Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 November 2010

Masa kelam terumbu karang: Garis besar solusi untuk terumbu karang dunia yang terus menghilang.

Terumbu karang dunia sedang bermasalah. Sebab berbagai faktor seperti pengasaman laut, naiknya temperatur akubat perubahan iklim, penangkapan ikan berlebih dan polusi - tutupan karang dunia telah munurun hingga sekitar 125.000 kilometer persegi dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang. Banyak biolog laut, seperti Charlie Veron, mantan kepala peneliti di Australian Institute of Marine Science, memprediksi bahwa terumbu karang akan hilang dalam satu abad kedepan. Tahun 2010 ini-pun, pemutihan karang masal, dimana karang kehilangan protozoa simbiotik-nya dan semakin rentan akan penyakit dan kematian - terjadi di sepanjang pesisir Indonesia, Filipina, dan beebrapa pulau Karibia. Namun, sebuah artikel jurnal di Trends in Ecology and Evolution mencoba mengangkat srategi untuk mengatasi keterpurukan terumbu karang, termasuk beberapa kisah sukses, untuk menyelamatkan mereka.


Atas: Tingginya dan seringnya gangguan lokal dan global pada terumbu memicu lebih seringnya pemutihan karang serta penurunan terumbu karang yang serius di penjuru dunia. Bawah: Terumbu karang yang sehat, seperti di Great Barrier Reef, juga menampung keanekaragaman hayati yang tinggi.
Foto: Atas: © Bruce Carlson; Bawah: © Great Barrier Reef Marine Park Authority


"Saat ini kita SUDAH punya pemahaman ilmiah yang cukup tentang penyebab penurunan terumbu - yang kita perlukan saat ini adalah gambaran yang lebih jelas untuk menolong mereka berbalik arah menuju keadaan optimal mereka di masa lalu, melalui pemulihan," ujar penulis utama, Terry Huges dari Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies di James Cook University.

Berbagai riset dunia telah menunjukkan bahwa terumbu karang memiliki daya lenting (resiliensi) dan mampu pulih dari fenomena gangguan skala besar.

Sebagai contoh, dalam artikel dijelaskan bahwa pada situs terumbu skalal lokal di pulau Heron di Great barrier Reef hampir setiap dekade secara rutin kehilangan hampir seluruh karang-nya akibat badai. Namun tetap memiliki kemampuan pemulihan yang cukup cepat dan kecenderungan struktur terumbu berubah dan berbeda jauh dari keadaan terumbu di masa lalu sangat kecil.

Namun, dampak manusia memiliki pengaruh berbeda dibanding dampak alam, seperti badai. Terumbu karang saat in bukan lagi menghadapi gangguan atau bencana alami yang datang, mereda, dan lewat. Namun, pengaruh manusia yang ditulis sebagai "dampak manusia yang kronis", merupakan gangguan yang konstan dan bertahan dalam kurun waktu lama. Dampak manusia saat ini membuat kemampuan alami karang untuk pulih tidak bisa membandingi 'dentuman' kematian karang yang terus terpicu akibat gangguan manusia.


Mekanisme pemutihan karang. Keadaan normal (kiri) dimana alga ber-sel satu (zooxanthellae) berada di lapisan jaringan karang. Keadaan terganggu (tengah): zooxanthellae lepas dari lapisan jaringan karang. Keadaan sekarat: Karang menuju kematian sebab jaringan karang tidak tumbuh tanpa adanya zooxanthellae, dan alga halus (alga filamen) bisa tumbuh di permukaan kerangka karang yang mati. Proses ini bisa terjadi pada ribuan koloni, menyebabkan fenomena pemutihan karang masal.
Gambar: www.solcomhouse.com/coralreef.htm



"Dalam satu abad kebelakan, banyak terumbu-dekat-pantai di bagian dalam Great Barrier Reef telah tertutupi sedimen dan makroalga, dan menunjukkan sedikit kemampuan atau indikasi akan pemulihan menuju kondisi semula yang 'kaya karang", tulis para peneliti.



Kiri: Terumbu yang memiliki resiliensi / daya lenting tinggi dengan struktur yang kaya akan karang hidup keras. Kanan: Terumbu yang sudah mengalami gangguan dimana struktur sudah berubah dimana komposisi makroalga melampaui jumlah karang keras. Membantu terumbu berbalik dari kanan ke keadaan di kiri adalah salah satu tugas kita dalam mengelola terumbu saat ini.
Foto: Kiri: © E. Turak; Kanan: © A. Hoey


Terry Hughes berkata, "kunci untuk menyelamatkan terumbu terletak di dalam pemahaman kita mengapa beberapa terumbu mengalami degenerasi menjadi hamparan rumput laut dan tidak bisa pulih lagi - kejadian yang disebut "perubahan fase" -; sementara di terumbu lain karang-nya mampu puli kembali dengan sukses - sebuah kemampuan yang disebut daya lenting atau resiliensi.

Para peneliti juga mengangkat beberapa tempat dimana terumbu karang yang berbalik pulih akibat adanya usaha pencegahan dampak manusia terkait penurunan karang di masa lalu. Sebagai contohnya, mengakhiri buangan limbah di Teluk Kanehoe di Hawaii telah memungkinkan karang untuk pulih; kembalinya populasi bulu babi di beberapa bagian kepulauan Karibia telah memungkinkan karang untuk bangkit 'melawan' rumput laut; dan di Filipina regulasi yang lebih efektif untuk penangkapan ikan berlebih telah memungkinkan ikan kakatua untuk pulih kembali - sejenis ikan terumbu yang membantu karang pulih dengan memakan rumput laut (makroalga) kompetitor karang.



