Tampilkan postingan dengan label Konservasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konservasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Desember 2018

DNA barcode untuk melindungi organisme laut di Indonesia


Gambar 1. DNA barcode
(Sumber : Google)
Ketika kita berbicara tentang konservasi, di dalam benak pikiran pastilah suatu hal untuk menjaga, dan melindungi. Dalam buku Biologi Konservasi yang ditulis oleh Indrawan et al, tahun 2007, menyebutkan terdapat lima prinsip tentang konservasi yang tengah berkembang saat ini yaitu: (1) keanekaragaman spesies dan komunitas biologi harus dilindungi, (2) kepunahan spesies dan populasi yang terlalu cepat harus dihindari, (3) kompleksitas ekologi harus dijaga, (4) evolusi harus terus berlanjut, dan (5) keanekaragaman hayati memiliki nilai intrinsik. Hal ini dikarenakan manusia menggantungkan hidupnya terhadap apa yang ada di alam semesta ini, sebagai contoh hewan, tumbuhan, jamur, dan bahkan mikroorganisme layaknya bakteri juga kita perlukan untuk keperluan hidup manusia.

Salah satu cara awal untuk melindungi suatu organisme adalah dengan mengenali organisme tersebut. Pada awalnya, untuk mengenali organisme yaitu dengan mengetahui bentuk tubuh, dan karakteristik hidup pada organisme tersebut. Namun pada saat ini mengenali suatu organisme cukup dari urutan basa nukleotida yang berada di lokus DNA organisme tertentu, sehingga dikenali karakteristik urutan basa nukleotida yang berbeda pada masing-masing spesies bahkan individu masing-masing organisme. Cara tersebut dikenal dengan teknik DNA barcode, Neigel et al (2007) menyebutkan bahwa DNA Barcode merupakan metode identifikasi taksonomi yang menggunakan lokus DNA tertentu salah satunya dengan lokus cytochrome oxidase subunit I (COI) yang berada pada DNA dalam organel sel mitokondria atau dikenal dengan mtDNA. Aspek yang menarik dari metode barcode untuk mengidentifikasi spesies adalah metode tersebut dapat digunakan pada setiap siklus kehidupan organisme tersebut (larva, juvenil atau individu) yang terkadang sulit diidentifikasi melalui cara tradisional yaitu morfologi taksonomik.

Lalu, kenapa harus DNA mitokondria (mtDNA) dan lokus COI ?

mitokondria yang merupakan salah satu organel sel organisme eukariotik (Tumbuhan, Binatang, Manusia, dan beberapa jamur) yang berfungsi sebagai respirasi sel, dan didalam organel tersebut terdapat materi genetik yang disebut dengan mtDNA. mtDNA ini mempunyai kelebihan dibandingkan inti DNA yang terdapat pada organel nukleus yaitu diturunkan secara maternal (melalui satu jalur yaitu dari ibu) sehingga memudahkan dalam memahami struktur nenek moyang atau evolusi dari organisme tersebut (Rahayu dan Nugroho, 2015). mtDNA memiliki jumlah salinan DNA yang banyak, pada sel yang sama terdapat 100-10.000 salinan DNA. Hal itu menyebabkan mengisolasi atau mendapatkan DNA melalui mtDNA lebih mudah daripada DNA inti (Rahayu dan Nugroho, 2015).

Lokus COI merupakan gen yang mengkode protein dalam mtDNA. Cytochrome oxidase subunit I (COI) merupakan reprensentatif dari semua gen penyandi protein, dan COI banyak digunakan dalam studi variasi genetik maupun hubungan kekerabatan pada suatu organisme. Penggunaan penanda genetik dengan memanfaatkan gen COI dipilih karena merupakan gen yang berevolusi relatif cukup cepat dan paling stabil diantara gen-gen lain yang terdapat dalam mtDNA (Gambar 2.), sehingga sering digunakan untuk analisis keragaman genetik pada klasifikasi organisme yang lebih rendah (famili, genus dan spesies) (Rahayu dan Nugroho, 2015).
Gambar 2. Mitokondria DNA (mtDNA) berserta lokus-lokus gen didalamnya
(Sumber : Wikipedia.org)
Saat ini organisme laut mulai diperhatikan keberlangsungan hidupnya, salah satunya di Indonesia sendiri. Kita ketahui sendiri makhluk karismatik seperti hiu, pari manta, dan paus, bisa membawa surga parawisata sendiri dan dengan adanya hal itu maka pundi-pundi pun akan masuk dalam kantong manusia maupun suatu pemerintahan daerah tersebut. Namun dilain pihak, hewan-hewan tersebut seperti hiu contohnya selalu menjadi perburuan yang hangat karena permintaan ekspor dan sup sirip ikan hiu seperti yang telah di ceritakan dalam artikel Laut & Kita sebelumnya dengan judul : Kesalahan kita terhadap peranan hiu.
Gambar 3. Sirip hiu yang diperdagangkan disalah satu wilayah Indonesia yaitu Bali
(Sumber :Sembiring et al, 2015)
Ketika hiu diburu dan hanya di ambil siripnya dan tubuhnya dibuang sehingga menghilangkan jejak. Menimbulkan kesulitan untuk identifikasi jenis hiu apa tersebut ketika sudah berada dalam pasaran, sehingga tidak diketahui status hiu tersebut berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resource). Namun penelitian Sembiring et al, (2015), dengan menggunakan teknik DNA barcode dapat mengidentifikasi dan mengetahui status sirip hiu tersebut yang diperdagangkan di sekitar pasar tradisional dan eksportir sirip hiu di Indonesia. Hasilnya dari 852 sirip hiu yang didapatkan jenis hiu terbanyak yaitu Carcharhinus falciformis atau silky sharks dengan frekuensi 19.07% yang termasuk status dalam IUCN yaitu near theartened atau hampir terancam, Sphyrna lewini atau hiu martil sebanyak 10.48% termasuk status dalam IUCN yaitu near theartened atau hampir terancam, dan Prionace glauca atau Blue sharks sebanyak 9.25% 10.48% termasuk status dalam IUCN yaitu endangered atau terancam punah.

