Rabu, 26 Desember 2012

Penangkapan Ikan Pelagis di Rumpon Laut Dalam

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID
Dwi Ariyogagautama

Tak afdol rasanya jika sedang ada jadwal kunjungan ke desa Balauring, tetapi tidak melaut.  Sudah menjadi bagian dari pekerjaan yang dibiasakan untuk mengikuti aktivitas nelayan didesa ini. Lagi pula mengumpulkan stock foto nan exotic di tanah lomlen ini juga taka da habisnya.  Kali ini ketua forum nelayan (Pa Zainudin) sendiri yang bersedia menumpangi saya untuk ikut dikapalnya untuk menangkap tuna.

Berangkat jam 5:00 WITA, kami menuju kerumpon pribadi pa Zainudin, hanya 30 menit perjalanan. Sesampai di rumpon sudah ada aktivitas kapal purse seine yang sedang sibuk menarik jaringnya yang cukup besar dan dalam, menurut ketua kedalaman bisa mencapai 50 m. Target penangkapan alat tangkap ini merupakan ikan pelagis kecil seperti tongkol dan layang, namun sering tertangkap juga ikan sura (Rainbow Runner).  Pa Zaenudin kemudian memantau dan membantu proses penarikan jaring lingkar tersebut. Wajar hal ini untuk memastikan penarikan jarring tidak merusak rumpon miliknya dan beliau juga melihat berapa banyak ikan yang berhasil diangkat, karena akan ada pembagian hasil antara kapal pemilik rumpon dengan pemilik kapal purse seine itu sendiri. Sepengetahuan saya didesa ini sistem bagi hasil adalah 1/3 bagian untuk pemilik rumpon dari jumlah ikan yang terjual.

Bagi saya ini merupakan momen yang menarik untuk dituangkan kedalam lensa yang saya bawa..sambil mendayung menghadap sang matahari dibalik pulau Lomlen, klik klik klik berikut gambar yang saya dapatkan.

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID
Purse seine atau pukat cincin merupakan alat tangkap yang sangat efektif dalam penangkapan ikan pelagis kecil, apalagi jika ditambah dengan alat bantu rumpon peluang mendapatkan ikan dalam jumlah banyak semakin besar. Memperhitungkan arah arus, setting atau proses pelepasan jaring dipastikan mendapatkan ikan yang cukup hingga sangat banyak. Dampak negative purse seine adalah dapat menjadi tidak selektif jika mata jaringnya tidak sesuai dengan ikan target dan intensitas penggunaannya tinggi.  Disisi lain nelayan dengan alat tangkap lain yang selektif seperti pancing tuna, juga bergantung pada rumpon yang sama. Salah satu cara yang efektif dalam penangkapan tuna yaitu dengan rumpon dibandingkan dengan mengejar lumba-lumba. Perhitungan BBM dan kepastian keberadaan ikan lebih jelas.

Berdasarkan data WWF diawal tahun Januari-febuari 2012, ketika survey EAFM. Diperhitungkan bahwa pendapatan nelayan rata-rata perbulan baik dimusim paceklik, sedang maupun puncak pada alat tangkap purse seine setidaknya RP. 5.959.000/bulan sedangkan nelayan tuna sebesar Rp. 2.446.000/bulan. Oleh karena itu rumpon memiliki berkah tersendiri bagi penangkap ikan pelagis didaerah ini.

Dalam beberapa kasus, dijumpai juga adanya konflik internal diantara kedua pengguna alat tangkap yang berbeda tersebut diwilayah yang sama yaitu di rumpon terutama ketika trip atau intensitas penggunaan purse seine meningkat atau juga ketika musim puncak tuna tiba waktunya. Didaerah ini ataupun didaerah lainnya seperti di Kabir dan Adang di kabupaten Alor, pemancing tuna hampir tidak mempunyai rumpon khusus untuk dipancing saja yang mereka kelola. Rumpon yang tersebar sepanjang perairan utara Kabupaten Lembata dan Alor merupakan milik nelayan purse seine, lampara, Jala lompo dan perusahaan perikanan tuna yang menginvestasikan rumpon sebagai alat bantu nelayan tuna didesa target mereka.