Ikan terumbu herbivora: (Arah jarum jam dari pojok atas-kiri) Ikan Kakatua, Surgeonfish, Rudderfish, Angelfish, Damselfish dan, Rabbitfish. Ikan-ikan ini berperan sebagai 'tukang rumput' di terumbu, memakan alga yang tumbuh diantara karang sehingga jumlah alga terkendali dan karang dapat ruang dan cahaya untuk tumbuh. Jika ikan ini dihidangkan  di suatu kawasandan disantap, berarti pertanda ikan perdator ekonomis sudah mulai habis ditangkap, dan ikan herbivora pun jadi incaran, kemampuan pemulihan terumbu pun terancam dan semakin rentan akan gangguan lainya. PERHATIKAN JENIS IKAN YANG ANDA SANTAP, JANGAN MAKAN IKAN-IKAN TERUMBU INI.
Foto: © Garry allen.

"Krisis terumbu karang dunia umumnya terkait juga dengan krisis kepemerintahan, sebab kita sudah tau apa yang perlu dilakukan, namun aksi atau tindakan (untuk mengurangi polusi, menekan emisi gas rumah kaca, mencegah penangkapan berlebih dan merusak) tidak dilakukan," ujar Terry Hughes.

Studi tersebut juga menyarankan agar berbagai pemerintahan untuk melibatkan para peneliti yang memahami studi daya lenting terumbu karang dalam pengembangan kebijakan terkait penyelamatan terumbu karang. Sebagai tambahan, pemerintah sebaiknya fokus dalam pendidikan masyarakat lokal, perubahan mekanisme tata guna lahan dalam mencegah lepasan polusi, memperkuat hukum untuk melindungi terumbu karang, memperbaiki pengaturan penangkapan berlebih, dan bekerja dengan institusi internasional, seperti Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dalam penyediaan perlindungan yang lebih baik bagi karang yang terancam punah.

Namun tentunya, satu bongkahan batu besar lainnya adalah perubahan iklim. Dalam masa pengasaman laut saat ini, sebab meingkatnya emeisi karbon serta menghangatnya temperatur laut - akan membawa keterpurukan terumbu karang meskipun tindakan yang mendukung daya lenting karang dilakukan.

Dalam perspektif global para peneliti mengatakan juga bahwa pemerintah negara dunia juga harus "menghadapi perubahan iklim sebagai isu utama yang paling penting bagi pengelolaan dan konservasi terumbu karang dengan menekan tajam emisi gas rumah kaca."

Terry Hughes menambahkan, "tanpa tindakan yang segera, pemanasan global dan pengasaman laut dalam waktu kedepan yang belum terlihat akan menjadi jaminan kuat gagalnya terumbu karang. Meskipun memungkinkan sekali untuk memicu pemulihan terumbu karang seusai rentetan pemutihan karang melalui tindakan lokal seperti menjaga dan meningkatkan kualitas air dan melindungi herbivora terumbu, intervensi semacam ini tidak akan menjadikan terumbu 'tahan-perubahan-iklim'."

Namun, pesan di akhir artikel tidak memberikan harapan yang kelam dan terpuruk bagi karang, melainkan: "the world's coral reefs can still be saved… if we try harder".

Terumbu karang masih bisa diselamatkan… jika kita berusaha lebih kuat lagi.

Referensi

Terry P. Hughes, Nicholas A.J. Graham, Jeremy B.C. Jackson, Peter J. Mumby, and Robert S. Steneck. Rising to the challenge of sustaining coral reef resilience. Trends in Ecology and Evolution Vol.25 No.11. doi:10.1016/j.tree.2010.07.011.

Jumat, 02 Juli 2010

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (4)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


Salah satu sisi hutan Sungai Wain.

Rute alternatif.

Pembangunan jalan dan jembatan Pulau Balang tidak perlu terjadi. Menurut para konservasionis, rute alternatif yang lebih sederhana bisa terwujud yang juga tetap menjaga teluk, bakau, dan hutan. Rute alternatif juga rute yang lebih cepat bagi masyarakat untuk berkendara antara Balikpapan dan Penajam. Dibawah rencana saat ini, perjalanan antara Penajam dan Balikpapan jadi ditempuh 80 kilometer lebih jauh, yang juga lebih lama dibanding melalui fasilitas penyeberangan kapal feri yang saat ini sudah ada. Proyek alternatif ini membutuhkan jembatan dan jalanan dibangun di tepi paling selatan teluk, menjauhi kawasan mangrove dan hutan hujan tropis. Mungkin yang terpenting bagi para politisi adalah, sementara proyek alternatif ini akan memakan biaya lebih besar pada awalnya, jangka panjangnya akan lebih hemat.

"Tidak ada yang mencoba menghitung kerugian ekonomi akibat perombakan pulau Balang dan investasi besar yang akan dibayar pemerintah untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang diakibatkan proyek." ujar :hota.

Proyek alternatif kedua adalah tidak melakukan pembangunan jalan dan jembatan, melainkan dengan sederhana mengembangkan transportasi ferry antara Balikpapan dan Penajam bersamaan dengan pemutakhiran jalan yang sudah ada.

Meskipun proyek Jembatan Pulau Balang sudah melewati Analisa Dampak Lingkungan, Lhota berkomentar bahwa analisa tersebut jauh dari memuaskan.

"Asisten saya dan saya sendiri menghabisakan sebulan di kawasan tersebut secara sukarela mengumpulkan data untuk dimasukkan dalam ANDAL, namun tidak ada yang digunakan. Melihat data yang diambil, document ANDALtidak mengindahkan banyak ancaman utama bagi kawasan tersebut, seperti ancaman kebakaran hutan di HLSW, ancaman punahnya hutan mangrove akibat isolasi hutan dengan hutan lainnya dan banyak lagi. … Lebih lanjutnya, dokumen ANDAL tersebut sulit didapatkan (membutuhkan empat tahun bagi saya untuk mendapatkan kopi-ya dan hampir tidak ada aktivis lingkungan pernah mendapatkan akses ke dokumen tersebut) dan prakteknya juga tidak pernah dikonsultasikan ke publik…. Sudah jelas bahwa tujuan utama kajian ANDAL tersebut hanya sekedar memenuhi persyaratan hukum untuk memiliki dokumen ANDAL dan tidak untuk mengevaluasi analsisa dampak lingkungan proyek tersebut."