Selain hiu, Yusmalinda et al, (2017), juga dapat mengidentifikasi cetacea yang terdampar di perairan Indonesia. Mengenali cetacea terdampar merupakan salah satu hal yang sulit, karena sebagian individu yang terdampar hanya menyisakan sebagian tubuhnya, atau sebagian tubuhnya sudah hilang sehingga sulit mengidentifikasinya secara morfologi. Whale Stranding Indonesia (WSI) mencatat bahwa lebih dari 21% cetacean terdampar di Indonesia, tidak terindentifikasi. Sehingga diperlukan seuatu pendekatan teknik DNA barcode untuk menjawab hal tersebut. Dari 26 sampel yang berhasil di amplifikasi atau perbanyak DNA taget dengan proses Polymerase Chain Reaction (PCR), mampu mengidentifikasi 15 spesies dan 13 genus cetacea yang terdampar diperairan Indonesia.
Gambar 4. Paus yang terdampar diperairan Gilimanuk, Bali pada tahun 2010 yang di foto oleh BKSDA, Bali
(Sumber : Yusmalinda et al, 2017)
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian diatas, penggunaan teknologi seperti DNA barcode dapat membantu masyarakat, stakeholder, dan pemerintah dalam bekerja efisien seperti menyelamatkan jenis hiu yang terancam punah atau dilindungi dari perdaganngan sirip hiu dan mengidentifikasi jenis cetacea yang terdampar sehingga dapat memonitoring cetacea yang terdampar. Penggunaan DNA barcode memberikan kemajuan teknologi yang berguna untuk menyelamatkan organisme-organisme yang terancam ataupun untuk konservasi lingkungan.

Referensi 
  • Sembiring A., N.P.D. Pertiwi., A. Mahardini., R. Wulandari., E.M. Kurniasih., A.W. Kuncoro., N.K.D. Cahyani., A.W. Anggoro., M. Ulfa., H. Madduppa., K.E. Capenter., P.H. Barber. 2015. DNA barcoding reveals targeted fisheries for endangered sharks in Indonesia. Fisheries Research. 164 : 130-134 
  • Indrawan, M., Primack R.B., Supriatna J. 2007. Biologi konservasi (Edisi Revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 626 hal 
  • Neigel, J., A. Domingo., J. Stake. 2007. DNA Barcoding as a Tool for Coral Reef Conservation. Coral Reefs. 26 : 487-499 
  • Rahayu, D.D. dan E.D. Nugroho. 2015. Biologi Molekuler dalam Perspektif Konservasi. Plantaxia. Yogyakarta. 185 hlm. 
  • Yusmalinda, N.L.A., A.W. Anggoro., D.M. Suhendro., I.M.J. Ratha., D. Suprapti., Kreb., N.K.D. Cahyani. 2017. Identifikasi Jenis pada Cetacea Terdampar di Indonesia dengan Teknik Molekular. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol. 9 (465-474) (DOI : http://dx.doi.org/10.29244/jitkt.v9i2.19283

Sabtu, 17 Januari 2015

Konservasi hiu diatas mangkok



Ikan-ikan dipilah sesuai jenisnya kedalam keranjang, lalu dengan sigap kedua pekerja segera membawa keranjang ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang sudah ramai sebelum terbitnya matahari.

Tidak boleh lengah berdiri diantara lalu lalang pengangkut ikan di salah satu pelabuhan perikanan terpadat di pesisir Pulau Jawa tersebut. Aktifitas bongkar muat dan transaksi semua berlangsung cepat, menjadi pemandangan sehari-hari di pelabuhan ini.


Di sebuah pelataran di TPI tampak sebuah kerumunan khusus bagi pengepul yang membeli ikan jenis hiu dan pari gitar. Saat itu tiga pengepul yang sedang mengamati dan memberikan arahan kepada anak buahnya untuk memotong sirip disemua bagian tubuh hiu dan pari gitar.