Pemancing tuna sebagian besar masih bermasalah dalam pengaturan keuangan Rumah Tangga hingga faktor luar (eksternal) seperti perubahan musim perikanan dan faktor alam lainnya terus melemahkan kekuatan ekonominya. Hal ini sangat menyulitkan nelayan untuk dapat menginvestasikan modalnya untuk pembuatan rumpon secara individu, tapi bukan tidak memungkinkan hal ini terjawab jika dikumpulkan secara berkelompok. 

Pengaturan alat tangkap pelagis perlu diperhatikan dalam pemaanfaatannya, terlebih lagi jika dihadapi dengan adanya alat tangkap yang massif dan selektif didalam satu ruang wilayah yang sama dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Beberapa hal langkah yang diusulkan untuk diambil oleh berbagai pihak dalam mewujudkannya antara lain :
  1. Perlunya pengaturan jumlah rumpon pada wilayah tertentu - Sebenarnya sudah ada aturannya ditingkat pusat terkait rumpon seperti pembahasan tulisan sebelumnya,yaitu jarak antar rumpon yaitu 10 mil, tidak dipasang seperti pagar, dan harus memiliki perizinan yang sesuai dengan lokasi peletakannya, yaitu 2-4mil (perijinan kabupaten), 4-12 mil (perijinan provinsi) dan 12-200 mill (perijinan pusat). Identifikasi lebih baik dilakukan terlebih dahulu, karena permasalahan perijinan masih belum dipenuhi dibanyak tempat, kemudian diiringi dengan sosialisasi dalam memberikan pemahaman aturan rumpon tersebut dengan fokus menjawab permasalahan teknis didaerah kepulauan. Dan langkah terakhir dengan membuat sistem punish and reward pada pemilik rumpon yang mematuhi ataupun yang melanggar aturan yang sudah ada. Jika sudah ada zonasi perairan tersebut tentunya pengaturan ini bisa diintegrasikan didalam dokumen rencana pengelolaan kawasan (Management plan)
  2. Perlunya pengaturan jumlah effort (usaha penangkapan) bagi alat tangkap purse seine - Pemanfaatan purse seine tidak salah dalam hal ini selama menjawab kebutuhan ketahanan pangan lokal maupun domestic, namun akan berdampak buruk jika berlebihan dalam menjawab kebutuhan industri.  Melakukan Pengawasan dan pemantauan dalam pengecheckan kesesuaian ukuran mata jaring, pengaturan jumlah instensitas penangkapan memang sulit dilakukan, namun tetap perlu diimplementasikan untuk memberikan waktu bagi ikan target untuk recovery atau bereproduksi atau alternative lainnya adalah dengan membatasi perijinan kapal purse seine yang beroperasi pada wilayah tertentu dan memprioritaskan bagi nelayan dengan alat tangkap selektif lainnya.
  3. Pendampingan dalam pengelolaan keuangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) - Jika melihat pendapatan nelayan sebenarnya sudah melampaui UMR yang ada didaerah tersebut. Memberikan pemahaman kepada pengelolaa keuangan keluarga seperti istri nelayan dalam mengatur keuangan sangat menentukan tingkat kesejahteraan nelayan. Ketika musim puncak tentunya pendapatan nelayan melebihi dari angka disebutkan namun juga harus dapat menutupi kebutuhan ketika musim paceklik. Priortas pengeluaran untuk kepentingan kebutuhan pokok dan pendidikan anak harusnya lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk kegiatan social atau pesta sesuai adat yang ada.
  4. Mendorong pemasaran perikanan yang memiliki nilai tambah dalam hal ekonomi,social dan lingkungan - Sering dijumpai permintaan pasar melebihi dari kemampuan sumberdaya ikan disuatu daerah untuk recovery, walaupun minim sekali informasi seberapa banyak stock yang ada pada lembaga autoritas ataupun lembaga peneliti lokal. Kecenderungan pengurangan sumberdaya sudah terindikasi dengan menurunnya trend ukuran ikan dalam 5-10 tahun dan semakin jauhnya wilayah tangkapan nelayan. Tanpa mengindahkan peran pemerintah dalam mendorong pembangunan daerah, keberlanjutan perikanan juga perlu diiringi dalam proses pembangunan ini. Servis pemerintah dalam mendorong usaha perikanan yang kondusif bagi private sector perikanan juga diiringi dengan kontrol yang intensif untuk memastikan usaha tersebut memiliki nilai lebih dalam peningkatan pendapatan nelayan dengan harga yang sesuai, mendorong pembelian sesuai ukuran layak tangkap ikan yang ditargetkan, memenuhi perijinan dan peraturan yang berlaku termasuk kearifan lokal yang ada, serta memastikan adanya pencatatan perikanan yang dilaporkan. Meningkatkan nilai tambah ekonomi dapat didorong dengan menjaga kualitas produk ikan sehingga mendapatkan harga lebih tinggi, untuk perikanan tuna dapat mengacu pada buku panduan praktik (BMP) perikanan tuna dalam pendampingan teknis hal tersebut. Buku panduan dapat didownload pada link berikut ini. http://www.wwf.or.id/?24808/BMP---Perikanan-Tuna 