Salah satu sisi hutan Sungai Wain

Langkah maju: lokal vs propinsi dan pusat

Baru-baru ini, pemerintah likal, melihat banyak aspek negati dari proyek tersebut, telah menghindar dari mendukung Jembatan Pulau Balang. Sebaliknya mereka memberikan dukungan pada proyek jalan alternatif yang jauh tidak merusak lingkungan dan pilihan yang lebih baik bagi masyarakt.

Sebagaimana Ade Fadli menjelaskan: "masyarakat lokal hanya ingin mendapatkan fasilitas transportasi yang memadai."

Meskipun pemerintah propinsi dan pusat tepat menjadi suporter yang berlawanan, yang mampu mendorong proyek Jembatan Pulau Balang meskipun dengan kehawatiran dan penolakan dari pihak lokal. Ternyata dana pembangunan jembatan dan jalan sudah dijamin oleh investor dari Korea Selatan.

"Pemerintah propinsin dengan mudahnya menghiraukan masalah lingkungan, Mereka menganngap ada kebutuhan besar untuk mengembangkan transportasi antara Kalimantan Timur dan Selatan, yang sebenarnya juga benar, namun tidak menjelaskan mengapa memilih Jembatan Pulau Balang sebagai solusi jalan raya propinsi mengalahkan beberapa saran alternatif lainya," ujar Frederiksson.

"Alasan utama yang saya bisa lihat dari keinginan kuat untuk membangun rute jalan ini adalah panjangnya jalan yang dibangun (pengeluaran proyek yang besar) dan area terbesar yang tersedia untuk spekulasi harga tanah, yang telah berjalan sejak awal 1990 ketika pembangunan jalan pertamakali direcanakan / mulai dibangun. Sejumlah besar orang berpengaruh di tingkat propinsi dan pusat telah membeli lahan tanah dan akan melihat keuntungan besar ketika jalan ini terwujud," ujar Frederiksson.

"Saya saat ini tidak tahu siapa saja yang telah membeli tanah sepanjang kawasan pembanugnan jalan ini namun orang-orang ini sangat berpengaruh, dan, tentunya, pemangku azas yang sangat berambisi. Korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari kultur orang Indonesian dan rumor lokal telah menjelaskan apa dibalik keputusan-keputusan pemerintah selama ini," seperti apa yang dikatakan nara sumber yang dirahasiakan, dan menambahkan, "tentunya, rumor ini tidak bisa dibuktikan."

Pada akhirnya membangun jalan akan menjadi sebuah kehilangan besar dalam daftar besar hilangnya keanekaragaman hayati dan hutan Indonesia. Negara kepualuan ini - yang memiliki laju deforestasi terbesar di dunia, kehilangan hampir 25 persen hutanny adlam 15 tahun - juga pelepas emisi karbon ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat yang sebagian besar terkait dengan deforestasi. Sebagai tambahan, pulau Borneo telah kehilangan sekitar 50 persen tutupan hutan sejak 1970-an, meskipun dengan meningkatnya pemahaman akan pentingnya jasa ekologis hutan hujan tropis seperti untuk pengendapan karbon (carbon sequestration), preservasi keanekaragaman hayati, dan tangkapan air tawar.

Meskipun Indonesia memiliki sejarah buruk dalam lingkungan, para konservasionis berharap kali ini pemerintah propinsi dan pusat akan sadar dan terbuka, menjamin bahwa pelestarian hutan - termasuk mangrove dan teluk - adalah cara terbaik kedepannya dalam hal ekonomi dan kelestarian lingkungan.


Gibbon borneo. Foto: Petr Colas.

Gibbon borneo, salah satu satwa HLSW yang terancam punah di daftar merah IUCN


Dugong, salah satu satwa HLSW yang juga terancam punah.

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (3)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


Mangrove di Teluk Balikpapan. Foto: Petr Slavik

Tidak banyak yang tersisa.

Pembangunan jalan yang mengakibatkan perusakan hutan bukan hal baru di beberapa daerah di Kalimantan. Pembangunan jalan telah merusak Taman Nasional Kutai, Hutan Konservasi Bukit Soehato, dan Hutan LIndung Manggar. Kawasn suaka alam liar ini telah kehilangan hampir seluruh hutan primer mereka, dan kebanyakan dari taman nasional sudah pernah terbakar setidaknya sekali.

Proses penghancuran hutan perlahan akibat dampak manusia sudah berjalan di hutan Sungai Wain, yang juga terancam dengan rencana konstruksi jalan raya sepanjang tepi selatan.

"Banyak sekali pembalakan liar berlansung sepanjang jalan, lahan dibuka dengan cepat melalui penebangan dan pembakaran dan beberapa rumah kecil awal sudah mulai muncul di kedua sisi jalan. Sebuah proses yang tidak nyaman," ujar Lotha. Meskipun pemerintah menjanjikan pemantauan yang lebih baik, peningkatan penegakan hukum , dan perlindungan hutan, "dalam prakteknya, tidak ada kawasan cagar alam yangberada sepanjang jalan raya provinsi Kalimantan Timur yang tetap bertahan."

Beberapa jumlah spesies di kawasn tersebut saat ini, secara global terancam punah. Kucing teluk, kucing kepala datar, orangutan Borneo, burung Storm's stork, gibbon Borneo, monyet proboscis, semua terdaftar sebagai Endangered (terancam punah) dalam daftar merah IUCN.

Hutan tersebut juga rumah bagi langur berdada putih, jenis primata yang sulit dijumpai yang beru difoto pertama kalinya di tahun 2005. Kebanyakan dari foto yang direkam berasal dari hutan Sungai Wain.

Bagi Frederikkson, yang mempelajari beruang matahari, yang dikategorikan 'Satwa Rentan' , proyek pembangunan akan berdampak buruk pada populasi lokal hewan yang sudah dipelajarinya beberapa tahun.

