Tampilkan postingan dengan label Solusi 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Solusi 10. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Februari 2012

Solusi 10 - Kesejahteraan sumber daya alam dan manusia secara tidak terpisah


Konservasi sumber daya alam laut adalah hasil rajutan benang-benang kecil pemberian individu, masyarakat dan institusi sosial sebagai respons kebutuhan suatu kawasan alam - seperti contohnya, membatasi akses manusia untuk luasan terumbu karang yang terancam, mempertahankan keberadaan mangrove dari alih fungsi, atau mengatur pola penangkapan spesies ikan yang populasinya terancam habis.

Namun, sementara kita dan masyarakat 'merajut' konservasi di tingkat lokal, perlu disadari bahwa kita memasuki era dimana ekosistem pesisir dan laut mendapat pengaruh multi-ancaman yang datang dan berinteraksi di skala global. 2/3 dari Indonesia adalah lautan, namun apakah 2/3 lebih rakyat saat ini punya andil kuat dalam konservasi sumber daya laut?

Professor Terry Hughes, Direktur Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies, di James Cook University, Townsville, Australia kemukakan bahwa, jika kita ambil contoh satu ekosistem laut seperti terumbu karang misalnya, maka krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini pada akhirnya disebabkan oleh krisis governance (krisis kepemerintahan / krisis penguasaan).

"Banyak usaha (penyelamatan lingkungan) sudah dilakukan namun gagal, bukan disebabkan lemahnya pengetahuan sains, namun sebab lemahnya dukungan dari masyarakat lokal dan pemerintah" menurutnya.

Baik di negara-negara dunia, termasuk Indonesia, banyak kawasan ditetapkan sebagai 'cagar alam', namun kebanyakan perlindungan dan pelestarian tidak berjalan sukses sebab kebutuhan masyarakat lokal dikesampingkan dan gagal menggaet dukungan penuh masyarakat dalam konservasi.

Kita kita tengok keluar dari terumbu karang, ke 'ladang' besar perairan Indonesia yang seluruhnya terus dipanen ikannya dan biota lainnya, maka salah satu akar permasalahan ekploitasi serta penghabisan sumber daya adalah minim-nya kesejahteraan masyarakan pesisir dan kelompok nelayan.

Jika kita tengok individu yang saat ini kita 'cap' sebagai aktor perusak utama, maka banyak pemicu utamanya adalah kemiskinan yang bawa keputus-asaan untuk penghidupan. Toh, jika memang terkadang landasan penyebabnya murni ketidak-pedulian atau keserakahan, itupun terkadang refleksi dari individu yang tumbuh dengan keterbatasan pendidikan dan pembinaan sebab imbas miskin / tidak sejahtera. Tidak jarang juga mereka menjadi kepanjangan tangan pihak yang serakah, menjadi berketergantungan sebab pihak tersebut bisa redam keputuasaan pengihdupan mereka.

Demikian jika kita tengok sisi governance, dimana Pemerintah Republik Indonesia punya kekuatan besar untuk arahkan dan lakukan perubahan secara tegas di masyarakat, maka saat ini kita memiliki pemerintah yang masih lemah untuk menjadi wasit yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam laut kita.

Mengapa lemah? Sebab Pemerintah Indonesia saat ini masih menjalankan negara yang berkemampuan kuat mengeksploitasi alam, namun timbal baliknya tidak sebanding dalam mensejahterakan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan ekosistem - seperti nelayan dan masyarakat pesisir. Bahkan eksploitasi tidak terkendali dimana usaha preservasi / pelestarian jauh lebih rendah bahkan nihil.

Dikutip dalam Suara Merdeka, 6 Februari 2012:

"Dari sekitar 30 juta penduduk miskin di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, lebih dari sepertiganya adalah nelayan. Kondisi ini kontras dengan 2/3 luas wilayah yang terdiri dari lautan. Mestinya lebih sejahtera."

"Data dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) menyebutkan, sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jumlah nelayan pada tahun 2008 masih berada di bawah garis kemiskinan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat ada 2,7 juta nelayan Indonesia, 80 persen adalah nelayan kecil. Dari jumlah itu, lebih dari 95 persen adalah nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana dan modal produksi terbatas. Penghasilannya memperihatinkan juga."

"KKP juga mencatat kenaikan nilai produksi dari tahun ke tahun. Dalam perspektif dagang, kenaikan nilai produksi ini mestinya berimbas pada pemerataan kesejahteraan nelayan. Apalagi, 75 persen kebutuhan protein nasional disediakan oleh nelayan tradisional."

"Ironis, melihat situasi perikanan nasional saat ini, peran pemerintah justru dipinggirkan oleh korporasi multinasional. Hal ini ditandai dengan beberapa indikasi. Pertama, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa selama triwulan I/2011, total investasi di sektor perikanan mencapai 1,2 juta dolar AS dan seluruhnya merupakan investasi asing."

"Kedua, data BPS 2011 menunjukkan nilai impor ikan dan produk perikanan terus naik. Namun pemerintah justru berperan aktif melemahkan daya saing nelayan dengan mengabaikan amanah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan."

"Pasal 48 ayat (2), misalnya, dinyatakan bahwa pungutan perikanan tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Namun ada beberapa daerah yang mengabaikannya. Misalnya di Kendal diberlakukan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Retribusi TPI di Kabupaten Kendal."

"Senada dengan itu, Pasal 25B ayat (2) juga mewajibkan kepada pemerintah untuk mengutamakan kepentingan produksi dan pasokan di dalam negeri demi kebutuhan konsumsi nasional sebelum dipasarkan ke luar negeri. Ironisnya, ekspor digenjot, tetapi di saat bersamaan produk perikanan impor juga membanjiri pasar dalam negeri dengan harga lebih murah. Dalihnya era perdagangan bebas."

2/3 lautan kita miliki, namun Indonesia meng-impor ikan. Jelas ada yang salah dalam governance Indonesia.

Namun, kita punya kekuatan untuk merubah sistem pemerintahan. Jika toh belum bisa, sebagai rakyat, pastikan segala tindak-tanduk kita memanfaatkan lingkungan dan sumber daya pesisir dan laut benar-benar berkontribusi dalam pelestarian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pastikan juga dampak positif tersebut terjadi secara bersamaan, tidak terpisah. Sebab terkadang usaha kita tingkatkan kesejahteraan masyarakat justru andil memperparah degradasi lingkungan - atau sebaliknya. Konservasi perlu cermat sosial, tidak hanya cermat biologis atau ekologis saja.

Pastikan juga, pilihlah selalu pemimpin-pemimpin di masyarkat hingga di kursi Pemerintahan yang memang punya kapasitas yang misi realistis untuk melestarikan lingungan dan secara bersamaan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan sumber daya alam tersebut. Berdampinganlah selalu dengan peneliti lingkungan, praktisi konservasi, dan praktisi hak asazi  / kesejahteraan masyarakat - untuk bahu-membahu memastikan pemimpin dan sistem pemerintahan kita mewujudkan kapasitas dan misi tersebut.

Terpentingnya, sebagai wujud Nasionalisme kita, pastikan juga kita mau keluar dari zona kenyamanan kita untuk jadi bagian rakyat yang andil lestarikan pesisir dan laut. Menyuarakan perubahan tidak mudah dan dimulai hati hingga tindakan.

Solusi 9 - Gunakan kekuatan dua ibu jari kita.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari'

Telepon seluler saat ini menjadi perantara kuat komunikasi instan bagi penduduk dunia - bahkan hingga masyarakat yang tidak punya telepon kabel. Jangkauan luas SMS sudah sepatutnya jadi terobosan alat bantu dalam konservasi laut.

