Minggu, 31 Mei 2009

Situasi Saat ini (3 - selesai): Kontribusi kita dalam mengeliminasi ekosistem terumbu karang secara masal.

Kawasan terumbu dekat pantai (back-reef) dan hutan bakau (mangrove) saat ini sudah beralih menjadi hamparan pantai dan bangunan jasa pariwisata (hotel, resort, dll.); menghapus banyak kawasan kembang-biak (nursery ground), tak ada lagi yang menyaring dan menahan sedimen serta polutan yang datang baik dari muara atau dari pesisir. Tengoklah pantai Utara Jawa untuk contohnya. Mangrove dan hamparan dangkal laguna kaya akan lamun dialihfungsikan menjadi pantai untuk wisatawan, serta bentuk lain dari pembangunan kawasan pesisir - semua semakin pesat sejalan semakin padatnya populasi pesisir. Dampak polusi bagi terumbu karang yang berasal dari pertanian dan industri-pun tidak jarang sumebrnya sangat dekat dengan pesisir. Demikian juga dengan limbah rumah tangga dan saluran pembuangan lainnya yang langsung menuju kolom air pesisir, tanpa diolah terlebih dahulu. Keadaan tersebut ini mengakibatkan nutrien berlebih di kolom air, memicu pertumbuhan berlebih alga (alga blooms), alga semakin mudah mengalahkan karang dalam kompetisi ruang untuk tumbuh. Karang semakin terhimpit oleh alga, ketika penangkapan berlebih ikan sudah mulai menghapus populasi ikan herbivori yang bertugas mengendalikan populasi alga (Nellemann et al., 2008). Polutan lainya dari industri dan agrikultur juga secara halus mempengaruhi keadaan biologis organisme laut lainnya, dan kurangnya perhatian ilmiah akan hal ini juga cukup mencemaskan - sebab secara perlahan dan jagnka panjang zat polutan juga mempengaruhi pertumbuhan biologis kebanyakan organisme di terumbu karang; dan saat kini kita terus meracuni mereka tanpa henti(Nystrom er al. 2000). Karbon dioksida yang dilepas manusia serta gas rumah kaca lainnya telah mempengaruhi perubahan ilklim global dan juga memberikan tekanan bagi terumbu karang akibat temperatur air yang menghangat, bertambah banyak dan kuat-nya badai, serta pengasaman laut (ocean acidification) (Hoegh-Guldberg et al., 2007).


Pembuangan limbah daratan langsung ke kolom air laut pesisir.
(Foto: Steve Spring/Marine Photobank)

Meningkatnya temperatur di muka air laut telah mengakibatkan msemakin seringnya fenomena pemutihan karang, dalam geografis yang besar, dan prediksi iklim dari IPCC menyatakan bahwa pemutihan karang masal akan menjadi even tahunan di masa depan di banyak belahan dunia. Terlalu banyak pemutihan menyebabkan karang mati, dan daya tahan terumbu (resistence) ditentukan oleh daya pulih mereka (recovery), kemampuan berkoloni kembali dan tumbuh dalam jumlah yang cukup, diantara episode-episode pemutihan tersebut. Namun sayangnya, lebih banyak dan menguat-nya badai berarti lebih besar lagi kemungkinan rusaknya terumbu karang. Pengasaman laut berdampak lagi langsung pada kemampuan karang dan organisme lainnya dalam membangun kerangka kalsium karbonat yang mereka butuhkan, bersamaan dengan itu juga kemampuan mereka untuk pulih terus tertekan dengan dampak lainnya, dan ada alasan kuat bahwa terumbu karang, yang mulai dieksplorasi mendalam oleh manusia di awal 1970-an, akan terhapus dari planet ini di tahun 2050-an, JIKA kita tidak mengambil langkah nyata dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, dan jika bersamaan dengan itu kita tidak meningkatkan efektifitas dalam mengelola dampak skala lokal manusia terhadap karang (Hoegh-Guldberg et al., 2007).


Kaitan antara penumpukan CO2 di atmosfir, pengasaman laut dan terhambatnya proses kalsifikasi (pengapuran) organisme laut seperti terumbu karang (Hoegh-Guldberg et al 2007)

Disini kita tidak berbicara masalah punahnya satu spesies, atau hilangnya banyak gugusan terumbu karang lokal; disini ktia berbicara tentang eliminsai global sebuah ekosistem, sebuah langkah negatif terbesar peradaban manusia saat ini.