"Pembangunan akan lebih mengucilkan populasi beruang matahari yang kecil dan rapuh, yang juga, sayangnya, maskot kota Balikpapan sejak tahun 2004. Pembangunan akan menghabisi kawasan tinggal sejumlah beruang , dan akan meningkatkan penjarahan beruang (melali jerat) lebih banyak lagi" ujar Frederikkson. "Saya mengestimasikan bahwa populasi beruang matahari akan berkurang separuh akibat pembangunan jalan ini dan membuat populasi mereka lebih rentan akan kepunahan yang lebih dini."



Seekor langur di hutan Sungai Wain. Foto: Milan Janda

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (2)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


 Salah satu bagian Hutan Lindung Sungai Wain.
Foto: Marian Bartos

Hilangnya kehidupan liar ?

Jika proyek Jembatan Pulau Balang berjalan terus, Teluk Balikpapan akan selamanya berubah.Teluk yang sudah dangkal akan mengalami erosi dan sedimentasi dari pekerjaan konstruksi di sekitar bukit, membuat teluk semakin sulit diaksed oleh perahu besar dan mengarah pada semakinseringnya bandjir di desa-desa pesisir. Jenis satwa di teluk, seperti dugong, buaya dan penyu hijau - yang sudah terusik oleh sedimentasi saat ini - akan menhadapi dampak lebih lagi dari polusi konstruksi.

Mangrove atau hutan bakau - sebuah ekosistem yang sebagian besar sudah hilang di dunia - akan mengalami dampak yang parah juga. Koridor hijau yang memungkinkan spesies satwa berlalulalang antara ekosistem mangrove dan HLSW akan putus.

"Fauna seperti monyet proboscis dan banyak spesies lainnya tidak bisa bertahan dalam jangka waktu lama, bahakna dalam hutan mangrove itu sendiri", Lhota menjelaskan. "Mereka memerlukan akses berkala menuju hutan disebelahnya untuk berbagai suberdaya hidup kunci mereka. Mangrove sendiri bagi mereka saat ini sudah menjadi lingkungan yang kurang cocok sebagai tempat tinggal dengan sumber makanan yang terbatas. Jika mereka terisolasi dari hutan lain, mereka pada awalnya akan terlihat bertahan namun akhirnya hanya tinggal pohon Rhizopora yang tak berpenghuni."

Hilangnya mangrove juga akan mengancam perikanan lokal sebab ikan memerlukan mangrove untuk memijah, beruaya dan tumbuh: mangrove saat ini mungkin harapan terakhir tempat berkembagn ngya ikan di teluk ini.

"Kalimantan Timur hanya memiliki sedikit kawasan mangrove yang tersis, sebab kebanyakan dari kawasan mangrove telah dirubah menjadi tambak udang dan industri. Dan di Balikpapam, inilah hutan mangrove terakhir yang ada," ujar Ade Fadli dari BEBSiC, kelompok konservasi lokal.

Jalan yang menghubungin jembatan ke Balikpapan akan melewati sepanjang tepian HLSW, dimana tegakan utama pohon-pohon dipterocarp terakhir berada di pesisir selatan dan tengah. Meskipun dampak langsung pembuatan jalan menuju hutan lindung akan minimal, jalan akan membukan akses ke hutan lindung untuk "penebangan liar, perataan lahan, dan yang utama, kebakaran hutan," ujar Lotha.

Api adalah ancaman paling besar bagi hutan. Sementara hutan tropis jarang terbakar dengan sendirinya dalam kondisi alami, dampak manusia di Indonesi telah meninggalkan luka pembakaran sepanjang Kalimantan. Sungai Wain memiliki hutan utama yang belum pernah terbakar di kawasan tersebut, saat kebakaran besar 1998 merebak di sepanjang wilayah, hanya sedikit bagian Sungai Wain yang terbakar.

"Hutan Sungai Wain yang baru terbakar sekali saja, teregenerasi dengan baik namun menjadi rentan akan kebarkaran selanjutnya akibat meningkatnya kelembaban dan jumlah besar kayu mati yang mudah terbakar," Lotha menjelaskan. "Jika terbakar kedua kalinya, dia tidak akan meregenerasi dengan mudah. Dengan kecenderungan pemerintah saat ini membuat hutan ini 'hilang selamanya'; kemungkinan bersar perambahan dan alih guna sangat tinggi.

Rumah bagi 100 spesies mamalia dan lebih dari 250 spesies burung, hilangnya hutan akan berdampak buruk pada spesies tropis, termasuk populasi orangutan reintroduksi.

Sebagai tambahan, hutan in ijuga sumber tangkapan air bersih untuk BUMN Pertamina, dan kawasan industri Kariangau Baru. Hilangnya hutan akan mengancam kebutuhan air industri ini, yang digunakan untuk pendinginan dalam penyulingan dan meunum untuk pekerja.

Hutan Sungai Wain adalah "lahan basah terakhir yang tertutupi oleh hutan dan mensuplai airtawar dengan rutin. Air dari kawasan lindung initelah digunakan industir minyak dan para pekerja / kepala rumah tangganya (mencakup 20persen populasi Balikpapan) sejak 1945," Fredrikkson menjelaskan.

Menurut Lhota, Teluk Balikpapan memiliki potensi tinggi untuk ekowisata dan pendidikan yang sebagian besar belum dicermati lebih lanjut.


Monyet proboscis dewasa. Diperkirakan 5 persen monyet proboscis di dunia saat ini berada di sekitar Teluk Balikpapan. Foto: Petr Colas

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (1)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010

Teluk balikpapan di Kalimantan Timur merupakan pusat beragam ekosistem: dugong yang terancam punah memakan lamun di perairan dangkal teluk, monyet proboscis yang bergelayutan di mangrove yang mencapai tinggi 30 meter di sepanjang teluk dan lumba-lumba Irrawady beruaya; melewati mangroce terdapat Hutan Lindung Sngai Wain (HLSW); disini, macan tutul Sunda berburu, beruang matahari memanjat kanopi mencari buah dan kacang, dan reintroduksi populasi orangutan sedang bersarang; namun alam liar ini, bersama semua penghuni yang tak terhitung, terancam oleh pembangunan jembatan dan jalan yang menghubungi kota Penajam dan Balikpapan.