Setelah melihat aktivitas kapal purse seine tersebut, pa Zainudin kembali ke niat awal untuk mendapatkan tuna dan seperti biasa, kapal yang saya naikin selalu saja mendapatkan tuna dewasa yang siap didokumentasikan. Pada kesempatan ini, pa ketua mendapatkan 1 ekor tuna dengan bobot 60 kg, harga pada saat itu sebesar Rp.24.000/kg, dalam menjaga mutu ikan kami pun bersegera kembali menuju desa untuk menjual hasil tangkapan tersebut. Lumayan juga mendapatkan Rp.1.440.000 dalam sekali trip. Berikut oleh-oleh dari lapangan, semoga tidak pernah bosan melihat foto ini kawan (YG).

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID

Jumat, 14 Desember 2012

Kurangi limbah kimia berarti bantu terumbu karang hindari pemutihan

Berpikirlah 10 kali saat banyak-banyak menggunakan produk kimia. Baik di kota, ataupun di pesisir dan pulau, lepasan zat anorganik nitrogen dari produk kimia untuk perawatan dan sanitasi tubuh kita, jika terlepas ke perairan, maka kelangsungan hidup terumbu karang lebih rentan alami pemutihan.



Penelitian dari the University of Southampton (US) dan the National Oceanography Centre di Southhampton ungkap bahwa koral (karang) akan lebih rentan terhadap pemutihan (bleaching) jika terjadi ketidak seimbangan nutrian (zat hara) di perairan terumbu hidup.

Koral tersusun atas banyak polip yang terhubung satu dengan lain membangun jaringan hidup yang melapisi kerangka berkapur. Pertumbuhan jaringan tubuh koral bergantung pada alga ber-sel-satu disebut zooxanthellae, yang juga bersimbiosis dengan hidup di dalam jaringan polip karang.

Koral bersama zooxanthellae yang bernaung di dalamnya bergantung satu dengan lain. Sementara koral memberi alga zat hara dan tempat tinggal; alga, sebagai gantinya, menyediakan produk zat hara dari fotosintesis, yang menjadi sumber energi untuk pertumbuhan jaringan koral.

Suhu air yang tinggi - khususnya akibat pemanasan global yang sebabkan meningkatnya suhu rata-rata permukaan air laut di berbagai belahan dunia - dapat menghalangi reaksi fotosintesis yang dilakukan alga. Alhasil, terjadi penumpukan komponen oksigen yang beralih fungsi menjadi racun. Keadaan ini mengancam kesehatan jaringan tubuh koral dan memicu pelepasan zooxanthellae dari koral.

Tanpa alga tersebut, koral tampak putih - keadaan yang disebut sebagai 'bleaching'. Bleaching bisa sebabkan kematian koral, dan pemutihan koral yang terjadi masal mampu berikan dampak buruk pada fauna dan flora bergantung pada habitat terumbu yang dibentuk dari sehatnya pertumbuhan koral.

Sumber: Great Barrier Reef Marine Park Authority
Hasil kajian dari US tersebut diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature Climate Change. Peneliti temukan bahwa pengayaan nutrien (zat hara) di perairan mampu tingkatkan kemungkinan koral alami bleaching yang disebabkan suhu perairan yang tinggi.

