Tampilkan postingan dengan label Mamalia Laut. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mamalia Laut. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Desember 2012

Cara mamalia laut penyelam atasi penyakit dekompresi.

Paus dan penyelam, sedang menyelam.
Foto: ©Brian J. Skerry/allposters.com
Bagi kita yang pernah menyelam dengan SCUBA pasti kenal dengan bahaya penyakit dekompresi / decompression sickness (DCS). Dalam bahasa Inggris disebut juga "the bends".  DCS dipicu saat penyelam naik kepermukaan bersamaan dengan menurunya tekanan lingkungan. Jika penyelam terlalu cepat naik, keadaan ini bisa sebabkan gas yang diserap tubuh selama penyelaman terlepas dari kelarutannya di tubuh kita, memicu pembentukan gelembung-gelembung di dalam jaringan tubuh. Dampak dari DCS beragam, mulai nyeri di persendian, ruam di kulit, kelumpuhan, hingga kematian.

Lalu bagaimana dengan mamalia laut yang kerap menyelam ke kedalaman sebagai bagian dari rutinitasnya bertahan hidup?

Di bulan April 2010, Woods Hole Oceanographic Institution's Marine Mammal Center (MMC) mengundang sejumlah pakar dunia di bidang selam dan fisiologi penyelaman mamalia laut. Bersama-sama mereka adakan lokakarya untuk menjawab bagaimana mamalia laut mengelola gas di tubuhnya dalam lingkungan bertekanan. Dua puluh delapan peneliti berdiskusi dan berdebat dengan pengetahuan mereka yang terkini di bidang kinetika gas dan biologi mamalia laut penyelam, membahas khususnya soal laju perubahan konsentrasi gas di dalam tubuh hewan.

Lokakarya tersebut mebuahkan tulisan ilmiah "Deadly diving? Physiological and behavioural management of decompression stress in diving mammals," (Selam mematikan-kah? Pengelolaan fisiologis dan perilaku terhadap stress dekompresi pada mamalia penyelam) diterbitkan 21 Desember 2011 secara online di the Proceedings of the Royal Society B.

Sebelum itu, ada anggapan umum bahwa mamalia laut memiliki adaptasi anatomi, fisiologi dan perilaku sehingga DCS bukan masalah bagi mereka. Ini diperkuat sebab belum ada bukti bahwa mamalia laut rutin mengalami 'bends'. Namun, temuan terkini peneliti ungkap bahwa mamalia laut penyelam justru aktif menghindari DCS, ketimbang begitu saja menerima dampak DCS 'tanpa masalah'.

Peneliti mulai mempertanyakan anggapan lama sejak menemukan Beaked Whale (Paus Berparuh) yang terdampar di Kepulauan Canary di 2002. Dari otopsi jasad paus, peneliti dapatkan bukti gelembung di dalam tubuh paus. Paus-paus tersebut terdampar karena terpapar gelombang sonar dari armada angkatan laut yang berlatih.

Temuan ini membuat peneliti berpikir bahwa tubuh mamalia laut penyelam sebenarnya mengalami penumpukan gelembung nitrogen jauh lebih sering dari sebelumnya kita kira. Peneliti menduga mereka  memiliki respon 'timbal-balik' secara fisiologis untuk atasi DCS. Diantaranya, diduga kuat mamalia laut penyelam bisa mengelola kandungan nitrogen dalam darahnya, dan memiliki tingkat konsentrasi nitrogen yang lebih bervariasi dari yang sebelumnya diduga, berubah-rubah sesuai kedalaman yang kerap dijelajahi.

Memahami perilaku mamalia laut merupakan tantangan besar, sebab mamalia laut meluangkan hampir seluruh waktu hidupnya dibawah permukaan laut - dan tidak jarang sangat dalam dan jauh dari pesisir. Dengan inovasi teknologi terkini, peneliti MMC menggunakan alat pemindai CT untuk memeriksa jasad sampel mamalia laut dari tekanan kedalaman yang berbeda untuk memahami lebih dalam perilaku gas didalam tubuh mereka. Ini juga dilakukan untuk lihat pada kedalaman berapakah anatomi mamalia mulai otomatis 'mengunci' untuk hindari masalah kinetika-tekanan yang lebih parah.

Para peneliti juga melihat sampel riset di tahun 1940 yang mencatat paus yang mati setelah empat hingga lima ambilan nafas setelah terkena harpoon, meskipun luka tusuk termasuk ringan/tidak fatal, namun paus ternyata baru naik dari kedalaman 230m, belum cukup kesempatan untuk rekompresi. Demikian nasib serupa pada singa laut (sea lion) yang turun ke kedalaman 300 meter dalam waktu 3 menit lalu naik dalam waktu 9 menit. Hasil CT-scanning sample bangkai hewan-hewan temukan adanya pembentukan gelembung-gelembung di pembuluh darah mereka.