Sirip dikumpulkan jadi satu tumpukan besar, sedangkan dagingnya akan dijual kembali ke pembeli lainnya. Tampak juga tumpukan moncong-moncong pari gitar, salah satu pengepul berniat menjualnya untuk diekspor sebagai bahan baku kosmetik.



Tidak tanggung-tanggung. Dua jam saja berada ditengah aktifitas tersebut, hitungan kasar saya lebih dari 160 ekor hiu martil telah dipotong siripnya. Kebanyakan ukuran mereka kecil, menandakan usia juvenil.

Semua hiu dan pari yang ada saat itu merupakan tangkapan sampingan dari alat tangkap payang yang umum dioperasikan nelayan dengan kapal kapasitas 20-30 GT. Betul – sampingan - bukan tangkapan yang utama diincar nelayan. Keistimewaan fungsi biologi hiu saat itu tidak masuk perhitungan lagi. Baik hiu dan ikan tangkapan sampingan semata sama-sama ikan.

Daging hiu dijual untuk diolah menjadi daging asap atau daging yang kemudian dipasarkan di kota-kota sekitar di Jawa Timur. Seperti komoditi pangan lain, daging hiu juga bagian pasar domestik di Indonesia.

Pasaran hiu domestik bertahan antara lain sebab permintaan konsumen domestik terhadap produk olahan hiu, harga yang murah sebagai tangkapan sampingan, ketidakpahaman masyarakat terhadap pentingnya hiu dan peraturan yang ada. Bahkan saat sudah jadi daging olahan, tidaklah mudah bagi masyarakat untuk membedakan apakah itu daging hiu atau pari.

Beragam tantangan besar perlu kita kelola bersama untuk mengurangi tekanan pada populasi hiu. .
Beberapa pengusaha sirip hiu di Indonesia kini mulai memahami bahwa beberapa jenis hiu dilarang untuk diperdagangkan. Sembari mengambil beberapa sirip punggung hiu martil dengan panjang sekitar dua jengkal dewasa, pengepul menjelaskan bahwa sirip tersebut sudah dilarang, bahkan untuk memasarkannya keluar negeri pun tidak sembarangan.

Adanya kebijakan pengaturan perdagangan hiu baik di negara konsumen hiu dan di Indonesia berdampak pada bisnis sirip hiu. Pengusaha lebih berhati-hati dalam melayani kuota permintaan serta memilih jalur pemasaran sirip hiu. Namun, insentif peluang akses transportasi melalu udara maupun laut akan menjadi insetif utama untuk mempertahankan bisnis sirip hiu.

Di akhir 2014, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menambah deretan kebijakan perdagangan hiu yang ada.

KKP telah menambahkan  jenis hiu yang telah diratifikasi dalam CITES ke dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 59/ PERMEN-KP /2014 tentang  Larangan Pengeluaran Ikan Hiu koboi (Carcharinus longimanus), dan Hiu Martil (Sphyrna spp) dari Wilayah RI ke luar negara RI. 

Diharapkan peraturan ini, dalam penerapanya, membuat perizinan ekspor komoditi hiu yang lebih selektif.



Rantai perdagangan hiu dari nelayan hingga konsumen, dari tangan pengepul hingga restoran umumnya tidak terekspos ke khalayak luas, sebab umumnya tertutup. Namun semua bisa andil kurangi tekanan pada hiu.

Bersama dengan pemerintah yang menerapkan pengaturan dan pengawasan perdagangan hiu, masyarakat memiliki peranan yang sama kuat dalam mengontrol laju permintaan komoditi berbahan dasar hiu.

Kita sebagai konsumen bisa bantu dengan berusaha lebih cermat dan bijak, untuk tidak memilih hiu atau ikan laut yang populasinya terancam untuk hidangan laut kita.

Berdasarkan data WWF-Indonesia tahun 2014 di DKI Jakarta setidaknya 60-120 menu makanan berbahan olahan sirip hiu setiap bulannya dikonsumsi setiap restoran yang menyajikan menu hisit ini. Ini masih jauh angka konsumsi hiu sebenarnya yang mungkin lebih besar lagi, sebab belum menghitung konsumsi daging hiu di tingkat rumah tangga.

Kita sebagai masyarakat bisa lebih cermat dan bijak dengan:
  1. Tidak mengkonsumsi produk olahan hiu dan souvenir dari bagian hiu.
  2. Selalu bertanya kepada penjual mengenai bahan baku daging ikan yang akan dibeli, terutama pada ikan asin, daging asap dan abon ikan.
  3. Turut menginformasikan lokasi kuliner hiu melalui sosmed ke account twitter @ditkkji dan ditambahkan hashtag #SOSharks #Saveshark.
  4. Mendorong perusahaan kargo, ekspedisi, perhotelan dan restoran untuk tidak membeli, mengangkut, dan menyediakan produk hiu dengan mengisi petisi online atau mengirimkan surat resmi ke perusahaan.
  5. Mendorong Pemerintah provinsi untuk membuat kebijakan pelarangan konsumsi hiu melalui media komunikasi yang tersedia saat ini, seperti sosmed.
  6. Memberikan meneruskan informasi ini ke keluarga dan teman.