SMS sudah menjadi salah satu cara terpopuler untuk komunikasi telepon, terutama di Asia. Cepat, langsung, dan umumnya lebih murah dibanding bicara. SMS juga bekerja dengan baik di kawasan terpencil, walaupun sinyal kadang terbatas untuk transmisi pembicaraan.

Nelayan Filipina berkoordinasi dengan SMS.
Foto: Stella Chiu-Freund / WWF Phillipines
Dengan SMS, kita yang mau andil dalam konservasi bisa memobilisasi tindakan, mendapatkan informasi, hingga menggalang dukungan. Bayangkan, contohnya, jika saja negara memiliki hotline jaringan SMS untuk jembatani tanggap darurat terkait permasalahan lingkungan pesisir dan laut yang terjadi seketika - seperti tumpahan minyak, perusakan terumbu karang, pembabatan mangrove hingga pencemaran air dari industri -; maka masyarakat tidak perlu menunggu kabar di koran keesokan hari yang sudah telat untuk ditindak lanjuti.

Masyarakat dan stakeholder yang menyaksikan kejadian semacam itu bisa SMS-kan laporan seketika pada hotline untuk dapatkan tanggapan resmi dari pihak terkait atau informal dari masyarakat sendiri. Bahkan dikombinasikan dengan social network melalui internet seluler, tidak menutup kemungkinan masyarakat membagi informasi foto, koordinat lokasi yang bisa perkuat berita tulisan mereka dengan bukti kuat terjadinya ancaman lingkungan.

Bahkan tanpa hotline resmi, kekuatan informal masyarakat bisa bawa perubahan besar.Di Filipina bagian tengah saat ini terbentuk aliansi 900 keluarga nelayan yang saling kirim SMS untuk koordinasikan usaha-usaha konservasi lokal untuk lindungi 150 kilometer busur terumbu atol.

Memanfaatkan telepon seluler yang didonasikan oleh masyarakat Filipina pendukung konservasi dari luar kawasan tersebut, nelayan-nelayan bisa dengan seketika mengingatkan kantor pengelola konservasi di tingkat provinsi hingga kepolisian lokal saat mereka jumpai aktifitas ilegal seperti pengeboman ikan, dan pengangkapan ikan yang dilarang seperti dengan pukat - hampir semua yang saat ini dorong ekosistem pesisir mereka ke penghabisan.

Dengan cara ini pula para pemimpin aliansi nelayan telah laporkan banyak pelanggaran konservasi di kawasan perlindungan hingga masalah terkait kelumpuhan birokrasi dari aparat konservasi pemerintah sendiri. Laporan mereka juga terbuka untuk umum, hingga media massa bisa menyentuh untuk sebarluaskan secara nasional kejadian di skala lokal. Luar biasa.

Di Indonesia, inisiatif serupa sudah dijalankan di Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah. Kerjasama antara aparat Balai Taman Nasional Karimunjawa dengan masyarakat dan kelompok nelayan Karimunjawa telah bentuk mekanisme kontak SMS untuk jaga kawasan perairan kepulauan yang dilindungi negara.

Menipisnya cadangan ikan di perairan Karimunjawa, terancamnya kelulushidupan ikan-ikan muda di kepulauan Karimunjawa, serta penyelamatan satwa terancam punah seperti penyu; membutuhkan penurunan intensitas penangkapan ikan, terutama dari cara tangkap yang tidak efisien dan merusak yang datang dari nelayan luar perairan.

Dalam prakteknya, nelayan berkolaborasi dengan aparat Balai Taman Nasional untuk memantau aktifitas perairan di zona konservasi disela rutinitas melaut Nelayan dan melaporkan ke balai melalui SMS jika insiden pelanggaran terjadi. Teknologi seluler menjembatani terobosan pengelolaan kawasan perlindungan laut secara kolaboratif di Indonesia.

Jauh di Afrika, SMS juga andil kuat dalam konservasi. Nelayan di pulau atau perairan pelosok sebelum menangkap spesies ikan lebih lanjut, mereka terlebih dahulu meng-SMS rekan mereka di pasar apakah jenis tersebut harganya sedang baik atau turun. Di Afrika Selatan, peminat ikan segar dan pehobi hidangan laut bisa SMS ke hotline resmi untuk cek apakah ikan tersebut tergolong 'lestari' atau tidak.

Terkait perlindungan spesies dan ekosistem secara tidak langsung, SMS dan teknologi seluler lainnya juga sudah sudah menjembatani kordinasi antara praktisi konservasi dengan donor konservasi - dengan mudah saat ini masyarakat bisa lakukan donasi dengan aplikasi selfon keluaran lembaga konservasi lingkungan internasional. SMS dan jejaring sosial seluler tidak luput juga menjembatani penyebaran berita konservasi, memudahkan pencernaan temuan ilmiah pad amasyarakat seperti contohnya: @laut_kita dan beberapa akun twitter yang di-follow-nya.

Ayo, tunggu apa lagi? Jangan berhenti gunakan dua ibu jari untuk sebar ajakan untuk andil selamatkan lingkungan pesisir dan laut kita.

2/3 Indonesia adalah lautan, pastikan hati dan tindakan kita 2/3 untuk konservasi lautan.

Kamis, 29 Desember 2011

Solusi 8 - Batasan perijinan bagi yang datang dari luar.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari

Salah satu cara tangkap biota laut yang paling sering mengorbankan ekosistem laut adalah teknik pukat, atau trawl. Pukat sederhananya adalah kantong jaring besar yang di tarik kapal. Sayangnya, demi menangkap hewan laut yang hidup dekat dasar, pukat di tarik dekat dan di dasar laut.

Ukuran jaring yang sangat besar, dilengkapi pemberat dan komponen besi membuat pukat serupa buldoser yang meratakan habitat dasar laut. Tidak menutup kemungkinan juga sepanjang jalur 'yang di 'garuk' saat kapal tangkap pukat beroperasi, berton-ton koral dan biota dasar terangkat. Termasuk beton-ton biota tangkapan sampingan yang bukan menjadi incaran juga masuk dalam pukat.

Hasil tangkapan tidak sepadan nilainya jika dibandingkan besarnya habitat dasar yang dikorbankan dan peluang regenerasi populasi spesies laut yang hilang - semua hanya dalam waktu mingguan hingga bulanan armada tangkap pukat beroperasi, .

Praktik pukat tidak pandang tingkatan industri perikanan. Baik armada artisan hingga komersil modern, semua punya teknik tangkap pukat dengan teknologi berbeda, namun prinsip kerjanya sama.

Sudah bertahun-tahun lamanya negara-negara maju dengan perikanan industri modern menetapkan moratorium untuk pembatasan trawiling dasar laut di laut lepas serta pengurangan tangkapan sampingan dari trawling. Namun perusakan habitat dasar masih terjadi. Termasuk penangkapan berlebih dan terancamnya spesies terlindungi akibat tangkapan sampingan.

Di dunia saat ini, jumlah armada dan tenaga kerja komersil industri modern jauh lebih sedikit dibanding armada artisan atau komersil skala-kecil. Ratusan ribu berbanding jutaan. Namun, secara total kemampuan tangkap armada industri moder mampu menyamai ribuan bahkan jutaan armada tangkap artisan atau komersil skala kecil.

Di negara maju, pergerakan armada tangkap dan ikan yang ditangkap dan dijual terpantau dengan baik - hampir akurat. Dari analisa data perikanan industri modern skala besar di dunia, ternyata yang faktor penentu seringnya dan sejauh apa kapal tangkap industri modern besar terus menangkap, khususnya armada pukat, adalah bahan bakar dan perijinan. Ketimbang peraturan, atau legislasi perikanan.

