Minggu, 10 Mei 2009

Pengelolaan Lingkungan (2) – Mengabaikan kebutuhan sosio-ekonomi-ekologi

Sebuah contoh dimana kebutuhan akan sains/ilmiah terabaikan dalam pengelolaan lingkungan: Di negara maju, badan pengelola perikanan telah mampu secara rutin melibatkan penelitian ilmiah dalam pengelolaannya, bahkan selalu selaras dengan  perkembangan riset dalam komunitas akademik (universitas, institusi riset). Sayangnya, karena pengelolaan perikanan mereka didukung oleh industri perikanan komersil bermodal besar yang cenderung menangkap satu jenis ikan dengan satu jenis alat tangkap (namun dengan kemampuan tangkap sangat besar), hal ini membuat  ilmu sains perikanan di negara maju cenderung tidak efektif jika diterapkan di kawasan perikanan multi-spesies dan multi-alat-tangkap seperti Indonesia. Sayangnya lagi, perikanan ‘multi’ ini terjadi di kebanyakan negara berkembang dan miskin, juga dikawasan tropis, juga dimana sistem terumbu karang terbesar berada. Tambah lagi, badan pengelola perikanan di kebanyakan negara tropis kurang akan sumberdaya ilmuwan terampil sehingga pengumpulan data perikanan terus berjalan namun tidak efektif (data yang dibutuhkan tidak sesuai / tidak mencukupi dengan landasan ilmiah yang lemah). Hasilnya: umumnya perikanan kawasan terumbu karang cenderung tak terkelola, dan jumlah tangkapan selalu lebih tinggi dari yang bisa dipertahankan (untuk regenerasi ikan sebagai jaminan stok di masa depan).

Prioritas ekologi juga bisa terabaikan (secara tidak sengaja, keadaan mengesampingkan fokus ilmiah) ketika terjadi fragmentasi dalam pengelolaan lingkungan, baik diantara maupun didalam jurisdiksi, ketika berbagai aspek alam dikelola oleh berbagai departemen lingkungan, pertanian, kesehatan, pariwisata, kelautan , perikanan, kehutanan, dan seterusnya. Khusus Laut, fragmentasi juridiksi cenderung merusak, karena di laut, baik ikan maupun polutan (bahan pencemar) tidak ada yang mengikuti batasan politik - semua mampu berenang di air. Didalam suatu jurisdiksi (kawasan dimana peraturan pengelolaan berlaku), departemen yang berbeda cenderung memiliki tujuan (goal) pengelolaan yang berbeda; hal ini memperkuat kecenderungan birokratis untuk mempertahankan lebih pada daerah ‘kekuasaan’ dan mempertahankan batasan pengelolaan. Tragisnya, prioritas pengelolaan ekologi yang urgent dan praktikal seringkali terabaikan. Sebagai contoh, departemen perikanan terlalu fokus mempertahankan nilai ekonomis industri perikanan lokal – menstimulir penangkapan terus menerus, departemen pariwisata membuka akses publik seluas-luasnya untuk pemanfaatan produk dan jasa dari terumbu karang, departemen kehutanan dengan tidak efektifnya terfokus pada mengendalikan kepatuhan masyarakat pada teritorial konservasi alam. Hal ini terus-menerus terjadi, dan semakin sulit dianalisa hingga proses kunci ekosistem menjadi prioritas sekunder – ketika sadar, krisis sudah terjadi – stok ikan berkurang dan sangat sulit didapat, terumbu karang collapse, rusak, hampir tidak mungkin untuk restorasi kembali.

Pengelolaan konservasi terumbu karang yang saat ini cenderung terarah kepada tujuan pariwisata dan kelestarian biodiversitas, umumnya telah mengadopsi sebuah palu besar bernama Daerah Perlingungan Laut (DPL) / Marine Protected Area (MPA) – dan mencoba mengatasi tiap permasalahan (sosio-ekonomi-ekologi) bagaikan semudah menghantam paku. MPA banyak macamnya dan, pada dasarnya, mencoba  mengatur aktivitas manusia dalam kawasan yang telah ditentukan. Landasan teorinya ialah, jika kita melindungi situs atau kawasan dari aktifitas ekstraktif, maka ketahanan dan kelangsungan hidup / survisorship (keselamatan, kepenyintasan) organisme yang berada didalamnya akan meningkat. Dengan survivorship meningkat, reproduksi meningkat, menambah larva dan organisme dewasa dalam generasi berikutnya. Teori ini (MPA) terus berkembang saat ini menjadi cabang ilmiah yang, hingga kini, mencoba mengatakan seberapa besarkah MPA yang efektif? Seberapa berdekatan MPA harus berada? Dan bentuk dan lokasi geografis apakah yang terbaik?. Prioritas kebutuhan manusia (sosioekonomi) juga bisa terabaikan. Banyak MPA diterapkan, dan telah berfokus dengan mengatur penangkapan ikan dan  dan aktifias lainnya, bahkan hingga penutupan suatu kawasan dari segala kegiatan – berharap panen ikan akan meningkat diluar kawasan tanpa larangan tangkap. Namun, harapan ini kebanyakan tidak tercapai melalui MPA, dan umumnya dikarenakan mengabaikan kebutuhan manusia (faktor sosioekonomi) setempat. DI negara berkembang dengan cakupan kawasan pesisir dan pulau yang luas, nelayan sulit mematuhi peraturan MPA, karena keadaan ekonomi memaksa mereka untuk mencari penghidupan dan yang terpenting - makan. Sekali lagi lahan kerja dikurangi, tanpa ada solusi yang kuat -kebutuhan manusia terabaikan, walaupun dalam niat baik konservasi laut. Lupa bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem saat ini.

Referensi:

Sale, P. F. 2008. Management of coral reefs: Where we have gone wrong and what we can do about it. Marine Pollution Bulletin 56:805-809.

Tidak ada komentar: