Tampilkan postingan dengan label Biologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biologi. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Februari 2019

Tinja berkhasiat untuk pasir laut yang bersih

Di laut dunia saat ini terdapat sekitar 1.250 spesies teripang. Teripang kadang disebut juga timun laut, gamat, sea cucumber, atau bĂȘche-de-mer.

Teripang yang tampil dalam vidio di bawah ini adalah jenis Thelenota anax. Dia sedang ‘buang air besar’.

Tinja teripang ternyata penting untuk ekosistem. Untuk spesies satu ini, dia menggunakan tentakel-tentakelnya untuk meraih sedimen di dasar laut lalu memasukkanya ke mulutnya. Jika di darat, maka teripang adalah hewan yang gemar ‘makan tanah’.

Unsur organik dari sedimen dasar laut diserap dalam perutnya. Bahan sedimen anorganik sebagian besar dikembalikan lagi ke alam.

Alhasil, ‘pup’ sedimen yang dikembalikan teripang alam keadaanya lebih bersih dari saat dia makan. Pasir bersih dari 'tinja' teripang adalah pasir bisa mencegah tumbuhan alga merebak di dalam laut. Alga yang berlebih mengambil oksigen di air, sehingga ikan bisa terganggu kesehatanya. Namun tidak sebab pasir yang bersih.

Selain itu, kawasan padang lamun di pesisir bisa tumbuh lebih subur ketika teripang berada disekitarnya.

Bahkan terumbu karang juga dapat manfaat dari teripang. Sebab kandungan alkali dari tinja teripang, membantu menjaga keasaman kolom air disekitarnya. Sehingga efek pengasaman laut akibat terlarutnya gas polusi karbondioksida dari manusia yang larut ke laut bisa ditekan.

Di laut teripang jauh dari rupawan apalagi eksotis. Bahkan warnanya serupa dengan tinjanya. Meskipun demikian, jelas teripang punya peranan penting di bawah air sana.

Jika kita merasa kurang dalam penampilan kita, tidak apa-apa, terpenting adalah menebar kebaikan. Tebarkanlah manfaat ke sekitar kita, dengan ikhlas, lega dan sebanyak-banyaknya, seperti teripang melepas tinjanya.

Salam teripang.



Senin, 20 Agustus 2018

Terumbu Karang dalam Perkembangan Bioteknologi di Indonesia

Menurut LIPI (Sukarno, 1995), terumbu karang adalah salah satu ekosistem dasar laut yang banyak ditemukan di kawasan tropis. Ekosistem ini unik sebab dihuni spesies hewan karang dan tanaman alga penghasil zat kapur yang menjadi bahan dasar struktur 'bangunan' terumbu yang rumit dan kaya bentuknya.

Bangunan alami yang dibentuk hewan karang ini juga menjadi tempat hidup kelompok biota lain. Beragam kelompok biota hidup di dasar terumbu mulai dari moluska, krustasea, echinodermata, polichaeta, porifera, dan tunikata. Selain itu, keadaan terumbu yang sehat bisa menjadi naungan ratusan jenis spesies plankton hingga ikan dapat ditemukan di perairan sekitarnya.

Suharsono (2008) menjelaskan bahwa, sebab biota-biota tersebut, terumbu karang menjadi gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut. Bagi biota, terumbu karang menjadi tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, berpijah, daerah asuhan dan tempat berlindung bagi hewan laut lainnya.

Terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik secara global yang mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Terumbu karang merupakan sumber bahan makanan langsung maupun tidak langsung dan sumber obat-oatan. Terumbu karang sebagai pelindung pantai dan hempasan ombak dan sumber utama bahan-bahan kontruksi.

Gambar 1. Terumbu karang di lautan
Sumber :Veron (2000)
Banyak studi ataupun penelitian menyinggung dalam bidang terumbu karang yang salah satunya untuk kelestarian terumbu karang. Di era zaman modern ini banyak bidang ilmu sebagai pemecahan masalah yang dihadapi saat sekarang ini melalui terumbu karang salah satunya dengan pendekatan 'bioteknologi'.

Menurut Abdullah dan Saktiyono (2007), Bioteknologi merupakan penerapan (aplikasi) secara terpadu antara ilmu-ilmu diantaranya ilmu mikrobiologi, kimia, biokimia, genetika, biologi sel, biologi molekuler, dan teknik kimia yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Namun, pada akhir-akhir ini istilah bioteknologi lebih sering diterapkan pada aplikasi biologi ke arah molekuler atau genom, dimana materi genetik dimanipulasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Salah satu penerapan ilmu Bioteknologi yang diterapkan untuk memecahkan permasalah pada terumbu karang adalah penemuan bakteri yang bersimbiosis terhadap penyakit karang jenis Acropora yaitu Black Band Disease (BBD) yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono dan Prof Ocky Karna Radjasa di perairan Karimunjawa pada tahun 2006.

BBD merupakan penyakit akibat bakteri virulen (yang dapat menyebabkan penyakit) terutama menyerang jenis karang batu. Komunitas bakteri BBD didomonasi oleh jenis cyanobacteria (bakteri autotrof fotosintetik yang berbahaya bagi hewan dan manusia karena memproduksi racun bagi saraf, hati, dan sel).

Komunitas bakteri yang berasosiasi dengan penyakit BBD pada karang bercabang Acropora sp, dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik kultur dependent (membuat kultur jaringan baru yang sama dengan induknya). Teknik molekuler 16S rDNA (amplifikasi 16S DNA ribosom) digunakan untuk penanda karakterisasi antara individu yang pengerjaannya meliputi ekstraksi dan amplifikasi DNA, sekuensiasi gen rDNA hasil amplifikasi PCR, dan analisis filogenetik.
Gambar 2. Karang Acropora sp. terkena penyakit BBD
Sumber : Google
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu teknik perbanyakan (amplikasi) potongan DNA secara invitro. PCR melibatkan 3 proses yaitu Denaturasi (pemisahan) rantai DNA template, Annealing (penempelan) pasangan primer pada DNA target, dan Extension (pemanjangan) primer atau reaksi polimeresasi yang dikatalisis oleh DNA polimerase (Rahayu & Nugroho, 2015).

Analisis sekuen gen 16S rDNA menunjukkan bahwa isolat BBD1 memiliki kekerabatan terdekat dengan bakteri Myroboides odaratimimus (99.0%), isolat BBD2 dengan Bacillus algicola (99.0%), isolat BBD3 adalah M.A. bacterium (99.0%). Jadi Bakteri M. odoratimimus strain BBD1, B. algicola strain BBD2, dan Marine Alcaligenaceae bacterium strain BBD3 merupakan bakteri yang berasosiasi dengan penyakit Black band Disease (BBD) diperairan Karimunjawa.

