Tampilkan postingan dengan label Ekologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekologi. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Februari 2019

Tinja berkhasiat untuk pasir laut yang bersih

Di laut dunia saat ini terdapat sekitar 1.250 spesies teripang. Teripang kadang disebut juga timun laut, gamat, sea cucumber, atau bĂȘche-de-mer.

Teripang yang tampil dalam vidio di bawah ini adalah jenis Thelenota anax. Dia sedang ‘buang air besar’.

Tinja teripang ternyata penting untuk ekosistem. Untuk spesies satu ini, dia menggunakan tentakel-tentakelnya untuk meraih sedimen di dasar laut lalu memasukkanya ke mulutnya. Jika di darat, maka teripang adalah hewan yang gemar ‘makan tanah’.

Unsur organik dari sedimen dasar laut diserap dalam perutnya. Bahan sedimen anorganik sebagian besar dikembalikan lagi ke alam.

Alhasil, ‘pup’ sedimen yang dikembalikan teripang alam keadaanya lebih bersih dari saat dia makan. Pasir bersih dari 'tinja' teripang adalah pasir bisa mencegah tumbuhan alga merebak di dalam laut. Alga yang berlebih mengambil oksigen di air, sehingga ikan bisa terganggu kesehatanya. Namun tidak sebab pasir yang bersih.

Selain itu, kawasan padang lamun di pesisir bisa tumbuh lebih subur ketika teripang berada disekitarnya.

Bahkan terumbu karang juga dapat manfaat dari teripang. Sebab kandungan alkali dari tinja teripang, membantu menjaga keasaman kolom air disekitarnya. Sehingga efek pengasaman laut akibat terlarutnya gas polusi karbondioksida dari manusia yang larut ke laut bisa ditekan.

Di laut teripang jauh dari rupawan apalagi eksotis. Bahkan warnanya serupa dengan tinjanya. Meskipun demikian, jelas teripang punya peranan penting di bawah air sana.

Jika kita merasa kurang dalam penampilan kita, tidak apa-apa, terpenting adalah menebar kebaikan. Tebarkanlah manfaat ke sekitar kita, dengan ikhlas, lega dan sebanyak-banyaknya, seperti teripang melepas tinjanya.

Salam teripang.



Minggu, 19 April 2015

Kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu

M. Danie Al Malik


Perairan Indonesia memiliki keragaman jenis hiu yang cukup tinggi. Setidaknya 116 jenis hiu yang termasuk ke dalam 25 suku ditemukan di wilayah perairan kita. Ikan hiu termasuk dalam kelompok ikan bertulang rawan, atau Elasmobranchii.

Elasmobranchii merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting di dunia. Data FAO melaporkan bahwa total tangkapan ikan-ikan Elasmobrachii di dunia pada tahun 2010 mencapai lebih dari 640 ribu ton. Lebih dari sepertiga jumlah tersebut ditangkap dari Indonesia, bersama dengan India, Spanyol, dan Taiwan. FAO juga menyebutkan total tangkapan perikanan hiu di Indonesia hingga 109,243 ribu ton untuk tahun 2010 sendiri (Gambar 1).


Gambar 1. 20 negara pengekploitasi perikanan hiu terbesar (Indonesia 109,243 ribu ton).
(Sumber: Escobar, K. (2011))
Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah hiu yang ditangkap di Indonesia terus meningkat sejak 1975 hingga 2011. Peningkatan tersebut tegolong signifikan jika di banding dengan Negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Sri lanka dan Thailand (Gambar 1). Jumlah tangkapan hiu di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2000 yaitu mencapai 70.000 ton (Gambar 2).

Gambar 2. Produksi perikanan hiu di Indonesia sejak tahun 1975- 2011.
(Sumber : KKP (2013))
Sejalan dengan peningkatan penangkapan ikan hiu di beberapa dekade terakhir,  skala operasi penangkapan tidak lagi terbatas pada perikanan berskala kecil tetapi sudah merambah hingga perikanan komersial berskala besar. Keadaan ini membuat jenis hiu yang ditangkap juga semakin banyak, termasuk jenis hiu bernilai tinggi seperti hiu botol (Squalidae), hiu lontar (Rhynchobatidae) dan hiu-hiu berukuran besar (Carharhinidae, Lamnidae, Alopiidae, dan Sphyrnidae).

Jenis hiu di atas mempunyai nilai ekologis yaitu sebagai predator di laut sebagai pengontrol sistem rantai makanan, jika fungsi ekologis hiu-hiu tersebut dihilangkan maka bisa memicu tidak terkendalinya jumlah spesies ikan tertentu, sehingga terjadi pemangsaan berlebih pada spesies-spesies ikan, khususnya yang bernilai kormersial. Sejatinya hiu merupakan tangkapan sampingan, namun seiring dengan menurunnya ikan tangkapan utama seperti tuna, hiu beralih menjadi tangkapan yang bernilai ekonomis. 

Di beberapa daerah di Indonesia, perikanan hiu telah menjadi sumber utama mata pencaharian sebagian masyarakat. Tiap mata rantai perdagangan perikanan hiu memberikan topangan pendapatan, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dalam profesi nelayan penangkap, pengumpul, penjual dan pengolah hasil perikanan hiu di daerah-daerah dimana hiu menjadi target tangkapan mereka.

Di beberapa wilayah Indonesia seperti daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lombok-Nusa Tenggara Barat peran wanita menjadi pemain utama dalam melakukan bisnis perdagangan produk hiu sebagai pengelolah hasil perikanan hiu. Hal ini menunjukkan bahwa produk hiu telah menjadi komoditi penting karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal secara langsung. 

