatatan perikanan yang dilaporkan. Meningkatkan nilai tambah ekonomi dapat didorong dengan menjaga kualitas produk ikan sehingga mendapatkan harga lebih tinggi, untuk perikanan tuna dapat mengacu pada buku panduan praktik (BMP) perikanan tuna dalam pendampingan teknis hal tersebut. Buku panduan dapat didownload pada link berikut ini. http://www.wwf.or.id/?24808/BMP---Perikanan-Tuna 

Setelah melihat aktivitas kapal purse seine tersebut, pa Zainudin kembali ke niat awal untuk mendapatkan tuna dan seperti biasa, kapal yang saya naikin selalu saja mendapatkan tuna dewasa yang siap didokumentasikan. Pada kesempatan ini, pa ketua mendapatkan 1 ekor tuna dengan bobot 60 kg, harga pada saat itu sebesar Rp.24.000/kg, dalam menjaga mutu ikan kami pun bersegera kembali menuju desa untuk menjual hasil tangkapan tersebut. Lumayan juga mendapatkan Rp.1.440.000 dalam sekali trip. Berikut oleh-oleh dari lapangan, semoga tidak pernah bosan melihat foto ini kawan (YG).

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID

Senin, 19 November 2012

Tinja ikan teri bantu tangkap emisi karbon ke dasar laut.


Ikan Teri (Foto: Jill Matsuyama / Flickr)
Ikan bertubuh kecil, seperti kelompok teri-teri-an, ternyata punya peran sebagai 'pompa biologis (biological pump)' di laut. Pompa biologis yang dimaksud adalah proses dimana biota laut berperan memindahkan karbon dioksida dari atmosfir dan permukaan laut menuju dasar laut.

Ikan kecil seperti teri-teri-an yang tergolong 'forage fish' - yaitu ikan yang 'terus makan' sepanjang mereka menjelajah laut - adalah pemangsa di jaring makanan terbawah. Mereka 'menyaring' kolom air untuk organisme mikro seperti plankton dan zat hara lain sebagai makanan.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports, dipimpin oleh Dr Grace Saba dari Institute of Marine and Coastal Sciences, Rutgers University (RU) dan Professor Deborah Steinberg dari Virginia Institute of Marine Science (VIMS), temukan bahwa kopepoda (copepod) dan hewan laut kecil 'melayang' lainnya punya peranan besar sebagai pompa biologis dengan memangsa alga fotosintetik yang ada di dekat permukaan, lalu melepaskan kandungan karbon yang mereka cerna dalam 'pelet feses' yang tenggelam ke lautan dalam dengan cepat. Padahal tubuh sel alga yang mereka santap sendiri pada dasarnya terlalu kecil dan ringan untuk tenggelam.

Deborah Steinberg dan rekan peneliti temukan bahwa 'pelet feses' atau 'tinja' dari zooplankton mampu tenggelam puluhan hingga ratusan meter kedalaman per harinya. Dari fakta ini mendasari mereka untuk teliti peranan biota-biota kecil ini dalam memindahkan karbon ke kedalaman laut. Namun, penelitian serupa untuk 'tinja' ikan masih sangat sedikit, hingga mereka akhirnya juga teliti pada ikan bertubuh kecil.

Dr. Grace Saba bersama tim mengumpulkan pelet feses dari teri-terian di Selat Santa Barbara di lepas pesisir California selatan. Tim menduga kuat bahwa laju tenggelamnya 'tinja' teri-terian capai sekitar 762 meter per hari, merujuk pada waktu yang dibutuhkan pelet menempuh panjang tabung berisi air di laboratorium kapal.

Dalam laporan penelitian, peneliti mengestimasi kecepatan tersebut mampu membawa pelet sampai menuju ke kisaran kedalaman 400-500 meter lokasi dalam waktu kurang dari satu hari!

Grace dan Deborah bersama tim juga menghitung kelimpahan pelet yang dihasilkan ikan-ikan mungil tersebut dari tiap sampel 6 meter kubik air yang mereka ambil. Mereka dapatkan kandungan karbon rata-rata sebanyak 22 mikrogram per pelet. Untuk ini mereka harus kerja keras memisahkan kandungan karbon dari kandungan hasil pencernaan lainnya yang kebanyakan dari alga ber sel satu seperti dinoflagelata dan diatom.