Hasil ini memberikan informasi mengenai komunitas bakteri yang berasosiasi dengan suatu penyakit yaitu BBD pada karang, sehingga memungkin penerapan suatu cabang pendekatan molekuler yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono dan Prof Ocky Karna Radjasa di perairan Karimunjawa pada tahun 2006 dapat menerangkan suatu etilogi penyakit yaitu etilogi penyakit pada BBD yang menjangkit terumbu karang.

Penerapan ilmu bioteknologi yang lainnya juga diperlihatkan pada penelitan yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono tentang karakteristik dan identifikasi Bakteri Simbion Karang Goniastrea aspera yang resisten terhadap logam berat copper (Cu) di Pulau Panjang, Jepara pada tahun 2009.

Di lingkungan laut, metal Cu digunakan sebagi cat pelindung kapal untuk mencegah biokorosi. Namun ketika pelaku industri maritim secara kolosal mengalihkan penggunaan cat pelindung berbasis metal Pb ke cat pelindung berbasis metal Cu, menyebabkan kandungan metal Cu juga meningkat di lingkungan laut yang dapat mengganggu ekosistem terumbu karang.

Febrita et al. (2013), menuturkan bahwa kandungan logam berat terutama logam berat CU dalam perairan dapat meningkat, terutama dengan meningkatnya aktivitas seperti transportasi, pelabuhan, industri minyak bumi, dan pemukiman penduduk yang padat.


Gambar 3. Aktivitas pengecatan kapal
Sumber : Google
Goering et al. (1995), menjelaskan bahwa metal Cu merupakan unsur yang esensial yang diperlukan dalam jumlah sedikit oleh organisme. Namun, apabila unsur tersebut terdapat dalam jumlah berlebih akan bersifat toksik terhadap organisme laut. Disamping itu, keberadaan Cu pada ekosistem perairan terus mendapatkan perhatian karena daya toksisitas semakin meningkat.

Metode yang digunakan dengan mengisolasi (misahkan bateri yang diinginkan dari karang) bakteri serta menguji sensitivasi dengan metode agar, uji MIC (Minimal inhibitory concentration) untuk melihat hasil isolat yang memiliki toleransi tertinggi terhadap logam Cu, Ekstraksi dan Amplikasi DNA dengan PCR. Pelenitian yang dilakukan Sabdono (2009) mendapatkan hasil yang menunjukkan adanya keragaman bakteri terhadap toleransi logam Cu meskipun bakteri tersebut diisolasi dari jenis karang yang sama.

Hal lain ditunjukkan dengan pendekatan molekular dalam pengolahan terumbu karang. sekarang-pun mulai diperhatikan. Saat kondisi terumbu karang semakin rusak, ini akan mengakibatkan perubahan komposisi spesies dalam hal ini komposisi spesies terumbu karang akan semakin menurun, sedangkan perubahan komposisi spesies akan mengurangkan akan keanekaragamn genetik pada suatu populasi.

Ambariyanto dalam pidato pengukuhan guru besar Universitas Diponegoro pada tahun 2010 menjelaskan bahwa kondisi sumberdaya hayati yang rusak akan mengabitkan banyaknya organisme laut yang mengalami kepunahan. Keanekaragaman genetik merupakan suatu variasi di dalam populasi, di karenakan adanya keragaman individu yang mendiami suatu populasi tersebut. Keanekaragaman genetik dapat dijadikan kunci konservasi karena dapat menjaga populasi dari kerusakan ataupun kepunahan.

Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma et al. (2016), dengan karang lunak Sarcophyton trocheliophorum pada populasi laut Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi dengan mencoba melihat keanekaragaman genetik spesies tersebut serta pentinga terhadap kawasan konservasi. Penelitian dengan menggunakan penanda genetik ND2 (NDAH dehydrogenase-2 merupakan gen protein) yang terdapat pada mitokondria DNA.

Hasil yang didapatkan Kusuma et al. adalah keanekaragaman genetik karang lunak S. trocheliophorum di daerah perairan Jawa sebesar 0.600, perairan Sulawesi sebesar 0.815, dan perairan Nusa Tenggara sebesar 0.972. Hal ini menandakan bahwa keanekaragaman genetik S. trocheliophorum di Jawa lebih kecil dibandingkan dengan Sulawesi dan Nusa Tenggawa, yang dimungkinkan karena aktivitas manusia yang berdampak pada perairan di daerah Jawa lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.

Masih banyak lagi hasil penemuan dalam bidang bioteknologi dari terumbu karang yang pada intinya ekosistem terumbu karang merupakan anugerah yang telah diciptakan seperti ekosistem lainnya yang memberikan banyak manfaat untuk kita, tidak hanya kepentingan ekologis tetapi juga dapat memecahkan permasalahan dalam kehidupan manusia, seperti yang telah disebutkan. Mari jaga terumbu karang kita agar tetap lestari dan sampai anak cucu kita, agar dapat melestarikannya dan mengembangkan terus keilmuan alam.

Referensi
  • Ambariyanto. (2010). Kebijakan Pengelolahan Organisme Laut dilindungi : Kasus Kerang Raksasa. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. UNDIP 
  • Abdullah, M., & Saktiyono. (2007). IPA Terpadu SMP dan MTs Jilid 3A. Jakarta: Erlangga. 
  • Febrita Elya, Darmadi, Trisnani T. (2013). Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu) Pada Siput Merah (Cerihidea sp) di Perairan Laut Dumai Provinsi Riau. Prosiding Semirata FMIPA. Universitas Lampung. Lampung 
  • Kusuma A. B., Bengen D.G., Maduppa H., Subhan B., & Arafat D. (2016). Keanekaragaman Genetik Karang Lunak Sarcophyton trocheliophorum pada Populasi Laut Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Jurnal Enggano, Vol. 1 (1) : 89-86. 
  • Rahayu D.W., & Nugroho E.D. (2015). Biologi Molekuler : dalam Perspektif Konservasi. Penetbit : Plantaxia, Yogyakarta. 
  • Sabdono, A. (2009). Karakteristik dan Identifikasi Bakteri Simbion Karang Goniastrea aspera Resisten Terhadap Logam Berat Copper (Cu) dari P.Panjang, Jepara. Ilmu Kelautan , Vol.14 (3) :117-125 
  • Sabdono, A., & Radjasa, O. K. (2006). Karakteristik Molekuler Bakteri yang Berasosiasi dengan Penyakit BBD (Black Band Disease) pada Larang Acropora dp di Perairan Karimunjawa. Ilmu Kelautan , Vol. 11 (3) : 158-162. 
  • Suharsono. (2008). Jenis-Jenis Karang di Indonesia. Jakarta : LIPI Press. 
  • Sukarno, R. (1995). Ekosistem Terumbu kArang dan Masalah Pengelolahannya, Materi Pendidikan dan PelatihanMetodologi Penelitian Penentuan Kondisi Karang. LON-LIPI-UNDIP. 1-10 hal 
  • Veron, J. (2000). Coral of The World : Volume 1-3. Australia: Australian Institute of Marine Science.