Peta rencana pembanguan Jembatan Pulau Balang dan beberapa proyek alternatif yang lebih ramah lingkungan (garis putus). Gambar: Stanislav Lhota.

Jembatan ini, dikenal dengan Pulau Balang, akan terbentang melewati teluk, melewati pulau Balang, memotong mangrove dari hutan hujan tropis dan melewati sepanjang tepi barat hutan lindung. Sementara dampak langsung adalah deforestasi (penebangan hutan) untuk jalan, pemisahan bakau dari hutan huhan tropis, kerusakan pada karang. Peneliti mengatakan bahwa, penyediaan akses mudah ke mangrove dan hutan tak lain adalah dengan merusak.

Stanislav Lhota, ahli primata dari Universitas Bohemia Selatan berkata "Ancaman paling serius adalah yang tidak langsung, yaitu mebuka akses tak terkendali di seluruh kawasan tersebut".

Proyek ini akan menjadi akses terbuka untuk tempat tinggal, penebangan ilegal, bertambahnya konflik lahan, kebakaran hutanyang berkelanjutan, penjarahan satwa liar. Dampak langsungnya adalah perusakan kawasn mangrove dan satwa liar didalamnya, namun juga (pelan tapi nyata) perusakan sisi barat hutan Sungai Wain," ujar Dr. Gabriella Fredriksson, ahli beruang matahari, bekerja dalam pengelolaan dan konservasi HLSW lebih dari satu dekade kebelakang.

"Perusakan mangrove akan berdampak pada satwa liar bahari yang rentan di teluk (Balikpapan) dan juga perikana akibat hilangnya daerah untuk berkembang", ujar Dr. Danielle Kreb dari LSM lokal RASI, dia telah mempelajari mamalia laut Balikpapan dalam beberapa tahun kebelakang dan menemukan bawha habitat inti lumba-lumba Irrawady berada disekitar Pulau Balang.

Meskipun dampak lingkungan sudah jelas diutarakan oleh konservasionis, pemerintah provinsi dan pusat mendukung proyek ini. Pemerintah lokal, sebaliknya, telah memberi sinyal diakhir tahun 2009 untuk tidak mendukung proyek tersebut, terutama ketika diadakannya rencana alternatif yang tidak akan mengancam ekosistem, dan sebagai tambahan juga memberikan rute yang jauh lebih pendek antara Penajam dan Balikpapan.

Minggu, 28 Maret 2010

Politik skala global manusia belum mampu melindungi spesies laut: Konferensi CITES, Doha, 2010.



Sekitar 1.500 delegasi perwakilan negara, masyarakat pribumi, lembaga non-pemerintahan, dan pengusaha menghadiri pertemuan CITES ke 15 di Doha. CITES adalah Konvensi perdagangan internasional terhadap satwa terancam punah), beranggotakan 175 negara terlibat secara voluntir dan mengasilkan kesepakatan yang legal – alias, mereka harus menjalanan kesepakatan konvensi.

Selama dua minggu di 13-25 Maret 2010, konferensi kali ini mengangkat Bluefin Tuna, Hiu dan Beruang Kutub dalam agenda utama. Namun, pengajuan larang dagang Bluefin Tuna, Hiu, Beruang Kutub, termasuk Red dan Pink Coral ditolak oleh lebih dari duapertiga peserta konvensi.


Saat ini diperkirakan 52% stok ikan atau kelompok spesies ikan dunia dalam akselerasi eksploitasi tinggi, 19% ekploitasi berlebih, dan 9% hampir habis atau pulih dari penghabisan. Selain Monako, A.S. dan Palau mengajukan perlindungan untuk beberapa spesies Hiu Martil seperti Scalloped Hammerhead juga Oceanic Whitetip. Jutaan baru dari dua jenis hiu ini saja setiap tahun ditangkap untuk permintaan siripnya. A.S. mendukung perlindungan menyeluruh untuk perdagangan komersil Beruang Kutub terkait ancaman perubahan iklim. 

Scalloped hammerhead shark
(Foto: www.elasmodiver.com)

Oceanic whitetip shark
(Foto: www.flmnh.ufl.edu)

Konferensi kali ini ‘dimenangkan’ oleh Jepang saat kesepakatan akhir berlangsung Kamis 25 Maret 2010, dengan 'kesuskesan' mereka dalam menolak proposal pelarangan Bluefin Tuna, pemberian suara penuh menolak pengaturan perdagangan coral, dan bergabung dengan negara Asia lainnya dalam mencegah segelintir spesies Hiu duntuk masuk dalam daftar perlindungan CITES.

CITES yang semula sebuah badan konservasi dunia yang diikuti negara-negara manusia kaya di dunia, seketika itu dikendalikan oleh arus uang besar, perdagangan dan ekonomi. Sama sebagaimana pertemuan iklim di Copenhagen, ketika sains dan politik bertemu, pemimpin dunia saling melobi sendiri-sendiri dalam ruang tertutup.

Jepang yang punya mobilisasi kuat agar perikanan dijauhkan dari CITES, kubu Uni Eropa dan Amerika terpecah antara yang mendukung ban (pelarangan) dengan yang tidak. Beberapa bulan sebelum CITES, Jepang telah melobi beberapa pemerintahan baik besar dan kecil. Ketika konferensi di Qatar, Jepang mengirim 30 delegasi yang sebelumnya pernah bekerja dan memahami penuh mekanisme di CITES.

Namun, tidak hanya Jepang saja yang semestinya ‘dipojokkan’ sebab, 80% Bluefin Tuna di Jepang adalah impor. Impor dari mana? Dari Amerika Serikat yang mengambil Atlantic Bluefin dan Uni Eropa yang mengambil Mediterranean Bluefin. Bahkan diduga kuat Jepang berani hinga membeli suara dari negara berkembang Afrika dalam konferensi untuk meperkuat penolakan larangan Bluefin Tuna.