Hampir semua bagian tubuh hiu memiliki nilai ekonomi dan dapat memberi keuntungan bagi nelayan dan semua pihak yang terlibat dalam rantai perdagangan hiu.  Bagian hiu yang bisa bernilai ekonomis antara lain daging, tulang rawan, kulit, gigi rahang, jeroan/isi perut, hati, dan sirip. Namun umumnya komoditas hiu utama yang diperdagangkan ada empat kelompok yaitu produk sirip hiu kering (dried fins), sirip hiu basah (salted fins), daging hiu beku (frozen sharks nei) dan produk campuran hiu (fresh or chilled shark).

Produk perikanan hiu yang paling umum diekspor ke luar negeri adalah sirip kering, yang mana di dalamnya juga termasuk sirip pari gitar dan pari cermin/bandrong (suku Rhyncobathidae dan Rhinobatidae). Berdasarkan data dari KKP tahun 2013, sejak tahun 1980 sampai 2006 secara umum terlihat bahwa usaha perdagangan hiu meningkat tajam pada periode 1992 hingga 1995 yaitu mencapai sepuluh ribu ton (Gambar 3). Laporan menyebutkan separuh produk sirip ikan hiu dari Indonesia diekspor ke Jepang, kemudian diikuti oleh Hong kong, Singapura dan Malaysia (Gambar 4).

Gambar 3. Jumlah ekspor produk perikanan hiu Indonesia dalam kurun waktu 1980-2006.
(Sumber : KKP (2013))
Gambar 4. Proporsi jumlah sirip hiu yang diekspor ke beberapa Negara tujuan pada tahun 2005 dan 2006.
(Sumber : KKP (2013))

Gambar 5. Perdagangan sirip ikan hiu sebagai produk perikanan ekspor yang bernilai tinggi.
(Sumber : Wikipedia)
Tingginya harga sirip hiu menjadi salah satu faktor pemicu tingginya intensitas perdagangan sirip hiu. Sirip hiu umumnya digunakan untuk sup yang merupakan sajian bergengsi di restoran-restoran seafood di beberapa kota besar di Indoensia seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya dengan harga satu porsi sirip hiu mencapai Rp. 500.000,-.

Alasan utama konsumen mau membayar harga yang fantastis ini sebagian besar didorong karena alasan sosial-budaya. Contohnya, sup sirip hiu dianggap makanan berkelas karena konon sup sirip hiu merupakan hidangan khusus raja dan bangsawan di Cina tempo dulu.

Gambar 6. Sup sirip ikan hiu konon sebagai hidangan kerajaan Cina tempo dahulu.
(Sumber : Wikipedia)
Alasan lain menyantap sup sirip hiu adalah kepercayaan sebagian masyarakat akan khasiat dari makanan ini yang dipercaya dapat menambah vitalitas, mencegah bahkan mengobati kanker. Padahal, berdasarkan hasil penelitian Food and Nutrition Information Center, sirip hiu tidak mengandung nutrisi. Sirip umumnya  terdiri dari tulang rawan, yang secara umum tidak mengandung vitamin, namun mengandung glukosamin dan kondroitin.

Beberapa pelaku pengobatan alternatif memang meyakini bahwa sirip hiu memiliki zat yang dapat memerangi kanker, namun menurut National Center Institute, hanya ada satu penelitian klinis terhadap tulang rawang hiu sebagai perawatan kanker pada manusia yang pernah dipublikasikan dan menunjukkan bahwa tulang rawan hiu tidak efektif melawan kanker. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa perawatan tambahan terhadap pasien yang mendapatkan kemoterapi dengan memberikan beberapa dosis ekstrak sirip hiu dalam jumlah yang berbeda pada 397 pasien tidak memberikan hasil positif.

Sebaliknya sirip hiu diduga mengandung merkuri dalam dosis yang cukup berbahaya, kandungan merkuri tersebut diakibatkan polusi di lautan. Sebagai hewan di puncak rantai makanan, hiu berpotensi mengandung merkuri lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya. Hal ini karena sifat merkuri yang terakumulasi melalui proses makan memakan, atau disebut bioakumulasi.

Bagaimana merkuri di lautan ter-akumulasi di tubuh ikan di tingkat teratas rantai makanan.
(Sumber: Wikipedia)
Sebagai gambaran, studi yang dilakukan oleh Dr. R. Kruse dan Dr. E. Bartelt untuk German Faderal Ministry of Food, Agriculture, and Consumer Protection (BMEL) mereka menyatakan bahwa ditubuh seekor terkandung 0,4 atau 4.000 mikrogram/kg. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan batas aman kandungan merkuri pada makanan tubuh manusia yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu tidak melebihi 0,5 ppm atau 500 mikrogram/kg.

Selain sirip, hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa tubuh hiu memiliki kandungan urea 2 – 2,5% dari total daging, sedangkan ikan tulang sejati (Teleostei) hanya mengandung urea 0,05%. Dengan kata lain, pada hakikatnya mengkonsumsi hiu tidak terbukti bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan ataupun sebagai obat anti kanker, malah dapat berpotensi meracuni tubuh. 

Hal lain adalah masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat baik nelayan maupun masyarakat umum terhadap kelestarian sumber daya ikan hiu. Ikan hiu sangat rentan terhadap penangkapan yang berlebihan. Hiu pada umumnya memiliki pertumbuhan yang lambat dan memerlukan waktu yang lama (beberapa mencapai hingga puluhan tahun) untuk mencapai usia dewasa dan berkembang biak. Selain itu jumlah anak yang dihasilkan setiap tahunnya relatif sedikit dibandingkan dengan kelompok ikan lainnya.