Minggu, 25 Oktober 2015

Kakatua besar yang memiliki peran ekologis penting bagi terumbu karang

M. Danie Al Malik
Gambar 1. Bumphead parrotfish, atau Bolbometopon muricatum, dewasa (kiri) dan juvenile (anakan) (kanan)

Gambar: Allen & Erdmann, 2012 

Salah satu ikan terumbu yang memiliki pesona unik dan bernilai ekologis tinggi bagi terumbu karang adalah bumphead parrotfish. Bumphead parrotfish, mempunyai nama latin Bolbometopon muricatum dan merupakan salah satu ikan terumbu yang paling terbesar (ukuran mencapai 120 cm dan berat mencapai 50 kg) dari anggota ikan kakatua, atau parrotfish.




Banyak bumphead parrotfish dewasa ditemukan di sekitar laguna atau terumbu karang dan yang remaja ditemukan sekitar padang lamun atau vegetasi mangrove. Bumphead parrotfish yang mempunyai ciri khas schooling (berenang dalam kelompok) dalam jumlah besar (±100 individu) dan umumnya berkumpul pada kisaran 15 – 20 m di bawah permukaan laut.

Saat pemijahan (proses pelepasan sel telur dan sperma sehingga mengalami pembuahan) berlangsung, bumphead dewasa akan keluar dari kerumunan ikan lalu salah satu bumphead kecil akan mengikuti untuk melakukan perkawinan satu sama lainnya dan lalu memijah secara bersamaan. 

Perilaku ini terjadi sebab bumphead parrotfish merupakan ikan hemafrodit yang berarti ketika remaja mereka betina dan bisa berubah menjadi jantan saat dewasa. Perilaku khas lain saat pemijahan adalah masing-masing ikan bumphead saling berhadap ke depan dan setelah itu secara serentak mengeluarkan kabut sperma dan telur dari masing-masing bumphead parrotfish (Gladstone, 1986).

Gambar 2. Tipe memijah ikan bumphead parrotfish.
Gambar: Gladstone (1986)
Selain ukuran antara bumphead parrotfish jantan yang lebih besar dari pada bumphead parrotfish betina, perbedaan lain ada pada bagian ‘dahi’ mereka. Bumphead parrotfish betina ditandai dengan dahi yang memiliki cekungan di bagian yang dekat tepi atas mulutnya. Sedangkan yang jantan memiliki dahinya lebih maju secara vertikal mulai tepi atas mulutnya (Munoz & Zgliczynski, 2014). 

Tidak seperti parrotfish umumnya, menurut Choat dan Randall (1986), bumphead parrotfish tidak menunjukkan perubahan warna tubuh saat jenis kelamin mereka beralih. Warna tubuh mereka cenderung tetap sama saat jenis kelamin mereka berubah menjadi betina atau jantan saat dewasa.

Gambar 3. Perbedaan dahi bumphead parrotfish jantan dan betina
Gambar: Munoz & Zgliczynski (2014)

Pengamatan nelayan kepulauan Palau temukan bahwa bumphead parrotfish kerap berkumpul di dekat pintu masuk selat-selat kecil di antara terumbu karang pada hari ke-8. Johanes dalam Gladstone (1986) memprediksi bahwa bumphead parrotfish di Palau memijah pada hari ke-8 atau ke-9 siklus bulan setelah matahari terbenam. Serta ada yang memijah pada pagi hari pada hari ke-20 dari siklus bulan (Gladstone, 1986).

Pada siang hari, bumphead parrotfish biasa memakan tanaman alga yang melekat di dasar terumbu dan karang. Saat makan, bumphead akan menabrakan kepala mereka ke dinding karang keras dan memecahkannya menjadi potongan kecil agar lebh mudah masuk ke mulut mereka. Alga yang ada di bongkahan karang akan dicerna dan karang dibuang bersama kotoran mereka. Kotoran bumphead kerap menyerupai butiran pasir halus hasil dari proses kalsifikasi (proses pembentukan kerangka kapur hewan karang di terumbu) yang jatuh kembali ke dasar.

Butiran pasir halus dari hasil pencernaan bumphead parrotfish termasuk bagian proses bio-erosi (bersama biota lainnya) yang andil membangun pantai pasir putih yang indah. Setiap tahunnya, seekor bumphead dapat mengkonsumsi hingga lima ton dinding karang yang sarat akan kandungan karbonat hasil kalsifikasi karang.

Namun saat ini ikan bumphead parrotfish sedang mengalami penurunan terkait beberapa ancaman. Panduan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) tentang Spesies of Concern di tahun 2010 menjelaskan bahwa ancaman langsung yang utama bagi bumphead parrotfish diantaranya penangkapan berlebih, cara tangkap yang merusak, serta berkurangnya atau rusaknya terumbu karang yang menjadi habitat mereka.

Saat ini bumphead parrotfish menjadi bagian dari biota penting yang dipantau dalam kegiatan Reef Check. Ikan ini merupakan salah satu ikan indikator kesehatan ekosistem terumbu karang serta salah satu ikan yang mengalami penangkapan yang berlebihan. 

Reef Check merupakan sebuah kegiatan pemantauan terumbu karang yang melibatkan masyarakat umum. Melalui Reef Check, masyarakat bisa andil mengenali serta mengukur kelimpahan biota-biota tertentu, seperti bumphead parrotfish, yang menjadi tolak ukur kesehatan ekosistem terumbu karang di sebuah lokasi atau kawasan laut.



Referensi
  • Allen, G., & Erdmann, M. (2012). Reef Fishes of The East Indies. Volumes I-III. Perth, Australia: Tropical Reef Research.
  •  Bowling, T. (2014, 04 25). Bumphead Breaktrough : Tank Raised Parrotfish. Retrieved 08 08, 2015, from http://www.reef2rainforest.com/2014/04/25/bumphead-breakthrough-tank-raised-parrotfish/
  • Gladstone, W. (1986). Spawning Behavior of The Bumphead Parrotfish Bolbometopon muricatum at Yonge Reef, Great Barrier Reef. Japanese Journal of Ichthyology, Vol.33 No.3.
  • Iqbal, M. (2011, December 10). Behavior. Retrieved 8 8, 2015, from http://iqbal-berbagi.blogspot.com/2011/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html
  • Munoz, R. C., & Zgliczynski, B. J. (2014). Spawning Aggregarion Behavior and Reproductive Ecology of the Giant Bumphead Parrotfish, Bolobometopon muricatum, in a remote marine reserve. PeerJ.
  • REEF CHECK. (2006). Instruction Manual : A Guide to Reef Check Coral Reef Monitoring. USA: Reef Check Foundation.
  • NOAA. (2010). Spesies of Concern. Bumphead Parrotfish.