Jumat, 17 Agustus 2012

Bangkit

Sebuah klip trailer dari film planetarium berjudul Coral Rekindling Venus:




Bangkitlah untuk samudera
Bangkitlah untuk lautan
Bangkitlah untuk koral
Bangkilah dalam kemanusiaan

Jantung dunia kini Anda genggam
Bangkitlah, biarkan diriku merasa hidup
Saat air mengalir jatuh dengan sunyi
Ibu-ku mulai menangis
Menangisi anaknya
Membayangkan apa yang digenggam si anak

Bangkitlah untuk koral
Bangkitlah untuk lautan
Bangkitlah saat masih ada yang bisa kita dikorbankan
Bangkitlah saat kita masih miliki kesempatan untuk memilih

============================================

Rise for the ocean
Rise for the sea
Rise for the coral
Rise in humanity

You hold the heart of this world
Rise, let me feel alive
When the waters fall silent
My mother started to cry
Crying for her children
Wonders that she held in her arms

Rise for the coral
Rise for the sea
Rise while there's still something left to lose
Rise while we still have a chance to choose

Lirik dari "Rise" oleh Antony and the Johnsons, soundtrack untuk film planetarium berjudul Coral Rekindling Venus

Situs: www.coralrekindlingvenus.com

Senin, 30 Juli 2012

Paus dan lumba-lumba: Mengapa mereka terdampar

Mengapa paus dan lumba-lumba terdampar di pantai? Tidak ada yang lebih tragis melihat paus - satu diantara satwa di bumi yang besar, anggun dan cerdas - terbaring tak berdaya, sekarat, di pantai. Terdamparnya paus, kadang secara masal, terjadi di berbagai belahan dunia - dan kita tidak tahu kenapa. Penelitian hingga kini masih sebatas hipotesa dan postulasi.

Banyak teori biologi dan ekologi yang menjelaskan kenapa paus dan lumba-lumba berenang ke perairan dangkal dan akhirnya terdampar.

Teori dari para peneliti menduga mereka mendamparkan dirinya sebab terluka atau sakit. Dalam keadaan ini mereka berenang terlalu dekat dengan pesisir untuk tujuan berlindung, namun malahan terperangkap sebab perubahan pasang ke surut. Gerombolan ikan sering kita sebut schools, untuk paus dan lumba-lumba disebut pods. Perilaku ini bagian dari karakteristik mereka sebagai makhluk yang bersosial. Terkadang, paus terdampar secara masal, sebab paus-paus yang sehat 'setia' - mereka tidak mau meninggalkan pod lain yang sedang sakit atau terluka, akhirnya ikut pula memasuki perairan dangkal.

'Pendamparan masal' (mass strandings) lumba-lumba terjadi lebih jarang dibanding paus. Diantara paus, jenis perenang laut dalam seperti paus sperma dan dan paus pilot, cenderung lebih sering terdampar dibandingkan paus pembunuh (orca) yang hidupnya memang lebih dekat pesisir.

Beberapa peneliti juga menduga paus mengejar mangsanya, atau beruaya, hingga terlalu dekat dengan pesisir, lalu terjebak saat perubahan pasang-surut. Namun teori ini juga ditolak sebab mereka terdampar biasanya di lokasi yang jauh dari habitat mangsa mereka, dan sering kali keadaan perut mereka kosong.

Teori yang saat ini paling kuat disepakati adalah adanya faktor yang mengganggu sistem navigasi paus, yang menyebabkan hilangnya daya tunjuk arah mereka, sehingga terlantar di perairan yang dangkal, hingga akhirnya terjebak di pantai.

Peneliti, baik sains dan pemerintahan, telah membuktikan hubungan antara sonar frekuensi rendah dan menengah yang dihasilkan kapal perang, dengan beberapa fenomena pendamparan masal yang bahkan mampu libatkan cidera serius pada paus dan juga lumba-lumba. Sonar militer teknologi tinggi, mampu melepas gelombang sonik bawah air - pada dasarnya sebuah suara yang sangat keras dan kuat - yang mampu merambat hingga ratusan mil di bawah air.

Di tahun 2000 bahaya sonar terhadap mamalia laut mendapat bukti kuat ketika empat spesies paus di Bahama terdampar setelah kapal perang AL AS melepaskan gelombang sonar frekuensi menengah di kawasan tersebut. Angkatan laut AS menolak pertanggung jawaban, meskipun penelitian jelas simpulkan bahwa sonar sebabkan tragedi tersebut.