Bagaimana mamalia laut beradaptasi dengan DCS secara detail masih misteri. Laporan juga mengutip penelitian lain pada singa laut yang kadang mengurangi ambilan-nafas-nya. Diduga, dengan hanya menggunakan udara yang singa laut simpan di paru-paru saat menyelam, mereka perlahan meregulasi penambahan kandungan oksigen tubuhnya, sementara fisiologis tubuhnya (seperti seperti otot, dan sistem  pencernaan) memiliki kemampuan ekstra mengolah gas berlebih dalam darah (misal: mengurangi nitrogen). Demikian juga pada lumba-lumba hidung botol, terkadang setelah penyelaman dalam, mereka melakukan beberapa kali turun naik dalam kedalaman yang lebih dangkal, yang diduga untuk kurangi dampak DCS.

Laporan ilmiah mereka di kesimpulanya juga menyiratkan bahwa masih banyak lagi yang perlu dipelajari. Peneliti tegaskan bahwa mamalia laut hidup dalam tantangan mengelola gelembung-gelembung gas di dalam tubuh mereka. Jika memang demikian, dampak kegaduhan polusi dan gangguan lingkungan lainnya bisa memicu mamalia laut kedalam lingkungan yang abnormal sebab terganggunya proses penyesuaian gas mereka.


Saat penyelam manusia punya masalah gelembung gas dalam tubuh, apa yang mereka lakukan? Kita bisa pergi dan masuk dalam ruangan rekompresi, sehingga perlahan gas dilarutkan kembali dan bisa pulih. Atau jika memungkinkan, penyelam ambil tanki udara lagi, dan turun ke kedalaman untuk beberapa saat.

Namun bagaimana dengan lumba-lumba dan paus di permukaan air yang alami dekompresi? Tentunya mereka akan menyelam, namun saat mereka 'sial' atau terganggu navigasi-nya hingga masuk di perairan dangkal, kemungkinan besar nasib mereka adalah terdampar.

Rabu, 17 Agustus 2011

Paus Ramadhan di Teluk Mutiara-Alor Kabupaten Alor-NTT

Dwi Ariyogagautama, 5 Agustus 2011

Tanggal 3 Agustus 2011 yang lalu tepatnya pukul 17:00 WITA terlihat semburan paus sebanyak 4 ekor, 3 berukuran besar dan 1 berukuran kecil. Lokasi pertama terlihat tepat 100-200m didepan kantor WWF-Indonesia Solar Project yaitu di teluk Mutiara -Kabupaten Alor-NTT. Kordinatnya yaitu : LS : -8,22463369, BT 124,53206501. Banyak orang yang melihat kejadian langka ini, bukan hanya staff WWF tapi juga penduduk lokal dan turis yang kebetulan berada di pelabuhan Kalabahi dalam rangka Sail Wakatobi.

Gambar 1. Peta lokasi ditemukannya 4 Paus Biru
Diperkirakan kedalaman teluk ini diatas 30m, dan paus tersebut berenang disekitar bagan apung. Kami sempat merekam paus tersebut dalam jarak sekitar 50m ketika bernafas (breathing), deskripsi yang dapat kami lihat adalah punggungnya yang selebar ±2m memiliki warna hitam dan terdapat bercak-bercak putih. Semburannya tunggal setinggi 5-6m untuk paus yang besar dan ±2m untuk paus yang kecil. Sebelum menyembur terlihat tonjolan terlebih dahulu, kemudian diiringi semburan, 4-5detik kemudian sirip dorsal terlihat kepermukaan (total punggung terlihat dipermukaan 7 detik), diperkirakan punggung yang terlihat sepanjang 4-5 m.

Gambar 2. Urutan Paus ketika bernafas

Gambar 3. Semburan diperkirakan 5-6 meter (Khaifin)

Berdasarkan pengamatan kami, jenis paus yang paling mendekati ciri-ciri tersebut adalah berjenis Paus Biru atau Blue Whale (Balaenoptera musculus). Secara berkelompok paus tersebut berenang bersama anak paus. Hingga Pukul 18:00 WITA 2 paus masih terlihat disekitar bagan apung (1 paus berukuran besar dan 1 paus berukuran kecil)., sedangkan 2 lainnya sudah berenang menjauhi pantai.

Paus Biru itu sendiri termasuk dalam salah satu jenis biota laut yang masuk dalam daftar merah (Red list ) yaitu statusnya terancam punah (endanger) berdasarkan IUCN (2000). Total populasi diseluruh dunia diperikarakan berkisar 5000-12.000 ekor pada tahun 2002 (Wikipedia).

Ancaman-ancaman yang ada juga dapat mempengaruhi populasi yang ada, yaitu seperti terkena baling-baling kapal, aktivitas kesibukan pelayaran di tempat migrasi mereka sehingga dapat mengganggu komunikasi antar Paus Biru, terakumulasinya bahan kimia seperti Polychlorinated biphenyl (PCB) didalam tubuh paus juga sudah pernah ditemukan, dan juga perubahan iklim pun menjadi ancaman terhadap pola distribusi dan pasokan makanan mereka. Sedangkan ancaman keberadaan paus biru yang kami temukan di teluk Mutiara ini yaitu padatnya aktivitas pelayaran dari kapal-kapal cargo dan kapal penumpang antar pulau, kemudian ancaman berikutnya adalah dikhawatirkan ketika air surut.