Minggu, 19 April 2015

Kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu

M. Danie Al Malik


Perairan Indonesia memiliki keragaman jenis hiu yang cukup tinggi. Setidaknya 116 jenis hiu yang termasuk ke dalam 25 suku ditemukan di wilayah perairan kita. Ikan hiu termasuk dalam kelompok ikan bertulang rawan, atau Elasmobranchii.

Elasmobranchii merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting di dunia. Data FAO melaporkan bahwa total tangkapan ikan-ikan Elasmobrachii di dunia pada tahun 2010 mencapai lebih dari 640 ribu ton. Lebih dari sepertiga jumlah tersebut ditangkap dari Indonesia, bersama dengan India, Spanyol, dan Taiwan. FAO juga menyebutkan total tangkapan perikanan hiu di Indonesia hingga 109,243 ribu ton untuk tahun 2010 sendiri (Gambar 1).


Gambar 1. 20 negara pengekploitasi perikanan hiu terbesar (Indonesia 109,243 ribu ton).
(Sumber: Escobar, K. (2011))
Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah hiu yang ditangkap di Indonesia terus meningkat sejak 1975 hingga 2011. Peningkatan tersebut tegolong signifikan jika di banding dengan Negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Sri lanka dan Thailand (Gambar 1). Jumlah tangkapan hiu di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2000 yaitu mencapai 70.000 ton (Gambar 2).

Gambar 2. Produksi perikanan hiu di Indonesia sejak tahun 1975- 2011.
(Sumber : KKP (2013))
Sejalan dengan peningkatan penangkapan ikan hiu di beberapa dekade terakhir,  skala operasi penangkapan tidak lagi terbatas pada perikanan berskala kecil tetapi sudah merambah hingga perikanan komersial berskala besar. Keadaan ini membuat jenis hiu yang ditangkap juga semakin banyak, termasuk jenis hiu bernilai tinggi seperti hiu botol (Squalidae), hiu lontar (Rhynchobatidae) dan hiu-hiu berukuran besar (Carharhinidae, Lamnidae, Alopiidae, dan Sphyrnidae).

Jenis hiu di atas mempunyai nilai ekologis yaitu sebagai predator di laut sebagai pengontrol sistem rantai makanan, jika fungsi ekologis hiu-hiu tersebut dihilangkan maka bisa memicu tidak terkendalinya jumlah spesies ikan tertentu, sehingga terjadi pemangsaan berlebih pada spesies-spesies ikan, khususnya yang bernilai kormersial. Sejatinya hiu merupakan tangkapan sampingan, namun seiring dengan menurunnya ikan tangkapan utama seperti tuna, hiu beralih menjadi tangkapan yang bernilai ekonomis. 

Di beberapa daerah di Indonesia, perikanan hiu telah menjadi sumber utama mata pencaharian sebagian masyarakat. Tiap mata rantai perdagangan perikanan hiu memberikan topangan pendapatan, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dalam profesi nelayan penangkap, pengumpul, penjual dan pengolah hasil perikanan hiu di daerah-daerah dimana hiu menjadi target tangkapan mereka.

Di beberapa wilayah Indonesia seperti daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lombok-Nusa Tenggara Barat peran wanita menjadi pemain utama dalam melakukan bisnis perdagangan produk hiu sebagai pengelolah hasil perikanan hiu. Hal ini menunjukkan bahwa produk hiu telah menjadi komoditi penting karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal secara langsung. 

Hampir semua bagian tubuh hiu memiliki nilai ekonomi dan dapat memberi keuntungan bagi nelayan dan semua pihak yang terlibat dalam rantai perdagangan hiu.  Bagian hiu yang bisa bernilai ekonomis antara lain daging, tulang rawan, kulit, gigi rahang, jeroan/isi perut, hati, dan sirip. Namun umumnya komoditas hiu utama yang diperdagangkan ada empat kelompok yaitu produk sirip hiu kering (dried fins), sirip hiu basah (salted fins), daging hiu beku (frozen sharks nei) dan produk campuran hiu (fresh or chilled shark).

Produk perikanan hiu yang paling umum diekspor ke luar negeri adalah sirip kering, yang mana di dalamnya juga termasuk sirip pari gitar dan pari cermin/bandrong (suku Rhyncobathidae dan Rhinobatidae). Berdasarkan data dari KKP tahun 2013, sejak tahun 1980 sampai 2006 secara umum terlihat bahwa usaha perdagangan hiu meningkat tajam pada periode 1992 hingga 1995 yaitu mencapai sepuluh ribu ton (Gambar 3). Laporan menyebutkan separuh produk sirip ikan hiu dari Indonesia diekspor ke Jepang, kemudian diikuti oleh Hong kong, Singapura dan Malaysia (Gambar 4).

Gambar 3. Jumlah ekspor produk perikanan hiu Indonesia dalam kurun waktu 1980-2006.
(Sumber : KKP (2013))
Gambar 4. Proporsi jumlah sirip hiu yang diekspor ke beberapa Negara tujuan pada tahun 2005 dan 2006.
(Sumber : KKP (2013))

Gambar 5. Perdagangan sirip ikan hiu sebagai produk perikanan ekspor yang bernilai tinggi.
(Sumber : Wikipedia)
Tingginya harga sirip hiu menjadi salah satu faktor pemicu tingginya intensitas perdagangan sirip hiu. Sirip hiu umumnya digunakan untuk sup yang merupakan sajian bergengsi di restoran-restoran seafood di beberapa kota besar di Indoensia seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya dengan harga satu porsi sirip hiu mencapai Rp. 500.000,-.

Alasan utama konsumen mau membayar harga yang fantastis ini sebagian besar didorong karena alasan sosial-budaya. Contohnya, sup sirip hiu dianggap makanan berkelas karena konon sup sirip hiu merupakan hidangan khusus raja dan bangsawan di Cina tempo dulu.

