Tampilkan postingan dengan label Kalimantan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kalimantan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Januari 2011

Perdagangan Ilegal Telur Penyu di Kalimantan

Salah satu sudut di Kalimantan dimana telur penyu banyak dijual.

Dari PROFAUNA:

Ada enam jenis penyu yang ditemukan di perairan Indonesia, antara lain penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricate), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus) dan penyu tempayan (Caretta caretta). Semua jenis penyu tersebut secara nasional telah dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999.

Meskipun telah dilindungi di banyak kota di Kalimantan perdagangan telur masih terus terjadi. Telur penyu yang diperdagangkan tersebut sebagian besar telur penyu hijau (Chelonia mydas) dan sedikit penyu sisik (Eretmochelys imbricate). Bahkan telur penyu asal Kalimantan tersebut juga diperdagangkan sampai ke Malaysia.

Investigasi ProFauna Indonesia yang didukung oleh Humane Society International dan Born Free Foundation pada bulan Mei hingga Agustus 2010 menunjukan bahwa perdagangan telur penyu masih terjadi secara terbuka di Kalimantan. Dari 29 lokasi yang dikunjungi di Pulau Kalimantan, 18 lokasi (62%) diantaranya dijumpai adanya aktivitas perdagangan telur penyu. Telur penyu yang diperdagangkan di Kalimantan, tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tetapi juga terjadi di kota-kota kecil. Berdasarkan lokasi yang dikunjungi, Propinsi Kalimantan Barat merupakan propinsi yang mempunyai jumlah lokasi paling banyak dalam menjual telur penyu yakni ada 10 lokasi (56%), kemudian diikuti Kalimantan Selatan 5 lokasi (28%), Kalimantan Timur 2 lokasi (11%) dan Kalimantan Tengah 1 lokasi (5%).

Diperkirakan dalam satu bulan ada sekitar 100.000 butir telur penyu yang diperdagangkan di seluruh pulau Kalimantan. Beberapa kota besar di Kalimantan yakni Pontianak, Banjarmasin dan Samarinda masih menjadi pusat perdagangan telur penyu di Kalimantan. Samarinda, Kalimantan Timur tercatat sebagai kota yang mempunyai jumlah pedagang telur penyu yang paling banyak.
Harga telur penyu yang dijual di Kalimantan bervariasi harganya, mulai dari Rp 1.500 hingga Rp 8000 per butir. Namun kebanyakan harganya adalah Rp 3500.per butir. Diperkirakan nilai perdagangan telur penyu di Kalimantan adalah sebesar Rp 4,2 milyar per tahun.
Film tentang perdagangan telur penyu di Kalimantan bisa dilihat di link berikut: "Sea Turtle eggs trade in Kalimantan".

Telur penyu yang diperdagangkan di kota-kota Kalimantan disamping berasal dari pantai-pantai di wilayah Kalimantan sendiri, juga banyak dipasok dari berbagai daerah luar Pulau Kalimantan, misalnya: Midai, Serasan, Natuna, Sulawesi Selatan dan Pulau Sembilan. Ironisnya beberapa kawasan yang menjadi pusat pengambilan telur penyu tersebut justru merupakan kawasan perlindungan alam, seperti Kepulauan Sembilan yang statusnya adalah cagar alam.

Menurut hukum yang ada di Republik Indonesia, perdagangan telur penyu adalah kegiatan ilegal. Dalam UU nomor 5 tahun 1990 disebutkan bahwa pelaku perdagangan satwa dilindungi termasuk telur penyu bisa diancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Sayangnya meskipun sudah dilindungi, perdagangan telur penyu masih banyak terjadi di Kalimantan. Padahal sebagian besar pedagang telur penyu tersebut mengetahui bahwa perdagangan telur penyu tersebut adalah dilarang. Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu mengambil tindakan untuk menghentikan perdagangan ilegal telur penyu tersebut.

Bantu Kami (ProFauna) Menghentikan Perdagangan Telur Penyu

Perdagangan telur penyu adalah illegal dan kriminal. Bantu kami menghentikan perdagangan telur penyu ini dengan mengirimkan surat ke pemerintah Indonesia untuk mendorong pemerintah agar mengambil tindakan tegas dalam mengontrol perdagangan telur penyu di Kalimantan. Silahkan kirim surat anda ke:

Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt. 3
Jalan Gatot Subroto - Senayan - Jakarta - Indonesia - 10270
Telp. +62-21-5704501-04; +62-21-5730191

Penyu hijau sedang berenang.
Foto: Michele Westmorland/Boston.com

Jumat, 02 Juli 2010

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (4)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


Salah satu sisi hutan Sungai Wain.

Rute alternatif.

Pembangunan jalan dan jembatan Pulau Balang tidak perlu terjadi. Menurut para konservasionis, rute alternatif yang lebih sederhana bisa terwujud yang juga tetap menjaga teluk, bakau, dan hutan. Rute alternatif juga rute yang lebih cepat bagi masyarakat untuk berkendara antara Balikpapan dan Penajam. Dibawah rencana saat ini, perjalanan antara Penajam dan Balikpapan jadi ditempuh 80 kilometer lebih jauh, yang juga lebih lama dibanding melalui fasilitas penyeberangan kapal feri yang saat ini sudah ada. Proyek alternatif ini membutuhkan jembatan dan jalanan dibangun di tepi paling selatan teluk, menjauhi kawasan mangrove dan hutan hujan tropis. Mungkin yang terpenting bagi para politisi adalah, sementara proyek alternatif ini akan memakan biaya lebih besar pada awalnya, jangka panjangnya akan lebih hemat.

"Tidak ada yang mencoba menghitung kerugian ekonomi akibat perombakan pulau Balang dan investasi besar yang akan dibayar pemerintah untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang diakibatkan proyek." ujar :hota.

Proyek alternatif kedua adalah tidak melakukan pembangunan jalan dan jembatan, melainkan dengan sederhana mengembangkan transportasi ferry antara Balikpapan dan Penajam bersamaan dengan pemutakhiran jalan yang sudah ada.

Meskipun proyek Jembatan Pulau Balang sudah melewati Analisa Dampak Lingkungan, Lhota berkomentar bahwa analisa tersebut jauh dari memuaskan.

"Asisten saya dan saya sendiri menghabisakan sebulan di kawasan tersebut secara sukarela mengumpulkan data untuk dimasukkan dalam ANDAL, namun tidak ada yang digunakan. Melihat data yang diambil, document ANDALtidak mengindahkan banyak ancaman utama bagi kawasan tersebut, seperti ancaman kebakaran hutan di HLSW, ancaman punahnya hutan mangrove akibat isolasi hutan dengan hutan lainnya dan banyak lagi. … Lebih lanjutnya, dokumen ANDAL tersebut sulit didapatkan (membutuhkan empat tahun bagi saya untuk mendapatkan kopi-ya dan hampir tidak ada aktivis lingkungan pernah mendapatkan akses ke dokumen tersebut) dan prakteknya juga tidak pernah dikonsultasikan ke publik…. Sudah jelas bahwa tujuan utama kajian ANDAL tersebut hanya sekedar memenuhi persyaratan hukum untuk memiliki dokumen ANDAL dan tidak untuk mengevaluasi analsisa dampak lingkungan proyek tersebut."



Salah satu sisi hutan Sungai Wain

Langkah maju: lokal vs propinsi dan pusat

Baru-baru ini, pemerintah likal, melihat banyak aspek negati dari proyek tersebut, telah menghindar dari mendukung Jembatan Pulau Balang. Sebaliknya mereka memberikan dukungan pada proyek jalan alternatif yang jauh tidak merusak lingkungan dan pilihan yang lebih baik bagi masyarakt.

Sebagaimana Ade Fadli menjelaskan: "masyarakat lokal hanya ingin mendapatkan fasilitas transportasi yang memadai."

Meskipun pemerintah propinsi dan pusat tepat menjadi suporter yang berlawanan, yang mampu mendorong proyek Jembatan Pulau Balang meskipun dengan kehawatiran dan penolakan dari pihak lokal. Ternyata dana pembangunan jembatan dan jalan sudah dijamin oleh investor dari Korea Selatan.

"Pemerintah propinsin dengan mudahnya menghiraukan masalah lingkungan, Mereka menganngap ada kebutuhan besar untuk mengembangkan transportasi antara Kalimantan Timur dan Selatan, yang sebenarnya juga benar, namun tidak menjelaskan mengapa memilih Jembatan Pulau Balang sebagai solusi jalan raya propinsi mengalahkan beberapa saran alternatif lainya," ujar Frederiksson.