Catatan bagi kita armada industri modern bisa bergerak antar-negara, antar-samudera dan antar-perairan. Indonesia-pun tidak luput dari akses kapal industri komersil skala besar. Baik asing maupun dalam negeri. Juga tidak hanya armada pukat dalam negeri saja yang mengeruk perairan lepas Indonesia.

Kembali ke analisa data perikanan industri di negara-negara maju, ternyata subsidi bahan bakar yang diberikan negara merek pada armada perikanan komersil besar tidak membawa keuntungan tangkap yang sepadan dengan dampak parktik perikanan mereka. Bingung?

Sebagai gambaran sederhana, dengan adanya subsidi bahan bakar dan perijinan tangkap di dalam dan luar negeri, mereka bisa mendaratkan 25% ikan lebih banyak dari 'normal'nya tanpa subsidi bahan bakar. Logisnyam, ada ekstra bensin, pergi bisa lebih jauh dan menangkap lebih lama.

Namun, ternyata dari 25% ekstra tangkapan tersebut, hanya 10% yang membawa keuntungan bagi industri dan negara asal kapal tangkap industrial modern. Sisanya terbuang sebagai tangkapan sampingan yang ditolak oleh pasaran / industri, dan tidak jarang dibuang kembali di laut. Sayangnya lagi, frekuensi 'penggarukan' dasar laut juga tidak kunjung mereda.

Disisi efisiensi tangkapan. Besarnya jumlah tangkapan sampingan dari kapal tangkap industri komersil besar, bisa berarti besar bagi armada tangkap artisan atau skala-kecil yang umumnya memanfaatkan semua hasil tangkapannya baik untuk subsisten (penghidupan) atau komersil. Lebih-lebih armada tangkap industrial modern tidak jarang pula beroperasi di peairan yang sama dengan armada artisan atau komersil skala kecil.

Catat, bahwa daya jangkau kapal industri modern besar bisa merambah antar negara. Baik secara legal - memasuki perairan negara lain dengan perijinan, atau secar ilegal - diam-diam, menyelundupkan ikan keluar dari perairan negara lain.

Saat ini, armada tangkap dalam negeri yang menjalankan praktik pukat juga masih terus berjalan, baik skala artisan hingga industri modern. Ini-pun masih masih jadi sumber tekanan ekologis dari sektor perikanan Indonesia. Namun, catatan besar bagi kita, bahwa Indonesia juga masih terus menjual ijin tangkap bagi kapal asing skala industri besar - yang tidak jarang juga melakukan praktik pukat

Mungkin Indonesia tidak punya kendali mengatur subsidi bahan bakar kapal-kapal industrial besar modern, atau-pun artisan asing. Begitu juga subsidi bahan bakar yang kabarnya diberikan negara. Pastikan subsidi bahan bakar tidak jatuh pada mereka yang menjalankan praktik tangkap yang merusak, seperti pukat yang berpotensi merusak habitat dasar asar dan memicu tangkapan sampingan. Selain itu Indonesia semestinya punya kendali dalam mengatur ijin operasi kapal asing di Perairan Indonesia.

Sebelum kita bisa menangkap dengan cara yang betanggung-jawab pada ekosistem, sebelum kita bisa memeratakan hasil tangkap ikan perikanan nasional untuk ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan nelayan, sebelum kita bisa menciptakan sistem ekonomi perikanan yang berkeadilan: kita perlu masak-masak mempertimbangkan penjualan perijinan tangkap kapal asing di Perairan Indonesia - apalagi mereka yang berpotensi menambah tekanan ekosistem Laut Kita.

Referensi:

Sumaila, U.R., Pauly, D. eds. 2007. Catching more bait: A bottom-up re-estimation of global fisheries subsidies (2nd version). Fisheries Centre Research Reports 14(6):49-53. Fisheries Centre, University of British Columbia, Vancouver.

Rabu, 28 Desember 2011

Solusi 7 - Sistem pasar perikanan yang menerapkan penghargaan bagi parktik yang lestari.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari

Perikanan manusia terus sebabkan tangkapan sampingan. Satwa terlindungi yang terancam tidak luput jadi imbas komersialisasi ikan global saat ini.
(Foto: Reuters)

Puluhan ribu ton biota laut tak sengaja tertangkap dan terbunuh akibat armada tangkap perikanan dunia. Inilah yang disebut tangkapan sampingan (bycatch) yang pada praktiknya juga mengancam biota laut terancam punah seperti hiu dan penyu.

Di negara dengan sistem pengelolaan perikanan yang relatif sudah maju, ada peraturan yang membatasi jumlah tangkapan sampingan yang boleh di ambil oleh Nelayan. Namun peneliti perikanan ungkap bahwa pendekatan regulasi tidak cukup melindungi satwa terancam yang populasinya sedang menurun drastis saat ini seperti penyu dan hiu.

Para peneliti ekonomi-ekologi perikanan tegaskan bahwa cara kita menjalankan pasar ekonomi perikanan juga bisa bawa perubahan. Solusi yang mereka ketengahkan adalah 'tradable bycatch credit', atau jika lugas diterjemahkan sebagai 'kredit tangkapan sampingan yang dapat diperdagangkan'.

Sederhananya, pasar ekonomi perikanan yang menerapkan kredit tangkapan sampingan berarti jika ada nelayan yang tak sengaja menjerat biota laut yang dilindungi diantara biota yang jadi tangkapan sampingannya - maka dia harus membeli 'poin' kredit dari Nelayan lain yang berhati-hati dalam tangkapan sampingannya.

Yang berlaku disini adalah, nelayan yang 'nakal' membayar 'denda'-nya kepada nelayan lain yang berhati-hati.

Sayangnya, walaupun sistim perikanan negara-negara dunia saat ini sudah mulai mengatur ke-'ramah-lingkungan-an cara tangkap mereka - sistim perdagangan ikan masih belum ciptakan dorongan finansial yang membuat pelaku tidak menangkap biota laut yang dilindungi. Justru sistem perdagangan ikan dunia saat ini cederung bangun permintaan yang tak henti akan biota laut yang dilindungi.

Balik ke kredit tangkapan sampingan. Dengan peraturan yang membatasi jumlah tangkapan sampingan, seluruh armada tangkap bisa diberhentikan menangkap saat mereka sudah capai jumlah maksimum yang diperbolehkan. Namun, peraturan ini ternyata buat kecenderungan Nelayan dan armada tangkap untuk secepat dan sebanyak mungkin tangkap ikan ketika 'sadar' bahwa jatah jumlah tangkapan sampingan mereka mendekati batas yang diperbolehkan.

Perilaku semacam itu berpotensi melumpuhkan perikanan sebab waktu dan usaha nelayan menjadi 'membabi-buta' tanpa perhatikan perlindungan satwa laut. Selain itu juga, nelayan yang 'tertib' menjaga batas tangkapannya dalam besaran yang lestari dirugikan akibat pupusnya harapan mereka untuk beri peluang populasi ikan laut pulih.

Solusi sederhana dicontohkan dari perikanan di Hawaii, ialah dengan menerapkan batasan kredit tangkapan sampingan bagi armada tangkap tiap tahunnya - misal, 200 kredit atau 'poin' untuk tiap nelayan yang terdaftar.

Contoh rakteknya, anggap jika denda untuk menangkap penyu adalah 250 poin, maka lebihan 50 poin tersebut harus dilunasi dengan membeli 50 poin dari Nelayan lain yang tertib.

Jika selama musim tangkap ternyata semakin banyak penyu yang tertangkap - anggap terburuknya, hingga Nelayan tidak ada kredit lagi - berarti mereka harus membayar harga 'poin' dari denda tangkapan sampingan dengan menaikkan harga ikan yang mereka jual di pasaran.