Gambar 6. Sup sirip ikan hiu konon sebagai hidangan kerajaan Cina tempo dahulu.
(Sumber : Wikipedia)
Alasan lain menyantap sup sirip hiu adalah kepercayaan sebagian masyarakat akan khasiat dari makanan ini yang dipercaya dapat menambah vitalitas, mencegah bahkan mengobati kanker. Padahal, berdasarkan hasil penelitian Food and Nutrition Information Center, sirip hiu tidak mengandung nutrisi. Sirip umumnya  terdiri dari tulang rawan, yang secara umum tidak mengandung vitamin, namun mengandung glukosamin dan kondroitin.

Beberapa pelaku pengobatan alternatif memang meyakini bahwa sirip hiu memiliki zat yang dapat memerangi kanker, namun menurut National Center Institute, hanya ada satu penelitian klinis terhadap tulang rawang hiu sebagai perawatan kanker pada manusia yang pernah dipublikasikan dan menunjukkan bahwa tulang rawan hiu tidak efektif melawan kanker. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa perawatan tambahan terhadap pasien yang mendapatkan kemoterapi dengan memberikan beberapa dosis ekstrak sirip hiu dalam jumlah yang berbeda pada 397 pasien tidak memberikan hasil positif.

Sebaliknya sirip hiu diduga mengandung merkuri dalam dosis yang cukup berbahaya, kandungan merkuri tersebut diakibatkan polusi di lautan. Sebagai hewan di puncak rantai makanan, hiu berpotensi mengandung merkuri lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya. Hal ini karena sifat merkuri yang terakumulasi melalui proses makan memakan, atau disebut bioakumulasi.

Bagaimana merkuri di lautan ter-akumulasi di tubuh ikan di tingkat teratas rantai makanan.
(Sumber: Wikipedia)
Sebagai gambaran, studi yang dilakukan oleh Dr. R. Kruse dan Dr. E. Bartelt untuk German Faderal Ministry of Food, Agriculture, and Consumer Protection (BMEL) mereka menyatakan bahwa ditubuh seekor terkandung 0,4 atau 4.000 mikrogram/kg. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan batas aman kandungan merkuri pada makanan tubuh manusia yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu tidak melebihi 0,5 ppm atau 500 mikrogram/kg.

Selain sirip, hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa tubuh hiu memiliki kandungan urea 2 – 2,5% dari total daging, sedangkan ikan tulang sejati (Teleostei) hanya mengandung urea 0,05%. Dengan kata lain, pada hakikatnya mengkonsumsi hiu tidak terbukti bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan ataupun sebagai obat anti kanker, malah dapat berpotensi meracuni tubuh. 

Hal lain adalah masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat baik nelayan maupun masyarakat umum terhadap kelestarian sumber daya ikan hiu. Ikan hiu sangat rentan terhadap penangkapan yang berlebihan. Hiu pada umumnya memiliki pertumbuhan yang lambat dan memerlukan waktu yang lama (beberapa mencapai hingga puluhan tahun) untuk mencapai usia dewasa dan berkembang biak. Selain itu jumlah anak yang dihasilkan setiap tahunnya relatif sedikit dibandingkan dengan kelompok ikan lainnya.

Hiu umumnya memiliki peranan utama sebagai sebagai pemangsa ikan lain, atau predator, sehingga menjadi pengendali populasi spesies dalam sistem rantai makanan di ekosistem laut. Menurut Penasihat Teknis Kawasan Laut The Nature Conservancy (TNC), Bapak Purwanto; keseimbangan ekosistem bisa dijaga salah satunya sebab peranan spesies hiu yang duduk di predator puncak (tidak ada yang memangsa, hanya memangsa) dalam mengendalikan populasi spesies ikan dengan memangsa ikan-ikan sakit atau terluka.

Piramida trofi ekosistem laut.
(Sumber: The University of Waikato)

Demikian juga temuan dari Bornatowski et al (2014) di Brasil selatan yang mendukung peranan hiu sebagai elemen penting dalam rantai makanan. Dari analisa isi perut dari 820 ikan dari 15 spesies elasmobranchii serta catatan dari 23.027 isi perut ikan dari beragam laporan mulai 1980 hingga 2012, Bornatowski et al (2014) mencoba memetakan hewan apa saja yang dimakan spesies hiu predator teratas, dan hiu meso-predator (dimangsa hiu, memangsa ikan non-hiu). 

Penelitian mereka temukan bahwa hiu predator teratas (top predator) seperti Carchahinus obscurus, Carcharias taurus, Sphyrna lewini, dan S. zygaena memangsa spesies-spesies di tingkat rantai makanan di bawahnya yang mencakup hiu-hiu meso-predator, ikan-ikan non-hiu, hingga avertebrata laut dan burung).

Merujuk ke penelitian hiu terdahulu, Bronatowski et al. (2014) beranggapan bahwa konsekuensi dari pengambilan hiu dari alam sifatnya tidak langsung, sebab menurunya hiu memberikan semacam efek domino. Salah satunya adalah bertambahnya populasi spesies ikan (A) yang tidak lagi dimangsa hiu. Namun di sisi lain, penambahan populasi spesies ikan A bisa menyebabkan penurunan besar pada populasi spesies laut lain (B) yang menjadi pakan-nya.

Kekhawatiran muncul ketika melimpahnya spesies ikan A dianggap sebagai ‘pemulihan ekosistem ikan’, padahal sebenarnya indikasi ketidak-seimbangan ekosistem. Demikian juga penurunan spesies B, jika spesies tersebut bernilai komersil, maka ekonomi perikanan dari masyarakat bergantung pada spesies B bisa terancam.

Demikian pula jika spesies B adalah spesies kunci ekosistem, seperti ikan kakatua di terumbu karang yang mengendalikan populasi alga. Jika ikan ‘pembersih’ terumbu karang habis dimangsa berlebih oleh ikan diatasnya, maka pertumbuhan alga yang tak terkendali bisa menutupi karang hidup dan sehat, mengancam terumbu karang.

Hiu hanyalah segelintir dari kelompok hewan yang dimanfaatkan dari lautan. Kebutuhan ikan yang tinggi serta kecanggihan teknologi penangkapan ikan, membuat manusia mengambil ikan dari tingkat spesies teratas, hingga terbawah.
(Sumber: Wikipedia)

Kesadaran akan kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu selama ini, dan kemauan kita semua kepada kelestarian hiu yang memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, sangat diperlukan.

Dengan membatasi, atau tidak, menangkap hiu dan tidak mengkonsumsi daging ataupun sirip hiu, serta aktif dalam kegiatan pelestarian hiu bersama keluarga dan sahabat; maka kita sudah membantu dalam menjaga hiu dari keterancaman. 