Paus yang terdampar akibat sonar bisa dilihat dari trauma fisiknya, seperti pendarahan di otak, telinga dan jaringa dalam lainnya. Terdamparnya paus akibat sonar bisa disamakan dengan gejala penyakit dekompresi atau bends pada penyelam SCUBA yang terpicu akbiat penyelam naik ke permukaan terlalu cepat dari penyelaman dalam. Dari keadaan diduga kuat sonar menggagu pola selam mereka.

Penyebab lain terganggunya navigasi paus dan lumba-lumba adalah:
- Kondisi cuaca
- Penyakit (virus, luka di otak, parasit di telinga dan sinus)
- Aktifitas seismik bawah air (atau gempa bawah air / seaquakes)
- Anomali medan magnetik
- Topografi dasar laut yang tidak dikenal mereka.

Namun, pada akhirnya, tergantung bagaimana kita bertindak saat paus atau lumba-lumba terdampar. Jarak paus/lumba-lumba yang terdampar dengan keberadaan masyarakat sekitar sangat menentukan kelulushidupan mereka. Termasuk juga menggerakkan masyarakat, dan memberi kesadartahuan yang cukup bagi masyarakat untuk menolong mereka saat terdampar. Tahun 2011 lalu , di Christchurch, New Zealand, 100 lebih paus pilot terdampar. Bahkan sejak 1840, terhitung 13.000 pendamparan paus di sana.

Selain sonar kapal besar industrial, perubahan iklim juga diduga kuat andil sebabkan ini. Pemanasan global yang sebabkan peningkatan suhu air laut, alhasil kadang mempengaruhi perubahan suhu dilapisan kolom air di kedalaman. Suhu kedalaman yang dulu 'cocok' sebagai jalur navigasi paus, bisa jadi menjadi jalur 'baru' di kedalaman lebih dangkal. Demikian juga akibat berubahnya pemilihan habitat yang diminai ikan-ikan yang dimangsa paus. Ikan makanan mungkin berenang lebih dangkal dari habitat alaminya, sebab kedalaman 'suhu nyaman' mereka berubah, lalu dan paus mengikutinya untuk dimangsa.

Jadi kadang pendamparan paus bukan hubungan sebab-akibat secara langsung, namun efek domino terakhir dari rangkaian perubahan anomali alam. Whale and Dolphin Society menjabarkan beberapa saran untuk antisipasi dan respon kita saat menemukan paus terdampar (Bahasa Inggris).

Selain secara moral dan etis, sebuah kesalahan yang besar, bahkan fatal, bagi masyarakat jika menyentuh organ internal paus atau lumba-lumba yang terdampar (misal: membedah, memotong, atau bahkan mengkonsumsi).

Mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba adalah hewan di tingkat teratas rantai makanan. Biomagnifikasi tertinggi terjadi dalam tubuh mereka, yaitu penumpukan secara biologis polutan organik persisten dari rantai makanan yang dimangsa biota-biota di bawah mereka. Kata 'persisten' merupakan peringatan bagi kita, yang artinya polutan organik tersebut tidak mudah larut dalam tubuh kita, bersifat toksik (beracun) bahkan bersifat karsinogenik/mutagen, dan larut dalam lemak (mudah terserap dan menetap permanen dalam tubuh).

Sementara ini, kita tidak akan tahu pasti dengan segera penyebab paus atau lumba-lumba terdampar saat itu juga. Namun pastinya kita bisa usahakan penyebaran berita, penggalangan logistik bantuan, serta tenaga relawan penolong untuk melepas mereka yang terjebak di dangkalan.

Ketika masyarakat dengan proaktif dan otonom menyelamatkan satwa, disitulah kebangkitan bangsa berlangsung.

Referensi:
-  Tulisan dari Larry West, jurnalis isu lingkungan finalis piagam Pulitzer dan Meeman Award.
- Evans et al. 2005. Periodic variability in cetacean strandings: links to large-scale climate events. Biol Lett. 2005 June 22; 1(2): 147–150.
- Simmonds dan Isaac. 2007. The impacts of climate change on marine mammals: early signs of significant problems. Oryx (2007), 41 : pp 19-26
- WDCS International

Kamis, 07 Juni 2012

S.O.S (Save Our Sharks): Darurat bagi Hiu

Ahmad Hafizh Adyas

Bicara soal Hiu, rata-rata orang pasti langsung berfikir mengenai ikan pemangsa manusia yang menyeramkan, mempunyai gigi tajam dan merupakan ikan penguasa lautan yang agresif. Pemahaman tersebut terbentuk di masyarkat karena beredarnya cerita atau mitos di daerah atau suku tertentu hingga media film yang menjangkau hampir semua lapisan masyarakat. Film Jaws mungkin salah satu yang paling terkenal dalam membentuk pemahaman yang tidak tepat mengenai ikan yang termasuk satwa penting ini.

Lalu sebenarnya hiu itu mempunyai peran apa sih di ekosistem laut? dan kenapa Hiu menjadi penting? Ada beberapa fakta menakjubkan mengenai ikan ini yang belum banyak orang tahu. 