Ke siapa mereka membayar 'poin denda' tersebut? Ya ke Nelayan lain yang tertib. Jika tidak ada Nelayan yang tertib lagi, maka di bayar ke pemerintah pengawas perikanan. Namun situasi semacam ini jarang terjadi. Sebab yang diharapkan antar Nelayan ada sistem ekonomi yang saling mendisiplinkan antar mereka sendiri.

Satu contoh lain penerapan skema kredit dilakukan juga pada usaha pelestarian populasi ikan pedang / ikan todak yang sudah ditangkap berlebih. Saat Nelayan sudah dapat jatah kredit / 'poin' tangkapan sampingan tahunan mereka, mereka bisa menjual 'poin' tersebut ke pihak pasar/ industri perikanan.

Dengan dibelinya kredit secara tidak langsung nelayan dibayar untuk mengurangi tangkapannya. Tidak hanya mengurangi terbunuhnya ikan todak atau penyu, namun terciptanya subsidi yang datang dari pasar dagang. Dalam hal ini pasaran membeli sedikit mahal dari nelayan sebab mereka 'tertib' otomatis harga ikan pihak industri dipasaran juga akan naik. Disinilah pasar dagang ikan menciptakan kenaikan nilai jual ikan yang mendorong nelayan yang bertanggung-jawab. Inflasi yang positif.

Prakti semacam ini digagas dari pengamatan perikanan negara maju. Skemanya sejalan dengan konsep kredit emisi yang dapat diperdagangkan yang diterapkan perusahaan pencemar dalam industri energi dan manufaktur.

Namun, syarat utamanya adalah pengelola perikanan engara yang menjamin keberadaan pasar perikanan yang terstruktur dengan rapi dengan jalur lalu lintas ikan terpantau dengan kuat mulai penangkal (nelayan), hingga konsumen.

Catatan besar, disini Nelayan punya kekuatan kuat sebagai pelaku industri dalam menetapkan harga ikan. Sedangkan di Indonesia, Nelayan umumnya dikesampingkan akibat banyaknya perantara pasar ilegal, alias 'tengkulak'. Bahkan tidak jarang, tertib atau tidak tertib dalam cara tangkap, Nelayan tidak punya kuasa tentukan harga Ikan yang pantas buat kesejahteraannya.

Indonesia? Bisa saja kalau kita mau berbenah diri.

Digubah kembali dari laporan penelitian dari Geogre Sugihara oleh Siham Afatta

Ikan hasil kerja keras nelayan terkadang harganya tidak membayar keringat Nelayan. Nelayan yang 'memproduksi' ikan memiliki posisi tawar lemah dalam perdagangan ikan mereka sendiri.
(Foto: www.indomaritimeinstitute.org)
Referensi:

2009. Sugihara, G., and H. Ye. Reducing Chinook salmon bycatch with market-based incentives: individual tradable encounter credits (ITEC). A recommended approach for an industry market-incentive plan. Report and Testimony to the North Pacific Fishery Council (February 2009).

Nasib nelayan kian memburuk. May 23 2011. Indonesia Maritime Institute.

Kamis, 27 Oktober 2011

Solusi 6 - Dengan sedikit penyesuaian alat tangkap kita bisa selamatkan ribuan penyu dan burung laut.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Ilustrasi penyu yang akan terpikat alat tangkap rawai / longline.
Gambar: www.cccturtle.org
Perikanan skala komersil, khususnya yang menggunakan teknik alat 'longline' atau 'rawai', biasa menggunakan ribuan kail berumpan dalam satu tali pancing yang panjangnya mancapai belasan kilometer. Sebab ini, banyak penyu dan burung laut mati tak sengaja tertangkap.

Setiap tahunnya 250.000 lebih penyu secara tidak sengaja mati, tenggelam, atau cacat akibat cara tangkap yang awalnya semata ditujukan untuk tangkap ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol. Praktik semacam ini juga membunuh 300.000 lebih burung laut tiap tahun-nya.

Berita baiknya adalah, modifikasi sederhana dari alat tangkap bisa mengurangi dampak ini. Walaupun saat ini baru dilakukan di sebagian kecil laut dan perikanan dunia, sudah ada solusi di tangan kita.

Penyu terjerat longline
Bagi penyu, sekedar merubah kail bentuk 'J' ke kail lingkar bentuk 'O' ternyata bisa mengurangi kecelakaan penyu tertangkap hingga 90 persen. Penurunan dampak juga bergantung kombinasi antara ukuran kail (lebih besar lebih baik), umpan (pakai ikan ketimbang cumi yang memikat penyu), dan jenis penyu (penyu belimbing cenderung paling banyak yang selamat sebab penyesuaian alat tangkap ini).

Di luar perairan Indonesia, burung Albatross adalah spesies burung lautyang paling sering mengalami kematian 'buatan' ini akibat alat tangkap ikan. Burung laut terkadang mengerubung di belakang kapal terpikat umpan yang melekat di kail - sering kali mereka ikut tenggelam bersama tali pancing atau berbenturan dengan kabel-kabel penarik rawai atau pukat yang bergerak.

Ternyata, dengan sesederhana memasang 'rumbai-rumbai penakut' di bagian tali pancing efektif mengusir burung laut, dan menambah pemberat pada rawai membuat tali pancing berumpan masuk ke air lebih cepat sebelum memikat burung laut.

Pendekatan modifikasi sederhana alat tangkap semacam ini sedang di galakkan di perikanan komersil perairan temperate (bersuhu sedang). Sejauhmana Indonesia praktik penangkapan ikan di Indonesia sudah menerapkan hal serupa - kita perlu telaah bersama.

Digubah kembali dari kutipan tulisan dari Carl Safina oleh Siham Afatta

Jumat, 14 Oktober 2011

Solusi 5 - Bantu nelayan agar tambah bijak dengan hindari tangkapan sampingan (bycatch): Ide inovatif masyarakat berperan dalam modifikasi alat tangkap nelayan agar ramah biota laut.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Setiap harinya, ribuan kilometer tali pancing dan jaring tangkap ikan dibentangkan menusia di lautan. Alat-alat ini menangkap biota laut yang nelayan inginkan - dan juga, sayangnya, yang tidak inginkan.

Itulah 'tangkapan sampingan', atau 'bycatch', akibat kegiatan perikanan manusia yang menjadi ancaman utama bagi keselamatan beragam jenis penyu, hiu, dan spesies laut terancam punah (endangered) lainnya - demikina juga bagi keberlanjutan perikanan kita jangka panjangnya.

Untungnya, dengan modifikasi alat tangkap yang relatif mudah dan sederhana kita bisa mengurangi bycatch.

Di tahun 2004, World Wildlife Fund memulai International SmartGear Competition - sebuah kompetisi internasional untuk mendesain alat tangkap (fishing gear) yang inovatif, praktis dan tepat-biaya yang mampu selamatkan biota laut sekaligus memungkinkan nelayan lebih baik lagi mengincar jenis ikan yang ingin mereka tangkap. Tahun 2011 ini berhadiah total AS$ 57.500.

Di tahun 2005, pemenang utama menggagas ide untuk mengurangi penyu menjadi korban bycatch akibat metode tangkap menggunakan rawai atau longline. Tahu bahwa kebanyakan penyu tertangkap kail di kedalaman dangkal, Steve Beverly menggagas sistem tangkap agar bisa menempatkan kait umpan di kedalaman diatas 100 meter - mengurangi drastis pertemuan antara kait dengan penyu.

Tahun 2006, Michael Herr-mann menggagas penempatan magnit pada tali kail alat tangkap untuk mengusir hiu, sebab mereka sensitif dengan medan magnetik.