 Fishinf down world's sharks - Discoverynews.com

Temuan ilmiah kondisi Bluefin Tuna – tanpa dibumbu uang – maka niscaya akan menjadi keputusan mutlak manusia global untuk melindungi, melihat realita pahit kelestariannya saat ini. Namun manusia mepertaruhkan jutaan dan milyaran dolar untuk perdagangan ikan ini, kenyataan ilmiah telah berubah menjadi kesepakatan politis semata.

CITES, Doha, Maret 2010 - AlJazeera

Dimanakah Indonesia? Indonesia baru saja dikeluarkan dari CITES karena tidak bisa mengimplementasikan kesepakatan CITES di negara tersebut. Ini terungkap dari peraturan nasional yang melarang ekspor primata liar yang ternyata hanya ‘pura-pura’ dari pemerintah Indonesia. Lebih lanjut baca Chain of Suffering/Rantai Penderitaan oleh BUAV.

Tidak di Indonesia, tidak di Dunia, tiada ampun bagi spesies bahari untuk ekonomi manusia.

Ketika semua pohon telah ditebang
Ketika semua hewan habis diburu
Ketika air habis tercemar
Ketika udara tidak sehat untuk dihirup
Lalu kita sadar bahwa uang tidak bisa dimakan.

Cree Prophecy

Overfishing Tuna

Sharkwater

Kamis, 02 Juli 2009

Perubahan Iklim - Perlu Ketangguhan dan Altruisme Pemimpin


Posting kali ini saya kutip sepenuhnya dari Harian Kompas, Kamis, 2 Juli 2009 - Sorotan - Halaman 40. Jangan sampai kita mawas politik namun masih buta lingkungan.

Kondisi air laut dan daratan di bibir pantai utara Semarang, jawa Tengah, pertengahan april lalu.
(Foto: KOMPAS/EDDYHASBY)

Brigitta Isworo L

Organisasi nonpemerintah Oxfam Internasional akhir April menyebutkan, ratusan juta warga dunia dalam enam tahun mendatang akan menjadi korban bencana terkait dengan perubahan iklim. Jumlah bencana iklim meningkat 54 persen, mengakibatkan 375 juta orang per tahun pada 2015 terkena dampaknya, dengan basis data tahun 1980.

Awal Mei, kota Jakarta oleh The International Development Research Center's Economic and Environmental Program for Southeast Asia (IDRC- EEPSEA) dinyatakan sebagai kota paling rentan terhadap bencana perubahan iklim. Direktur EEPSEA Herminia Fransisco mengemukakan, bencana itu antara lain berupa banjir, kekeringan, kenaikan muka air laut, dan longsor. Kerentanan tinggi antara lain karena kepadatan penduduk yang demikian tinggi.

Sesuai dengan laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), secara global saat ini terjadi kenaikan suhu permukaan bumi rata-rata 0,74° C dalam satu abad. Dalam 20 tahun ke depan diperkirakan terjadi kenaikan suhu 0,2° C per dekade.

Upaya serius dunia ditandai oleh lahirnya Protokol Kyoto yang memuat kewajiban 37 negara industri untuk mengurangi emisi karbonnya rata-rata 5 persen dari emisi tahun 1990. Target ini nyaris semuanya tak tercapai. Pada Desember nanti, di Kopenhagen, Denmark, akan dibahas kesepakatan baru pasca-Protokol Kyoto-protokol ini berakhir masa berlakunya pada tahun 2012.

Namun, dalam pertemuan di Bonn, Jerman, pada Juni lalu, persoalan tetap berkutat pada pembagian beban pengurangan emisi. Juga belum ada titik cerah soal bantuan dana adaptasi dan mitigasi untuk negara miskin dan berkembang. Menurut perhitungan Oxfam yang baru-baru ini dipublikasikan, dibutuhkan investasi publik 150 triliun dollar AS (sekitar Rp 1,5 juta triliun) setiap tahun untuk memfasilitasi aksi mitigasi dan adaptasi negara berkembang.

Di sisi lain, negara miskin selalu disalahkan karena emisi karbonnya tinggi. Indonesia tercatat menjadi emiter ketiga terbesar karena faktor gambut, dan menurut laporan Bank Pembangunan Asia (ADB), Indonesia emiter terbesar di Asia akibat perubahan fungsi lahan.

Sementara perubahan radikal terjadi di Amerika Serikat. Presiden Barack Obama yang diangkat pada Januari lalu dengan berani mengajukan rancangan undang-undang mengenai perubahan iklim dengan target pengurangan emisi 17 persen pada 2020 dari level emisi 2005 dan 83 persen pada 2050 melalui program cap-and-trade-membolehkan penggantian kelebihan emisi dengan sejumlah uang. Selain itu, AS juga akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan menggantikannya dengan energi baru dan terbarukan.

Banyak pihak memandang, keberhasilan COP-15 Kopenhagen bergantung pada undang-undang perubahan iklim AS (Security Act) tersebut. Namun, China tetap memegang peran penting untuk lahirnya kesepakatan baru karena China masuk dalam tiga besar emiter karbon terbesar di dunia.

"BAU" di Indonesia

Dalam isu perubahan iklim global ini, peran Indonesia di meja perundingan global cukup menonjol, antara lain dengan menjadi tuan rumah COP-13 Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNCCC) dan tuan rumah Konferensi Kelautan Dunia (WOC) serta nanti pada bulan Oktober menjadi tuan rumah pertemuan IPCC.