Referensi:
  • Nellemann, C., Hain, S., Alder, J. (Eds.), 2008. In Dead Water Merging of ClimateChange with Pollution Over-Harvest, and Infestations in the World’s Fishing Grounds. United Nations Environment Programme, GRID-Arendal, Norway, p. 64.
  • Nyström, M., Folke, C., Moberg, F., 2000. Coral reef disturbance and resilience in a human-dominated environment. Trends in Ecology and Evolution 15, 413–417.
  • Hoegh-Guldberg, O., Mumby, P.J., Hooten, A.J., Steneck, R.S., Greenfield, P., Gomez, E., Harvell, C.D., Sale, P.F., Edwards, A.J., Caldeira, K., Knowlton, N., Eakin, C.M., Iglesias-Prieto, R., Muthiga, N., Bradbury, R.H., Dubi, A., Hatziolos, M.E., 2007. The carbon crisis: coral reefs under rapid climate change and ocean acidification. Science 318, 1737–1742.

Jumat, 29 Mei 2009

Situasi Saat Ini (2): Terumbu Karang dalam Perlindungan yang Minim.


Saat ini, konsep Marine Protected Area (MPA) / Daerah Perlindungan Laut (DPL) kerap digunakan dalam tujuan konservasi keanekaragaman dan perlindungan habitat terumbu karang. Namun, idealnya, konsep tersebut bisa tercapai dengan baik lagi jika: (1) Kawasan Perlindungan benar-benar melindungi sebagaimana direncanakannya dan (2) ditambahnya cakupan ruang perlindungan bagi terumbu lebih dari yang sudah terwujud saat ini. Saat ini MPA  terus tumbuh, namun sayangnya, fenomena 'paper park' / 'taman kertas' juga cenderung bangkit. Paper park terjadi ketika MPA - yang umumnya berdiri dibawah slogan 'National Park' atau 'Taman Nasional' -terwujud dalam bentuklegislasi (aturan, kebijakan), namun tanpa perubahan prilaku manusia yang berada dalam MPA tersebut. Keadaan ini terjadi pada kebanyakan MPA saat ini, dengan alasan yang umumnya terkait dengan kesejahteraan (sumber daya manusia dan infrastruktur) dan kemauan (kesadartahuan dan kapasitas untuk berubah). Antusiasme pemerintah untuk menyatakan suatu kawasan sebagai MPA, didukung landasan hukum dan ilmiah terkait (kadang tergesa-gesa dan mengabaikan faktor sosio-ekonomi), dan kecenderungan pemerintah dalam mengetengahkan hukum/kebijakan ketimbang menyalurkan dana; semuanya berkontribusi pada mewabahnya fenomena ini - khususnya di negara berkembang.

Great Barrier Reef Marine Park (Australia), kawasan terumbu karang terluas dengan pengelolaan terbaik di dunia saat ini, baru-baru ini mengembangkan luas kawasan yang dilindunginya (hinga 30% dari sekitar 340.000 km2 terkelola sebagai kawasan larang tangkap) - prestasi besar bagi manusia saat ini - namun in masih tidak mendekati cukup. Saat ini, usaha manusia mewujudkan MPA relatif masih sangat rendah, hanya 18.1% dari total luasan terumbu di dunia saat ini. Sayangnya lagi, hanya 1.6% seluruh kawasan MPA dunia sat ini tergolong 'efektif terkelola' atau bebas dari fenomena 'paper park'. Kurangnya kemampuan ilmiah kita, khususnya dalam menentukan berapa besar cakupan daerah yang mesti dilindungi dari kegiatan ekstraktif, ditambah pengabaianbesar faktor sosio-ekonomi manusia yang berada dalam MPA tersebut; kesemuanya berkontribusi dalam cacatnya usaha pemerintah dalam mengembangkan perlindungan terumbu. Namun satu hal yang nyata ialah saat ini kita membutuhkan perlindungan terumbu yang jauh lebih besar dibanding yang sudah kita capai saat ini - dengan segala permasalahan 'paper park' dan pengabaian kebutuhahan sosio-ekonomi masyarakat lokal yang umumnya terabaikan di sistem pemerintahan dan perekonomian negara berkembang tropis saat ini. Sebuah PR besar bagi pemerintah dan masyarakatnya.