Kemudian ada inovasi 'circle hook', atau kait lingkar, modifikasi dari j-hook, atau kait-J; yang ditujukan untuk alat tangkap tuna. Perubahan sederhana bentuk kait, dari huruf J, ke huruf O, ternyata membuat kait lingkar jauh lebih sulit tertelan penyu, ketimbang kait J yang membuat pendarahan dalam dan sulit bernafas jika tertelan mereka.

Lalu ada Turtle Excluder Device, atau alat pelepas penyu, dimana modifikasi dilakukan pada alat tangkap pukat untuk udang. Dimana di bagian dalam pukat (trawl) ditempatkan palka khusus dengan sekat besi agar penyu punya jalur untuk melarikan diri saat terperangkap di kantung pukat, namun juga meminimalisir udang atau ikan yang lepas dari pukat.

Turtle Excluder Device
Penyu melepaskan diri dari pukat / traw melalui palka sekat besi yang disediakan.
Foto: NOAA
Baik anda nelayan, atau guru, pelajar, mahasiswa, insinyur, peneliti atau hobi cari solusi teknis di rumah - semua bisa andil membantu nelayan menjamin alat tangkap mereka ramah biota laut namun tetap mempertahankan fungsi asli alat tangkap untuk kesejahteraan mereka.

Saat anda dengar penyu, hiu, atau biota laut lainnya tak sengaja terjerat jaring nelayan; siapa tahu anda bisa bantu modifikasi alat tangkap para nelayan agar tidak membawa korban bycatch lebih banyak lagi.


Digubah kembali dari kutipan tulisan Kimberly Davis, oleh Siham Afatta

Rabu, 12 Oktober 2011

Solusi 4 - Terapkan resiko kredit usaha yang baik: Waktunya kembangangkan skema kredit usaha mikro bagi kaum perempuan di pesisir dan laut - bagian dari atasi penangkapan berlebih (overfishing)


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

'Nelayan-wati' di desa Lermatang, Panimbar, Indonesia. Penguatan dan pemberdayaan ekonomi kaum perempuan memegang potensi kuat dalam meredam praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan berlebih; sekaligus mendukung perencanaan keluarga pesisir dan pulau yang lebih baik serta mendukung kesejahteraan keluarga nelayan ekonomi lemah.
Foto: oxfamindonesia.wordpress.com

Fenomena penangkapan ikan berlebih, atau overfishing, sudah terjadi hampir di semua ekosistem terumbu karang dunia - termasuk Indonesia.

Ada sebuah keseragaman kondisi: pusat kekayaan tertinggi terumbu karang dunia umumnya berada di negara tropis, dimana jumlah penduduk pesisir terus bertambah cepat dan, sayangnya, pekerjaan melaut menjadi pilihan pencaharian terakhir bagi mereka dalam ekonomi lemah.

Tidak sedikit lembaga konservasi mencoba meredam permasalahan ini dengan menawarkan nelayan mata pencaharian pengganti. Namun kebanyakan gagal, sebab pekerjaan nelayan secara sosial ada nilai budaya dan memiliki karakteristik praktik ekonomi yang sulit digantikan.

Jika kita tengok pelaku nelayan yang melaut, maka terlihat mayoritas adalah laki-laki. Dalam kelompok terkecil masyarakat, yaitu keluarga, tidak banyak potensi kaum perempuan telah diberdayakan sepenuhnya dalam membantu menopang kesejahteraan keluarga. Keadaan semacam ini umum dijumpai di masyarakat pulau-pulau di Indonesia. Budaya dan adat terkadang melatarbelakangi.

Sejak tahun 1970-an, Grameen Bank* dan banyak institusi keuangan mikro lainnya telah membantu jutaan orang di negara berkembang untuk memulai kegiatan usaha mandiri (self-employment) tanpa syarat jaminan atau sejarah kredit yang pasti.

Kebanyakan dari inisiatif Grameen Bank terfokus pada perempuan, sebab dianggap memiliki resiko pinjaman yang rendah/baik dan cenderung bertanggungjawab menggunakan investasi usaha mereka semata untuk tujuan kesejahteraan keluarga mereka. Ini penting diterapkan bagi skema keuangan mikro untuk masyarakat nelayan miskin, termasuk di Indonesia.

Sebagai gambaran, seorang perempuan bisa mengajukan pinjaman kecil - misal sekecil Rp. 180.000 - sebagai modal untuk usaha wiraswasta yang memiliki potensi kuat untuk mengurangi kegiatan tangkap ikan keluarganya. Di lalu bisa memulai budidaya kerang atau rumput laut, sebagai contohnya, atau membeli hewan ternak seperti sapi, kambing, atau ayam untuk disembelih dan dijual kembali.

Agar pengajuan pinjaman modal lebih kuat untuk disetujui, penting juga jika rencana usaha yang diajukan perempuan tersebut mengurangi ketergantungan keluarganya yang tinggi pada ikan sebagai bahan makanan. Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan akan terus berlanjut kecuali masyarakat pesisir ekonomi lemah bisa mencari sumber protein hewani alternatif - saat in imasih banyak yang masih bergantung utama pada hasil laut.

Kaum perempuan pesisir dan pulau - mereka yang berpotensi kuat menciptakan  tujuan ganda  dalam meninngkatkan kesejahteraan keluarga pesisir dan pulau ekonomi lemah sekaligus tidak langsung menekan laju penangkapan ikan berlebih dan tidak ramah lingkungan untuk beri peluang ekosistem terumbu karang dan laut pulih.
Foto: oxfamindonesia.wordpress.com
Selain membawa masyarakat mengurangi ketergantungan tingginya sebagai nelayan, inisiatif keuangan mikro untuk kaum perempuan semacam ini juga mendukung usaha konservasi - diantaranya melalui tiga proses kunci:

Pertama, skema keuangan mikro tersebut memberi kesempatan perempuan dengan semangat wirausaha tinggi untuk mengembangkan proyek usaha yang mengutamakan pemikiran, keahlian, situasi serta batasan di tingkat lokal.

Situasi ini akan menciptakan aktifitas ekonomi lokal dengan peluang sukses lebih tinggi dibanding kebanyakan mata pencaharian alternatif saat ini. Banyak pencharian alternatif saat ini umumnya dibentuk oleh pihak / institusi diluar masyarakat itu sendiri - sangat bergantung keahlian praktisi yang datang dari masyarakat itu, dan ada biaya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk memfasilitasi praktisi eksternal tersebut.

Kedua, perempuan dengan keahlian ekonomi lebih ditengah masayrakat cenderung punya suara yang lebih kuat dalam mengelola urusan masyarakat.

Di negara tetangga kita, Filipina, tidak jarang kaum perempuan dilibatkan penuh dalam proses konsultasi pengelolaan sumber daya alam lokal. Di tempat lain juga sama. Kaum perempuan di kepulauan Pasifik sering melaporkan pada peneliti kelautan bahwa separuh hasil tangkap laut datang dari mereka setiap tahun-nya.

Peranan perempuan di pesisir, pualu dan laut besar, hanya saja pihak pemangku kebijaka masih jauh dari memberi perhatian, jauh dari pendataan statistik perikanan, dan bahkan jauh dari bagian pertimbangan untuk pengambilan keputusan pemerintah lokal. Perlu kita tanyakan pada pemangku kebijakan negara kita, sejauh mana mereka telah peka dan andil memperkuat dan memberdayakan ekonomi peeremupuan di pesisir dan pulau.

Keterlibatan peranan perempuan sudah jelas berperan kuat membentuk perencanaan konservasi sumber daya alam laut yang menjunjung suara seluruh masyarakat nelayan - ketimbang umumnya suara laki-laki saja.

Pemberdayaan perempuan juga cenderung membangun keutuhan masyarakat, yang bisa membawa usaha bersama masyarakat yang lebih kompak untuk andil dalam memajukan pengelolaan sumber daya alam.

Ketiga, sebagai imbas terpenting dari inisiatif keuangan mikro bagi perempuan, adalah terciptanya keluarga yang lebih kecil dan lebih berencana. Beberapa pengalam menunjukkan bahwa perempuan yang punya peluang ekonomi lebih besar cenderung memiliki jumlah anak yang lebih sedikit.

Ini sebuah keuntungan besar bagi masyarakat pesisir dan pulau di negara yang menjalankan program keluarga berencana - dimana pertumbuhan populasi menjadi faktor utama penghambat usaha konservasi alam, seperti Indonesia.

Masyarakat bagian dari ekosistem. Konservasi sumber daya pesisir dan laut yang semata melindungi kelestarian biota dan habitat justru menumbuhkan permasalahan baru - soal kesejahteraan manusia.

Pendekatan penguatan dan pemberdayaan sosioekonomi kaum perempuan semacam ini memang bukan solusi utama dalam mengatasi penangkapan berlabih, namun memberikan dampak besar. Bagaimana sistem pasar / perdagangan terus memicu permintaan seafood yang tidak terkendali adalah salah satu pekerjaan besar lain generasi saat ini yang perlu diatasi.

*) Bank Grameen adalah sebuah organisasi kredit mikro yang dimulai di Bangladesh yang memberikan pinjaman kecil kepada orang yang kurang mampu tanpa membutuhkan collateral. Sistem ini berdasarkan ide bahwa orang miskin memiliki kemampuan yang kurang digunakan. Yang berbeda dari kredit ini adalah pinjaman diberikan kepada kelompok perempuan produktif yang masih berada dalam status sosial miskin. Pola Grameen bank ini telah diadopsi oleh hampir 130 negara didunia (kebanyakan dinegara Asia dan Afrika). Jika diterapkan dengan konsisten, pola Grameen Bank ini dapat mencapai tujuan untuk membantu perekonomian masyarakat miskin melalui perempuan. Bank ini terpilih sebagai penerima Penghargaan Perdamaian Nobel (bersama dengan Muhammad Yunus) pada tahun 2006. (Referensi: Wikipedia)
Digubah kembali dari kutipan tulisan Amanda Vincent, oleh Siham Afatta

Selasa, 11 Oktober 2011

Solusi 3 - Ukuran itu penting: Ubah strategi panen ikan kita untuk hindari perubahan evolusioner ikan laut yang tidak alami..


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Ikan laut besar sedang didaratkan di pelabuhan.
Foto: blendungcity.com
Berpuluh-puluh tahun kita merasa benar mendorong para nelayan agar mengambil ikan yang terbesar saja. Mengembalikan ikan yang kecil ke laut agar memberikan kesempatan ikan kecil untuk tumbuh dan bereproduksi, sehingga keberlanjutan cadangan ikan masa depan terjamin - seperti itulah gambaran umumnya.

Namun, temuan riset terkini menjadi pelajaran bahwa cara tangkap 'pilih-pilih ukuran' semacam itu membawa dampak berlawanan dari yang kita kira.

Tidak cuma semakin kecil ukuran ikan yang berkembang biak dalam sebuah stok / populasi, namun ternyata mereka jadi semakin sulit untuk bertahan hidup dan bereproduksi - saat aktifitas penangkapan ikan mereda.

Demi populasi ikan yang lestari, siapa saja yang andil dalam mengelola praktik penangkapan ikan perlu merubah strategi panen mereka, agar perubahan evolusioner (evolusionary change) ikan laut di masa depan yang lebih sesuai, sekaligus menghindari penangkapan berlebih (overfishing).

Perikanan kita harus juga harus mulai melepaskan kembali sebagian besar ikan-ikan laut ukuran besar dewasa yang rutin ditangkap. Ternyata mengurangi jumlah tangkapan saja tidak cukup.

Jika ikan besar tidak ada yang disisakan, hanya mengandalakan kendali jumlah ikan yang tangkap sebagai patokan lestari, maka cadangan ikan laut di masa depan mungkin bisa pulih secara jumlah - namun tidak dalam ke keadaan fisiologis 'normal' mereka. Sebab mereka sudah mengalami evolusi pertumbuhan dan reproduksi yang jauh dari karakteristik aslinya.

Namun hingga saat ini, banyak ahli berasumsi bahwa perubahan evolusi hanya terjadi sangat lambat pada ikan laut liar - membutuhkan ribuan tahun - sehingga bisa diabaikan. Ikan laut liar juga diduga pertumbuhannya akan lebih cepat di kawasan yang ditangkap berlebih, sebab ikan yang berkompetisi untuk 'berebut' makanan lebih sedikit.

Ternyata, arus temuan dari penelitian terkini pada ikan laut liar dan juga yang di-biak-kan, juga dari simulasi ekologi ikan; temukan bahwa: pola panen ikan yang 'pilih-pilih ukuran' (size selective) bisa sebabkan perubahan genetik drastis yang memicu: (1) pertumbuhan ikan yang lebih lambat dan (2) ukuran dewasa yang lebih kecil dan dalam usia lebih muda / dewasa-dini.

Jika regenerasi ikan berlanjut terus demikian maka manusia memicu perubahan evolusi bisa terjadi lebih cepat. Hasil penelitian laboratorium menduga bahwa, dalam kondisi demikian yang berlanjut hanya dalam beberapa lapis generasi ikan, makan hasil panen/tangkapan ikan laut bisa berkurang hingga 50 persen.

Jika kita memang ingin menyisakan ikan lestari untuk generasi masa depan, maka pastikan generasi kita saat ini:
  1. tidak menangkap berlebih (tangkap ikan dalam jumlah yang lestari),
  2. mulai berkomitmen mengelola kawasan larang tangkap (agar ada ruang pasti agar jumlah, ukuran, dan jenis ikan bisa pulih), dan 
  3. jangan pilih-pilih ukuran ikan yang ditangkap untuk jenis ikan laut liar yang bermigrasi (tetapkan ukuran maksimum dan minimum lestari untuk di tangkap).
Yang paling mengkhawatirkan ialah perubahan evolusioner ikan terpantau saat sudah terlajnur terjadi, dan membalikan keadaan ekologis alami ikan laut bisa dikatakan hampir tidak mungkin - diluar kemampuan manusia.

Yang jelas, ini semua tanggungan generasi manusia saat ini yang masih hidup, yang terus mengeruk ikan laut ribuan ton-demi-ribuan-ton, dalam menit-demi-menit.

Ikan laut memiliki ukuran dewasa yang beragam. Manusia perlu cermat memilih ukuran besar dewasa ikan yang ditangkap,  dan juga menyisakan ikan besar dewasa dalam jumlah besar di lautan.
Foto: http://www.pac.dfo-mpo.gc.ca

Digubah kembali dari kutipan tulisan David Conover oleh Siham Afatta

Solusi 2 - Kecil tapi perkasa: Waktunya kita junjung peranan perikanan skala kecil di pasaran nasional dan dunia.


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Kita sering mendengar dari biolog laut dan praktisi konservasi laut disekitar kita, dan juga di dunia - bahwa: Perikanan industri manusia di dunia lebih cepat pengaruhnya dalam membawa ekosistem laut menuju kelumpuhan, khususnya bagi cadangan populasi dan keragaman jenis ikan laut dunia, dibanding perikanan skala kecil / artisan / tradisional.

Namun ternyata, para pemangku kebijakan negara-negara perikanan, termasuk Indonesia, juga cenderung lebih mendukung nelayan skala industri / komersil besar dengan kemudahan akses dagang yang lebih besar dalam ekonomi pasar perikanan regional, nasional dan internasional.