Hiu umumnya memiliki peranan utama sebagai sebagai pemangsa ikan lain, atau predator, sehingga menjadi pengendali populasi spesies dalam sistem rantai makanan di ekosistem laut. Menurut Penasihat Teknis Kawasan Laut The Nature Conservancy (TNC), Bapak Purwanto; keseimbangan ekosistem bisa dijaga salah satunya sebab peranan spesies hiu yang duduk di predator puncak (tidak ada yang memangsa, hanya memangsa) dalam mengendalikan populasi spesies ikan dengan memangsa ikan-ikan sakit atau terluka.

Piramida trofi ekosistem laut.
(Sumber: The University of Waikato)

Demikian juga temuan dari Bornatowski et al (2014) di Brasil selatan yang mendukung peranan hiu sebagai elemen penting dalam rantai makanan. Dari analisa isi perut dari 820 ikan dari 15 spesies elasmobranchii serta catatan dari 23.027 isi perut ikan dari beragam laporan mulai 1980 hingga 2012, Bornatowski et al (2014) mencoba memetakan hewan apa saja yang dimakan spesies hiu predator teratas, dan hiu meso-predator (dimangsa hiu, memangsa ikan non-hiu). 

Penelitian mereka temukan bahwa hiu predator teratas (top predator) seperti Carchahinus obscurus, Carcharias taurus, Sphyrna lewini, dan S. zygaena memangsa spesies-spesies di tingkat rantai makanan di bawahnya yang mencakup hiu-hiu meso-predator, ikan-ikan non-hiu, hingga avertebrata laut dan burung).

Merujuk ke penelitian hiu terdahulu, Bronatowski et al. (2014) beranggapan bahwa konsekuensi dari pengambilan hiu dari alam sifatnya tidak langsung, sebab menurunya hiu memberikan semacam efek domino. Salah satunya adalah bertambahnya populasi spesies ikan (A) yang tidak lagi dimangsa hiu. Namun di sisi lain, penambahan populasi spesies ikan A bisa menyebabkan penurunan besar pada populasi spesies laut lain (B) yang menjadi pakan-nya.

Kekhawatiran muncul ketika melimpahnya spesies ikan A dianggap sebagai ‘pemulihan ekosistem ikan’, padahal sebenarnya indikasi ketidak-seimbangan ekosistem. Demikian juga penurunan spesies B, jika spesies tersebut bernilai komersil, maka ekonomi perikanan dari masyarakat bergantung pada spesies B bisa terancam.

Demikian pula jika spesies B adalah spesies kunci ekosistem, seperti ikan kakatua di terumbu karang yang mengendalikan populasi alga. Jika ikan ‘pembersih’ terumbu karang habis dimangsa berlebih oleh ikan diatasnya, maka pertumbuhan alga yang tak terkendali bisa menutupi karang hidup dan sehat, mengancam terumbu karang.

Hiu hanyalah segelintir dari kelompok hewan yang dimanfaatkan dari lautan. Kebutuhan ikan yang tinggi serta kecanggihan teknologi penangkapan ikan, membuat manusia mengambil ikan dari tingkat spesies teratas, hingga terbawah.
(Sumber: Wikipedia)

Kesadaran akan kesalahpahaman kita terhadap peranan hiu selama ini, dan kemauan kita semua kepada kelestarian hiu yang memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, sangat diperlukan.

Dengan membatasi, atau tidak, menangkap hiu dan tidak mengkonsumsi daging ataupun sirip hiu, serta aktif dalam kegiatan pelestarian hiu bersama keluarga dan sahabat; maka kita sudah membantu dalam menjaga hiu dari keterancaman. 

Referensi
  • Apriyani, A. (2013, November 21). Racun Methyl Mercury Dalam Tubuh Hiu. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://savesharksindonesia.org/racun-methyl-mercury-dalam-tubuh-hiu/
  • Bornatowski, H., Navia, A. F., Braga, R. R., & Abilhoa, V. (2014). Ecological Importance of Sharks and Rays in a Stuctural Foodweb Analysis in Southern Brazil. International Council for the Exploration of The Sea, Vol 71 (7) : 1586-1592.
  • Darmawan, A., & Ruchimat, T. (2013). Tinjauan Status Perikanan Hiu di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
  • Escobar, K. (2011, January 27). The Future of Sharks : A Review of Action and Inaction. Dipetik Maret 31, 2015, dari http://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/reports/2011/01/27/the-future-of-sharks-a-review-of-action-and-inaction
  • Ferretti, F., Worm, B., Britten, G. L., Heithaus, M. R., & Lotze, H. K. (2010). Pattern and Ecosystem Consequences of Sharks Declines in The Ocean. Ecology Letters, Vol 13 (8) : 1055-1071.
  • Maryati. (2013, Maret 19). Populasi Hiu dan Pari Manta Dalam Ancaman. Dipetik April 6, 2015, dari http://www.antaranews.com/berita/364072/populasi-hiu-dan-pari-manta-dalam-ancaman

Senin, 13 Januari 2014

Kuliah gratis online tentang Ekosistem Pesisir Tropis dan Perubahan Global

The University of Queensland (UQ) telah membuka mata kuliah on-line gratis Tropical Coastal Ecosystems and Global Change bagian dari kerjasama dengan edX dan Harvard dan MIT.

