Tampilkan postingan dengan label Pemerintahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemerintahan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Februari 2012

Solusi 10 - Kesejahteraan sumber daya alam dan manusia secara tidak terpisah


Konservasi sumber daya alam laut adalah hasil rajutan benang-benang kecil pemberian individu, masyarakat dan institusi sosial sebagai respons kebutuhan suatu kawasan alam - seperti contohnya, membatasi akses manusia untuk luasan terumbu karang yang terancam, mempertahankan keberadaan mangrove dari alih fungsi, atau mengatur pola penangkapan spesies ikan yang populasinya terancam habis.

Namun, sementara kita dan masyarakat 'merajut' konservasi di tingkat lokal, perlu disadari bahwa kita memasuki era dimana ekosistem pesisir dan laut mendapat pengaruh multi-ancaman yang datang dan berinteraksi di skala global. 2/3 dari Indonesia adalah lautan, namun apakah 2/3 lebih rakyat saat ini punya andil kuat dalam konservasi sumber daya laut?

Professor Terry Hughes, Direktur Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies, di James Cook University, Townsville, Australia kemukakan bahwa, jika kita ambil contoh satu ekosistem laut seperti terumbu karang misalnya, maka krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini pada akhirnya disebabkan oleh krisis governance (krisis kepemerintahan / krisis penguasaan).

"Banyak usaha (penyelamatan lingkungan) sudah dilakukan namun gagal, bukan disebabkan lemahnya pengetahuan sains, namun sebab lemahnya dukungan dari masyarakat lokal dan pemerintah" menurutnya.

Baik di negara-negara dunia, termasuk Indonesia, banyak kawasan ditetapkan sebagai 'cagar alam', namun kebanyakan perlindungan dan pelestarian tidak berjalan sukses sebab kebutuhan masyarakat lokal dikesampingkan dan gagal menggaet dukungan penuh masyarakat dalam konservasi.

Kita kita tengok keluar dari terumbu karang, ke 'ladang' besar perairan Indonesia yang seluruhnya terus dipanen ikannya dan biota lainnya, maka salah satu akar permasalahan ekploitasi serta penghabisan sumber daya adalah minim-nya kesejahteraan masyarakan pesisir dan kelompok nelayan.

Jika kita tengok individu yang saat ini kita 'cap' sebagai aktor perusak utama, maka banyak pemicu utamanya adalah kemiskinan yang bawa keputus-asaan untuk penghidupan. Toh, jika memang terkadang landasan penyebabnya murni ketidak-pedulian atau keserakahan, itupun terkadang refleksi dari individu yang tumbuh dengan keterbatasan pendidikan dan pembinaan sebab imbas miskin / tidak sejahtera. Tidak jarang juga mereka menjadi kepanjangan tangan pihak yang serakah, menjadi berketergantungan sebab pihak tersebut bisa redam keputuasaan pengihdupan mereka.

Demikian jika kita tengok sisi governance, dimana Pemerintah Republik Indonesia punya kekuatan besar untuk arahkan dan lakukan perubahan secara tegas di masyarakat, maka saat ini kita memiliki pemerintah yang masih lemah untuk menjadi wasit yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam laut kita.

Mengapa lemah? Sebab Pemerintah Indonesia saat ini masih menjalankan negara yang berkemampuan kuat mengeksploitasi alam, namun timbal baliknya tidak sebanding dalam mensejahterakan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan ekosistem - seperti nelayan dan masyarakat pesisir. Bahkan eksploitasi tidak terkendali dimana usaha preservasi / pelestarian jauh lebih rendah bahkan nihil.

Dikutip dalam Suara Merdeka, 6 Februari 2012:

"Dari sekitar 30 juta penduduk miskin di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, lebih dari sepertiganya adalah nelayan. Kondisi ini kontras dengan 2/3 luas wilayah yang terdiri dari lautan. Mestinya lebih sejahtera."

"Data dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) menyebutkan, sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jumlah nelayan pada tahun 2008 masih berada di bawah garis kemiskinan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat ada 2,7 juta nelayan Indonesia, 80 persen adalah nelayan kecil. Dari jumlah itu, lebih dari 95 persen adalah nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana dan modal produksi terbatas. Penghasilannya memperihatinkan juga."