"Alasan utama yang saya bisa lihat dari keinginan kuat untuk membangun rute jalan ini adalah panjangnya jalan yang dibangun (pengeluaran proyek yang besar) dan area terbesar yang tersedia untuk spekulasi harga tanah, yang telah berjalan sejak awal 1990 ketika pembangunan jalan pertamakali direcanakan / mulai dibangun. Sejumlah besar orang berpengaruh di tingkat propinsi dan pusat telah membeli lahan tanah dan akan melihat keuntungan besar ketika jalan ini terwujud," ujar Frederiksson.

"Saya saat ini tidak tahu siapa saja yang telah membeli tanah sepanjang kawasan pembanugnan jalan ini namun orang-orang ini sangat berpengaruh, dan, tentunya, pemangku azas yang sangat berambisi. Korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari kultur orang Indonesian dan rumor lokal telah menjelaskan apa dibalik keputusan-keputusan pemerintah selama ini," seperti apa yang dikatakan nara sumber yang dirahasiakan, dan menambahkan, "tentunya, rumor ini tidak bisa dibuktikan."

Pada akhirnya membangun jalan akan menjadi sebuah kehilangan besar dalam daftar besar hilangnya keanekaragaman hayati dan hutan Indonesia. Negara kepualuan ini - yang memiliki laju deforestasi terbesar di dunia, kehilangan hampir 25 persen hutanny adlam 15 tahun - juga pelepas emisi karbon ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat yang sebagian besar terkait dengan deforestasi. Sebagai tambahan, pulau Borneo telah kehilangan sekitar 50 persen tutupan hutan sejak 1970-an, meskipun dengan meningkatnya pemahaman akan pentingnya jasa ekologis hutan hujan tropis seperti untuk pengendapan karbon (carbon sequestration), preservasi keanekaragaman hayati, dan tangkapan air tawar.

Meskipun Indonesia memiliki sejarah buruk dalam lingkungan, para konservasionis berharap kali ini pemerintah propinsi dan pusat akan sadar dan terbuka, menjamin bahwa pelestarian hutan - termasuk mangrove dan teluk - adalah cara terbaik kedepannya dalam hal ekonomi dan kelestarian lingkungan.


Gibbon borneo. Foto: Petr Colas.

Gibbon borneo, salah satu satwa HLSW yang terancam punah di daftar merah IUCN


Dugong, salah satu satwa HLSW yang juga terancam punah.

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (3)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


Mangrove di Teluk Balikpapan. Foto: Petr Slavik

Tidak banyak yang tersisa.

Pembangunan jalan yang mengakibatkan perusakan hutan bukan hal baru di beberapa daerah di Kalimantan. Pembangunan jalan telah merusak Taman Nasional Kutai, Hutan Konservasi Bukit Soehato, dan Hutan LIndung Manggar. Kawasn suaka alam liar ini telah kehilangan hampir seluruh hutan primer mereka, dan kebanyakan dari taman nasional sudah pernah terbakar setidaknya sekali.

Proses penghancuran hutan perlahan akibat dampak manusia sudah berjalan di hutan Sungai Wain, yang juga terancam dengan rencana konstruksi jalan raya sepanjang tepi selatan.

"Banyak sekali pembalakan liar berlansung sepanjang jalan, lahan dibuka dengan cepat melalui penebangan dan pembakaran dan beberapa rumah kecil awal sudah mulai muncul di kedua sisi jalan. Sebuah proses yang tidak nyaman," ujar Lotha. Meskipun pemerintah menjanjikan pemantauan yang lebih baik, peningkatan penegakan hukum , dan perlindungan hutan, "dalam prakteknya, tidak ada kawasan cagar alam yangberada sepanjang jalan raya provinsi Kalimantan Timur yang tetap bertahan."

Beberapa jumlah spesies di kawasn tersebut saat ini, secara global terancam punah. Kucing teluk, kucing kepala datar, orangutan Borneo, burung Storm's stork, gibbon Borneo, monyet proboscis, semua terdaftar sebagai Endangered (terancam punah) dalam daftar merah IUCN.

Hutan tersebut juga rumah bagi langur berdada putih, jenis primata yang sulit dijumpai yang beru difoto pertama kalinya di tahun 2005. Kebanyakan dari foto yang direkam berasal dari hutan Sungai Wain.

Bagi Frederikkson, yang mempelajari beruang matahari, yang dikategorikan 'Satwa Rentan' , proyek pembangunan akan berdampak buruk pada populasi lokal hewan yang sudah dipelajarinya beberapa tahun.

"Pembangunan akan lebih mengucilkan populasi beruang matahari yang kecil dan rapuh, yang juga, sayangnya, maskot kota Balikpapan sejak tahun 2004. Pembangunan akan menghabisi kawasan tinggal sejumlah beruang , dan akan meningkatkan penjarahan beruang (melali jerat) lebih banyak lagi" ujar Frederikkson. "Saya mengestimasikan bahwa populasi beruang matahari akan berkurang separuh akibat pembangunan jalan ini dan membuat populasi mereka lebih rentan akan kepunahan yang lebih dini."



Seekor langur di hutan Sungai Wain. Foto: Milan Janda

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (2)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


 Salah satu bagian Hutan Lindung Sungai Wain.
Foto: Marian Bartos

Hilangnya kehidupan liar ?

Jika proyek Jembatan Pulau Balang berjalan terus, Teluk Balikpapan akan selamanya berubah.Teluk yang sudah dangkal akan mengalami erosi dan sedimentasi dari pekerjaan konstruksi di sekitar bukit, membuat teluk semakin sulit diaksed oleh perahu besar dan mengarah pada semakinseringnya bandjir di desa-desa pesisir. Jenis satwa di teluk, seperti dugong, buaya dan penyu hijau - yang sudah terusik oleh sedimentasi saat ini - akan menhadapi dampak lebih lagi dari polusi konstruksi.

Mangrove atau hutan bakau - sebuah ekosistem yang sebagian besar sudah hilang di dunia - akan mengalami dampak yang parah juga. Koridor hijau yang memungkinkan spesies satwa berlalulalang antara ekosistem mangrove dan HLSW akan putus.

"Fauna seperti monyet proboscis dan banyak spesies lainnya tidak bisa bertahan dalam jangka waktu lama, bahakna dalam hutan mangrove itu sendiri", Lhota menjelaskan. "Mereka memerlukan akses berkala menuju hutan disebelahnya untuk berbagai suberdaya hidup kunci mereka. Mangrove sendiri bagi mereka saat ini sudah menjadi lingkungan yang kurang cocok sebagai tempat tinggal dengan sumber makanan yang terbatas. Jika mereka terisolasi dari hutan lain, mereka pada awalnya akan terlihat bertahan namun akhirnya hanya tinggal pohon Rhizopora yang tak berpenghuni."

Hilangnya mangrove juga akan mengancam perikanan lokal sebab ikan memerlukan mangrove untuk memijah, beruaya dan tumbuh: mangrove saat ini mungkin harapan terakhir tempat berkembagn ngya ikan di teluk ini.

"Kalimantan Timur hanya memiliki sedikit kawasan mangrove yang tersis, sebab kebanyakan dari kawasan mangrove telah dirubah menjadi tambak udang dan industri. Dan di Balikpapam, inilah hutan mangrove terakhir yang ada," ujar Ade Fadli dari BEBSiC, kelompok konservasi lokal.

Jalan yang menghubungin jembatan ke Balikpapan akan melewati sepanjang tepian HLSW, dimana tegakan utama pohon-pohon dipterocarp terakhir berada di pesisir selatan dan tengah. Meskipun dampak langsung pembuatan jalan menuju hutan lindung akan minimal, jalan akan membukan akses ke hutan lindung untuk "penebangan liar, perataan lahan, dan yang utama, kebakaran hutan," ujar Lotha.

Api adalah ancaman paling besar bagi hutan. Sementara hutan tropis jarang terbakar dengan sendirinya dalam kondisi alami, dampak manusia di Indonesi telah meninggalkan luka pembakaran sepanjang Kalimantan. Sungai Wain memiliki hutan utama yang belum pernah terbakar di kawasan tersebut, saat kebakaran besar 1998 merebak di sepanjang wilayah, hanya sedikit bagian Sungai Wain yang terbakar.

"Hutan Sungai Wain yang baru terbakar sekali saja, teregenerasi dengan baik namun menjadi rentan akan kebarkaran selanjutnya akibat meningkatnya kelembaban dan jumlah besar kayu mati yang mudah terbakar," Lotha menjelaskan. "Jika terbakar kedua kalinya, dia tidak akan meregenerasi dengan mudah. Dengan kecenderungan pemerintah saat ini membuat hutan ini 'hilang selamanya'; kemungkinan bersar perambahan dan alih guna sangat tinggi.