 Course dimulai 28 April. Untuk informasi lebih lanjut dan registrasi bisa tengok http://bit.ly/JEnRkV

Ayo tantang diri kita untuk memahami permasalahan dan mencari solusi dalam mengelola ekosistem pesisir tropis. mHabitat pesisir memberikan sumber daya jasa dan produk bagi ratusan juta orang di Bumi, namun kesehatan pesisir dan laut kini terus menurun sebab aktifitas manusia.

Kuliah "TROPIC101x" akan mengenalkan kita pada hewan dan tumbuhan pesisir yang mengagumkan. Kuliah ini akan mengajak kita mengeksplorasi tantangan yang dihadapi ekosistem pesisir saat ini seperti penangkapan berlebih, polusi pesisir, pemanasan laut, dan pengasaman laut.

Kuliah ini akan mengkenalkan ekosistem pesisir tropis pada umumnya seperti terumbu karang, bakau dan lamun). Pengajar kuliah ini antara lain Professors Hugh Possingham, Sophie Dove, Catherine Lovelock, Stuart Phinn dan Ove Hoegh-Guldberg.

Semoga berhasil !



Ada yang tahu istiliah MOOC itu? Klik disini

Sabtu, 03 Agustus 2013

Untaian Domino Yang Terus Berjatuhan Karena Dampak dari Aktivitas Penangkapan Hiu

Mochamad Iqbal Herwata Putra

Setiap mahluk hidup yang ada di bumi diciptakan memiliki perananya masing-masing untuk menjaga keseimbangan ekosistem di bumi, akan tetapi kita sebagai manusia terkadang lupa atau mengabaikan “peranan-nya”.

Peranan anggota masyarakat dalam sebuah “ekosistem” tak jauh beda dengan peranan biota terhadap ekosistem yang ada dilautan, setiap mahluk hidup yang ada dilaut memiliki peranannya masing-masing untuk membuat keseimbangan.

Lautan hidup, kedalaman menyimpan rahasia, dan kita berimajinasi didalamnya, dalam cerita atau mitos. Banyak sekali cerita dan mitos yang dan membuat “mindset”  yang salah kepada masyarakat terhadap biota yang ada dilaut, mungkin yang paling banyak menjadi korban adalah HIU, dibanyak cerita, mitos, atupun film memberikan reputasi yang buruk terhadap hiu, sosok hiu yang menyeramkan dan memakan manusia, padahal hiu sama sekali tidak tertarik kepada manusia bahkan takut terhadap manusia. Hiu adalah mahluk hidup yang pemalu dan penuh kehati-hatian dan jarang ditemui, menjadi hal langkan bagi seorang penyelam untuk dapat berenang langsung di alam. Kasus penyerangan yang biasanya terjadi terhadap manusia biasanya hiu salah mengartikan manusia sebagai makanannya.

Statistik 2009 mencatat manusia berenang dilautan 7 milyar kali, hanya 60 orang yang tercatat diserang hiu dan diakhiri dengan 5 kematian, itu seperti 5 butir pasir dilautan. Bandingkan dengan angka 24.000 orang yang setiap harinya mati tersambar petir.

Hiu memerankan peran penting di setiap ekosistem dilautan yang begitu kompleks, dan manusia ikut memainkan peranan itu karena manusia juga ikut memanfaatkan hasil laut dan menjadi ujung dari setiap rantai makanan sehingga manusia masuk didalamnya.

Kesemua mahluk hidup bergantung satu sama lain. Sederhanannya bila seorang peranan polisi dihilangkan maka tingkat kriminalitas akan semakin tinggi dan tidak ada yang mengamankan dan menekan angka kriminalitas, sehingga kesemua peranan anggota masyarakat saling keterkaitan satu sama lain membentuk sebuah keseimbangan, dan bila salah satu peran dari anggota masyarakat tidak dijalankan maka akan berdampak buruk ke anggota masyarakat yang lain, hal tersebut seperti efek “domino” yang saling berhubungan.

Keterkaitan satu sama lain seperti untaian efek domino yang dihasilkan
(Gamber: Video Sanctuary Indonesia)
Hal tersebut sama seperti Hiu, bila fungsinya di hapuskan maka keseimbangan di lautan menjadi terganggu. Penelitian di Hawai menunjukan peranan Hiu Harimau terhadap ketersedian stok ikan Tuna muda dan Kuwe, mengapa demikian? Penelitian menunjukan adannya keterkaita antara Hiu Harimau, Burung Laut, Ikan Tuna muda dan Kuwe. Dalam area yang aman maka terjadi keseimbangan, tetapi bila peranan Hiu Harimau dihilangkan akan berdampak buruk pada stok Ikan Tuna muda dan Kuwe, hal tersebut karena Hiu Harimau memakan Burung laut, dan burung laut memakan Ikan Tuna muda dan Kuwe, bila peranan Hiu Harimau dihilangkan maka akan terjadi ledakan populasi Burung Laut sehingga akan lebih banyak memakan Ikan Tuna muda dan Kuwe, dampaknya perikanan hawai bisa terpuruk, itu seperti untaian kartu domino yang terus berjatuhan.