"KKP juga mencatat kenaikan nilai produksi dari tahun ke tahun. Dalam perspektif dagang, kenaikan nilai produksi ini mestinya berimbas pada pemerataan kesejahteraan nelayan. Apalagi, 75 persen kebutuhan protein nasional disediakan oleh nelayan tradisional."

"Ironis, melihat situasi perikanan nasional saat ini, peran pemerintah justru dipinggirkan oleh korporasi multinasional. Hal ini ditandai dengan beberapa indikasi. Pertama, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa selama triwulan I/2011, total investasi di sektor perikanan mencapai 1,2 juta dolar AS dan seluruhnya merupakan investasi asing."

"Kedua, data BPS 2011 menunjukkan nilai impor ikan dan produk perikanan terus naik. Namun pemerintah justru berperan aktif melemahkan daya saing nelayan dengan mengabaikan amanah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan."

"Pasal 48 ayat (2), misalnya, dinyatakan bahwa pungutan perikanan tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Namun ada beberapa daerah yang mengabaikannya. Misalnya di Kendal diberlakukan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Retribusi TPI di Kabupaten Kendal."

"Senada dengan itu, Pasal 25B ayat (2) juga mewajibkan kepada pemerintah untuk mengutamakan kepentingan produksi dan pasokan di dalam negeri demi kebutuhan konsumsi nasional sebelum dipasarkan ke luar negeri. Ironisnya, ekspor digenjot, tetapi di saat bersamaan produk perikanan impor juga membanjiri pasar dalam negeri dengan harga lebih murah. Dalihnya era perdagangan bebas."

2/3 lautan kita miliki, namun Indonesia meng-impor ikan. Jelas ada yang salah dalam governance Indonesia.

Namun, kita punya kekuatan untuk merubah sistem pemerintahan. Jika toh belum bisa, sebagai rakyat, pastikan segala tindak-tanduk kita memanfaatkan lingkungan dan sumber daya pesisir dan laut benar-benar berkontribusi dalam pelestarian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pastikan juga dampak positif tersebut terjadi secara bersamaan, tidak terpisah. Sebab terkadang usaha kita tingkatkan kesejahteraan masyarakat justru andil memperparah degradasi lingkungan - atau sebaliknya. Konservasi perlu cermat sosial, tidak hanya cermat biologis atau ekologis saja.

Pastikan juga, pilihlah selalu pemimpin-pemimpin di masyarkat hingga di kursi Pemerintahan yang memang punya kapasitas yang misi realistis untuk melestarikan lingungan dan secara bersamaan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan sumber daya alam tersebut. Berdampinganlah selalu dengan peneliti lingkungan, praktisi konservasi, dan praktisi hak asazi  / kesejahteraan masyarakat - untuk bahu-membahu memastikan pemimpin dan sistem pemerintahan kita mewujudkan kapasitas dan misi tersebut.

Terpentingnya, sebagai wujud Nasionalisme kita, pastikan juga kita mau keluar dari zona kenyamanan kita untuk jadi bagian rakyat yang andil lestarikan pesisir dan laut. Menyuarakan perubahan tidak mudah dan dimulai hati hingga tindakan.

Sabtu, 13 November 2010

Masa kelam terumbu karang: Garis besar solusi untuk terumbu karang dunia yang terus menghilang.

Terumbu karang dunia sedang bermasalah. Sebab berbagai faktor seperti pengasaman laut, naiknya temperatur akubat perubahan iklim, penangkapan ikan berlebih dan polusi - tutupan karang dunia telah munurun hingga sekitar 125.000 kilometer persegi dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang. Banyak biolog laut, seperti Charlie Veron, mantan kepala peneliti di Australian Institute of Marine Science, memprediksi bahwa terumbu karang akan hilang dalam satu abad kedepan. Tahun 2010 ini-pun, pemutihan karang masal, dimana karang kehilangan protozoa simbiotik-nya dan semakin rentan akan penyakit dan kematian - terjadi di sepanjang pesisir Indonesia, Filipina, dan beebrapa pulau Karibia. Namun, sebuah artikel jurnal di Trends in Ecology and Evolution mencoba mengangkat srategi untuk mengatasi keterpurukan terumbu karang, termasuk beberapa kisah sukses, untuk menyelamatkan mereka.