Terletak di ekuator, berupa kepulauan yang diapit dua lautan utama (Atlantik dan Pasifik), secara klimatologis posisi Indonesia penting karena "motor" iklim dunia terletak di kawasan ini. Luasan hutan Indonesia masuk dalam empat besar dunia. Padahal, hutan berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink). Selain hutan, keanekaragaman terumbu karang Indonesia dan lima negara yang tergabung dalam Prakarsa Terumbu Karang (CTI) juga mencakup lebih dari 60 persen total dunia. Dengan alasan tersebut, dunia berkepentingan menjaga ekosistem Indonesia untuk mengerem laju pemanasan global, penyebab perubahan iklim.

Namun, Indonesia saat ini tidak memiliki dana untuk melakukan program mitigasi dan adaptasi serta tidak memiliki teknologi bersih. Untuk mengatasi dua persoalan krusial ini, dana dan teknologi, sejumlah langkah internal harus dilakukan. Pertama-tama harus segera disusun peta kerentanan-berbagai pihak terus mendesak, tetapi masih dijanjikan selesai menjelang COP-15 di Kopenhagen. Peta kerentanan ini mengandaikan telah ada tata ruang nasional secara rinci dengan dilengkapi antara lain data bencana, peta geografis, potensi ekonomi, dan sejarah iklim yang sahih dari daerah-daerah. Pengerahan data dari daerah, kalaupun ada, tidak terdengar nyata.

Sementara itu, masalah dana, Indonesia justru menambah utang sebesar 600 juta dollar AS berupa pinjaman lunak dari Jepang dan Perancis serta 10 juta poundsterling dari Inggris-dana hibah dengan konsentrasi program adaptasi (Kompas, 18/6). Dana-dana itu pun tidak bisa digunakan karena belum ada program adaptasi sektoral.

Ketika COP-13 di Bali dikatakan sukses dengan hasil Bali Road Map dan WOC dikatakan sukses dengan Manado Ocean Declaration (MOD), di dalam negeri secara ironis semuanya berjalan BAU (business as usual) alias biasa-biasa saja. Bahkan, untuk WOC pun nelayan tidak dilibatkan, sebaliknya dipinggirkan karena aksi damai mereka diredam. Peta kerentanan tak kunjung usai dibuat, apalagi program adaptasinya. Proyek percontohan adaptasi yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan tidak disebarluaskan. Langkah mitigasi tersendat, tak ada kejelasan arah. Penelitian tentang energi baru dan terbarukan yang sudah banyak dilakukan malah mentah di jalan. Contoh paling menyakitkan adalah gagalnya program jarak pagar. Cetak biru diversifikasi energi juga tidak jelas kelanjutannya.

Jika pemerintah terus sibuk membangun citra di panggung internasional dan meninggalkan rumahnya sendiri, bukan tidak mungkin negara ini akan bangkrut dalam beberapa dekade mendatang karena bencana akan datang secara simultan dan dalam skala yang mungkin tidak terbayangkan. Desember 2007 sebagian Jakarta utara terendam berhari-hari. Untuk perbaikan tanggul saja biayanya Rp 1,3 miliar, belum lagi kerugian nelayan akibat tidak melaut berhari-hari.

Contoh lain, pemerintah bukannya menambah mangrove atau bakau sebagai langkah adaptasi, sebaliknya justru menghancurkan bakau terpanjang di Asia-panjangnya 30 kilometer- yang akan dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api di Sumatera Selatan. (Kompas, 3/5/2007). Di Indonesia, bakau yang bagus saat ini tinggal 2,5 juta hektar, seharusnya 9,36 juta hektar (Kompas, 29/11/2007).

Perubahan iklim tidak sepantasnya dijadikan komoditas politik karena yang dipertaruhkan adalah masa depan manusia yang hidup di dalam ekosistem yang serba terbatas secara ruang. Tantangannya memang amat berat.

Negara industri jelas tidak akan melepas Indonesia sebagai pasar terbesarnya dan pengutang terbesar. Di sisi lain, investor akan terus mengincar sumber daya alam, padahal eksploitasinya akan menambah emisi karbon. Indonesia akan "dipaksa" membeli teknologi bersih yang mahal, padahal sebenarnya local wisdom yang ada telah mampu mengatasi masalah lokal. Pada akhirnya kita akan terjerat pada utang (jenis) baru.

Menghadapi tantangan perubahan iklim, pekerjaan presiden mendatang memang tidak mudah. Dibutuhkan presiden yang tangguh, berani tidak populer di antara negara besar dan investor besar, dan memiliki jiwa altruistik-meminjam sebutan Mira Lesmana (Kompas, 30/6), yaitu presiden yang mementingkan dan mengutamakan orang lain, dalam hal ini rakyat, daripada dirinya sendiri. Itu semua demi menyelamatkan masa depan dari kebangkrutan dan bunuh diri ekologis. Siapa yang siap?



Rabu, 20 Mei 2009

Sisi Lain Coral Triangle Initiatives dan World Ocean Conference dalam Artikel-artikel WALHI.


Sejalan dengan persiapan hingga pasca pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) di Manado, WALHI dengan gencarnya terus melontarkan isu kemanusiaan khususnya seputar hak nelayan tradisional lokal yang terabaikan pemerintah selama ini. Dalam situsnya, WAHLI mem-posting berbagai artikel (klik disini) yang memberikan perspektif lain yang perlu kita cermati dalam memahami salah satu akar permasalahan kerusakan lingkungan laut di Indonesia. Dalam salah satu artikelnya berjudul "Menggusur Nelayan, Menenggelamkan Keadilan Iklim" secara kritis Walhi mengajak kita untuk melihat sisi lain kesadaran bahwa persoalan lingkungan juga berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah (download disini). Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan keputusan di pemerintahan. WALHI juga mengungkapkan bahwa Coral Triangle Initiatives (CTI) dan WOC, jika masyarakat tidak mawas, keuntungan kelestarian perikanan dan terumbu karang hanya akan mengalir pada korporasi besar serta pengelola pariwisata eksternal - sekali lagi masyarakat lokal terabaikan. Untuk listing publikasi mereka bisa dilihat disini.