Keseimbangan ekosistem akan menghasilkan melimpahnya ikan Tuna muda dan Kuwe
Jatuhnya untaian kartu domino juga terjadi dilaut karibia, disini Hiu memerankan peranan pentingnya dalam menjaga keseimbangan kesehatan terumbu karang, dimana ada keterkaitan antara Hiu, kerapu, dan ikan herbivore (pemakan alga). Dalam area yang aman keterkaitan biota tersebut membentuk suatu keseimbangan di ekosistem terumbu karang, namun bila peran Hiu dihilangkan apa yang akan terjadi? Ledakan alga yang menutupi terumbu karang dan berdampak hilangnya terumbu karang rumah untuk para ikan ! mengapa demikian? Ternyata keterkaitannya adalah Hiu memerankan sebagai pengontrol populasi Kerapu yang memiliki selera makan yang tinggi terhadp ikan herbivore, apabila peran hiu dihilangkan maka akan terjadi ledakan populasi kerapu, ledakan populasi kerapu ini di sambut baik nelayan, namun kesenangan itu hanya sementara karena dengan predasi yang tinggi terhadap ikan herbivore  maka pertumbuhan alga tidak terkontrol dan menutupi terumbu yang lambat lamun merusak strukturnya dan akhirnya mati, hilangnya terumbu karang hilang juga rumah untuk para ikan hidup dan pada akhirnya perikanan juga ikut terpuruk.

Keterkaitan ikan Hiu, Kerapu, dan ikan Herbivor dalam menjaga kesehatan terumbu karang
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Ikan keluarga Achanturidae (Pemakan alga) yang mengontrol pertumbuhan alga
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)

Manusia memburu hiu secara brutal, hanya untuk memuaskan pasar untuk sup sirip hiu, akan tetapi dampaknya begitu besar terhadap ekosistem dilautan dan ekonomi masyarakat. Tetapi kita seakan buta dan tuli bahwa telah terjadi “kebakaran di bawah laut sana”  yang dapat merugikan manusia pada akhirnya. Hiu bukanlah tandingan untuk ikan-ikan ekonomis lainnya yang dapat menghasilkan keturunan dengan cepat, Hiu sangat lambat untuk dewasa secara seksual dan menjadi sangat terancam populasi nya oleh aktivitas pemancingan. Tapi kita memperlakukannya seperti ikan-ikan lainnya dan di buru secara terus menurus oleh kapal industry perikanan, dan dampaknya populasi-nya menurun secara global. Hiu bukanlah tandingan untuk kenur panjang, jaring pukat, dan permintaan pasar yang tinggi untuk sup sirip Hiu.

Tingkat reproduksi ikan Hiu
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Ikan Hiu di TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Sirip hiu yang dijemur
Pada akhirnya kembali lagi kepada kita manusia yang memiliki akal dan dapat mengendalikan ekosistem agar tetap terjaga keseimbangan-nya, sudah seharusnya kita peduli terhadap lingkungan karena kita sendiripun hidup didalamnnya. Sudah banyak gerakan-gerakan penentangan penangkapan hiu namun kembai lagi kepada kita sebagai konsumen, masih maukah kita membiarkan kebakaran terjadi dibawah laut sana? Sudah seharusnya kita menjadi manusia yang semakin bijak dengan memutuskan untuk tidak mengkonsumsi Hiu.

Hiu Martil yang diambil sirip-nya
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Aksi kampanye anak-anak pelajar negara Guam dengan sukses melobi pemerintahnya untuk menghentikan praktek perdagangan Hiu
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)

Selasa, 15 Februari 2011

Jeremy Jackson: Bagaimana Kita merusak lautan. (English)

Tim editor saat menengok TED.com mendapatkan presentasi yang mencengangkan dari ekologis terumbu karang Jeremy Jackson yang membeberkan status kritis lautan saat ini: di-tangkap-berlebih, di-panaskan, di-cemarkan, dengan tanda-tanda bahwa semua akan menjadi lebih buruk. Foto yang ciamik dan statistik memperkuat presentasinya. Kenapa simak Jeremy Jackson? Klik disini.





Jumat, 08 Januari 2010

Satu lagi alasan kuat untuk menyelamatkan Karang? - Terumbu Karang bertanggung jawab atas keanekaragaman hayati Laut

Analisa fosil menguak bahwa terumbu karang memiliki pengaruh dominan bagi keanekaragaman kehidupan laut.


Fosil karang. Foto: www.ncdc.noaa.gov/

Gugusan terumbu di Great Barrier Reef adalah bangunan bernyawa terbesar di bumi saat ini. Riset terbaru dalam majalah Science (8 Januari) menduga bahwa terumbu karang telah menopang munculnya jenis-jenis hewan baru di planet kita.


Great Barrier Reef, Australia

“Di laut, spesies-spesies baru cenderung muncul di kawasan tropis dan di pesisir yang dangkal,” ujar paleobiologist Carl Simpson dari Universitas Humpboldt di Berslin, salah satu peneliti riset tersebut. Dengan menggunakan ribuan koleksi data fosil, mulai dari moluska hingga mamalia di Amerika Selatan; Simpson dan rekannya menemukan bahwa ketika sebuah fosil ditemukan, kebanyakan organisme memulai evolusinya di kawasan terumbu dan kemudian menyebar ke habitat lain.

Kenyataannya, dari 6.615 invertebrata dasar laut yang di-survei dalam Database Paleobiology, 1.146 berevolusi di ekosistem terumbu. Pengamatan artefak fosil dari kawasan terumbu dan perairan dangkal, lebih lanjutnya, menunjukkan bahwa fosil yang berasal terumbu lebih langka dibandingkan dari habitat lain. Ini berarti selama jutaan tahun terumbu tempat yang esensial bagi organisme untuk berevolusi, namun, mereka yang muncul dari terumbu statusnya lebih langka dibandingkan organisme yang berevolusi di habitat lain (seperti di daratan).