Disarikan dari laporan penelitian bahwa 22 mikrogram karbon mungkin angka yang kecil. Namun ketika kita kalikan dengan jumlah kelompok spesies ikan forage serta pelet feses yang mereka hasilkan di kawasan pesisir kaya zat hara - maka jumlah ini besar.

Tim perhitungkan bahwa 'aliran ke-bawah (downward flux)' kandungan karbon dari pelet feses ikan di kawasan studi mereka capai 251 miligram per meter persegi per hari. Angka ini setara atau bahkan lebih banyak dari jumlah materi organik tenggelam yang dikumpulkan oleh materi sedimen di dasar pesisir dan laut.

Tim menegaskan bahwa pelet feses ikan menjadi alat transportasi 'ekspres' pembawa materi di permukaan laut, seperti kandungan karbon, ke dasar laut. Disebutkan juga keadaan ini akan terdukung khususnya pada kondisi perairan yang sesuai, seperti pertemuan arus dengan lempeng benua yang membawa air lebih dingin yang kaya zat hara dari kedalaman, menuju kedalaman permukaan yang terpapar cahaya matahari.

Referensi:

Grace K. Saba, Deborah K. Steinberg. Abundance, Composition, and Sinking Rates of Fish Fecal Pellets in the Santa Barbara Channel. Scientific Reports, 2012; 2

Selasa, 16 Oktober 2012

Ikan Semakin Kecil Sejalan Menghangatnya Suhu Lautan



Menghangatnya suhu lautan serta sistem iklim global diperkirakan berdampak pada ukuran ikan di laut yang semakin kecil, menurut kajian dari peneliti perikanan di the University of British Columbia (UBC).

Hasil penelitian yang diterbitkan 30 September lalu di jurnal ilmiah Nature Climate Change tersebut untuk pertama-kalinya melakukan proyeksi global tentang potensi penyusutan ukuran ikan dalam lautan dalam keadaan yang lebih hangat dan dengan oksigenasi yang lebih rendah.

Para peneliti melakukan komputasi permodelan untuk mengkaji lebih dari 600 spesies ikan dari kawasan-kawasan perairan di dunia dan temukan bahwa berat maksimum tubuh yang mereka bisa capai bisa menurun antara 14 hingga 20 persen antara rentang tahun 2000 dan 2050. Proyeksi permodelan mereka menunjukkan kawasan-kawasan di perairan tropis yang paling terpengaruh.

Persentase tersebut merupakan angka penurunan yang besar menurut laporan riset mereka. Penelitian lainya telah ungkap bahwa ikan laut secara umum akan merubah persebaran dan musim mereka dalam merespon perubahan iklim. Namun, temuan kepala peneliti William Cheung dan rekan di WBC membawa tambahan potongan puzzle besar yang belum cukup dipertimbangkan dalam usaha memahami efek perubahan iklim di lautan.

Riset mereka juga yang pertama kali dalam skala kajian global menerapkan konsep dasar bahwa pertumbuhan ikan dibatasi oleh suplai oksigen. Konsep ini dicetuskan 30 tahun silam oleh Daniel Pauly yang juga investigator utama dalam Sea Around Us Project bersama UBC.

Disarikan dari artikel riset tersebut, bahwa ikan selama perjalanan hidupnya menghadapi tantangan yang konstan yaitu: bagaimana caranya dapatkan oksigen yang secukup-cukupnya dari air untuk perumbuhannya. Sejalan dengan ukuran ikan tumbuh semakin besar, tantangan tersebut juga semakin besar. Riset dari tim UBC memprediksi bahwa dengan lautan yang terus menghangat dan terus berkurang proses oksigenasinya, ikan akan lebih cepat berhenti tumbuh dari semestinya.

Penelitian ini menegaskan pentingnya manusia untuk menekan laju emisi gas rumah kaca dan membangun strategi untuk memantau dan beradaptasi dengan perubahan alam yang sudah kita rasakan saat ini. Kecuali jika kita mau ambil resiko semakin terganggunya perikanan manusia, ketahanan pangan, dan kinerja ekosistem lautan.