Kutipan dari awal artikel "Menggusur Nelayan, Menenggelamkan Keadilan Iklim", yang menurut saya kritik tajam bagi pemerintah yang kurang merefleksikan urgensi isu bagi masyarakat lokal:

"Indonesia hopes the Manado meeting will discuss carbon trading becœause the marine environment has contributed a lot to global warming, said Maritime Affairs and Fisheries by Minister Freddy Numberi.

Menjelang pelaksanaan World Ocean Summit (WOC), pernyataan Menteri Kelautan Indonesia diatas terkesan ironi. Tak hanya menunjukkan kedangkalan pikir seorang pejabat negara tentang akar persoalan perubahan iklim, serta kaitannya dengan potensi sumberdaya laut. Tapi juga potret telanjang pemerintahan yang lebih suka menempuh jalan pintas, merendahkan kedaulatan sendiri, dengan menuntut dana receh negara-negara industri yang paling bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perubahan iklim."

Kamis, 16 April 2009

Coral Triangle Initiative: Komitmen Terbesar Kita Saat Ini untuk Terumbu Karang?

'Coral Triangle Boundaries'
J.E.N Veron/Coral Geographic

Dalam posting sebelumnya (klik di sini) terkutip beberapa kemunduran dalam konservasi karang antara 2004-08. Namun, Wilkinson (2008) juga menyebutkan beberapa langkah positif dalam politik dan ekonomi oleh beberapa negara, termasuk Indonesia. 


Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, mengawali Inisiasi Segitiga Karang / Coral Triangle Initiative (CTI) dalam surat resmi ditujukan kepada Convention on Biological DIversity (CBD) Conference of The Parties di Brazil tahun 2006 lalu. Beliau menyampaikan pentingnya konservasi kawasan Coral Triangle (CT) sebagai bagian usaha masyarakat global untuk menekan penurunan biodiversitas di kawasan tersebut. Agustus 2007 beliau mengundang 7 pejabat baik regional dan luar negeri untuk menandatangani 'Inisiatif Segitiga Karang untuk Terumbu Karang, Perikanan, serta  Ketahanan Pangan' dengan tujuan bersama melestarikan kawasan tersebut untuk menjaga nilai-nilai ketahanan pangan dalam perikanan regional. Inisiatif tersebut secara resmi diliuncurkan dengan dukungan 21 pejabat tinggi dalam Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) Summit di Sydney, September 2007.  


Kawasan  CT mencakup Zona Ekonomi Esklusif Indonesia Tengah dan Timur, Timor Leste, Filipina, Borneo Malaysia, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Meskipun hanya melingkupi 2% dari lautan dunia, kawasan ini merupakan 'kawasan inti/hotspot' biodiversitas global dimana terdapat lebih dari 75% spesies karang, 35% terumbu karang dunia, sekitar 3000 lebih spesies ikan serta area bakau/mangrove terluas di dunia. Kawasan Segitiga Karang juga merupakan nursery ground dan rute migrasi bagi tuna dan billfish, paus, lumba-lumba, pari manta, hiu paus, dugong dan banyak lagi mamalia laut. Kesemuanya merupakan sumberdaya pendukung sosioekonomi bagi 120 juta orang dikawasan tersebut, dimana sebagian besar bergantung sepenuhnya pada biodiversitas sumberdaya tersebut.kawasn ini juga  memiliki nilai ekonomis tinggi bagi negara-negara yang bergantung pada perkanan tuna dan pariwisata bebasis alam, ditambah lagi dengan mangrove dan terumbu karang yang melindungi garis pesisr yang sensitif akan kerusakan akibat tsunami. Total estimasi nilai Terumbu Karang di kawasan ini setiap tahunnya mencapai US$ 2.3 milyar.


Saat ini terumbu karang terus mengalami degradasi yang cukup besar akibat polusi, over-fishing (penangkapan  ikan berlebih), termasuk praktek perikanan merusak dan ilegal; pembangunan pesisir yang tidak ramah lingkungan dan deforestasi; serta perubahan iklim - kesemuanya dipengaruhi aktifitas populasi besar manusia - dimana telah ditengahkan kriteria utama untuk dalam dalam aktivitas CTI antara lain:

  • Mendukung inisiatif yang berorientasi masyarakat dalam konservasi biodiversitas, pembangunan ramah lingkungan / sustainable development, pengentasan kemiskinan dan kesetaraan pembagian keuntungan (equitable benefit sharing);
  • Aktifitas konservasi berdasarkan sains/ilmiah yang reliable;
  • Kegiatan yang terpusat pada tujuan kuantitatif dan penetapan pada tingkatan politik tertinggi;
  • Menggunakan forum-forum yang sudah ada atatupun akan dibentuk dalam melaksanakan implementasi;
  • Mensejajarkan dengan komitmen-komitmen regional dan internasional;
  • Menyadari keadaan transboundary akan keberadaan sumber daya alam laut ini;
  • Mengedepankan prioritas geografis;
  • Berkerjasama dengan beragam stakeholder;
  • Memahami keunikan, kerapuhan dan kerentanan ekosistem kepulauan.


Langkah awal dari CTI ialah untuk mengamankan pendanaan yang sudah berjalan serta menetapkan rencana untuk menjamin pendanaan untuk jangka panjangnya; yang kemungkinan didapat melalui dana hibah, dana kelembagaan atau anggaran nasional. Saat ini CTI didukuing oleh Global Environmental Facility, Asian Development Bank, Pemerintah AS dan Australia; serta melalui kemitraan unik antara 3 NGO besar, World Wildlife Fund (WWF), the Nature Conservancy (TNC), dan Conservation International (CI); dengan dana hingga kini sebesar US$ 300 juta. Negara-negara CTI akan membutuhkan dukungan donor serta lembaga eksternal dan kesuksesannya hanya bisa dijamin jika dunia menanggapi ancaman jangka panjang dari perubahan iklim dengan serius.


Referensi: Wilkinson, C. (2008) Status of Coral Reefs of The World: 2008. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Centre, Townsville, Australia, 296 p.