Atas: Tingginya dan seringnya gangguan lokal dan global pada terumbu memicu lebih seringnya pemutihan karang serta penurunan terumbu karang yang serius di penjuru dunia. Bawah: Terumbu karang yang sehat, seperti di Great Barrier Reef, juga menampung keanekaragaman hayati yang tinggi.
Foto: Atas: © Bruce Carlson; Bawah: © Great Barrier Reef Marine Park Authority


"Saat ini kita SUDAH punya pemahaman ilmiah yang cukup tentang penyebab penurunan terumbu - yang kita perlukan saat ini adalah gambaran yang lebih jelas untuk menolong mereka berbalik arah menuju keadaan optimal mereka di masa lalu, melalui pemulihan," ujar penulis utama, Terry Huges dari Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies di James Cook University.

Berbagai riset dunia telah menunjukkan bahwa terumbu karang memiliki daya lenting (resiliensi) dan mampu pulih dari fenomena gangguan skala besar.

Sebagai contoh, dalam artikel dijelaskan bahwa pada situs terumbu skalal lokal di pulau Heron di Great barrier Reef hampir setiap dekade secara rutin kehilangan hampir seluruh karang-nya akibat badai. Namun tetap memiliki kemampuan pemulihan yang cukup cepat dan kecenderungan struktur terumbu berubah dan berbeda jauh dari keadaan terumbu di masa lalu sangat kecil.

Namun, dampak manusia memiliki pengaruh berbeda dibanding dampak alam, seperti badai. Terumbu karang saat in bukan lagi menghadapi gangguan atau bencana alami yang datang, mereda, dan lewat. Namun, pengaruh manusia yang ditulis sebagai "dampak manusia yang kronis", merupakan gangguan yang konstan dan bertahan dalam kurun waktu lama. Dampak manusia saat ini membuat kemampuan alami karang untuk pulih tidak bisa membandingi 'dentuman' kematian karang yang terus terpicu akibat gangguan manusia.


Mekanisme pemutihan karang. Keadaan normal (kiri) dimana alga ber-sel satu (zooxanthellae) berada di lapisan jaringan karang. Keadaan terganggu (tengah): zooxanthellae lepas dari lapisan jaringan karang. Keadaan sekarat: Karang menuju kematian sebab jaringan karang tidak tumbuh tanpa adanya zooxanthellae, dan alga halus (alga filamen) bisa tumbuh di permukaan kerangka karang yang mati. Proses ini bisa terjadi pada ribuan koloni, menyebabkan fenomena pemutihan karang masal.
Gambar: www.solcomhouse.com/coralreef.htm



"Dalam satu abad kebelakan, banyak terumbu-dekat-pantai di bagian dalam Great Barrier Reef telah tertutupi sedimen dan makroalga, dan menunjukkan sedikit kemampuan atau indikasi akan pemulihan menuju kondisi semula yang 'kaya karang", tulis para peneliti.



Kiri: Terumbu yang memiliki resiliensi / daya lenting tinggi dengan struktur yang kaya akan karang hidup keras. Kanan: Terumbu yang sudah mengalami gangguan dimana struktur sudah berubah dimana komposisi makroalga melampaui jumlah karang keras. Membantu terumbu berbalik dari kanan ke keadaan di kiri adalah salah satu tugas kita dalam mengelola terumbu saat ini.
Foto: Kiri: © E. Turak; Kanan: © A. Hoey


Terry Hughes berkata, "kunci untuk menyelamatkan terumbu terletak di dalam pemahaman kita mengapa beberapa terumbu mengalami degenerasi menjadi hamparan rumput laut dan tidak bisa pulih lagi - kejadian yang disebut "perubahan fase" -; sementara di terumbu lain karang-nya mampu puli kembali dengan sukses - sebuah kemampuan yang disebut daya lenting atau resiliensi.

Para peneliti juga mengangkat beberapa tempat dimana terumbu karang yang berbalik pulih akibat adanya usaha pencegahan dampak manusia terkait penurunan karang di masa lalu. Sebagai contohnya, mengakhiri buangan limbah di Teluk Kanehoe di Hawaii telah memungkinkan karang untuk pulih; kembalinya populasi bulu babi di beberapa bagian kepulauan Karibia telah memungkinkan karang untuk bangkit 'melawan' rumput laut; dan di Filipina regulasi yang lebih efektif untuk penangkapan ikan berlebih telah memungkinkan ikan kakatua untuk pulih kembali - sejenis ikan terumbu yang membantu karang pulih dengan memakan rumput laut (makroalga) kompetitor karang.