Di dalam koral, pertumbuhan zooxanthellae dibatasi oleh jumlah asupan zat hara. Asupan zat hara tersebut dimanfaatkan untuk metabolisme alga yang juga berperan mengirimkan sejumlah ikatan karbon hasil fotosintesis-nya untuk koral inang mereka.

Namun, keseimbangan pertumbuhan alga (zooxanthellae) terganggu saat ketersediaan zat hara tertentu berkurang jauh dibawah kebutuhan fotosintesis jaringan sel alga. Keadaan ini disebut kelaparan zat hara atau nutrient starvation.

Peneliti dari US temukan bahwa saat suplai dari kandungan nitrogen terlarut lebih tinggi dibanding kandungan fosfat yang saat itu sedang rendah dan terbatas, maka alga dalam status kelaparan fosfat. Keadaan ini selanjutnya akan memicu penurunan efisiensi proses fotosintesis alga, dan meningkatkan kerentanan koral mengalami pemutihan yang dipicu peningkatan suhu dan intensitas cahaya.

Penelitian yang dipimpin Dr Jörg Wiedenmann ini menduga kuat bahwa dampak terburuk pada kesehatan koral bukan datang dari penambahan berlebih dari satu kelompok zat hara saja, misalnya nitrogen, namun juga berkombinasi dengan penghabisan zat hara lain, seperti fosfat, yang diakibatkan kebutuhan tinggi dari populasi zooxanthellae yang juga bertambah.

Temuan ini memberi penegasan bagi kita pentingnya pengelolaan pesisir kita untuk meredam dampak perubahan iklim. Dengan menjaga keseimbangan zat hara perairan di pesisir, maka kita andil dalam mitigasi dampak perubahan suhu laut terhadap terumbu karang.

Meminimalisir, atau bahkan menghentikan buangan limbah kita, mulai tinja, hingga limbah kimia rumah tangga dan industri - kesemuanya yang mampu mengganggu kesetimbangan zat hara di perairan, termasuk nitrogen dan fosfat - otomatis akan bantu terumbu karang bertahan menghadapi dampak perubahan iklim.

Toh jika kita efektif mengelola limbah, itupun efektif dalam jangka waktu pendek. Keutuhan tekad umat manusia dan bangsa-bangsa - cari tahu: KTT Perubahan Iklim Ke-18 di Doha, Qatar - dalam mengurangi drastis emisi gas rumah kaca juga tidak kalah penting dan kritis peranannya untuk meredam laju pemanasan global, menjamin terumbu karang tetap ada di masa depan.

Referensi:

Jörg Wiedenmann, Cecilia D’Angelo, Edward G. Smith, Alan N. Hunt, François-Eric Legiret, Anthony D. Postle, Eric P. Achterberg. Nutrient enrichment can increase the susceptibility of reef corals to bleaching. Nature Climate Change, 2012; DOI: 10.1038/nclimate1661





Jumat, 07 Desember 2012

Cara mamalia laut penyelam atasi penyakit dekompresi.

Paus dan penyelam, sedang menyelam.
Foto: ©Brian J. Skerry/allposters.com
Bagi kita yang pernah menyelam dengan SCUBA pasti kenal dengan bahaya penyakit dekompresi / decompression sickness (DCS). Dalam bahasa Inggris disebut juga "the bends".  DCS dipicu saat penyelam naik kepermukaan bersamaan dengan menurunya tekanan lingkungan. Jika penyelam terlalu cepat naik, keadaan ini bisa sebabkan gas yang diserap tubuh selama penyelaman terlepas dari kelarutannya di tubuh kita, memicu pembentukan gelembung-gelembung di dalam jaringan tubuh. Dampak dari DCS beragam, mulai nyeri di persendian, ruam di kulit, kelumpuhan, hingga kematian.

Lalu bagaimana dengan mamalia laut yang kerap menyelam ke kedalaman sebagai bagian dari rutinitasnya bertahan hidup?