Referensi
Mora, C., Andrefouet, S., Costello, M.J., Kranenburg, C., Rollo, A., Veron, J., Gaston, K.J., Myers, R.A., 2006. Coral reefs and the global network of marine protected areas. Science 312, 1750–1751. 
- Sale, P.F., Cowen, R.K., Danilowicz, B.S., Jones, G.P., Kritzer, J.P., Lindeman, K.C., Planes, S., Polunin, N.V.C., Russ, G.R., Sadovy, Y.J., Steneck, R.S., 2005. Critical science gaps impede use of no-take fishery reserves. Trends in Ecology and Evolution 20, 74–80.

Sebuah perahu bermotor padat dengan nelayan, dalam sebuah Taman Laut Nasional. Apakah mereka juga mendukung kelestarian populasi ikan dan kesehatan karang, ataukah sebaliknya? Apakah kawasan perlindungan laut memperhatikan kebutuhan mereka? Apakah mereka mendukung kebijakan dan usaha konservasi di kawasan perlindungan laut? Sesuaikah jika mereka beralih ke mata pencaharian lain untuk memberi kesempatan populasi ikan pulih? Apakah daerah perlindungan laut juga memberi solusi untuk perlindungan ekonomi mereka? Bagaimanakah dengan ekonomi pariwisata, apakah keuntungan mengalir untuk penduduk lokal dan mendukung usaha konservasi daerah perlindungan laut, ataukah lari ke lapisan masyarakat yang tidak memberi kontribusi sosio-ekonomi-ekologis untuk di kawasan terumbu lokal? PR besar.
(Foto: Ove Hoegh-Guldberg, Centre for Marine Studies, The University of Queensland)


Rabu, 20 Mei 2009

Sisi Lain Coral Triangle Initiatives dan World Ocean Conference dalam Artikel-artikel WALHI.


Sejalan dengan persiapan hingga pasca pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) di Manado, WALHI dengan gencarnya terus melontarkan isu kemanusiaan khususnya seputar hak nelayan tradisional lokal yang terabaikan pemerintah selama ini. Dalam situsnya, WAHLI mem-posting berbagai artikel (klik disini) yang memberikan perspektif lain yang perlu kita cermati dalam memahami salah satu akar permasalahan kerusakan lingkungan laut di Indonesia. Dalam salah satu artikelnya berjudul "Menggusur Nelayan, Menenggelamkan Keadilan Iklim" secara kritis Walhi mengajak kita untuk melihat sisi lain kesadaran bahwa persoalan lingkungan juga berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah (download disini). Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan keputusan di pemerintahan. WALHI juga mengungkapkan bahwa Coral Triangle Initiatives (CTI) dan WOC, jika masyarakat tidak mawas, keuntungan kelestarian perikanan dan terumbu karang hanya akan mengalir pada korporasi besar serta pengelola pariwisata eksternal - sekali lagi masyarakat lokal terabaikan. Untuk listing publikasi mereka bisa dilihat disini.

Kutipan dari awal artikel "Menggusur Nelayan, Menenggelamkan Keadilan Iklim", yang menurut saya kritik tajam bagi pemerintah yang kurang merefleksikan urgensi isu bagi masyarakat lokal:

"Indonesia hopes the Manado meeting will discuss carbon trading becœause the marine environment has contributed a lot to global warming, said Maritime Affairs and Fisheries by Minister Freddy Numberi.

Menjelang pelaksanaan World Ocean Summit (WOC), pernyataan Menteri Kelautan Indonesia diatas terkesan ironi. Tak hanya menunjukkan kedangkalan pikir seorang pejabat negara tentang akar persoalan perubahan iklim, serta kaitannya dengan potensi sumberdaya laut. Tapi juga potret telanjang pemerintahan yang lebih suka menempuh jalan pintas, merendahkan kedaulatan sendiri, dengan menuntut dana receh negara-negara industri yang paling bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perubahan iklim."