Fosil karang dari era Paleozoik. Foto: www.humbolt.edu

Simpson menunjukkan bahwa teori evolusi barat bahwa terumbu merupakan ‘sumberan’ keanekaragaman bumi di masa Paleozoik (542 hingga 251 juta tahun lalu) – semakin tidak jelas alasannya. Namun, dugaan kuat-nya adalah terumbu telah lama menjadi kawasan penting bagi organisme dalam berevolusi, dan entah umumnya organisme menjadi langka – baik karena disebar ke luar ke habitat lain, atau tidak – masih belum jelas.

Simpson menambahkan bahwa, terumbu nampaknya juga telah tidak membantu organisme lautan dari kejadian kepunahan masal, seperti yang terjadi di akhir masa Paleozoik yang menghapus hingga 90 persen kehidupan laut. Ini kemungkinan besar terbukti sebab “ pembentukan terumbu itu sendiri juga sebuah proses yang terganggu akibat kejadian pemusnahan masal yang memberikan kerusakan parah bagi terumbu,” ujar Richard Aronson dari the Florida Institute of Technology, yang tidak terlibat dalam penelitan tersebut. “Pada periode tersebut terumbu pada umumnya tidak terlibat dalam pemulihan pengkayaan keankearagaman hayati, karena mereka harus terlebih dahulu berekonstruksi hingga sehat untuk bias memberikan fungsi ekosistem-nya sepenuhnya”.


Ilustrasi terumbu karang pra dan pasca kepunahan masal (bawah dan atas).
Gambar: Ron Testa, Scott Lidgar / New Scientist

Aronson menambahkan, “ Namun, terumbu karang telah lama memberikan peluang ekologis bagi beragam peranan organisme seperti: ruang/tempat menetap, sirkulasi air dan lain-lain”. Jutaan tahun terumbu telah menopang evolusi tidak hanya sponge dan sejenisnya namun juga sesiputan, udan, bulu babi, ikan dan bahkan hewan yang sudah punah seperti trilobita.

Dalam proses jutaan tahun, kompetisi tinggi untuk tempat tinggal dan makanan di terumbu juga memberikan kepunahan bagi beberapa organisme – memberi peluang organisme baru untuk masuk dan mengambil peranan dalam ekosistem terumbu.

Berdasarkan beberapa estimasi matematika, 99.9 persen dari spesies yang pernah ada di Bumi sudah punah. Tersisa saat ini diestimasikan antara lima hingga 100 juta dan ilmuwan saat ini baru bisa mengidentifikasi dua juta spesies. Ini berarti dalam kurun waktu 4.5 juta tahun usia Bumi yang bisa diperkirakan benak manusia saat ini, milyaran spesies telah punah.

Kita, manusia yang baru menempati bumi hanya dalam puluhan ribu tahun, sebenarnya hanya mencicipi sisa kekayaan hayati bumi saat ini.

Dengan ancaman yang didera terumbu karang jaman modern saat ini yang dating dari manusia, belum bisa menjamin kelestarian - jangankan ribuan tahun kedepan -, untuk 50 tahun kedepan-pun belum pasti.


Pemandangan terumbu karang yang 'lumrah' di pesisir Jawa.
Foto: S. Afatta, O. Hoehg-Guldberg

Aronson menambahkan, “Jika siklus kehidupan terumbu karang di era modern saat ini, terputus begitu saja hanya dalam dalam kurun waktu puluhan tahun perjalanan manusia kedepan. Apalagi yang bisa diandalakan habitat lain daya dukung keanekaragaman tertinggi Bumi saat ini hilang?”

Digubah kembali dari situs Scientific American

Minggu, 10 Mei 2009

Pengelolaan Lingkungan (2) – Mengabaikan kebutuhan sosio-ekonomi-ekologi

Sebuah contoh dimana kebutuhan akan sains/ilmiah terabaikan dalam pengelolaan lingkungan: Di negara maju, badan pengelola perikanan telah mampu secara rutin melibatkan penelitian ilmiah dalam pengelolaannya, bahkan selalu selaras dengan  perkembangan riset dalam komunitas akademik (universitas, institusi riset). Sayangnya, karena pengelolaan perikanan mereka didukung oleh industri perikanan komersil bermodal besar yang cenderung menangkap satu jenis ikan dengan satu jenis alat tangkap (namun dengan kemampuan tangkap sangat besar), hal ini membuat  ilmu sains perikanan di negara maju cenderung tidak efektif jika diterapkan di kawasan perikanan multi-spesies dan multi-alat-tangkap seperti Indonesia. Sayangnya lagi, perikanan ‘multi’ ini terjadi di kebanyakan negara berkembang dan miskin, juga dikawasan tropis, juga dimana sistem terumbu karang terbesar berada. Tambah lagi, badan pengelola perikanan di kebanyakan negara tropis kurang akan sumberdaya ilmuwan terampil sehingga pengumpulan data perikanan terus berjalan namun tidak efektif (data yang dibutuhkan tidak sesuai / tidak mencukupi dengan landasan ilmiah yang lemah). Hasilnya: umumnya perikanan kawasan terumbu karang cenderung tak terkelola, dan jumlah tangkapan selalu lebih tinggi dari yang bisa dipertahankan (untuk regenerasi ikan sebagai jaminan stok di masa depan).