Di bulan April 2010, Woods Hole Oceanographic Institution's Marine Mammal Center (MMC) mengundang sejumlah pakar dunia di bidang selam dan fisiologi penyelaman mamalia laut. Bersama-sama mereka adakan lokakarya untuk menjawab bagaimana mamalia laut mengelola gas di tubuhnya dalam lingkungan bertekanan. Dua puluh delapan peneliti berdiskusi dan berdebat dengan pengetahuan mereka yang terkini di bidang kinetika gas dan biologi mamalia laut penyelam, membahas khususnya soal laju perubahan konsentrasi gas di dalam tubuh hewan.

Lokakarya tersebut mebuahkan tulisan ilmiah "Deadly diving? Physiological and behavioural management of decompression stress in diving mammals," (Selam mematikan-kah? Pengelolaan fisiologis dan perilaku terhadap stress dekompresi pada mamalia penyelam) diterbitkan 21 Desember 2011 secara online di the Proceedings of the Royal Society B.

Sebelum itu, ada anggapan umum bahwa mamalia laut memiliki adaptasi anatomi, fisiologi dan perilaku sehingga DCS bukan masalah bagi mereka. Ini diperkuat sebab belum ada bukti bahwa mamalia laut rutin mengalami 'bends'. Namun, temuan terkini peneliti ungkap bahwa mamalia laut penyelam justru aktif menghindari DCS, ketimbang begitu saja menerima dampak DCS 'tanpa masalah'.

Peneliti mulai mempertanyakan anggapan lama sejak menemukan Beaked Whale (Paus Berparuh) yang terdampar di Kepulauan Canary di 2002. Dari otopsi jasad paus, peneliti dapatkan bukti gelembung di dalam tubuh paus. Paus-paus tersebut terdampar karena terpapar gelombang sonar dari armada angkatan laut yang berlatih.

Temuan ini membuat peneliti berpikir bahwa tubuh mamalia laut penyelam sebenarnya mengalami penumpukan gelembung nitrogen jauh lebih sering dari sebelumnya kita kira. Peneliti menduga mereka  memiliki respon 'timbal-balik' secara fisiologis untuk atasi DCS. Diantaranya, diduga kuat mamalia laut penyelam bisa mengelola kandungan nitrogen dalam darahnya, dan memiliki tingkat konsentrasi nitrogen yang lebih bervariasi dari yang sebelumnya diduga, berubah-rubah sesuai kedalaman yang kerap dijelajahi.

Memahami perilaku mamalia laut merupakan tantangan besar, sebab mamalia laut meluangkan hampir seluruh waktu hidupnya dibawah permukaan laut - dan tidak jarang sangat dalam dan jauh dari pesisir. Dengan inovasi teknologi terkini, peneliti MMC menggunakan alat pemindai CT untuk memeriksa jasad sampel mamalia laut dari tekanan kedalaman yang berbeda untuk memahami lebih dalam perilaku gas didalam tubuh mereka. Ini juga dilakukan untuk lihat pada kedalaman berapakah anatomi mamalia mulai otomatis 'mengunci' untuk hindari masalah kinetika-tekanan yang lebih parah.

Para peneliti juga melihat sampel riset di tahun 1940 yang mencatat paus yang mati setelah empat hingga lima ambilan nafas setelah terkena harpoon, meskipun luka tusuk termasuk ringan/tidak fatal, namun paus ternyata baru naik dari kedalaman 230m, belum cukup kesempatan untuk rekompresi. Demikian nasib serupa pada singa laut (sea lion) yang turun ke kedalaman 300 meter dalam waktu 3 menit lalu naik dalam waktu 9 menit. Hasil CT-scanning sample bangkai hewan-hewan temukan adanya pembentukan gelembung-gelembung di pembuluh darah mereka.

Bagaimana mamalia laut beradaptasi dengan DCS secara detail masih misteri. Laporan juga mengutip penelitian lain pada singa laut yang kadang mengurangi ambilan-nafas-nya. Diduga, dengan hanya menggunakan udara yang singa laut simpan di paru-paru saat menyelam, mereka perlahan meregulasi penambahan kandungan oksigen tubuhnya, sementara fisiologis tubuhnya (seperti seperti otot, dan sistem  pencernaan) memiliki kemampuan ekstra mengolah gas berlebih dalam darah (misal: mengurangi nitrogen). Demikian juga pada lumba-lumba hidung botol, terkadang setelah penyelaman dalam, mereka melakukan beberapa kali turun naik dalam kedalaman yang lebih dangkal, yang diduga untuk kurangi dampak DCS.