Rumah bagi 100 spesies mamalia dan lebih dari 250 spesies burung, hilangnya hutan akan berdampak buruk pada spesies tropis, termasuk populasi orangutan reintroduksi.

Sebagai tambahan, hutan in ijuga sumber tangkapan air bersih untuk BUMN Pertamina, dan kawasan industri Kariangau Baru. Hilangnya hutan akan mengancam kebutuhan air industri ini, yang digunakan untuk pendinginan dalam penyulingan dan meunum untuk pekerja.

Hutan Sungai Wain adalah "lahan basah terakhir yang tertutupi oleh hutan dan mensuplai airtawar dengan rutin. Air dari kawasan lindung initelah digunakan industir minyak dan para pekerja / kepala rumah tangganya (mencakup 20persen populasi Balikpapan) sejak 1945," Fredrikkson menjelaskan.

Menurut Lhota, Teluk Balikpapan memiliki potensi tinggi untuk ekowisata dan pendidikan yang sebagian besar belum dicermati lebih lanjut.


Monyet proboscis dewasa. Diperkirakan 5 persen monyet proboscis di dunia saat ini berada di sekitar Teluk Balikpapan. Foto: Petr Colas

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (1)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010

Teluk balikpapan di Kalimantan Timur merupakan pusat beragam ekosistem: dugong yang terancam punah memakan lamun di perairan dangkal teluk, monyet proboscis yang bergelayutan di mangrove yang mencapai tinggi 30 meter di sepanjang teluk dan lumba-lumba Irrawady beruaya; melewati mangroce terdapat Hutan Lindung Sngai Wain (HLSW); disini, macan tutul Sunda berburu, beruang matahari memanjat kanopi mencari buah dan kacang, dan reintroduksi populasi orangutan sedang bersarang; namun alam liar ini, bersama semua penghuni yang tak terhitung, terancam oleh pembangunan jembatan dan jalan yang menghubungi kota Penajam dan Balikpapan.

Peta rencana pembanguan Jembatan Pulau Balang dan beberapa proyek alternatif yang lebih ramah lingkungan (garis putus). Gambar: Stanislav Lhota.

Jembatan ini, dikenal dengan Pulau Balang, akan terbentang melewati teluk, melewati pulau Balang, memotong mangrove dari hutan hujan tropis dan melewati sepanjang tepi barat hutan lindung. Sementara dampak langsung adalah deforestasi (penebangan hutan) untuk jalan, pemisahan bakau dari hutan huhan tropis, kerusakan pada karang. Peneliti mengatakan bahwa, penyediaan akses mudah ke mangrove dan hutan tak lain adalah dengan merusak.

Stanislav Lhota, ahli primata dari Universitas Bohemia Selatan berkata "Ancaman paling serius adalah yang tidak langsung, yaitu mebuka akses tak terkendali di seluruh kawasan tersebut".

Proyek ini akan menjadi akses terbuka untuk tempat tinggal, penebangan ilegal, bertambahnya konflik lahan, kebakaran hutanyang berkelanjutan, penjarahan satwa liar. Dampak langsungnya adalah perusakan kawasn mangrove dan satwa liar didalamnya, namun juga (pelan tapi nyata) perusakan sisi barat hutan Sungai Wain," ujar Dr. Gabriella Fredriksson, ahli beruang matahari, bekerja dalam pengelolaan dan konservasi HLSW lebih dari satu dekade kebelakang.

"Perusakan mangrove akan berdampak pada satwa liar bahari yang rentan di teluk (Balikpapan) dan juga perikana akibat hilangnya daerah untuk berkembang", ujar Dr. Danielle Kreb dari LSM lokal RASI, dia telah mempelajari mamalia laut Balikpapan dalam beberapa tahun kebelakang dan menemukan bawha habitat inti lumba-lumba Irrawady berada disekitar Pulau Balang.

Meskipun dampak lingkungan sudah jelas diutarakan oleh konservasionis, pemerintah provinsi dan pusat mendukung proyek ini. Pemerintah lokal, sebaliknya, telah memberi sinyal diakhir tahun 2009 untuk tidak mendukung proyek tersebut, terutama ketika diadakannya rencana alternatif yang tidak akan mengancam ekosistem, dan sebagai tambahan juga memberikan rute yang jauh lebih pendek antara Penajam dan Balikpapan.