Referensi
  • Apriyani, A. (2013, November 21). Racun Methyl Mercury Dalam Tubuh Hiu. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://savesharksindonesia.org/racun-methyl-mercury-dalam-tubuh-hiu/
  • Bornatowski, H., Navia, A. F., Braga, R. R., & Abilhoa, V. (2014). Ecological Importance of Sharks and Rays in a Stuctural Foodweb Analysis in Southern Brazil. International Council for the Exploration of The Sea, Vol 71 (7) : 1586-1592.
  • Darmawan, A., & Ruchimat, T. (2013). Tinjauan Status Perikanan Hiu di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
  • Escobar, K. (2011, January 27). The Future of Sharks : A Review of Action and Inaction. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/reports/2011/01/27/the-future-of-sharks-a-review-of-action-and-inaction
  • Ferretti, F., Worm, B., Britten, G. L., Heithaus, M. R., & Lotze, H. K. (2010). Pattern and Ecosystem Consequences of Sharks Declines in The Ocean. Ecology Letters, Vol 13 (8) : 1055-1071.
  • Maryati. (2013, Maret 19). Populasi Hiu dan Pari Manta Dalam Ancaman. Dipetik April 6, 2015, dari http://www.antaranews.com/berita/364072/populasi-hiu-dan-pari-manta-dalam-ancaman

Sabtu, 03 Agustus 2013

Untaian Domino Yang Terus Berjatuhan Karena Dampak dari Aktivitas Penangkapan Hiu

Mochamad Iqbal Herwata Putra

Setiap mahluk hidup yang ada di bumi diciptakan memiliki perananya masing-masing untuk menjaga keseimbangan ekosistem di bumi, akan tetapi kita sebagai manusia terkadang lupa atau mengabaikan “peranan-nya”.

Peranan anggota masyarakat dalam sebuah “ekosistem” tak jauh beda dengan peranan biota terhadap ekosistem yang ada dilautan, setiap mahluk hidup yang ada dilaut memiliki peranannya masing-masing untuk membuat keseimbangan.

Lautan hidup, kedalaman menyimpan rahasia, dan kita berimajinasi didalamnya, dalam cerita atau mitos. Banyak sekali cerita dan mitos yang dan membuat “mindset”  yang salah kepada masyarakat terhadap biota yang ada dilaut, mungkin yang paling banyak menjadi korban adalah HIU, dibanyak cerita, mitos, atupun film memberikan reputasi yang buruk terhadap hiu, sosok hiu yang menyeramkan dan memakan manusia, padahal hiu sama sekali tidak tertarik kepada manusia bahkan takut terhadap manusia. Hiu adalah mahluk hidup yang pemalu dan penuh kehati-hatian dan jarang ditemui, menjadi hal langkan bagi seorang penyelam untuk dapat berenang langsung di alam. Kasus penyerangan yang biasanya terjadi terhadap manusia biasanya hiu salah mengartikan manusia sebagai makanannya.

Statistik 2009 mencatat manusia berenang dilautan 7 milyar kali, hanya 60 orang yang tercatat diserang hiu dan diakhiri dengan 5 kematian, itu seperti 5 butir pasir dilautan. Bandingkan dengan angka 24.000 orang yang setiap harinya mati tersambar petir.

Hiu memerankan peran penting di setiap ekosistem dilautan yang begitu kompleks, dan manusia ikut memainkan peranan itu karena manusia juga ikut memanfaatkan hasil laut dan menjadi ujung dari setiap rantai makanan sehingga manusia masuk didalamnya.

Kesemua mahluk hidup bergantung satu sama lain. Sederhanannya bila seorang peranan polisi dihilangkan maka tingkat kriminalitas akan semakin tinggi dan tidak ada yang mengamankan dan menekan angka kriminalitas, sehingga kesemua peranan anggota masyarakat saling keterkaitan satu sama lain membentuk sebuah keseimbangan, dan bila salah satu peran dari anggota masyarakat tidak dijalankan maka akan berdampak buruk ke anggota masyarakat yang lain, hal tersebut seperti efek “domino” yang saling berhubungan.

Keterkaitan satu sama lain seperti untaian efek domino yang dihasilkan
(Gamber: Video Sanctuary Indonesia)
Hal tersebut sama seperti Hiu, bila fungsinya di hapuskan maka keseimbangan di lautan menjadi terganggu. Penelitian di Hawai menunjukan peranan Hiu Harimau terhadap ketersedian stok ikan Tuna muda dan Kuwe, mengapa demikian? Penelitian menunjukan adannya keterkaita antara Hiu Harimau, Burung Laut, Ikan Tuna muda dan Kuwe. Dalam area yang aman maka terjadi keseimbangan, tetapi bila peranan Hiu Harimau dihilangkan akan berdampak buruk pada stok Ikan Tuna muda dan Kuwe, hal tersebut karena Hiu Harimau memakan Burung laut, dan burung laut memakan Ikan Tuna muda dan Kuwe, bila peranan Hiu Harimau dihilangkan maka akan terjadi ledakan populasi Burung Laut sehingga akan lebih banyak memakan Ikan Tuna muda dan Kuwe, dampaknya perikanan hawai bisa terpuruk, itu seperti untaian kartu domino yang terus berjatuhan.

Keseimbangan ekosistem akan menghasilkan melimpahnya ikan Tuna muda dan Kuwe
Jatuhnya untaian kartu domino juga terjadi dilaut karibia, disini Hiu memerankan peranan pentingnya dalam menjaga keseimbangan kesehatan terumbu karang, dimana ada keterkaitan antara Hiu, kerapu, dan ikan herbivore (pemakan alga). Dalam area yang aman keterkaitan biota tersebut membentuk suatu keseimbangan di ekosistem terumbu karang, namun bila peran Hiu dihilangkan apa yang akan terjadi? Ledakan alga yang menutupi terumbu karang dan berdampak hilangnya terumbu karang rumah untuk para ikan ! mengapa demikian? Ternyata keterkaitannya adalah Hiu memerankan sebagai pengontrol populasi Kerapu yang memiliki selera makan yang tinggi terhadp ikan herbivore, apabila peran hiu dihilangkan maka akan terjadi ledakan populasi kerapu, ledakan populasi kerapu ini di sambut baik nelayan, namun kesenangan itu hanya sementara karena dengan predasi yang tinggi terhadap ikan herbivore  maka pertumbuhan alga tidak terkontrol dan menutupi terumbu yang lambat lamun merusak strukturnya dan akhirnya mati, hilangnya terumbu karang hilang juga rumah untuk para ikan hidup dan pada akhirnya perikanan juga ikut terpuruk.