Prioritas ekologi juga bisa terabaikan (secara tidak sengaja, keadaan mengesampingkan fokus ilmiah) ketika terjadi fragmentasi dalam pengelolaan lingkungan, baik diantara maupun didalam jurisdiksi, ketika berbagai aspek alam dikelola oleh berbagai departemen lingkungan, pertanian, kesehatan, pariwisata, kelautan , perikanan, kehutanan, dan seterusnya. Khusus Laut, fragmentasi juridiksi cenderung merusak, karena di laut, baik ikan maupun polutan (bahan pencemar) tidak ada yang mengikuti batasan politik - semua mampu berenang di air. Didalam suatu jurisdiksi (kawasan dimana peraturan pengelolaan berlaku), departemen yang berbeda cenderung memiliki tujuan (goal) pengelolaan yang berbeda; hal ini memperkuat kecenderungan birokratis untuk mempertahankan lebih pada daerah ‘kekuasaan’ dan mempertahankan batasan pengelolaan. Tragisnya, prioritas pengelolaan ekologi yang urgent dan praktikal seringkali terabaikan. Sebagai contoh, departemen perikanan terlalu fokus mempertahankan nilai ekonomis industri perikanan lokal – menstimulir penangkapan terus menerus, departemen pariwisata membuka akses publik seluas-luasnya untuk pemanfaatan produk dan jasa dari terumbu karang, departemen kehutanan dengan tidak efektifnya terfokus pada mengendalikan kepatuhan masyarakat pada teritorial konservasi alam. Hal ini terus-menerus terjadi, dan semakin sulit dianalisa hingga proses kunci ekosistem menjadi prioritas sekunder – ketika sadar, krisis sudah terjadi – stok ikan berkurang dan sangat sulit didapat, terumbu karang collapse, rusak, hampir tidak mungkin untuk restorasi kembali.

Pengelolaan konservasi terumbu karang yang saat ini cenderung terarah kepada tujuan pariwisata dan kelestarian biodiversitas, umumnya telah mengadopsi sebuah palu besar bernama Daerah Perlingungan Laut (DPL) / Marine Protected Area (MPA) – dan mencoba mengatasi tiap permasalahan (sosio-ekonomi-ekologi) bagaikan semudah menghantam paku. MPA banyak macamnya dan, pada dasarnya, mencoba  mengatur aktivitas manusia dalam kawasan yang telah ditentukan. Landasan teorinya ialah, jika kita melindungi situs atau kawasan dari aktifitas ekstraktif, maka ketahanan dan kelangsungan hidup / survisorship (keselamatan, kepenyintasan) organisme yang berada didalamnya akan meningkat. Dengan survivorship meningkat, reproduksi meningkat, menambah larva dan organisme dewasa dalam generasi berikutnya. Teori ini (MPA) terus berkembang saat ini menjadi cabang ilmiah yang, hingga kini, mencoba mengatakan seberapa besarkah MPA yang efektif? Seberapa berdekatan MPA harus berada? Dan bentuk dan lokasi geografis apakah yang terbaik?. Prioritas kebutuhan manusia (sosioekonomi) juga bisa terabaikan. Banyak MPA diterapkan, dan telah berfokus dengan mengatur penangkapan ikan dan  dan aktifias lainnya, bahkan hingga penutupan suatu kawasan dari segala kegiatan – berharap panen ikan akan meningkat diluar kawasan tanpa larangan tangkap. Namun, harapan ini kebanyakan tidak tercapai melalui MPA, dan umumnya dikarenakan mengabaikan kebutuhan manusia (faktor sosioekonomi) setempat. DI negara berkembang dengan cakupan kawasan pesisir dan pulau yang luas, nelayan sulit mematuhi peraturan MPA, karena keadaan ekonomi memaksa mereka untuk mencari penghidupan dan yang terpenting - makan. Sekali lagi lahan kerja dikurangi, tanpa ada solusi yang kuat -kebutuhan manusia terabaikan, walaupun dalam niat baik konservasi laut. Lupa bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem saat ini.

Referensi:

Sale, P. F. 2008. Management of coral reefs: Where we have gone wrong and what we can do about it. Marine Pollution Bulletin 56:805-809.

Pengelolaan Lingkungan (1) - dalam beberapa sudut pandang.

Apakah kita saat ini sedang mengelola lingkungan atau hanya mengelola ekologi? Pentingkah pertanyaan ini? Namun, keduanya berbeda menurut Sale (2008) dan telah memberikan paradigma besar bagi masyarakat global dalam memanfaatkan sumberdaya dunia.

Menurutnya saat ini dalam proses 'pengelolaan lingkungan', umumnya dilakukan secara 'gegabah’ tanpa pertimbangan ilmiah, khususnya disaat para pemangku asaz (stakeholder), dengan kepentingan mereka yang berbeda-beda, mulai mencari jalan tengah untuk mempertahankan barang dan jasa yang bisa mereka ambil dari ekosistem alam. Di satu sisi, ada sektor swasta dan sebagian besar cabang pemerintahan terus mencari ruang, energi, air dan sumberdaya yang bertujuan untuk membangun roda perekonomian yang menyediakan lapangan kerja, kemakmuran dan produk bernilai untuk masyarakat, diantaranya pangan. Di lain sisi, ada mereka (yang umumnya lemah dalam kekuasaan politik) yang menghidupi dirinya dengan meng-ekstraksi sumberdaya alam (e.g. ikan oleh nelayan) dan mereka sepenuhnya berharap agar bisa terus melakukan itu. Dalam situasi seperti ini pengelolaan cenderung berpihak pada 'kebutuhan manusia' ketimbang 'kebutuhan alam'.

Koloni karang diambil sebagai bahan bangunan untuk membuat dinding yang menahan naiknya muka air laut di Pulau Guraici, Halmahera, Indonesia. Sebuah contoh nyata efek domino negatif saling terkait antara sosial, ekonomi, dan ekologi. (Andrew H Baird/Marine Photobank.)