Hiu Terumbu Abu-abu / Gray Reef Shark (Carcharhinus amblyrhynchos).
Foto: © Jürgen Freund / WWF-Canon
Hiu atau di indonesia banyak masyarakat yang menyebutnya 'cucut' merupakan hewan yang memiliki ciri khusus, tubuhnya memiliki kerangka tulang rawan lengkap, bukan tulang sejati seperti kebanyakan ikan lainnya. Untuk pernafasannya Hiu menggunakan insang, yang terdapat pada celah yang ada di samping atau sedikit di belakang kepalanya. Hiu mempunyai tubuh yang dilapisi kulit dermal denticles. Keberadaan dermal denticles penting bagi hiu untuk melindungi kulit dari luka, serbuan parasit, dan untuk menambah fungsi aerodinamika ketika berenang di dalam air. Derma denticles begitu keras dan liat sehingga pada zaman dahulu sebelum ditemukan amplas, kulit hiu sering digunakan sebagai penghalus kayu. Bagian menarik lainnya dari Hiu adalah giginya. Gigi hiu gigi hiu terdiri dari beberapa lapisan dan terus tembuh sepanjang hidupnya. Bila ada yang tanggal maka lapisan lainnya akan menggantikan bagian hilang tersebut. Sepanjang hidupnya, Hiu dapat menghasilkan ribuan gigi! Tercatat di beberapa masyarakat tertentu ada yang menggunakan gigi hiu sebagai senjata.

Hingga saat ini ada sekitar 440 jenis hiu yang diketahui yang dapat ditemukan disemua lautan di dunia, dan sebagian kecil dapat ditemukan di estuari dan sungai. Dari ratusan jenis hiu hanya 3 jenis, The great white shark, The tiger shark and The bull shark, yang sering terkait dengan serangan pada manusia. Ketika di laut, kemungkinan anda tenggelam 100 kali lebih tinggi dibanding kemungkinan digigit hiu. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa kemungkinan manusia dibunuh oleh hiu 1 : 300 juta! Bandingkan dengan kemungkinan terbunuh oleh kecelakaan pesawat sebesar 1 : 10 juta.

Hiu telah ada di bumi ini sejak sekitar 464 juta tahun yang lalu, mereka berhasil bertahan dari berbagai seleksi alam. Perannya sebagai salah satu predator tertinggi di ekosistem membuat populasi mereka untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut tetap terjaga selama berjuta-juta tahun. Namun, terlepas dari itu semua dan walaupun hiu dikenal sebagai penguasa lautan, keadaannya di lautan saat ini semakin mengkhawatirkan. Sejak beberapa dekade terakhir ini muncul gangguan baru bagi populasi mahluk berdarah dingin ini, yaitu mahluk berdarah panas dari daratan: Manusia! Hanya untuk memenuhi permintaan sebagian kalangan, diperkirakan 100 juta hiu terbunuh setiap tahunnya, dimana 73 juta diantaranya karena pemotongan sirip hiu untuk sup. 

Gray Reef Shark 'buntung' seusai dibuang dari kapal setelah sirip diambil.
Foto: © Jürgen Freund / WWF-Canon
Saat ini 50-80% sirip hiu dunia didatangkan ke Honkong, dan terdapat kajian yang menyatakan 89% penduduk di hongkong pernah memakan sup sirip hiu pada jamuan perkawinan. Bagi beberapa kalangan memang ini merupakan tradisi turun temurun pada setiap acara perkawinan, sayangnya belakangan ini tradisi ini semakin bergeser. Peningkatan kesejahteraan membuat hidangan sup sirip hiu ini tidak lagi terbatas pada acara perkawinan saja, namun hampir selalu dihidangkan setiap ada perayaan apapun. Pergeseran tradisi ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya permintaan akan hidangan sup sirip hiu. Para nelayan berlomba-lomba menangkap hiu yang akibatnya beberapa jenis hiu yang statusnya terancam meningkat drastis. Pada 2010 terdapat 180 species hiu yang berstatus terancam dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya 15 species. Beberapa jenis hiu pelagis yang berstatus terancam antara lain: Great white shark, Blue shark, Longfin mako, Shortfin mako, Basking shark, Whale shark, Tiger shark, dan Thresher shark. Hampir semua spesies tersebut dapat kita jumpai di Indonesia.

Penangkapan hiu secara berlebihan dapat menjadi masalah karena sebagian besar hiu tidak bereproduksi dengan cepat seperti ikan lainnya, yang berarti sangat rentan terhadap eksploitasi besar-besaran. Sebagai contoh pada hiu-hiu pelagis tingkat reproduksinya hanya 2-3 keturunan saja setiap tahun. Dan sangat lambat untuk mencapai usia matang, sekitar 10 tahun atau lebih. 