Bumi dan ekosistem sudah didesain akan menyeimbangkan dirinya saat mengalami gangguan. Pada akhirnya sejauh apa kesiapan manusia untuk bertahan dan beradaptasi saat transisi alam tersebut terjadi.
Ini merupakan pekerjaan lintas generasi dan sejauh apa kita peduli dengan lautan dalam 3 dekade kedepan menentukan kesiapan tersebut.

Referensi

William W. L. Cheung, Jorge L. Sarmiento, John Dunne, Thomas L. Frölicher, Vicky W. Y. Lam, M. L. Deng Palomares, Reg Watson, Daniel Pauly. Shrinking of fishes exacerbates impacts of global ocean changes on marine ecosystems. Nature Climate Change, 2012; DOI: 10.1038/nclimate1691


'Overfishing' oleh Steve Greenberg



Kamis, 07 Juni 2012

S.O.S (Save Our Sharks): Darurat bagi Hiu

Ahmad Hafizh Adyas

Bicara soal Hiu, rata-rata orang pasti langsung berfikir mengenai ikan pemangsa manusia yang menyeramkan, mempunyai gigi tajam dan merupakan ikan penguasa lautan yang agresif. Pemahaman tersebut terbentuk di masyarkat karena beredarnya cerita atau mitos di daerah atau suku tertentu hingga media film yang menjangkau hampir semua lapisan masyarakat. Film Jaws mungkin salah satu yang paling terkenal dalam membentuk pemahaman yang tidak tepat mengenai ikan yang termasuk satwa penting ini.

Lalu sebenarnya hiu itu mempunyai peran apa sih di ekosistem laut? dan kenapa Hiu menjadi penting? Ada beberapa fakta menakjubkan mengenai ikan ini yang belum banyak orang tahu. 

Hiu Terumbu Abu-abu / Gray Reef Shark (Carcharhinus amblyrhynchos).
Foto: © Jürgen Freund / WWF-Canon
Hiu atau di indonesia banyak masyarakat yang menyebutnya 'cucut' merupakan hewan yang memiliki ciri khusus, tubuhnya memiliki kerangka tulang rawan lengkap, bukan tulang sejati seperti kebanyakan ikan lainnya. Untuk pernafasannya Hiu menggunakan insang, yang terdapat pada celah yang ada di samping atau sedikit di belakang kepalanya. Hiu mempunyai tubuh yang dilapisi kulit dermal denticles. Keberadaan dermal denticles penting bagi hiu untuk melindungi kulit dari luka, serbuan parasit, dan untuk menambah fungsi aerodinamika ketika berenang di dalam air. Derma denticles begitu keras dan liat sehingga pada zaman dahulu sebelum ditemukan amplas, kulit hiu sering digunakan sebagai penghalus kayu. Bagian menarik lainnya dari Hiu adalah giginya. Gigi hiu gigi hiu terdiri dari beberapa lapisan dan terus tembuh sepanjang hidupnya. Bila ada yang tanggal maka lapisan lainnya akan menggantikan bagian hilang tersebut. Sepanjang hidupnya, Hiu dapat menghasilkan ribuan gigi! Tercatat di beberapa masyarakat tertentu ada yang menggunakan gigi hiu sebagai senjata.

Hingga saat ini ada sekitar 440 jenis hiu yang diketahui yang dapat ditemukan disemua lautan di dunia, dan sebagian kecil dapat ditemukan di estuari dan sungai. Dari ratusan jenis hiu hanya 3 jenis, The great white shark, The tiger shark and The bull shark, yang sering terkait dengan serangan pada manusia. Ketika di laut, kemungkinan anda tenggelam 100 kali lebih tinggi dibanding kemungkinan digigit hiu. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa kemungkinan manusia dibunuh oleh hiu 1 : 300 juta! Bandingkan dengan kemungkinan terbunuh oleh kecelakaan pesawat sebesar 1 : 10 juta.