Ikan terumbu herbivora: (Arah jarum jam dari pojok atas-kiri) Ikan Kakatua, Surgeonfish, Rudderfish, Angelfish, Damselfish dan, Rabbitfish. Ikan-ikan ini berperan sebagai 'tukang rumput' di terumbu, memakan alga yang tumbuh diantara karang sehingga jumlah alga terkendali dan karang dapat ruang dan cahaya untuk tumbuh. Jika ikan ini dihidangkan  di suatu kawasandan disantap, berarti pertanda ikan perdator ekonomis sudah mulai habis ditangkap, dan ikan herbivora pun jadi incaran, kemampuan pemulihan terumbu pun terancam dan semakin rentan akan gangguan lainya. PERHATIKAN JENIS IKAN YANG ANDA SANTAP, JANGAN MAKAN IKAN-IKAN TERUMBU INI.
Foto: © Garry allen.

"Krisis terumbu karang dunia umumnya terkait juga dengan krisis kepemerintahan, sebab kita sudah tau apa yang perlu dilakukan, namun aksi atau tindakan (untuk mengurangi polusi, menekan emisi gas rumah kaca, mencegah penangkapan berlebih dan merusak) tidak dilakukan," ujar Terry Hughes.

Studi tersebut juga menyarankan agar berbagai pemerintahan untuk melibatkan para peneliti yang memahami studi daya lenting terumbu karang dalam pengembangan kebijakan terkait penyelamatan terumbu karang. Sebagai tambahan, pemerintah sebaiknya fokus dalam pendidikan masyarakat lokal, perubahan mekanisme tata guna lahan dalam mencegah lepasan polusi, memperkuat hukum untuk melindungi terumbu karang, memperbaiki pengaturan penangkapan berlebih, dan bekerja dengan institusi internasional, seperti Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dalam penyediaan perlindungan yang lebih baik bagi karang yang terancam punah.

Namun tentunya, satu bongkahan batu besar lainnya adalah perubahan iklim. Dalam masa pengasaman laut saat ini, sebab meingkatnya emeisi karbon serta menghangatnya temperatur laut - akan membawa keterpurukan terumbu karang meskipun tindakan yang mendukung daya lenting karang dilakukan.

Dalam perspektif global para peneliti mengatakan juga bahwa pemerintah negara dunia juga harus "menghadapi perubahan iklim sebagai isu utama yang paling penting bagi pengelolaan dan konservasi terumbu karang dengan menekan tajam emisi gas rumah kaca."

Terry Hughes menambahkan, "tanpa tindakan yang segera, pemanasan global dan pengasaman laut dalam waktu kedepan yang belum terlihat akan menjadi jaminan kuat gagalnya terumbu karang. Meskipun memungkinkan sekali untuk memicu pemulihan terumbu karang seusai rentetan pemutihan karang melalui tindakan lokal seperti menjaga dan meningkatkan kualitas air dan melindungi herbivora terumbu, intervensi semacam ini tidak akan menjadikan terumbu 'tahan-perubahan-iklim'."

Namun, pesan di akhir artikel tidak memberikan harapan yang kelam dan terpuruk bagi karang, melainkan: "the world's coral reefs can still be saved… if we try harder".

Terumbu karang masih bisa diselamatkan… jika kita berusaha lebih kuat lagi.

Referensi

Terry P. Hughes, Nicholas A.J. Graham, Jeremy B.C. Jackson, Peter J. Mumby, and Robert S. Steneck. Rising to the challenge of sustaining coral reef resilience. Trends in Ecology and Evolution Vol.25 No.11. doi:10.1016/j.tree.2010.07.011.

Kamis, 31 Desember 2009

Ada 3 Kado Bagi Nelayan Dari Pemerintah Di Akhir Tahun 2009


Posting ulang dari Kiara Foundation, untuk menambah kepekaan Kita akan hubungan sosio-ekologis manusia dengan laut Indonesia saat ini.
Toto M - Kiara Foundation

"Dipenghujung tahun 2009 ini ada tiga kado keprihatinan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Hal itu terungkap dalam acara ‘Refleksi Kelautan Perikanan 2009 dan Proyeksi 2010’ yang digelar oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), yang dilangsungkan di hotel Cemara jalan Cemara I Menteng Jakarta Pusat hari ini (30/12).