Foto: WWF-Indonesia/Observer
Beberapa penelitian mengenai pengaruh menurunnya populasi hiu telah dikemukakan beberapa peneliti. Walaupun beberapa masih bersifat hipotesis namun tidak terbantahkan bahwa hilangnya hiu sebagai predator puncak dapat mempengaruhi kelimpahan, distribusi dan tingkah laku hewan-hewan lainnya di ekosistem lautan. Sebagai contoh terdapat penelitian yang menyatakan bahwa pola distribusi beberapa ikan ekonomis seperti tuna, kerapu dan kakap dipengaruhi oleh keberadaan hiu dalam perairan. Potensi hiu akan lebih berharga bagi kesejahteraan manusia bila dapat kita kelola secara bertanggungjawab. Ambil contoh pada 2011, terdapat kajian yang dilakukan oleh Australian Institute of Marine Science menyatakan bahwa 1 Hiu karang di Palau menghasilkan hampir $2 juta dollar dari ekotourism sepanjang hidupnya. Bandingkan dengan harga jual sirip hiu termahal ukuran jumbo (≥ 30 cm) yang hanya seharga $ 250 dollar/kg.

Di Indonesia dan kebanyakan negara-negara di dunia perikanan hiu masih terus berkembang. Ketiadaan regulasi di negara-negara tersebut mengenai perikanan hiu membuat hewan ini seperti tidak terlindungi oleh keserakahan segelintir manusia.

Hiu yang tertangkap oleh kegiatan perikanan bisa kita klasifikasi menjadi dua bagian. Hiu yang tertangkap memang sebagai target tangkapan dan hiu sebagai bycatch (tertangkap tidak sengaja pada kegiatan perikanan). Secara global, saat ini resiko kepunahan dari ¾ populasi hiu dan pari pelagis meningkat sebagai akibat dari penangkapan yang berlebihan (over fishing). Menurut FAO, lebih dari setengah dari hiu yang beruaya jauh sudah mengalami kelebihan tangkap (overexploited). Di sebagian besar wilayah di dunia mereka telah ditangkap tanpa ada pengelolaan yang baik selama berpuluh-puluh tahun. Hasilnya semakin banyak populasi hiu yang semakin menurun. Sebagai contoh, beberapa populasi hiu di pantai Atlantic telah menurun hingga 99% dalam kurun waktu 35 tahun terakhir dan menuju ke arah kepunahan.

Bagaimanapun, bahkan terkadang ketika suatu negara mengakui bahwa mereka mentargetkan hiu, seringkali hiu masih tidak dikelola sebagai “target tangkapan” dengan pembatasan tangkap dan langkah pengelolaan perikanan lainnya. Hiu yang tertangkap di perikanan komersial harus dengan jelas dibedakan apakah termasuk target tangkapan atau bycatch dan dikelola dengan baik sesuai kategorinya. Untuk hiu sebagai bycatch langkah-langkah mitigasi harus diterapkan, sedangkan hiu sebagai target tangkapan, TAC (total allowable catch) yang jelas serta kuota tangkap harus di berlakukan. Selama ketidakjelasan ini terus terjadi, usaha pengelolaan perikanan hiu akan terhambat.

Di Indonesia sendiri, menurut hasil kajian WWF-Indonesia pada 2010 walau masih terdapat beberapa perikanan hiu di daerah-daerah, namun, kebanyakan hiu yang tertangkap merupakan bycatch dari kegiatan perikanan lain seperti Tuna Longline atau Purse seine. Rendahnya selektifitas alat tangkap seperti longline dan purse seine telah membuat beberapa praktisi perikanan melakukan riset bagaimana menerapkan langkah-langkah mitigasi terhadap bycatch hiu pada alat tangkap tersebut. Beberapa solusi modifikasi alat tangkap seperti penggunaan kail lingkar, imbauan untuk tidak menggunakan wire (kawat) pada tali pancing serta yang terbaru pemasangan magnet di ujung tali pancing terbukti dapat menurunkan tingkat bycatch hiu pada kegiatan perikanan.

Selain karena penangkapan yang berlebih maupun bycatch, hilangnya habitat hiu di laut juga merupakan salah satu faktor penurunan populasi hiu. Laju pembangunan yang sangat cepat tanpa mengindahkan kesinambungan dengan alam serta pencemaran dan polusi laut juga mengakibatkan hilangnya beberapa habitat penting yang dapat mendukung populasi hiu. 

Hiu di-/ter-tangkap armada longline
Foto: © Cat Holloway / WWF-Canon
Tapi hiu bukan tanpa harapan, saat ini beberapa negara-negara kepulauan kecil di Samudra pasifik, seperti Palau dan Kepulauan Marshall yang tengah mempersiapkan suaka hiu terbesar di dunia. Luas daerah suaka yang disiapkan mencakup kawasan laut seluas dua juta kilometer persegi. Rencana ini akan menambah luas suaka hiu yang sudah ada dari 2,7 juta kilometer persegi menjadi 4,6 juta kilometer persegi. Selain itu, Kepulauan Marshall juga akan melarang semua jenis penjualan berbagai produk yang berasal dari hiu dan melarang penangkapan hiu di perairannya.