Hiu telah ada di bumi ini sejak sekitar 464 juta tahun yang lalu, mereka berhasil bertahan dari berbagai seleksi alam. Perannya sebagai salah satu predator tertinggi di ekosistem membuat populasi mereka untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut tetap terjaga selama berjuta-juta tahun. Namun, terlepas dari itu semua dan walaupun hiu dikenal sebagai penguasa lautan, keadaannya di lautan saat ini semakin mengkhawatirkan. Sejak beberapa dekade terakhir ini muncul gangguan baru bagi populasi mahluk berdarah dingin ini, yaitu mahluk berdarah panas dari daratan: Manusia! Hanya untuk memenuhi permintaan sebagian kalangan, diperkirakan 100 juta hiu terbunuh setiap tahunnya, dimana 73 juta diantaranya karena pemotongan sirip hiu untuk sup. 

Gray Reef Shark 'buntung' seusai dibuang dari kapal setelah sirip diambil.
Foto: © Jürgen Freund / WWF-Canon
Saat ini 50-80% sirip hiu dunia didatangkan ke Honkong, dan terdapat kajian yang menyatakan 89% penduduk di hongkong pernah memakan sup sirip hiu pada jamuan perkawinan. Bagi beberapa kalangan memang ini merupakan tradisi turun temurun pada setiap acara perkawinan, sayangnya belakangan ini tradisi ini semakin bergeser. Peningkatan kesejahteraan membuat hidangan sup sirip hiu ini tidak lagi terbatas pada acara perkawinan saja, namun hampir selalu dihidangkan setiap ada perayaan apapun. Pergeseran tradisi ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya permintaan akan hidangan sup sirip hiu. Para nelayan berlomba-lomba menangkap hiu yang akibatnya beberapa jenis hiu yang statusnya terancam meningkat drastis. Pada 2010 terdapat 180 species hiu yang berstatus terancam dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya 15 species. Beberapa jenis hiu pelagis yang berstatus terancam antara lain: Great white shark, Blue shark, Longfin mako, Shortfin mako, Basking shark, Whale shark, Tiger shark, dan Thresher shark. Hampir semua spesies tersebut dapat kita jumpai di Indonesia.

Penangkapan hiu secara berlebihan dapat menjadi masalah karena sebagian besar hiu tidak bereproduksi dengan cepat seperti ikan lainnya, yang berarti sangat rentan terhadap eksploitasi besar-besaran. Sebagai contoh pada hiu-hiu pelagis tingkat reproduksinya hanya 2-3 keturunan saja setiap tahun. Dan sangat lambat untuk mencapai usia matang, sekitar 10 tahun atau lebih. 

Foto: WWF-Indonesia/Observer
Beberapa penelitian mengenai pengaruh menurunnya populasi hiu telah dikemukakan beberapa peneliti. Walaupun beberapa masih bersifat hipotesis namun tidak terbantahkan bahwa hilangnya hiu sebagai predator puncak dapat mempengaruhi kelimpahan, distribusi dan tingkah laku hewan-hewan lainnya di ekosistem lautan. Sebagai contoh terdapat penelitian yang menyatakan bahwa pola distribusi beberapa ikan ekonomis seperti tuna, kerapu dan kakap dipengaruhi oleh keberadaan hiu dalam perairan. Potensi hiu akan lebih berharga bagi kesejahteraan manusia bila dapat kita kelola secara bertanggungjawab. Ambil contoh pada 2011, terdapat kajian yang dilakukan oleh Australian Institute of Marine Science menyatakan bahwa 1 Hiu karang di Palau menghasilkan hampir $2 juta dollar dari ekotourism sepanjang hidupnya. Bandingkan dengan harga jual sirip hiu termahal ukuran jumbo (≥ 30 cm) yang hanya seharga $ 250 dollar/kg.

Di Indonesia dan kebanyakan negara-negara di dunia perikanan hiu masih terus berkembang. Ketiadaan regulasi di negara-negara tersebut mengenai perikanan hiu membuat hewan ini seperti tidak terlindungi oleh keserakahan segelintir manusia.