Situasi Saat Ini (1): Terumbu Karang dalam Tekanan Perikanan


Ikan terumbu di jual di pasar ikan kepulauan Bunaken Sulawesi Utara, Indonesia 
(Foto: Wolcott Henry)

Banyak laporan penelitian telah  menunjukkan bahwa keadaan  terumbu karang dunia saat ini terus menurun. Penangkapan berlebih / overfishing merebak - terumbu yang terkelola dengan baik jarang ditemui. Terumbu selalu menjadi tempat tangkap ikan bagi masyarakat lokal, menyediakan makanan bagi keluarga dan pendapatan yang relatif sedikit. Namun perikanan tradisional  hingga saat ini terus meningkat, terpicu oleh perikanan komersil mensuplai permintaan baik ekspor maupun lokal bagi wisatawan di hotel dan restoran,  industri aquarium dan pasokan ikan terumbu hidup pangsa pasar restoran.  Meskipun pengiriman ikan terumbu hidup ke restoran-restoran di Asia telah berjalan sejak abad ke-18, perdagangan ini merebak dengan pesatnya sejak 1990-an untuk menyajikan ledakan populasi ekonomi menengah keatas di Cina dan masyarakat Asia lainnya di negara-negara berkembang.  Perdaganga ikan ini mungkin bisa dikatakan sebagai yang paling merusak: (a) permintaan-nya dipengaruhi masyarakat dalam jangkauan global, sehingga suplai lokal tidak bisa menyetarakan, (b) para pengepul / wholesaler antar-negara kini mampu merambah ke daerah tangkap / fishing ground baru di kepulauan terpencil, membayar nelayan lokal untuk 'menelanjangi' terumbu tersebut, dan pindah tempat sebelum personil pengelola tahu, dan (c) nilai tiap spesies ikan semakin tinggi dengan semakin langka-nya mereka, terus menstimulir usaha penangkapanu di saat populasi ikan menurun. Namun, saat ini kita masih bisa mengantisipasi kepunahan ikan terumbu lokal dan global melalui perikanan itu sendiri. 

Berbagai spesies ikan terumbu seperti kerapu, wrasse, dan kakatua disimpan hidup-hidup di sebuah pasar ikan di Hong Kong. Spesies ini umum dijumpai di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Indonesia.
(Foto: Julie McGowan, Timana Photography, 2006/Marine Photobank)

Referensi:
  • Sadovy, Y.J., Vincent, A.C.J., 2002. Ecological issues and the trades in live reef fishes. Dalam: Sale, P.F. (Ed.), Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a Complex Ecosystem. Academic Press, San Diego, pp. 391–420.
  • Sale, P. F. (2008). "Management of coral reefs: Where we have gone wrong and what we can do about it." Marine Pollution Bulletin 56(5): 805-809.

Minggu, 17 Mei 2009

Pengelolaan Lingkungan (3) - Manusia saat ini sebagai hambatan utama.

Saat ini jumlah manusia sudah mencapai tiga kali lipat dari jumlah di waktu orang tua saya baru lahir di awal 1940-an. Sebagian dari populasi ini hidup di negara maju dan daya konsumsi mereka jauh lebih besar dari individu di jaman orang tua saya lahir. Dalam jumlah yang lebih besar lagi, ada mereka yang di negara berkembang s eperti India, Cina, Indonesia, dalam populasi yang berkembang dengan sangat pesat, dan tentunya, bersamaan dengan penggunaan sumber daya alam. Populasi dunia diperkirakan akan tumbuh dari 6.7 milyar (saat ini) hingga 9.2 milyar di 2050 nanti, dan mayoritas dari manusia akan tinggal di kawasan pesisir di negara berkembang, sepertihalnya di Indonesia yang saat ini mencapai 220 juta orang. Bahkan dengan kenyataan seperti ini, diskusi kebijakan di dunia, mulai pemerintahan hingga persepsi tiap individu manusia saat ini umumnya menolak kenyataaan, bahwa manusia adalah pusat permasalahan. 