Hingga tanggal 4 Agustus 2011, paus tersebut pun masih terlihat di lokasi yang sama. Saat ini perairan Kabupaten Alor telah menjadi daerah pencadangan Kawasan konservasi laut Daerah (KKLD) Kabupaten.Alor semenjak dideklarasikan pada Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2009 untuk perluasan daerah KKLD Selat Pantar menjadi KKLD Kabupaten Alor seluas 400.083 ha. Dalam luasan perairan Kabupaten Alor tersebut merupakan salah satu jalur migrasi hewan-hewan laut yang dilindungi, seperti halnya mamalia laut (Cetacean). Berdasarkan data Benjamin Kahn (2002) ditemukan 7 jenis paus dan 5 jenis lumba-lumba yang melintasi perairan kabupaten Alor, serta berdasarkan pengamatan WWF-Indonesia Solar Project terdapat juga Duyung (Dugong dugon). Paus biru telah teridentifikasi dilokasi ini bukan saja sebagai potensi alam yang dapat mengangkat nama Kabupaten Alor, namun upaya untuk melindungi keberadaannya juga sangat penting, melalui KKLD Alor ini diharapkan segala potensi alam laut dapat terkelola dengan baik untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat kabupaten Alor (YG).




Sabtu, 09 Januari 2010

Pengasaman laut mengganggu pendengaran mamalia laut ?



Lumba-lumba.
Foto dari Peebee23 di iStockPhoto.com

Terus bertambahnya karbon dioksida di atmosfir Bumi meyebabkan lautan semakin asam (acidic ocean). Kenyataannya, pengasaman laut menjadi juga bagian pemicu matinya karang sehingga alga berlebihan hingga tulang rongga telinga ikan yang terlalu besar. Tidak itu saja, perubahan kimia laut juga diduga merubah nuansa akustik di laut dalam, menurut penelitan terkini diterbitkan online dalam laporan Nature Geoscience; sehingga suara diterima lebih keras di telinga hewan yang bergantung pada suara untuk navigasi di kedalaman.

Saat ini, yang lagi sengit diperdebatkan adalah menurunnya laju pengapuran pada hewan laut (karang, udang, kerang-kerangan, dll.) sebagai dampak negatif pengasaman laut. Namun, saat ini yang masih kurang diantisipasi adalah konsekuensi pengasaman laut terhadap penyerapan suara di bawah air.

Ketika lautan menjadi lebih asam - akibat sumbangan besar karbon dioksida manusia saat ini - kandungan zat kimia peredam-suara (seperti magnesium sulfat dan asam borat) menurun, sehingga suara, terutama gemuruh ber-frekuensi rendah (hingga 5.00 Hertz), bisa merambat lebih jauh

Menggunakan prediksi lepasan karbondioksida dan model lautan dunia, para peneliti menemukan bahwa penyerapan suara bisa menurun hingga 60 persen di perairan lintang atas dan dalam dalam tiga abad kedepan. Ditambah dengan kebisingan berfrekuensi rendah dari aktifitas manusia, seperti konstruksi, pelayaran dan sonar, maka telinga penghuni laut disajikan kegaduhan yang terus bertambah.

Pemimpin riset tersebut, Tatiana Ilyina dari the School of Ocean and Earth Science and Technology di the University of Hawaii, Honolulu; memprediksikan bahwa setelah abad ke-21 ini, kemampuan penyerapan suara oleh zat kimia laut untuk kisaran frekuensi 100 hingga 10 Hertz akan menurun hingga separuh di kawasan yang mendapat terpaan suara dari aktifitas industri.

'Dengungan' frekuensi-rendah secara alami terjadi karena gelombang dan hujan di permukaan laut - begitupula dari hewan itu sendiri. Namun, Ilyina dan rekan menegaskan bahwa, terlalu banyaknya suara berfrekuensi rendah memberikan sejumlah pengaruh pada kehidupan laut dalam tingkah laku dan biologis, termasuk kerusakan jaringan tubuh, terdamparnya Cetacean (pe-paus-an) dan hilang pendengaran sementara pada lumba-lumba.

Tentunya, bertambahnya jarak tempuh suara sebenarnya dapat membatu ketajaman pendengaran beberapa hewan, membuat jangkauan komunikasi antar-paus saat ini lebih jauh lagi. Ilyina juga menulis bahwa spesies laut beradaptasi dengan beragam kekuatan suara, namun, konsekuensi meningkatnya transmisi suara jarak-jauh dalam frekuensi suara yang penting bagi mamalia laut masih belum diketahui.