Di pihak berlawanan, ada mereka (para konservasionis) yang selalu melihat gambaran besar pentingnya kelestarian barang dan jasa yang didapat dari ekosistem (pengelolaan ekosistem), bahkan terkadang hingga mengorbankan pekerjaan atau kesejahteraan ekonomi mereka. Dalam situasi seperti ini pengelolaan seakan berpihak pada 'kebutuhan alam' ketimbang 'kebutuhan manusia'. Di pihak yang sama ada masyarakat sains (ekolog, ilmuwan) yang seakan-akan terus berkorban dengan tidak mendapat jatah, namun ternyata tidak juga. Mereka juga bisa 'melebihi jatah' ketika sebagian besar argumen ilmiah saat ini berpihak dengan masyarakat konservasionis ketika terlalu terbawa dalam arah penegasan kepedulian lingkungan mereka, sehingga keadaan alam disampaikan tidak dengan apa adanya, mengesampingkan ‘kebutuhan manusia’. Apakah ini yang ideal?

Kenyataanya ialah, saat ini, menurut Sale (2008), untuk menjadi 'pengelola alam' adalah mereka yang mencoba untuk mengelola dampak manusia (menjaga kebutuhan ekosistem) sekaligus mengatur berbagai pihak diatas mengambil jatah keuntungan dari keberadaan ekosistem alam (menjaga kebutuhan sosioekonomi). Mengelola alam dalam sudut pandang  sosio-ekonomi-ekologi. Jika saat ini kita menyatakan diri kita sebagai 'pengelola alam', pertanyaanya ialah: Apakah kita sudah bisa mempertimbangkan semua kebutuhan tersebut? Manakah  kebutuhan yang terabaikan? Apakah sosial, ekonomi, ataukah ekologi yang akan dikesampingkan.

Referensi:

Sale, P. F. 2008. Management of coral reefs: Where we have gone wrong and what we can do about it. Marine Pollution Bulletin 56:805-809.

Kamis, 30 April 2009

Ekosistem Terumbu Karang yang Sudah Tidak Alami.


'Pengeboman ikan di terumbu karang'
(Benjamin De Ridder/Marine Photobank)

Terumbu karang dan hutan hujan tropis sejak dulu digunakan para ilmuwan sebagai gambaran terbaik ekosistem yang kompleks. Para 'ekolog' berharap dari sana mereka bisa menguak fakta tentang bagaimana seluruh spesies di bumi ini bisa hidup bersama (coexist). Pada awal dimulainya studi ekologi, banyak perhatian dicurahkan hanya pada struktur dan dinamika ekosistem terumbu (reef ecosystem), dan dampak manusia belum diperhitungkan. Sekitar 1960-an, konsep ekologi komunitas (community ecology) masih memandang bahwa terumbu selalu dalam kesetimbangan (equilibrium). Saat itu, kebanyakan ilmuwan masih menganggap ekosistem terumbu masih dalam status normal/alami. 


Namun, kita semua saat ini sudah tahu bahwa keadaan 'normal' terumbu dunia sudah beralih (baseline shift) dalam seabad tearkhir ini. Hal ini juga menyadari para ekolog bahwa selain sebagai ekosistem yang sangat dinamis, terumbu karang juga terus terdegradasi (keanekaragaman menurun dan kurang produktif) akibat tekanan manusia hingga kini. Isu baseline shift  pertama kali ditegaskan oleh Pauly (1995) berkaitan dengan penurunan tangkapan maksimum berkelanjutan (maximum sustainable yield) dari perikanan global. Terlalu banyak ikan ditangkap tanpa memberi kesempatan regenerasi bagi ikan. Analisa Jackson dkk. (2001) menunjukkan bahwa degradasi ekologi terumbu global juga diakibatkan oleh cara manusia memanen ikan dengan cara yang merusak. Sejak pemutihan karang masal (coral bleaching) tahun 1998 di kawasan Indo-Pasifik (Hoegh-Guldberg, 1999) penurunan keadaaan sistem terumbu karang dunia mencemaskan para ekolog. Sebab terumbu karang mendapat tambahan tekanan oleh perubahan iklim (climate change) Bukti terus bermunculan menegaskan manusia secara jelas berdampak pada hilangnya ekosistem terumbu karang (Hughes dkk., 2003; Pandolfi dkk., 2005; Hoegh-Guldberg dkk.,2007).


Saat ini kebanyakan ekolog tidak lagi murni mengamati proses alamiah saja, namun cenderung berfokus dampak tekanan manusia pada kelangsungan terumbu. Hingga kini pengelolaan terumbu karang, baik skala global dan lokal, masih tidak memadai walaupun terus berjalan. Pengelolaan selalu tertinggal bersamaan dengan manusia terus memberikan tekanan baru pada ekosistem ini. Masa depan mungkin terlihat samar, namun kita masih punya kapasitas untuk bekerja jauh lebih efektif dalam mengelola terumbu - jika kita mau. Untuk memberikan perkembangan yang berarti pada ekosistem laut yang berharga ini tidak perlu memerlukan penemuan ilmiah baru. Cukup dengan komitmen baru untuk menerapkan pengetahuan yang sudah ada saat ini untuk mengelola dampak yang Kita perbuat, sehingga akhirnya "manusia ramah lingkungan" bisa terwujud (Sale 2008).



'Wisatawan menginjak-injak karang'
(Georg Heiss/Marine Photobank)