Keterkaitan ikan Hiu, Kerapu, dan ikan Herbivor dalam menjaga kesehatan terumbu karang
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Ikan keluarga Achanturidae (Pemakan alga) yang mengontrol pertumbuhan alga
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)

Manusia memburu hiu secara brutal, hanya untuk memuaskan pasar untuk sup sirip hiu, akan tetapi dampaknya begitu besar terhadap ekosistem dilautan dan ekonomi masyarakat. Tetapi kita seakan buta dan tuli bahwa telah terjadi “kebakaran di bawah laut sana”  yang dapat merugikan manusia pada akhirnya. Hiu bukanlah tandingan untuk ikan-ikan ekonomis lainnya yang dapat menghasilkan keturunan dengan cepat, Hiu sangat lambat untuk dewasa secara seksual dan menjadi sangat terancam populasi nya oleh aktivitas pemancingan. Tapi kita memperlakukannya seperti ikan-ikan lainnya dan di buru secara terus menurus oleh kapal industry perikanan, dan dampaknya populasi-nya menurun secara global. Hiu bukanlah tandingan untuk kenur panjang, jaring pukat, dan permintaan pasar yang tinggi untuk sup sirip Hiu.

Tingkat reproduksi ikan Hiu
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Ikan Hiu di TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Sirip hiu yang dijemur
Pada akhirnya kembali lagi kepada kita manusia yang memiliki akal dan dapat mengendalikan ekosistem agar tetap terjaga keseimbangan-nya, sudah seharusnya kita peduli terhadap lingkungan karena kita sendiripun hidup didalamnnya. Sudah banyak gerakan-gerakan penentangan penangkapan hiu namun kembai lagi kepada kita sebagai konsumen, masih maukah kita membiarkan kebakaran terjadi dibawah laut sana? Sudah seharusnya kita menjadi manusia yang semakin bijak dengan memutuskan untuk tidak mengkonsumsi Hiu.

Hiu Martil yang diambil sirip-nya
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Aksi kampanye anak-anak pelajar negara Guam dengan sukses melobi pemerintahnya untuk menghentikan praktek perdagangan Hiu
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)

Sabtu, 30 Maret 2013

Saat terancam, koral percepat pertumbuhannya, dan perubahan warna menjadi tandanya.

Protein fluoresen pada tubuh koral
Foto : Cayman Islands Twilight Zone 2007 Exploration, Michael Lesser & Charles Mazel, NOAA-OE.
Penelitian dari the University of Southampton dan National Oceanography di Southampton memberi pemahaman baru tentang bagaimana koral membangun daya tahan dan mekanisme penyembuhan terhadap penyakit dan perubahan kondisi lingkungan.

Kajian yang diterbitkan di jurnal ilmiah Coral Reefs tahun 2012 lalu ungkap bahwa percepatan pertumbuhan menjadi proses fisologis yang melatar belakangi perubahan warna koral yang dipicu penyakit, luka dan stress dari lingkungan.

Studi tersebut menyelidiki peranan pigmen yang menyerupai protein hijau fluoresen  / green fluorecent protein (GFP-like) yang berikan warna hijau, merah dan ungu-biru pada banyak koral penyusun terumbu (reef building corals).

Para peneliti mengamati pigment GFP-like dari spesies koral Laut Merah, Teluk Arab/Persia, dan Fiji lalu temukan bahwa pigmen tersebut berada pada jaringan tubuh koral yang sedang tumbuh seperti di bagian ujung cabang dan tepi koloni, baik koloni yang sehat maupun yang alami kerusakan.

Dr Joerg Wiedenmann, Dosen Senior dari Biological Oceanography sekaligus Kepala Coral Reef Laboratory di the University of Southampton, bersama tim-nya kemukakan bahwa pigmen tersebut menjadi penanda terjadinya percepatan pertumbuhan koral sebagai respon keberadaan unsur biologis asing di dalam tubuh atau koloni koral. Pigment tersebut merupakan penemuan baru komponen kimia yang menjadi indikator proses tumbuh secara berlebihan sebagai wujud pertahanan tubuh alami koral untuk menetralisir keberadaan organisme yang membahayakan dengan cara .

Mereka temukan bahwa percepatan pertumbuhan tersebut merupakan proses di balik 'sindrom bintik biru-merah-mudah / pink-blue spot syndrome' - perubahan warna koral yang dipicu luka pada tubuh koral. Mereka juga temukan bahwa keberadaan cacing tabung (tube worms) dan gastropoda (sesiput laut) pada koloni karang juga berhubungan kuat dengan peningkatan fluoresensi warna merah di tepian bagian koloni alami pertumbuhan berlebih.

Para peneliti berhasil mendeteksi pertumbuhan dan penambahan jaringan tubuh koral menggunakan bio-marka (penanda biologis) dari pigmen GFP-like tersebut. Kandungan protein fluoresen dari koral ini juga sering dimanfaatkan sebagai penanda untuk riset biomedis dan farmasi, sebab fluoresensi mereka mudah sekali dideteksi.

Dr Joerg Wiedenmann menyebutkan bahwa masa depan terumbu karang ditentukan kuat oleh strategi pengelolaan yang mendukung pemulihan dan daya tahan mereka. Kesuksesan usaha pengelolaan terumbu karang juga bergantung pada usaha kita mengidentifikasi area atau kawasan terumbu karang yang rentan terhadap gangguan tingkat tinggi.

Penelitian semacam ini andil membantu identifikasi kesehatan terumbu karang sebab penggunaan pigmen GFP-like sebagai biomarka bisa menjadi indikator terjadinya stress/kerusakan mekanik pada koral, seperti contohnya, yang diakibatkan perenang atau penyelam atau indikasi keberadaan parasit atau penyakit koral.

Penelitan tersebut juga pertegas dampak negatif perubahan keadaan lingkungan terhadap terumbu karang. Pengasaman laut dan penghangatan laut akibat perubahan iklim serta peningkatan nutrisi sebab pencemaran di perairan terumbu mampu menghambat pertumbuhan koral. Dengan demikian ancaman semacam juga akan mengurangi kemampuan koral bertahan terhadap kolonisasi organisme lain, termasuk kemampuan pulih dari kerusakan fisik akibat manusia, seperti perusakan, atau alam, seperti badai.

Referensi:

C. D’Angelo, E. G. Smith, F. Oswald, J. Burt, D. Tchernov, J. Wiedenmann. Locally accelerated growth is part of the innate immune response and repair mechanisms in reef-building corals as detected by green fluorescent protein (GFP)-like pigments. Coral Reefs, 2012; DOI: 10.1007/s00338-012-0926-8

Jumat, 07 Desember 2012

Cara mamalia laut penyelam atasi penyakit dekompresi.

