Tampilkan postingan dengan label Karbon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karbon. Tampilkan semua postingan

Senin, 19 November 2012

Tinja ikan teri bantu tangkap emisi karbon ke dasar laut.


Ikan Teri (Foto: Jill Matsuyama / Flickr)
Ikan bertubuh kecil, seperti kelompok teri-teri-an, ternyata punya peran sebagai 'pompa biologis (biological pump)' di laut. Pompa biologis yang dimaksud adalah proses dimana biota laut berperan memindahkan karbon dioksida dari atmosfir dan permukaan laut menuju dasar laut.

Ikan kecil seperti teri-teri-an yang tergolong 'forage fish' - yaitu ikan yang 'terus makan' sepanjang mereka menjelajah laut - adalah pemangsa di jaring makanan terbawah. Mereka 'menyaring' kolom air untuk organisme mikro seperti plankton dan zat hara lain sebagai makanan.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports, dipimpin oleh Dr Grace Saba dari Institute of Marine and Coastal Sciences, Rutgers University (RU) dan Professor Deborah Steinberg dari Virginia Institute of Marine Science (VIMS), temukan bahwa kopepoda (copepod) dan hewan laut kecil 'melayang' lainnya punya peranan besar sebagai pompa biologis dengan memangsa alga fotosintetik yang ada di dekat permukaan, lalu melepaskan kandungan karbon yang mereka cerna dalam 'pelet feses' yang tenggelam ke lautan dalam dengan cepat. Padahal tubuh sel alga yang mereka santap sendiri pada dasarnya terlalu kecil dan ringan untuk tenggelam.

Deborah Steinberg dan rekan peneliti temukan bahwa 'pelet feses' atau 'tinja' dari zooplankton mampu tenggelam puluhan hingga ratusan meter kedalaman per harinya. Dari fakta ini mendasari mereka untuk teliti peranan biota-biota kecil ini dalam memindahkan karbon ke kedalaman laut. Namun, penelitian serupa untuk 'tinja' ikan masih sangat sedikit, hingga mereka akhirnya juga teliti pada ikan bertubuh kecil.

Dr. Grace Saba bersama tim mengumpulkan pelet feses dari teri-terian di Selat Santa Barbara di lepas pesisir California selatan. Tim menduga kuat bahwa laju tenggelamnya 'tinja' teri-terian capai sekitar 762 meter per hari, merujuk pada waktu yang dibutuhkan pelet menempuh panjang tabung berisi air di laboratorium kapal.

Dalam laporan penelitian, peneliti mengestimasi kecepatan tersebut mampu membawa pelet sampai menuju ke kisaran kedalaman 400-500 meter lokasi dalam waktu kurang dari satu hari!

Grace dan Deborah bersama tim juga menghitung kelimpahan pelet yang dihasilkan ikan-ikan mungil tersebut dari tiap sampel 6 meter kubik air yang mereka ambil. Mereka dapatkan kandungan karbon rata-rata sebanyak 22 mikrogram per pelet. Untuk ini mereka harus kerja keras memisahkan kandungan karbon dari kandungan hasil pencernaan lainnya yang kebanyakan dari alga ber sel satu seperti dinoflagelata dan diatom.

Disarikan dari laporan penelitian bahwa 22 mikrogram karbon mungkin angka yang kecil. Namun ketika kita kalikan dengan jumlah kelompok spesies ikan forage serta pelet feses yang mereka hasilkan di kawasan pesisir kaya zat hara - maka jumlah ini besar.

Tim perhitungkan bahwa 'aliran ke-bawah (downward flux)' kandungan karbon dari pelet feses ikan di kawasan studi mereka capai 251 miligram per meter persegi per hari. Angka ini setara atau bahkan lebih banyak dari jumlah materi organik tenggelam yang dikumpulkan oleh materi sedimen di dasar pesisir dan laut.

Tim menegaskan bahwa pelet feses ikan menjadi alat transportasi 'ekspres' pembawa materi di permukaan laut, seperti kandungan karbon, ke dasar laut. Disebutkan juga keadaan ini akan terdukung khususnya pada kondisi perairan yang sesuai, seperti pertemuan arus dengan lempeng benua yang membawa air lebih dingin yang kaya zat hara dari kedalaman, menuju kedalaman permukaan yang terpapar cahaya matahari.

Referensi:

Grace K. Saba, Deborah K. Steinberg. Abundance, Composition, and Sinking Rates of Fish Fecal Pellets in the Santa Barbara Channel. Scientific Reports, 2012; 2

Jumat, 09 September 2011

Hutan bakau (mangrove) juga sekaya hutan tropis di daratan dalam menyimpan karbon: Pohon-pohon pesisir berperan kritis menurunkan greenhouse gas.