Hiu yang tertangkap oleh kegiatan perikanan bisa kita klasifikasi menjadi dua bagian. Hiu yang tertangkap memang sebagai target tangkapan dan hiu sebagai bycatch (tertangkap tidak sengaja pada kegiatan perikanan). Secara global, saat ini resiko kepunahan dari ¾ populasi hiu dan pari pelagis meningkat sebagai akibat dari penangkapan yang berlebihan (over fishing). Menurut FAO, lebih dari setengah dari hiu yang beruaya jauh sudah mengalami kelebihan tangkap (overexploited). Di sebagian besar wilayah di dunia mereka telah ditangkap tanpa ada pengelolaan yang baik selama berpuluh-puluh tahun. Hasilnya semakin banyak populasi hiu yang semakin menurun. Sebagai contoh, beberapa populasi hiu di pantai Atlantic telah menurun hingga 99% dalam kurun waktu 35 tahun terakhir dan menuju ke arah kepunahan.

Bagaimanapun, bahkan terkadang ketika suatu negara mengakui bahwa mereka mentargetkan hiu, seringkali hiu masih tidak dikelola sebagai “target tangkapan” dengan pembatasan tangkap dan langkah pengelolaan perikanan lainnya. Hiu yang tertangkap di perikanan komersial harus dengan jelas dibedakan apakah termasuk target tangkapan atau bycatch dan dikelola dengan baik sesuai kategorinya. Untuk hiu sebagai bycatch langkah-langkah mitigasi harus diterapkan, sedangkan hiu sebagai target tangkapan, TAC (total allowable catch) yang jelas serta kuota tangkap harus di berlakukan. Selama ketidakjelasan ini terus terjadi, usaha pengelolaan perikanan hiu akan terhambat.

Di Indonesia sendiri, menurut hasil kajian WWF-Indonesia pada 2010 walau masih terdapat beberapa perikanan hiu di daerah-daerah, namun, kebanyakan hiu yang tertangkap merupakan bycatch dari kegiatan perikanan lain seperti Tuna Longline atau Purse seine. Rendahnya selektifitas alat tangkap seperti longline dan purse seine telah membuat beberapa praktisi perikanan melakukan riset bagaimana menerapkan langkah-langkah mitigasi terhadap bycatch hiu pada alat tangkap tersebut. Beberapa solusi modifikasi alat tangkap seperti penggunaan kail lingkar, imbauan untuk tidak menggunakan wire (kawat) pada tali pancing serta yang terbaru pemasangan magnet di ujung tali pancing terbukti dapat menurunkan tingkat bycatch hiu pada kegiatan perikanan.

Selain karena penangkapan yang berlebih maupun bycatch, hilangnya habitat hiu di laut juga merupakan salah satu faktor penurunan populasi hiu. Laju pembangunan yang sangat cepat tanpa mengindahkan kesinambungan dengan alam serta pencemaran dan polusi laut juga mengakibatkan hilangnya beberapa habitat penting yang dapat mendukung populasi hiu. 

Hiu di-/ter-tangkap armada longline
Foto: © Cat Holloway / WWF-Canon
Tapi hiu bukan tanpa harapan, saat ini beberapa negara-negara kepulauan kecil di Samudra pasifik, seperti Palau dan Kepulauan Marshall yang tengah mempersiapkan suaka hiu terbesar di dunia. Luas daerah suaka yang disiapkan mencakup kawasan laut seluas dua juta kilometer persegi. Rencana ini akan menambah luas suaka hiu yang sudah ada dari 2,7 juta kilometer persegi menjadi 4,6 juta kilometer persegi. Selain itu, Kepulauan Marshall juga akan melarang semua jenis penjualan berbagai produk yang berasal dari hiu dan melarang penangkapan hiu di perairannya.

Yang terbaru adalah lolosnyanya rancangan undang-undang 376 di negara bagian California, USA, setelah melalui hasil kajian bahwa 70% penduduk Chinese-American di California mendukung RUU ini. RUU ini berisi melarang penjualan, perdagangan dan kepemilikan produk hiu, khususnya sirip di negara bagian tersebut. Hal ini menjadi penting karena California dikatakan sebagai sumber terbesar permintaan sirip hiu diluar Asia, sehingga RUU ini menunjukkan langkah besar untuk menurunkan tekanan terhadap populasi hiu. Bila nanti RUU ini disahkan menjadi regulasi hukum yang mengikat, maka California akan mengikuti Hawaii, Washington, dan Oregon, dimana regulasi yang serupa telah berhasil disahkan. Mengingat bahwa tingkat perdagangan hiu saat ini sangat tidak berkelanjutan, maka pendekatan melalui mekanisme pasar seperti ini menjadi sangat penting untuk mengisi gap ketiadaan atau kegagalan regulasi perikanan di lapangan.