Paus dan penyelam, sedang menyelam.
Foto: ©Brian J. Skerry/allposters.com
Bagi kita yang pernah menyelam dengan SCUBA pasti kenal dengan bahaya penyakit dekompresi / decompression sickness (DCS). Dalam bahasa Inggris disebut juga "the bends".  DCS dipicu saat penyelam naik kepermukaan bersamaan dengan menurunya tekanan lingkungan. Jika penyelam terlalu cepat naik, keadaan ini bisa sebabkan gas yang diserap tubuh selama penyelaman terlepas dari kelarutannya di tubuh kita, memicu pembentukan gelembung-gelembung di dalam jaringan tubuh. Dampak dari DCS beragam, mulai nyeri di persendian, ruam di kulit, kelumpuhan, hingga kematian.

Lalu bagaimana dengan mamalia laut yang kerap menyelam ke kedalaman sebagai bagian dari rutinitasnya bertahan hidup?

Di bulan April 2010, Woods Hole Oceanographic Institution's Marine Mammal Center (MMC) mengundang sejumlah pakar dunia di bidang selam dan fisiologi penyelaman mamalia laut. Bersama-sama mereka adakan lokakarya untuk menjawab bagaimana mamalia laut mengelola gas di tubuhnya dalam lingkungan bertekanan. Dua puluh delapan peneliti berdiskusi dan berdebat dengan pengetahuan mereka yang terkini di bidang kinetika gas dan biologi mamalia laut penyelam, membahas khususnya soal laju perubahan konsentrasi gas di dalam tubuh hewan.

Lokakarya tersebut mebuahkan tulisan ilmiah "Deadly diving? Physiological and behavioural management of decompression stress in diving mammals," (Selam mematikan-kah? Pengelolaan fisiologis dan perilaku terhadap stress dekompresi pada mamalia penyelam) diterbitkan 21 Desember 2011 secara online di the Proceedings of the Royal Society B.

Sebelum itu, ada anggapan umum bahwa mamalia laut memiliki adaptasi anatomi, fisiologi dan perilaku sehingga DCS bukan masalah bagi mereka. Ini diperkuat sebab belum ada bukti bahwa mamalia laut rutin mengalami 'bends'. Namun, temuan terkini peneliti ungkap bahwa mamalia laut penyelam justru aktif menghindari DCS, ketimbang begitu saja menerima dampak DCS 'tanpa masalah'.

Peneliti mulai mempertanyakan anggapan lama sejak menemukan Beaked Whale (Paus Berparuh) yang terdampar di Kepulauan Canary di 2002. Dari otopsi jasad paus, peneliti dapatkan bukti gelembung di dalam tubuh paus. Paus-paus tersebut terdampar karena terpapar gelombang sonar dari armada angkatan laut yang berlatih.

Temuan ini membuat peneliti berpikir bahwa tubuh mamalia laut penyelam sebenarnya mengalami penumpukan gelembung nitrogen jauh lebih sering dari sebelumnya kita kira. Peneliti menduga mereka  memiliki respon 'timbal-balik' secara fisiologis untuk atasi DCS. Diantaranya, diduga kuat mamalia laut penyelam bisa mengelola kandungan nitrogen dalam darahnya, dan memiliki tingkat konsentrasi nitrogen yang lebih bervariasi dari yang sebelumnya diduga, berubah-rubah sesuai kedalaman yang kerap dijelajahi.

Memahami perilaku mamalia laut merupakan tantangan besar, sebab mamalia laut meluangkan hampir seluruh waktu hidupnya dibawah permukaan laut - dan tidak jarang sangat dalam dan jauh dari pesisir. Dengan inovasi teknologi terkini, peneliti MMC menggunakan alat pemindai CT untuk memeriksa jasad sampel mamalia laut dari tekanan kedalaman yang berbeda untuk memahami lebih dalam perilaku gas didalam tubuh mereka. Ini juga dilakukan untuk lihat pada kedalaman berapakah anatomi mamalia mulai otomatis 'mengunci' untuk hindari masalah kinetika-tekanan yang lebih parah.

Para peneliti juga melihat sampel riset di tahun 1940 yang mencatat paus yang mati setelah empat hingga lima ambilan nafas setelah terkena harpoon, meskipun luka tusuk termasuk ringan/tidak fatal, namun paus ternyata baru naik dari kedalaman 230m, belum cukup kesempatan untuk rekompresi. Demikian nasib serupa pada singa laut (sea lion) yang turun ke kedalaman 300 meter dalam waktu 3 menit lalu naik dalam waktu 9 menit. Hasil CT-scanning sample bangkai hewan-hewan temukan adanya pembentukan gelembung-gelembung di pembuluh darah mereka.

Bagaimana mamalia laut beradaptasi dengan DCS secara detail masih misteri. Laporan juga mengutip penelitian lain pada singa laut yang kadang mengurangi ambilan-nafas-nya. Diduga, dengan hanya menggunakan udara yang singa laut simpan di paru-paru saat menyelam, mereka perlahan meregulasi penambahan kandungan oksigen tubuhnya, sementara fisiologis tubuhnya (seperti seperti otot, dan sistem  pencernaan) memiliki kemampuan ekstra mengolah gas berlebih dalam darah (misal: mengurangi nitrogen). Demikian juga pada lumba-lumba hidung botol, terkadang setelah penyelaman dalam, mereka melakukan beberapa kali turun naik dalam kedalaman yang lebih dangkal, yang diduga untuk kurangi dampak DCS.

Laporan ilmiah mereka di kesimpulanya juga menyiratkan bahwa masih banyak lagi yang perlu dipelajari. Peneliti tegaskan bahwa mamalia laut hidup dalam tantangan mengelola gelembung-gelembung gas di dalam tubuh mereka. Jika memang demikian, dampak kegaduhan polusi dan gangguan lingkungan lainnya bisa memicu mamalia laut kedalam lingkungan yang abnormal sebab terganggunya proses penyesuaian gas mereka.


Saat penyelam manusia punya masalah gelembung gas dalam tubuh, apa yang mereka lakukan? Kita bisa pergi dan masuk dalam ruangan rekompresi, sehingga perlahan gas dilarutkan kembali dan bisa pulih. Atau jika memungkinkan, penyelam ambil tanki udara lagi, dan turun ke kedalaman untuk beberapa saat.

Namun bagaimana dengan lumba-lumba dan paus di permukaan air yang alami dekompresi? Tentunya mereka akan menyelam, namun saat mereka 'sial' atau terganggu navigasi-nya hingga masuk di perairan dangkal, kemungkinan besar nasib mereka adalah terdampar.