Hal ini juga didukung kuat dengan pandangan umum ekonomi pemerintahan negara-negara dunia bahwa perikanan industri / komersil besar punya kemampuan paling tinggi dalam memanen jumlah ikan dari laut setiap tahunnya. Perikanan ndustri dianggap lebih produktif untuk sebuah negara.

Salah satu contoh armada tangkap perikanan skala kecil di Indonesia.
Foto: Siham Afatta
Ternyata persepsi ini salah. Hasil riset yang meng-estimasi rinci tentang jumlah ikan yang ditangkap manusia secara global tiap tahun-nya, menunjukkan bahwa perikanan skala kecil sebenarnnya juga mendaratkan ikan setara dengan jumlah dari perikanan industri / komersil besar - setidaknya untuk ikan yang ditangkap murni untuk tujuan konsumsi manusia.

Temuan baru ini juga menegaskan bahwa ketahanan pangan masyarakat negara-negara perikanan saat ini tidak bergantung pada perikanan industri dunia, melainkan perikanan skala kecil mereka - baik lokal-regional dan nasional. 

Ini juga berarti keberlangsungan roda perekonomian perikanan skaka kecil suatu negara punya prioritas lebih tinggi dibandingkan perikanan skala industri / komersil besar yang cenderung bergerak antar-negara (transnasional).

Jika kita balik ke soal upaya kita melestarikan cadangan ikan laut kita yang saat ini terus terpuruk, maka perikanan skala kecil punya nilai tambah lagi - sebab perikanan skala industri komersil besar punya track record yang jauh lebih buruk dalam menurunkan jumlah dan keanekaragaman jenis ikan laut suatu negara atau kawasan perairan.

Perikanan tangkap skala kecil, atau perikanan tangkap 'artisan' / 'tradisional',  melibatkan nelayan dalam jumlah dan tugas tenaga kerja yang jauh lebih banyak dan beragam. Mereka cenderung bekerja mengelola ikan yang ditangkap di pesisir, menangkap ikan dengan perahu kecil dan alat tangkap pasif (red: tidak ada / sedikit mekanisme gerak) - sehingga mengkonsumsi bahan bakar yang relatif lebih kecil untuk tiap satuan ikan yang didaratkan.

Sebaliknya, pada perikanan tangkap industri / komersil besar, jumlah pekerja relatif lebih sedikit namun cenderung menggunakan armada yang besar dan sarat konsumsi tinggi bahan bakar, dan menggunakan alat tangkap aktif (punya mekanimsme gerak) dengan daya ambil ikan yang besar - banyak telah meluluhratakan ekosistem dasar menggunakan jaring dan alat tangkap yang diseret di dasar laut. 

Contah kapal tangkap skala industri / komersil besar di Indonesia untuk ikan tuna dengan alat tangkap longline.
Foto: Indosmarin.com.
Dan meskipun armada industri mengolah ikan sejak di laut lepas, pekerja perikanan industri yang bekerja di pesisir juga tidak sedikit - memicu persaingan kerja dengan nelayan lokal artisan / tradisional. sehingga usaha perikanan skala kecil sulit berkompetisi.

Sudah mengkondisi di banyak negara, termasuk Indonesia, dimana harga bahan bakar, seperti solar, yang terus meningkat dan terkadang sudah tidak mampu dijangkau nelayan skala kecil sehingga membatasi ruang pencaharian. Tidak itu saja,  imbas penurunan jumlah cadangan dan keanekaragaman ikan di laut akibat 'daya keruk ikan' armada industri juga dirasakan nelayan artisan / tradisional - dimana ikan ditangkap semakin sedikit dan kecil ukurannya, jarak tempuh ke lokasi tangkap juga semakin jauh.

Banyak pemerintah negara maritim sudah didesak kelompok pemerhati hak asasi nelayan dan lingkungan pesisir laut agar mereka mengurangi subsidi keuangan mereka pada perikanan industri dan supaya lebih berpihak kepada perikanan skala kecil. Indonesia, adalah contoh negara yang sebenarnya cenderung tidak menangkap ikan secara langsung, namun lebih banyak menjual izin tangkap pada armada industri asing untuk menangkap ikan Indonesia di perairan Indonesia.

Sayangnya, arus devisa negara yang dihasilkan dari perijinan asing tidak mengalir langsung perikanan skala kecil / tradisional / artisan dalam wujud aset, infrastruktur, serta mekanisme pasar yang bisa mendukung skala kecil berkompetisi dengan perikanan industri di dalam negeri sendiri. Namun justru balik mengalir kembali pengembangan perikanan industri di Indonesia. Menambah berat tekanan kompetisi bagi perikanan skala kecil.

Dalam kurung waktu panjang kedepan, setidaknya 20 hingga 30 tahun kedepan, bertahannya ekonomi dan budaya perikanan kita bergantung sejauh mana kita bisa mengutamakan hak sosial dan kemajuan ekonomi perikanan skala kecil  - namun dibarengi pengelolaan lestari sumber daya alam ikan di negara kita.

Beberapa poin perbandingan antara perikanan skala besar (PB) dan perikanan skala kecil (PK) yang berlangsung di dunia saat ini:

  • PK memberi peluang kerja lebih besar: PB mempekerjakan sekitar setengah juta orang, sedangkan PK lebih dari 12 juta pekerja.
  • PK juga sama produktifnya: PB mengambil ikan setiap tahunnya untuk konsumsi manusia sebanyak 29 juta ton, sedangkan PK 24 juta ton.
  • Nilai investasi PK lebih ringan: Nilai pekerjaan bagi pekerja di armada tangkap untuk PB antara AS$ 30.000 hingga 300.000, sedangkan PK hanya AS$ 250 - 2.500
  • PK mendukung ketahanan pangan suatu negara: PB setiap tahunnya memanfaatkan ikan tangkapannya untuk kebutuhan konsumsi sekunder / tidak langsung seperti makanan terproses, minyak ikan, dll sebesar 22 juta ton - bukan untuk kebutuhan pangan langsung; sedangkan PK memanfaatkan hampir semuanya langsung untuk konsumsi manusia dengan porsi besar dinikmati dalam negara.
  • PK lebih rendah emisi: PB menggunakan 14 hingga 19 juta ton bahan bakar minyak sedangkan PK hanya 1-3 juta ton.
  • PK lebih efisien dalam konsumsi bahan bakar: Setiap ton bahan bakar minyak yang digunakan PB menghasilkan 2 hingga 5 ton ikan, sedangkan PK lebih efisien sebesar 10 hingga 20 ton.
  • PK melibatkan lebih banyak golongan kerja: Dalam perbandingan nilai usaha perikanan yang setara, PB melibatkan hanya 5 hingga 30 pekerja, sedangkan PK melibatkan 500 hingga 4000 orang.
  • PK jauh lebih menghargai ikan yang ditangkap: Ikan dan avertebrata yang dibuang di laut sebagai 'tangkapan sampingan' dari PB mencapai 10 hingga 20 juta ton, sedangkan PK sangat sedikit.
Sudah jelas, jika prioritas pembangunan perikanan terfokus pada skala kecil, kita tidak hanya memilih perikanan dengan dampak lingkungan dengan resiko lebih rendah, namun juga memberi peluang lebih besar sumber daya ikan untuk pulih serta memberikan keuntungan sosial terkait kesempatan kerja lebih besar dan menjanjikan.

Ayo mulai cintai produk laut hasil perikanan skala kecil lokal.

Tabel perbandingan keuntungan yang didapat antara perikanan skala besar / industri / komersil dengan perikanan skala kecil / tradisional / artisan.
Gambar: scienceblogs.com


Referensi:
Pauly, D. 2006. Maritime Studies (MAST) 4(2): 7-22

Senin, 10 Oktober 2011

Solusi 1 - Perbanyak makan Teri ?