Pengelolaan sumberdaya hiu kedepannya harus terus diperbaiki dan ditingkatkan serta dievaluasi agar sumberdaya hiu dapat terus lestari. Hal itu tentu saja juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat pesisir, sehingga semua langkah pengelolaan tersebut dapat dilakukan bukan saja demi keberadaan dan kelangsungan hiu di alam tetapi juga memastikan bahwa masyarakat pesisir khususnya nelayan dapat terus menerus memanfaatkan sumberdaya di lautan untuk kesejahteraannya.

Sebagian isi tulisan juga telah dipublikasikan di Majalah DiveMag Indonesia Edisi April 2012









Rabu, 30 Mei 2012

Musim tuna di perairan Laut Flores

Dwi Ariyogagautama - 14 September 2011


Akhirnya setelah 6 bulan nelayan melewati musim paceklik tuna yang bekepanjangan dalam tahun ini, terdengar kabar yang menggembirakan dari nelayan tuna di Kelurahan Kabir (kab. Alor) dengan hasil tangkapan mereka sebanyak 11 ekor tuna dengan berat rata-rata 50-60 kg perhari. Hal ini bagi mereka merupakan permulaan dari musim tuna di wilayah perairan laut Flores, cukup beralasan kenapa mereka bilang ini baru “Permulaan”, karena biasanya ketika musim tuna hasil tangkapan nelayan didesa ini bisa mencapai 1 ton/hari. (red :ikan apa beras tuh ^^!.)

Tuna merupakan salah satu jenis ikan beruraya (migrary species), seperti halnya paus dan penyu, tuna menjelajahi lautan Pasifik hingga melewati Laut sawu dalam siklus hidupnya. Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor yang biasa kami singkat menjadi “Solar” ditemukan 2 jenis tuna besar yaitu tuna ekor kuning/Madidihang/Serea/Yellowfin tuna dan Mata besar/Big eye tuna. Wilayah ini merupakan koridor pintu masuk semua jenis biota beruraya yang berasal dari laut Flores menuju laut Sawu atau sebaliknya. Kami sering menyebutnya bottle neck, sesuai artinya analogi ini ibarat leher botol yang mengecil dibandingkan badan botol itu sendiri, yaitu potensi sumberdaya perikanan yang tersebar di lautan luas, kemudian terkonsentrasi pada wilayah yang sempit diantara selat-selat diantara kepulauan 3 kabupaten tersebut. Oleh karena itu tuna yang dipastikan jalur migrasinya melewati koridor tersebut, mengalami tantangan untuk menghindari ancaman terhadap nelayan dengan mata-mata kailnya dan rumpon yang tersebar secara acak di perairan tersebut.

Bagi nelayan yang dinamakan musim puncak tuna, itu berarti bertepatan pada waktunya tuna sedang melewati daerah ini dalam migrasinya. Tekanan selain penangkapan tuna yang terpusat yaitu sering dijumpai tuna yang sedang bertelur pada musim tuna tersebut, yang berarti (tanpa didasari paper manapun !^^) wilayah pemijahan tuna tersebut pastinya masih di perairan NTT, melihat ukuran telur yang ditemukan pada tuna yang tertangkap yang rata-rata sepanjang 25 cm. Dilematik banget ketika kita membatasi penangkapan nelayan ketika musim tuna seperti ini.


Oke kembali ke ide utama, Namun tahun ini entah kenapa musim paceklik tuna tahun ini semakin panjang, sebelumnya musim tersebut berlangsung dari 5 bulan mulai dari Maret-Juli setiap tahunnya, namun saat ini berlangsung hingga Awal September. Sedangkan musim puncak penangkapan tuna biasanya november-febuari, taun ini masih belum diketahui apakah turut bergeser juga waktunya. Kejadian ini tidak berlangsung di wilayah Solar saja, nelayan penangkap tuna di Wakatobi juga mengalami kesulitan yang sama, biasanya musim tuna hanya selisih 1-2 bulan antara Wakatobi dan Solar.