Mangrove sehat mendukung kesehatan biota dan ekosistem pesisir lainnya.
(Ilustrasi: E. Paul Oberlander, Woods Hole Oceanographic Institution)
Hutan bakau di pesisir kita ternyata juga menyimpan karbon seperti hutan-hutan terestrial (darat) lainnya di Bumi, menurut studi dari tim peneliti dari U.S. Forest Service and beberapa universitas. Temuan mereka di terbitkan online di jurnal ilmiah Nature Geoscience.

Tim peneliti dari stasitun riset Pacific Southwest and Northern milik U.S. Forest Service, University of Helsinki dan the Center for International Forestry Research (CIFOR) mengkaji kandungan karbon dari 25 huran mangrove di kawasan Indo-Pasifik dan temukan bahwa tiap hektar hutan mangrove menyimpan hingga empat kali lebih banyak karbon dibanding kebanyakan hutan tropis lainnya di dunia.

Hutan bakau telah lama dikenal sebagai ekosistem pesisir yang sangat produktif. Mereka mampu menjalankan siklus karbon dengan cepat. Namun, hingga temuan tim, belum pernah ada estimasi seberapa besan karbon yang tersimpan dalam ekosistem bakau. Informasi kandungan karbon pada ekosistem hutan itu penting peranannya, sebab, saat kita merombak tata-guna pesisir atau daratan (contoh: tebang pohon bakau, tebang pohon hutan tropis), maka stok karbon yang tersimpan dalam tiap tegakan pohon pada dasarnya hilang (siklus karbon berhenti) atau terlepas ke atmosfir (contoh: ketika pohon terurai atau dibakar akibat proses konsumsi manusia). Demikian saduran dari hasil penelitian yang dipimpin oleh Daniel Donato, ecologis dari Pacific Southwest Reseach Station di Hilo, Hawaii.

Hamparan luas hutan bakau di Sungai Lom, Kalimantan Timur - sedang dalam ancaman pembangunan proyek Jembatan pulau Balang. (Foto: Petr Colas).

Kemampuan hutan mangrove menyimpan jumlah kandungan karbon yang sangat besar terkait sekali dengan tempat hidup mereka di tanah berlumpur (sedimen) yang dalam dan kaya unsur hara. Rata-rata jumlah simpanan karbon dalam bakau-sedimen lima kali lebih besar dibanding hutan daratan tropis, temperate, dan boreal untuk tiap luasan area yang sebanding. Sistem akar hutan mangrove yang rumit, yang menjangkarkan tanaman tersebut ke sedimen yang terendam air, mampu memperlambat air pasang surut yang datang agar materi organik dan anorganik bisa tertangkap di permukaan sedimen. Kondisi rendah oksigen di perairan dan sedimen hutan bakau membuat laju pembusukan lambat, sehingga banyak jumlah karbon mengendap di tanah sedimen.

Bahkan, jika digabung antara tanah sedimen dengan tegakan pohon mangrove, maka hutan mangrove menyimpan jumlah karbon jauh lebih banyak lagi dibanding hutan tropis daratan lainnya.

Seorang nelayan membawa dahan dan ranting pohon mangrove yang ditebangi di kawasan hutan mangrove Mulyorejo, Surabaya, Jawa Timur. (Foto: beritadaerah.com)
Donato dan para peneliti juga melihat betapa besarnya karbon yang terlepas dari pembabatan hutan mangrove. Penelitian mereka menegaskan bahwa jika masyarakat bisa konsisten dalam mengelola bakau, maka hutan bakau adalah kandidat kuat untuk dilibatkan dalam program-program terkait usaha mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan laju deforestasi (penebangan hutan).

Hingga kini, hutan mangrove di penjuru dunia telah mengalami deforestasi yang cepat dan tinggi -- 30 hingga 50 persen bakau dunia telah hilang hanya dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang ini. Deforestasi hutan mangrove berakibat terlepasnya emisi gas greenhouse (gas rumah kaca / GRK) sebesar 0.02-0.12 petagram karbon per tahun-nya, atau 200.000.000.000 hingga 1.200.000.000 kilogram karbon tiap tahun. Angka ini sama dengan 10% atau sepersepuluh dari emisi GRK dari deforestasi di seluruh dunia, menurut penelitian tim.

Indonesia memiliki luasan hutan bakau terbesar di dunia saat ini, diperkirakan sekitar 2.5 hingga 4.5 hektar. Namun, 70% diperkirakan juga sudah dalam keadaan 'rusak'. Menyelamatkan hutan mangrove Indonesia adalah tanggungan generasi masyarakat Indonesia saat ini. Melestarikannya berarti mempersiapkan generasi dewasa Indonesia selanjutnya jauh dari resiko perubahan iklim.

Ingin mulai dengan mangrove di Indonesia? Mulailah dengan search 'Kesemat' di Google - lalu bertindak.

Referensi

Daniel C. Donato, J. Boone Kauffman, Daniel Murdiyarso, Sofyan Kurnianto, Melanie Stidham & Markku Kanninen. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature Geoscience, 2011; DOI: 10.1038/ngeo1123