KIARA mengatakan, bahwa ketiga kado yang dimaksud itu adalah, yang pertama National Summit. Karena menurut KIARA, 19 butir National Summit program ekonominya dalam sektor kelautan dan perikanan bukan kepada nelayan tradisional melainkan mengarah kepada industri dan investasi. Sehingga hal itu akan merugikan bagi nelayan tradisioal dan masyarakat pesisir."

Foto: Rebecca Weeks/ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies
 Nelayan tradisional menangkap ikan di kawasan terumbu karang dengan alat sederhana dan perahu kayu, kadang bermotor. Ikan besar sudah diambil lebih dahulu oleh armada tangkap modern. Sehingga ikan yang belum dewasa sjadi tangkapan akhir bagi nelayan tradisional, mengancam siklus regenerasi populasi ikan.

Kegiatan semacam ini  umum dijumpai di kawasan konservasi (Taman Laut Nasional) di Indonesia. Kebutuhan mereka  untuk makan sehari-hari dan jualan ikan semakin tertekan dengan peraturan konservasi yang melarang penangkapan ikan di kebun mereka. Tidak jarang kegiatan mereka berdampak negatif pada habitat ikan itu sendiri - terumbu karang.

Gencarnya peraturan dan praktik konservasi laut cenderung menutup pintu bagi nelayan tersebut, dengan alternatif mata pencaharian yang sangat minim bagi nelayan, sehingga konflik konservasi terus berlanjut. Meskipun demikian, keuntungan perikanan Indonesia pada umumnya larinya masih ke pemerintah dan pengusaha internasional, sangat sedikit yang ke nelayan.  30 tahun sudah peraturan perikanan Indonesia berevolusi, nelayan masih saja dipinggirkan dalam pasar perikanan.
"Kado yang kedua lanjut KIARA, adalah Copenhagen Accord, sebagai dokumen KTT iklim ke 15 yang dinilai melemahkan negara kepulauan dan memperparah kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir."

 Bahkan negara-negara yang menyumbang emisi karbon terbesar di dunia seperti: Amerika Serikat, China, Australia, India, dan negara Uni-Eropa; masih saja sulit untuk menyepakati target penurunan emisi 2020 hingga 350 ppm. Semua dengan alasan ekonomi, ekonomi, ekonomi. Amerika serikat, yang menyumbang 30% emisi dunia saat ini, dengan keras hati hanya bisa menurunkan hingga 17% untuk 20 tahun kedepan. Di Copenhagen, delegasi negara-negara berkembang banyak yang kecewa dengan sikap negara-negara kaya dan maju. Saat ini konsentrasi CO2 dunia sekitar 380 ppm, terumbu karang dan biota laut lainnya agar bisa  bertahan dalam 5 dekade kedepan, memerlukan konsentrasi dibawah 350 ppm. Indonesia hanya bisa menunggu, meskipun demikian, dari dalam Kita menggerogoti Laut Kita sendiri.
"Sedangkan kado keprihatinan ketiga bagi nelayan dan masyarakat pesisir yang dimaksud oleh KIARA, adalah pembelian 150 buah mobil mewah yang diperuntukan buat menteri kabinet Indonesia bersatu (KIB) jilid II yang masing – masing diperkirakan seharga Rp 1,3 miliar.

KIARA menilai, bahwa Presiden dan Menteri tidak memiliki sensitivitas atas keprihatinan ekonomi nelayan yang merosot 40 sampai 50 persen ditahun 2009. KIARA mengatakan, seandainya dana sebesar tersebut dipergunakan untuk membeli dan membenahi peralatan untuk tangkap ikan bagi nelayan, maka 10 ribu keluarga nelayan dapat menangkap ikan dengan lebih baik."

 "Selamat Tahun Baru 2010"
Foto: Sterling Zumbrunn / Conservation International

Kamis, 02 Juli 2009

Perubahan Iklim - Perlu Ketangguhan dan Altruisme Pemimpin


Posting kali ini saya kutip sepenuhnya dari Harian Kompas, Kamis, 2 Juli 2009 - Sorotan - Halaman 40. Jangan sampai kita mawas politik namun masih buta lingkungan.