Perubahan iklim jelas mempengaruhi pola migrasi tuna secara tidak langsung, baik melalui perubahan waktu musim barat dan timur hingga semakin panjangnya musim pancaroba diwilayah ini. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita beradaptasi terhadap perubahan iklim tersebut, dengan jalan mengurangi faktor tekanan dari kita sendiri. Solusi ini memang bukan hal baru, namun cuman mengingatkan kalian aja.

1. Regulasi alat tangkap

Ini paling dasar, pancing atau handline jelas yang direkomendasikan dalam penangkapan tuna. Pancing merupakan alat tangkap yang paling selektif dan ramah lingkungan, tapi tunggu dulu, jangan lupa ukuran tuna yang tertangkap dan banyaknya alat tangkap yang dioperasikan membuat hal ini juga sama tidak disarankan.

Secara teknis kedalaman penggunaan mata kail dan ukuran mata kail menentukan sekali besar kecilnya tuna yang tertangkap. Pemasangan pancing dipermukaan walaupun selektif tidak dipungkiri bisa mendapatkan tangkapan sampingan, seperti lumba-lumba.

Banyaknya armada tentunya banyak juga alat tangkap yang dipergunakan, ditambah lagi semakin rajinnya nelayan berupaya. Pemda harus tegas dalam pembatasan hal ini, kemudian bagaimana dengan alat tangkap longline???? Semenjak melihat penangkapan secara tradisional nelayan kita yang jago-jago begitu dengan alat tangkap seadanya tetapi mendapatkan hasil yang banyak, apalagi longline. Gue masih belum setuju dengan adanya longline seramah lingkungan apapun.

2. Regulasi alat bantu penangkapan

Gue lebih cenderung dalam konteks pengaturan rumpon, sebenarnya hal ini sudah diatur dalam Kepmen 30 tahun 2004 yang mengatur perijinan pemasangan yaitu:
2 – 4 mil laut à Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten/Kota
Di atas 4 – 12 mil laut à Dinas Perikanan Kelautan Provinsi
Di atas 12 – 200 mil laut à Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, KKP
Tapi apakah ini dipatuhi oleh kabupaten kepulauan?? Jawabnya jelas tidak berlaku (*dibeberapa daerah). Otonomi daerah membuat hal ini menjadi sia-sia, kebijakan tiap kabupaten dalam mengejar tuntuan Pendapatan Angaran Daerah (PAD) menghalalkan pemasangan rumpon sebanyak mungkin untuk menangkap tuna semaksimal mungkin. Damn

Instalasi rumpon tradisional

Penggunaan rumpon secara kolaboratif atau bersama-sama lebih baik dibandingkan memperbanyak rumpon pribadi yang cenderung rawan konflik sosial.

3. Regulasi wilayah tangkap

Saya akui sangat-sangat sulit untuk membagi wilayah tangkapan nelayan, walaupun dengan konsep zonasi pada MPA. Pembatasan waktu penangkapan pada wilayah tertentu ketika tuna bertelur juga masih dilematik antara kepentingan ekonomi dan konservasi. Namun sesuai fakta dilapangan bahwa adanya penggunaan purse seine di rumpon sangat tidak konservatif, bahkan sering juga ditemukan mata jaring <2inci. Selain menghabiskan sumberdaya ikan pelagis kecil, juga menimbulkan konflik antar nelayan dikarenakan makanan tuna sudah habis disapu rata sehingga tuna sulit ditemukan lagi dirumpon.

Walaupun sudah diatur tidak ada lagi perpanjangan perijinan kapal-kapal dengan purse seine, tetap saja dilapangan juragan kapal mengakalinya dengan memotong ukuran purse seine menjadi setengahnya, bisa disebut mini purse seine. Apapun bentuk dan ukurannya, purse seine, sebaiknya perlu ada kebijakan tidak diperbolehkannya penggunaan purse seine/mini purse seine yang dikombinasikan dengan rumpon.