Kemanusiaan telah lama berperan dalam exploitasi berlebih bagi perikanan. Di masa lalu, ketika manusia mampu berpindah ke kawasan tangkap baru, mereka meng-exploitasi populasi ikan yang baru pula. Di masa itu, si penangkap ikan berpindah tempat hanya ketika dia mengincar ikan di tempat yang berbeda; keadaan dimana 'jangkauan ekologis' kita masih sempit. Saat ini, populasi manusia mampu menjangkau ke kawasan tangkap baru namun dengan armada besar, lebih cepat tempuh-nya dan mampu menetap dalam waktu yang lama. Di abad 21 inilah seluruh manusia di dunia terlibat dalam' 'memancing ikan', baik langsung ataupun tidak langsung. Kita semua bisa meminta ikan, tidak hanya yang memiliki armada tangkap ikan saja - semua terlibat memberi tekanan pada perikanan. Satu contoh tekanan adalah ikan Kerapu, dan segala ikan atau hewan dari terumbu karang, yang saat ini terus diekstraksi untuk sebagai pasokan ikan hidup untuk restoran; ssepertihalnya di Hongkong disajikan trutama bagi masyarakat Asia di negara-negara berkembang. Terus tumbuhnya permintaan manusia akan ikan, khususnya produk ikan karang / reef fish, telah mempercepat runtuhnya / collapse banyak kawasan perikanan karang global - dengan kenyataan pahit terasa di masyarakat lokal pesisir dengan ikan yang hilang. Nelayan lokal dengan armada sederhana semakin jarang menangkap ikan, dan semakin jauh tempat rangkap baru - jangankan kebutuhan perdagangan ikan, kebutuhan ikan untuk makan sehari-haripun sulit. Demikian pula dengan masih  sedikitnya spesies ikan karang saat ini yang didaftar IUCN sebagai 'terancam punah' / endangered. Selain penangkapan berlebih / overfishing, bertambahnya populasi manusia di pesisir juga menggerogoti tempat tingga ikan, yaitu terumbu karang; melalui pembangunan pesisir yang tidak sesuai serta polusi. Ditambah lagi dampak perubahan iklim bagi laut - kontribusi dari penduduk dunia yang terus menggunakan bahan bakar minyak dan fosil saat ini.

Masalah utama bagi terumbu karang dan perikanan saat ini ialah, permintaan Kita (manusia) yang terus tumbuh melebihi apa yang bisa diberikan oleh alam. Sistem ekonomi global manusia saat ini - mau tidak mau kita semua terlibat - cenderung ke arah ekstraksi alam. Roda sIstem pemerintahan yang di adopsi dinegara-negara berkembang saat ini juga tidak mengarah dalam kelestarian alam. Politik kita seakan-akan masih menerjemahkan 'pertumbuhan ekonomi' sebagai 'penggerogotan lingkungan'. Bahkan ekonomi-pun tidak menjamin sumberdaya yang diambil bisa tersebar rata di masyarakat - armada perikanan besar untuk perikanan regional terus menekan kesempatan perikanan lokal. Saat ini pertanyaan yang cenderung selalu muncul ialah 'Seberapa banyak ikan yang masih bisa kita ambil? sementara nanti anak cucu kita bertanya 'Seberapa banyak ikan dan terumbu karang yang tersisa untuk kami?. Bahkan terjadinya pengerusakan lingkungan, dengan halus kita menyebutnya 'dampak manusia' bukan 'ulah manusia'. 


'Masyarakat lokal yang tertekan ketika populasi ikan predator (contoh: Kerapu) menurun dan sulit didapat. Disini masyarakat pesisir lokal mulai mengincar ikan herbivor (contoh: Kakatua) di trofi lebih rendah. Ikan herbivor penting keberadaanya untuk menjaga terumbu karang tidak diselimuti oleh alga. Jika alga menyelimuti karang, proses pemulihan karang serta dampak perubahan iklim mempercepat laju degradasi terumbu karang lokal.' 
Joshua Cinner, ARC Center of Excellence/Marine Photobank


Minggu, 10 Mei 2009

Pengelolaan Lingkungan (2) – Mengabaikan kebutuhan sosio-ekonomi-ekologi

Sebuah contoh dimana kebutuhan akan sains/ilmiah terabaikan dalam pengelolaan lingkungan: Di negara maju, badan pengelola perikanan telah mampu secara rutin melibatkan penelitian ilmiah dalam pengelolaannya, bahkan selalu selaras dengan  perkembangan riset dalam komunitas akademik (universitas, institusi riset). Sayangnya, karena pengelolaan perikanan mereka didukung oleh industri perikanan komersil bermodal besar yang cenderung menangkap satu jenis ikan dengan satu jenis alat tangkap (namun dengan kemampuan tangkap sangat besar), hal ini membuat  ilmu sains perikanan di negara maju cenderung tidak efektif jika diterapkan di kawasan perikanan multi-spesies dan multi-alat-tangkap seperti Indonesia. Sayangnya lagi, perikanan ‘multi’ ini terjadi di kebanyakan negara berkembang dan miskin, juga dikawasan tropis, juga dimana sistem terumbu karang terbesar berada. Tambah lagi, badan pengelola perikanan di kebanyakan negara tropis kurang akan sumberdaya ilmuwan terampil sehingga pengumpulan data perikanan terus berjalan namun tidak efektif (data yang dibutuhkan tidak sesuai / tidak mencukupi dengan landasan ilmiah yang lemah). Hasilnya: umumnya perikanan kawasan terumbu karang cenderung tak terkelola, dan jumlah tangkapan selalu lebih tinggi dari yang bisa dipertahankan (untuk regenerasi ikan sebagai jaminan stok di masa depan).