Laporan ilmiah mereka di kesimpulanya juga menyiratkan bahwa masih banyak lagi yang perlu dipelajari. Peneliti tegaskan bahwa mamalia laut hidup dalam tantangan mengelola gelembung-gelembung gas di dalam tubuh mereka. Jika memang demikian, dampak kegaduhan polusi dan gangguan lingkungan lainnya bisa memicu mamalia laut kedalam lingkungan yang abnormal sebab terganggunya proses penyesuaian gas mereka.


Saat penyelam manusia punya masalah gelembung gas dalam tubuh, apa yang mereka lakukan? Kita bisa pergi dan masuk dalam ruangan rekompresi, sehingga perlahan gas dilarutkan kembali dan bisa pulih. Atau jika memungkinkan, penyelam ambil tanki udara lagi, dan turun ke kedalaman untuk beberapa saat.

Namun bagaimana dengan lumba-lumba dan paus di permukaan air yang alami dekompresi? Tentunya mereka akan menyelam, namun saat mereka 'sial' atau terganggu navigasi-nya hingga masuk di perairan dangkal, kemungkinan besar nasib mereka adalah terdampar.

Selasa, 04 Desember 2012

Keindahan fluoresensi terumbu karang

Di bawah laut, terumbu karang yang sehat menyimpan pesona kelimpahan warna yang luar biasa menyejukkan mata. Namun, dalam kegelapan, biota-biota di terumbu karang, baik koral, ikan dan organisme lainnya juga menyimpan keindahan dari sifat fluoresensi mereka.

Fluoresensi terjadi saat sebuah benda menyerap satu gelombang cahaya dan memendarkan kembali panjang gelombang cahaya baru. Vidio berikut menayangkan bagaimana ketika cahaya UV (ultraviolet) diberikan pada biota laut - yang tidak tampak mata manusia - mereka melepas warna yang bisa ditangkap mata kita.


Selama ini gelombang UV tidak berperan besar dalam proses pertumbuhan karang / koral. Justru gelombang warna yang tampak-mata manusia (mejikuhibiniu), berperan dalam fotosintesis alga bersel-satu yang tinggal dalam kerangka karang. Prosesnya tidak jauh beda dengan fotosintesis daun.

Alga yang bersimbiosis pada koral memiliki pigmen, sehingga memberi warna pada karang. Sebagai timbal balik jasa tempat tinggal dari koral, alga tersebut juga menghasilkan zat organik yang dimanfaatkan polip karang untuk tumbuh, dalam hal ini membangun jaringan kerangka kapur.

Dalam pertumbuhannya, selapis-demi selapis kerangka berkapur dihasilkan mulai kecil dalam ukuran milimeter hingga besar mencapai struktur besar beraneka rupa dengan luasan meter hingga kilometer persegi. Proses berlangsung lama sekali. Hanya untuk bebrapa milimeter atau sentimeter pertambahan kerangka, diperlukan hitungan tahun. Namun kadan dalam hitungan menit atau detik, mereka rusak sebab diinjak wisatawan, terhantam jangkar kapal, atau badai.


Lihat menit ke 2:00 untuk pertumbuhan karang dalam animasi cepat.

Meskipun demikian, koral menyerap gelombang UV justru sebab fungsi mereka sebagai 'tabir surya' bawah air. Coral dan biota laut lainnya - yang ber-fluoresens jika dipapar sinar UV - diduga berperan meredam gelombang UV yang bisa merusak jaringan biologis makhluk bawah laut. Analoginya kurang lebih serupa dengan penggunaan krim tabir surya agar kulit kita tidak terbakar dan kanker kulit.

Semua keindahan di laut ada fungsinya. Cukup dinikmati sebatas di mata. Penyelaman malam berikutnya, pastikan senter UV kita bawa.



Referensi:

Reef R, Kaniewska P, Hoegh-Guldberg O (2009) Coral Skeletons Defend against Ultraviolet Radiation. PLoS ONE 4(11): e7995