4. Mengurangi permintaan produk (market demand)

Saya paling suka cara ini, segala bentuk eksploitasi sumberdaya laut sangat ditentukan oleh permintaan pasar. Walaupun saat ini sedang gencar-gencarnya kampanye untuk mengkonsumsi green product yang berarti produk tersebut ditangkap dengan cara yang ramah lingkungan, terdata, minim bycatach, hasil tangkapan dengan ukuran layak tangkap (dewasa dan tidak bertelur) dan berijin namun perlu diperhatikan juga sumber stocknya di alam. Kalau kita mengkonsumsi 1 atau beberapa jenis produk laut yang itu-itu aja seperti kerapu, tuna dan lobster, dipastikan stocknya yang sebelumnya banyak pasti berkurang. Alangkah bijaksananya jika kita mngkonsumsi produk-produk laut yang masih banyak stoknya di alam. Silakan download panduan untuk mengkonsumsi Seafood dengan bijak (Seafood Guide)

5. Mencabut ijin usaha pengusaha yang terlibat perdagangan tuna yang destructive

Ini masih berkaitan dengan point no. 4. ini pengalaman saya di lapangan. Perusahaan akan terus mencari produk tuna untuk pemasarannya, masalah akan muncul ketika permintaan produk khususnya yang eksport meningkat, sedangkan kapasitas nelayan tuna diwilayah tersebut terbatas, dengan berbagai cara ditempuh oleh perusahaan yang nakal. Mulai dari tingkatan terendah yaitu menambang armada, mendatangkan nelayan dari daerah lain, hingga level terparah menggunakan alat tangkap apapun termasuk menggunakan bom atau potasium. Mereka pun punya trik-trik sehingga produk tersebut tidak dapat diidentifikasikan hasil bom atau potas oleh konsumen manapun. Kalaupun produk yang didapat terdapat bagian yang rusak, bagian yang rusak akan dijual dalam bentuk bakso atau tuna kaleng. Malahan laku diproduksi di Surabaya. Who knows toh?

Ketegasan pemerintah untuk menyidik dan mencabut ijin perusahaan ini sangat diharapkan. Jangan berharap didemo dulu atau black campaign baru bergerak. Jangan takut untuk kehilangan PAD periode bapak, tapi pikirkan kelangsungan PAD wilayah bapak seterusnya.

6. Penghargaan bagi nelayan untuk penangkapan tuna yang tidak bertelur dan telah dewasa

Selama ini nelayan berasumsi menangkap lebih banyak lebih baik dibandingkan sedikit dengan harga dan kualitas baik, karena harga produknya sama saja atau tidak berbeda signifikan. Dalam menentukan harga pasar memang kompleks, tapi dengan kita hanya membeli produk ramah lingkungan lebih mahal sedikit saja harapannya, perusahaan juga melebihkan sedikit harga beli nelayan dengan produk yang baik, terutama yang sudah besar dan tidak bertelur.

Award tidak selalu dengan uang, penghargaan sosial dari keluarga, pemdes dan pemda juga sangat ampuh loh..apalagi dengan mendapatkan gelar-gelar kehormatan. Tergantung apapun yang menjadi berharga diadat tertentu pokonya.

7. Pengembangan rantai dingin diwilayah fishing ground tuna

Dalam mendukung produk kualitas ini jelas perlu diperhatikan, penangkapan banyak tapi harga rendah jelas itu juga pemborosan sumberdaya ikan dan ekonomi si nelayan. Improvisasi perusahaan dan nelayan dalam mengatasi rantai dingin perlu didukung. Project saya saat ini yaitu membuat palka pengawetan tuna dengan karpet ikan di kapal-kapal tradisional. Dibuat desain seflexible mungkin sehingga bisa dipindah-pindahkan sesuai keiinginan nelayan. Doakeun lancar ya guys.

8. Kebijakan yang sinergi antar wilayah administrasi

Ini sih klasik ya, antar kabupaten dalam 1 provinsi aja bisa punya kebijakan yang berbeda. Bahkan berlawanan, jadi mo ngomong apapun soal pengelolaan disuatu daerah tetapi daerah lain tidak sinergi, pengelolaan tersebut tidak jadi efektif. Nah kabupaten koridor perikanan tuna ini lah kunci sukses ga sukesnya pengelolaan perikanan tuna.



Semoga pertunaan di Indonesia semakin terkelola dengan bijak, tidak seperti nasib sodara-sodara tuna yang lain seperti Blue Fin Tuna yang semakin langka hingga hari ini (YG).