Prioritas ekologi juga bisa terabaikan (secara tidak sengaja, keadaan mengesampingkan fokus ilmiah) ketika terjadi fragmentasi dalam pengelolaan lingkungan, baik diantara maupun didalam jurisdiksi, ketika berbagai aspek alam dikelola oleh berbagai departemen lingkungan, pertanian, kesehatan, pariwisata, kelautan , perikanan, kehutanan, dan seterusnya. Khusus Laut, fragmentasi juridiksi cenderung merusak, karena di laut, baik ikan maupun polutan (bahan pencemar) tidak ada yang mengikuti batasan politik - semua mampu berenang di air. Didalam suatu jurisdiksi (kawasan dimana peraturan pengelolaan berlaku), departemen yang berbeda cenderung memiliki tujuan (goal) pengelolaan yang berbeda; hal ini memperkuat kecenderungan birokratis untuk mempertahankan lebih pada daerah ‘kekuasaan’ dan mempertahankan batasan pengelolaan. Tragisnya, prioritas pengelolaan ekologi yang urgent dan praktikal seringkali terabaikan. Sebagai contoh, departemen perikanan terlalu fokus mempertahankan nilai ekonomis industri perikanan lokal – menstimulir penangkapan terus menerus, departemen pariwisata membuka akses publik seluas-luasnya untuk pemanfaatan produk dan jasa dari terumbu karang, departemen kehutanan dengan tidak efektifnya terfokus pada mengendalikan kepatuhan masyarakat pada teritorial konservasi alam. Hal ini terus-menerus terjadi, dan semakin sulit dianalisa hingga proses kunci ekosistem menjadi prioritas sekunder – ketika sadar, krisis sudah terjadi – stok ikan berkurang dan sangat sulit didapat, terumbu karang collapse, rusak, hampir tidak mungkin untuk restorasi kembali.

Pengelolaan konservasi terumbu karang yang saat ini cenderung terarah kepada tujuan pariwisata dan kelestarian biodiversitas, umumnya telah mengadopsi sebuah palu besar bernama Daerah Perlingungan Laut (DPL) / Marine Protected Area (MPA) – dan mencoba mengatasi tiap permasalahan (sosio-ekonomi-ekologi) bagaikan semudah menghantam paku. MPA banyak macamnya dan, pada dasarnya, mencoba  mengatur aktivitas manusia dalam kawasan yang telah ditentukan. Landasan teorinya ialah, jika kita melindungi situs atau kawasan dari aktifitas ekstraktif, maka ketahanan dan kelangsungan hidup / survisorship (keselamatan, kepenyintasan) organisme yang berada didalamnya akan meningkat. Dengan survivorship meningkat, reproduksi meningkat, menambah larva dan organisme dewasa dalam generasi berikutnya. Teori ini (MPA) terus berkembang saat ini menjadi cabang ilmiah yang, hingga kini, mencoba mengatakan seberapa besarkah MPA yang efektif? Seberapa berdekatan MPA harus berada? Dan bentuk dan lokasi geografis apakah yang terbaik?. Prioritas kebutuhan manusia (sosioekonomi) juga bisa terabaikan. Banyak MPA diterapkan, dan telah berfokus dengan mengatur penangkapan ikan dan  dan aktifias lainnya, bahkan hingga penutupan suatu kawasan dari segala kegiatan – berharap panen ikan akan meningkat diluar kawasan tanpa larangan tangkap. Namun, harapan ini kebanyakan tidak tercapai melalui MPA, dan umumnya dikarenakan mengabaikan kebutuhan manusia (faktor sosioekonomi) setempat. DI negara berkembang dengan cakupan kawasan pesisir dan pulau yang luas, nelayan sulit mematuhi peraturan MPA, karena keadaan ekonomi memaksa mereka untuk mencari penghidupan dan yang terpenting - makan. Sekali lagi lahan kerja dikurangi, tanpa ada solusi yang kuat -kebutuhan manusia terabaikan, walaupun dalam niat baik konservasi laut. Lupa bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem saat ini.