Kondisi air laut dan daratan di bibir pantai utara Semarang, jawa Tengah, pertengahan april lalu.
(Foto: KOMPAS/EDDYHASBY)

Brigitta Isworo L

Organisasi nonpemerintah Oxfam Internasional akhir April menyebutkan, ratusan juta warga dunia dalam enam tahun mendatang akan menjadi korban bencana terkait dengan perubahan iklim. Jumlah bencana iklim meningkat 54 persen, mengakibatkan 375 juta orang per tahun pada 2015 terkena dampaknya, dengan basis data tahun 1980.

Awal Mei, kota Jakarta oleh The International Development Research Center's Economic and Environmental Program for Southeast Asia (IDRC- EEPSEA) dinyatakan sebagai kota paling rentan terhadap bencana perubahan iklim. Direktur EEPSEA Herminia Fransisco mengemukakan, bencana itu antara lain berupa banjir, kekeringan, kenaikan muka air laut, dan longsor. Kerentanan tinggi antara lain karena kepadatan penduduk yang demikian tinggi.

Sesuai dengan laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), secara global saat ini terjadi kenaikan suhu permukaan bumi rata-rata 0,74° C dalam satu abad. Dalam 20 tahun ke depan diperkirakan terjadi kenaikan suhu 0,2° C per dekade.

Upaya serius dunia ditandai oleh lahirnya Protokol Kyoto yang memuat kewajiban 37 negara industri untuk mengurangi emisi karbonnya rata-rata 5 persen dari emisi tahun 1990. Target ini nyaris semuanya tak tercapai. Pada Desember nanti, di Kopenhagen, Denmark, akan dibahas kesepakatan baru pasca-Protokol Kyoto-protokol ini berakhir masa berlakunya pada tahun 2012.

Namun, dalam pertemuan di Bonn, Jerman, pada Juni lalu, persoalan tetap berkutat pada pembagian beban pengurangan emisi. Juga belum ada titik cerah soal bantuan dana adaptasi dan mitigasi untuk negara miskin dan berkembang. Menurut perhitungan Oxfam yang baru-baru ini dipublikasikan, dibutuhkan investasi publik 150 triliun dollar AS (sekitar Rp 1,5 juta triliun) setiap tahun untuk memfasilitasi aksi mitigasi dan adaptasi negara berkembang.

Di sisi lain, negara miskin selalu disalahkan karena emisi karbonnya tinggi. Indonesia tercatat menjadi emiter ketiga terbesar karena faktor gambut, dan menurut laporan Bank Pembangunan Asia (ADB), Indonesia emiter terbesar di Asia akibat perubahan fungsi lahan.

Sementara perubahan radikal terjadi di Amerika Serikat. Presiden Barack Obama yang diangkat pada Januari lalu dengan berani mengajukan rancangan undang-undang mengenai perubahan iklim dengan target pengurangan emisi 17 persen pada 2020 dari level emisi 2005 dan 83 persen pada 2050 melalui program cap-and-trade-membolehkan penggantian kelebihan emisi dengan sejumlah uang. Selain itu, AS juga akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan menggantikannya dengan energi baru dan terbarukan.

Banyak pihak memandang, keberhasilan COP-15 Kopenhagen bergantung pada undang-undang perubahan iklim AS (Security Act) tersebut. Namun, China tetap memegang peran penting untuk lahirnya kesepakatan baru karena China masuk dalam tiga besar emiter karbon terbesar di dunia.

"BAU" di Indonesia

Dalam isu perubahan iklim global ini, peran Indonesia di meja perundingan global cukup menonjol, antara lain dengan menjadi tuan rumah COP-13 Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNCCC) dan tuan rumah Konferensi Kelautan Dunia (WOC) serta nanti pada bulan Oktober menjadi tuan rumah pertemuan IPCC.

Terletak di ekuator, berupa kepulauan yang diapit dua lautan utama (Atlantik dan Pasifik), secara klimatologis posisi Indonesia penting karena "motor" iklim dunia terletak di kawasan ini. Luasan hutan Indonesia masuk dalam empat besar dunia. Padahal, hutan berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink). Selain hutan, keanekaragaman terumbu karang Indonesia dan lima negara yang tergabung dalam Prakarsa Terumbu Karang (CTI) juga mencakup lebih dari 60 persen total dunia. Dengan alasan tersebut, dunia berkepentingan menjaga ekosistem Indonesia untuk mengerem laju pemanasan global, penyebab perubahan iklim.