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Ikan Teri - bangun satu generasi yang gemar ikan Teri maka bisa bantu kurangi tekanan tangkap dan dukung pemulihan populasi ikan laut di tingkat teratas yang terancam seperti Tuna, Kakap, Hiu, Ikan Pedang, Kerapu, dan predator lain-nya yang saat ini dieksploitasi berlebih dan hampir habis.
Foto: Maangchi.com
Di daratan, manusia tidak mengambil makanan dari hewan predator di tingkat teratas sepert singa, harimau, dan serigala - justru dari tingkat terendah yang dekat dengan hehijauan.

Di lautan ternyata berbeda, manusia mengambil habis hewan predator teratas laut. Permintaan manusia yang terus tinggi akan tuna, hiu, kerapu, ikan pedang, dan ikan laut predator teratas lainnya terus memicu naiknya harga jual daging ikan-ikan ini - memicu nelayan terus menangkap, hingga keberlanjutan cadangan ikan di laut terancam di banyak tempat di dunia - termasuk Indonesia.

Kabar baiknya adalah kita tidak harus berhenti makan ikan secara total untuk menjamin ketersediaan hidangan laut untuk anak cucu kita - kita hanya perlu merubah kebiasaan makan kita.

Banya spesies ikan di laut saat ini sudah di ekploitasi berlebih oleh kita, namun bukan berarti sumber protein di laut akan habis - sebab alam menyediakan alternatif.

Contoh perhitungan sederhana: Dibutuhkan sekitar 60 juta ton ikan tiap tahun-nya sebagai sumber makanan bagi 3 juta ton tiga jenis ikan tuna tropis yang kita panen setiap tahun-nya.

Jika kita bisa mengurangi menangkap atau menggantikan daging tuna dengan teri, sarden, cumi dan spesies ikan tingkat rendah lain yang disantap tuna, maka kita bisa mengalokasikan cadangan protein laut yang cukup besar bagi jutaan orang di masa depan, dan membantu ikan tingkat atas untuk pulih populasi-nya.

Jarang makan ikan tuna dan ikan besar lainnya? Berarti pola makan anda bisa jadi mendukung kelestarian ikan. Tapi jangan berhenti disitu saja, pemerintah dan masyarakat kita masih jauh dari cukup menjagai kelestarian ikan.

Berjuta-juta ton ikan tuna dan predator laut ekonomis lainnya tiap tahunnya terus diambil dari laut Indonesia - baik secara legal maupun ilegal, baik sampai di piring warga Indonesia, atau dilarikan ke negara lain. Memang tampak negara kita 'produktif' dari laut, namun kelestariannya untuk cadangan ikan masa depan dan kesejahteraan jutaan nelayan yang masih miskin, perlu dipertanyakan dan banyak keraguan.

Sempat makan menu daging ikan yang mahal ? Maka pertanyakan terlebih dahulu, apakah mahal (1) sebab ikan tersebut saat ini sudah jarang ditemui / sulit didapat, alias 'calon punah', atau (2) sebab datang dari luar Indonesia, alias 'mendukung eksploitasi berlebih di negara lain', ataukah (3) sebab harga yang kita bayar benar-benar mengalir  dengan baik untuk dompet  kesejahtaeraan nelayan dalam negeri ? Waktunya kita peka. Ketidak pekaan membawa ketidaklestarian.

Pastinya, tidak hanya ekonomi perikanan kita yang tidak adil bagi nelayan, cara kita memanen ikan dari laut pun juga tidak adil bagi spesies-spesies ikan itu sendiri.

Kita mengambil habis spesies ikan tertentu saja yang manusia gemari untuk kepuasan mulut dan pasar dagang kita. Solusinya adalah: merubah pola panen kita di laut yang rebih ramah ekologi. Caranya? Kita berhenti memanen spesies ikan di tingkat rantai makanan teratas(predator) yang sudah di ambil secara berlebih tiap detiknya, dan mulai memanfaatkan ikan di tingkat jaring makanan terendah.

Betul sekali. Mulai gemari santap Ikan Teri dan teman-teman sekelasnya.

Kita yang selalu bangga termakan gengsi menyantap ikan predator teratas umumnya tidak sadar atau tidak peduli akan kerugian konservasi alam laut yang kita hasilkan. Bahkan, kita sebenarnya sudah menangkap ribuan ton ikan kecil, seperti teri, setiap tahunnya. Namun, dengan kerendahan nalar kita, banyak ikan teri kita larikan ke industri ternak, digiling dan dikirim ke peternakan-peternakan sebagai bahan dasar pakan ayam, babi dan juga ikan budidaya.

Gengsi kita dalam memuaskan idera pengecap di lidah kita, telah membuat ikan di tingkat jaring makanan terendah - seperti teri -  dihargai murah dan dijadikan pakan murah untuk hewan-hewan ternak - yang sebenarnya pemakan tumbuhan pada umumnya. Membuang jutaan peluang untuk ketahanan pangan dan sumber protein warga Indonesia.

Gengsi pola ekonomi kita dalam menghargai ikan telah membuang jumlah besar sumber protein laut yang penting untuk ketahanan pangan jutaan rakyat - belum lagi menghitung emisi bahan bakar yang digunakan untuk pemrosesan pengiriman ikan-ikan tersebut ke industri ternak.

Kesederhanaan membawa keramah-lingkungan-an. Beri waktu untuk ikan di tingkat jaring makanan teratas, seperti ikan perdator yang mencakup tuna, ikan pedang, hiu, kerapu, kakap, dan lainnya - untuk pulih kembali dari ekonomi global manusia yang terus menekan. 

Mulailah hobi makan ikan teri. Pastikan tidak makan karena gengsi lidah dan harga, utamakan kelestarian dan cadangan protein laut dengan melestarikan ikan yang terancam untuk ketahanan pangan masyarakat masa depan.

Di belahan lain dunia, pesan diatas telah mengakar di sebuah masyarakat. Masyarakat negara Peru contohnya, yang sudah andil dalam lebih dari separuh industri makanan laut dunia sejak 1950-an, saat ini mengangkat ikan kecil sekelas teri (anchovies) sebagai fine food atau makanan mewah.

Pemerintah Negara Peru mengkampanyekan semacam 'Minggu Teri', dimana sekitar 18.000 orang andil dalam hidangan fine dining berbahan dasar kelompok ikan anchovy, termasuk fry fish atau teri; yang disajikan 30 restoran mewah besutan koki-koki profesional. Satu lagi terobosan mereka adalah, ikan teri menjadi bagian dari menu dalam program ketahanan pangan nasional.

Apakah ini waktunya ikan teri bagian dari 'empat sehat lima sempurna'?  Laut kita lebih luas, hati dan tenaga kita lebih besar dan banyak, kita bisa beri perubahan besar - jika dilakukan bersama.

Transisi pola makan berarti transisi budaya berarti transisi pola hidup. Ini tidak akan mudah, namun kita harus teladani mereka yang melaut untuk menghidupi keluarga mereka, mereka yang hidup dalam kesederhanaan dan mengajari anak-anak mereka untuk bersyukur dan sederhana dengan 'hidangan apa adanya'. Mencontoh dan belajar dari yang mau makan teri.

Ayo gemar teri. Budaya kita mewarisi banyak cara masak dan hidang teri yang lezat. Kapan lagi? Mulailah dengan menyebarkan artikel opini ini dan segera belanja dan masak ikan teri.

Tapi apakah perbanyak makan teri itu solusi tepat untuk Indonesia?

Digubah dari beberapa kutipan dari tulisan Martin Hall oleh Siham Afatta