Referensi:

Sale, P. F. 2008. Management of coral reefs: Where we have gone wrong and what we can do about it. Marine Pollution Bulletin 56:805-809.

Pengelolaan Lingkungan (1) - dalam beberapa sudut pandang.

Apakah kita saat ini sedang mengelola lingkungan atau hanya mengelola ekologi? Pentingkah pertanyaan ini? Namun, keduanya berbeda menurut Sale (2008) dan telah memberikan paradigma besar bagi masyarakat global dalam memanfaatkan sumberdaya dunia.

Menurutnya saat ini dalam proses 'pengelolaan lingkungan', umumnya dilakukan secara 'gegabah’ tanpa pertimbangan ilmiah, khususnya disaat para pemangku asaz (stakeholder), dengan kepentingan mereka yang berbeda-beda, mulai mencari jalan tengah untuk mempertahankan barang dan jasa yang bisa mereka ambil dari ekosistem alam. Di satu sisi, ada sektor swasta dan sebagian besar cabang pemerintahan terus mencari ruang, energi, air dan sumberdaya yang bertujuan untuk membangun roda perekonomian yang menyediakan lapangan kerja, kemakmuran dan produk bernilai untuk masyarakat, diantaranya pangan. Di lain sisi, ada mereka (yang umumnya lemah dalam kekuasaan politik) yang menghidupi dirinya dengan meng-ekstraksi sumberdaya alam (e.g. ikan oleh nelayan) dan mereka sepenuhnya berharap agar bisa terus melakukan itu. Dalam situasi seperti ini pengelolaan cenderung berpihak pada 'kebutuhan manusia' ketimbang 'kebutuhan alam'.

Koloni karang diambil sebagai bahan bangunan untuk membuat dinding yang menahan naiknya muka air laut di Pulau Guraici, Halmahera, Indonesia. Sebuah contoh nyata efek domino negatif saling terkait antara sosial, ekonomi, dan ekologi. (Andrew H Baird/Marine Photobank.)

Di pihak berlawanan, ada mereka (para konservasionis) yang selalu melihat gambaran besar pentingnya kelestarian barang dan jasa yang didapat dari ekosistem (pengelolaan ekosistem), bahkan terkadang hingga mengorbankan pekerjaan atau kesejahteraan ekonomi mereka. Dalam situasi seperti ini pengelolaan seakan berpihak pada 'kebutuhan alam' ketimbang 'kebutuhan manusia'. Di pihak yang sama ada masyarakat sains (ekolog, ilmuwan) yang seakan-akan terus berkorban dengan tidak mendapat jatah, namun ternyata tidak juga. Mereka juga bisa 'melebihi jatah' ketika sebagian besar argumen ilmiah saat ini berpihak dengan masyarakat konservasionis ketika terlalu terbawa dalam arah penegasan kepedulian lingkungan mereka, sehingga keadaan alam disampaikan tidak dengan apa adanya, mengesampingkan ‘kebutuhan manusia’. Apakah ini yang ideal?

Kenyataanya ialah, saat ini, menurut Sale (2008), untuk menjadi 'pengelola alam' adalah mereka yang mencoba untuk mengelola dampak manusia (menjaga kebutuhan ekosistem) sekaligus mengatur berbagai pihak diatas mengambil jatah keuntungan dari keberadaan ekosistem alam (menjaga kebutuhan sosioekonomi). Mengelola alam dalam sudut pandang  sosio-ekonomi-ekologi. Jika saat ini kita menyatakan diri kita sebagai 'pengelola alam', pertanyaanya ialah: Apakah kita sudah bisa mempertimbangkan semua kebutuhan tersebut? Manakah  kebutuhan yang terabaikan? Apakah sosial, ekonomi, ataukah ekologi yang akan dikesampingkan.

Referensi:

Sale, P. F. 2008. Management of coral reefs: Where we have gone wrong and what we can do about it. Marine Pollution Bulletin 56:805-809.