Namun, Indonesia saat ini tidak memiliki dana untuk melakukan program mitigasi dan adaptasi serta tidak memiliki teknologi bersih. Untuk mengatasi dua persoalan krusial ini, dana dan teknologi, sejumlah langkah internal harus dilakukan. Pertama-tama harus segera disusun peta kerentanan-berbagai pihak terus mendesak, tetapi masih dijanjikan selesai menjelang COP-15 di Kopenhagen. Peta kerentanan ini mengandaikan telah ada tata ruang nasional secara rinci dengan dilengkapi antara lain data bencana, peta geografis, potensi ekonomi, dan sejarah iklim yang sahih dari daerah-daerah. Pengerahan data dari daerah, kalaupun ada, tidak terdengar nyata.

Sementara itu, masalah dana, Indonesia justru menambah utang sebesar 600 juta dollar AS berupa pinjaman lunak dari Jepang dan Perancis serta 10 juta poundsterling dari Inggris-dana hibah dengan konsentrasi program adaptasi (Kompas, 18/6). Dana-dana itu pun tidak bisa digunakan karena belum ada program adaptasi sektoral.

Ketika COP-13 di Bali dikatakan sukses dengan hasil Bali Road Map dan WOC dikatakan sukses dengan Manado Ocean Declaration (MOD), di dalam negeri secara ironis semuanya berjalan BAU (business as usual) alias biasa-biasa saja. Bahkan, untuk WOC pun nelayan tidak dilibatkan, sebaliknya dipinggirkan karena aksi damai mereka diredam. Peta kerentanan tak kunjung usai dibuat, apalagi program adaptasinya. Proyek percontohan adaptasi yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan tidak disebarluaskan. Langkah mitigasi tersendat, tak ada kejelasan arah. Penelitian tentang energi baru dan terbarukan yang sudah banyak dilakukan malah mentah di jalan. Contoh paling menyakitkan adalah gagalnya program jarak pagar. Cetak biru diversifikasi energi juga tidak jelas kelanjutannya.

Jika pemerintah terus sibuk membangun citra di panggung internasional dan meninggalkan rumahnya sendiri, bukan tidak mungkin negara ini akan bangkrut dalam beberapa dekade mendatang karena bencana akan datang secara simultan dan dalam skala yang mungkin tidak terbayangkan. Desember 2007 sebagian Jakarta utara terendam berhari-hari. Untuk perbaikan tanggul saja biayanya Rp 1,3 miliar, belum lagi kerugian nelayan akibat tidak melaut berhari-hari.

Contoh lain, pemerintah bukannya menambah mangrove atau bakau sebagai langkah adaptasi, sebaliknya justru menghancurkan bakau terpanjang di Asia-panjangnya 30 kilometer- yang akan dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api di Sumatera Selatan. (Kompas, 3/5/2007). Di Indonesia, bakau yang bagus saat ini tinggal 2,5 juta hektar, seharusnya 9,36 juta hektar (Kompas, 29/11/2007).

Perubahan iklim tidak sepantasnya dijadikan komoditas politik karena yang dipertaruhkan adalah masa depan manusia yang hidup di dalam ekosistem yang serba terbatas secara ruang. Tantangannya memang amat berat.

Negara industri jelas tidak akan melepas Indonesia sebagai pasar terbesarnya dan pengutang terbesar. Di sisi lain, investor akan terus mengincar sumber daya alam, padahal eksploitasinya akan menambah emisi karbon. Indonesia akan "dipaksa" membeli teknologi bersih yang mahal, padahal sebenarnya local wisdom yang ada telah mampu mengatasi masalah lokal. Pada akhirnya kita akan terjerat pada utang (jenis) baru.

Menghadapi tantangan perubahan iklim, pekerjaan presiden mendatang memang tidak mudah. Dibutuhkan presiden yang tangguh, berani tidak populer di antara negara besar dan investor besar, dan memiliki jiwa altruistik-meminjam sebutan Mira Lesmana (Kompas, 30/6), yaitu presiden yang mementingkan dan mengutamakan orang lain, dalam hal ini rakyat, daripada dirinya sendiri. Itu semua demi menyelamatkan masa depan dari kebangkrutan dan bunuh diri ekologis. Siapa yang siap?