Yang terbaru adalah lolosnyanya rancangan undang-undang 376 di negara bagian California, USA, setelah melalui hasil kajian bahwa 70% penduduk Chinese-American di California mendukung RUU ini. RUU ini berisi melarang penjualan, perdagangan dan kepemilikan produk hiu, khususnya sirip di negara bagian tersebut. Hal ini menjadi penting karena California dikatakan sebagai sumber terbesar permintaan sirip hiu diluar Asia, sehingga RUU ini menunjukkan langkah besar untuk menurunkan tekanan terhadap populasi hiu. Bila nanti RUU ini disahkan menjadi regulasi hukum yang mengikat, maka California akan mengikuti Hawaii, Washington, dan Oregon, dimana regulasi yang serupa telah berhasil disahkan. Mengingat bahwa tingkat perdagangan hiu saat ini sangat tidak berkelanjutan, maka pendekatan melalui mekanisme pasar seperti ini menjadi sangat penting untuk mengisi gap ketiadaan atau kegagalan regulasi perikanan di lapangan.

Pengelolaan sumberdaya hiu kedepannya harus terus diperbaiki dan ditingkatkan serta dievaluasi agar sumberdaya hiu dapat terus lestari. Hal itu tentu saja juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat pesisir, sehingga semua langkah pengelolaan tersebut dapat dilakukan bukan saja demi keberadaan dan kelangsungan hiu di alam tetapi juga memastikan bahwa masyarakat pesisir khususnya nelayan dapat terus menerus memanfaatkan sumberdaya di lautan untuk kesejahteraannya.

Sebagian isi tulisan juga telah dipublikasikan di Majalah DiveMag Indonesia Edisi April 2012









Rabu, 15 Februari 2012

Solusi 9 - Gunakan kekuatan dua ibu jari kita.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari'

Telepon seluler saat ini menjadi perantara kuat komunikasi instan bagi penduduk dunia - bahkan hingga masyarakat yang tidak punya telepon kabel. Jangkauan luas SMS sudah sepatutnya jadi terobosan alat bantu dalam konservasi laut.

SMS sudah menjadi salah satu cara terpopuler untuk komunikasi telepon, terutama di Asia. Cepat, langsung, dan umumnya lebih murah dibanding bicara. SMS juga bekerja dengan baik di kawasan terpencil, walaupun sinyal kadang terbatas untuk transmisi pembicaraan.

Nelayan Filipina berkoordinasi dengan SMS.
Foto: Stella Chiu-Freund / WWF Phillipines
Dengan SMS, kita yang mau andil dalam konservasi bisa memobilisasi tindakan, mendapatkan informasi, hingga menggalang dukungan. Bayangkan, contohnya, jika saja negara memiliki hotline jaringan SMS untuk jembatani tanggap darurat terkait permasalahan lingkungan pesisir dan laut yang terjadi seketika - seperti tumpahan minyak, perusakan terumbu karang, pembabatan mangrove hingga pencemaran air dari industri -; maka masyarakat tidak perlu menunggu kabar di koran keesokan hari yang sudah telat untuk ditindak lanjuti.

Masyarakat dan stakeholder yang menyaksikan kejadian semacam itu bisa SMS-kan laporan seketika pada hotline untuk dapatkan tanggapan resmi dari pihak terkait atau informal dari masyarakat sendiri. Bahkan dikombinasikan dengan social network melalui internet seluler, tidak menutup kemungkinan masyarakat membagi informasi foto, koordinat lokasi yang bisa perkuat berita tulisan mereka dengan bukti kuat terjadinya ancaman lingkungan.

Bahkan tanpa hotline resmi, kekuatan informal masyarakat bisa bawa perubahan besar.Di Filipina bagian tengah saat ini terbentuk aliansi 900 keluarga nelayan yang saling kirim SMS untuk koordinasikan usaha-usaha konservasi lokal untuk lindungi 150 kilometer busur terumbu atol.

Memanfaatkan telepon seluler yang didonasikan oleh masyarakat Filipina pendukung konservasi dari luar kawasan tersebut, nelayan-nelayan bisa dengan seketika mengingatkan kantor pengelola konservasi di tingkat provinsi hingga kepolisian lokal saat mereka jumpai aktifitas ilegal seperti pengeboman ikan, dan pengangkapan ikan yang dilarang seperti dengan pukat - hampir semua yang saat ini dorong ekosistem pesisir mereka ke penghabisan.

Dengan cara ini pula para pemimpin aliansi nelayan telah laporkan banyak pelanggaran konservasi di kawasan perlindungan hingga masalah terkait kelumpuhan birokrasi dari aparat konservasi pemerintah sendiri. Laporan mereka juga terbuka untuk umum, hingga media massa bisa menyentuh untuk sebarluaskan secara nasional kejadian di skala lokal. Luar biasa.

Di Indonesia, inisiatif serupa sudah dijalankan di Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah. Kerjasama antara aparat Balai Taman Nasional Karimunjawa dengan masyarakat dan kelompok nelayan Karimunjawa telah bentuk mekanisme kontak SMS untuk jaga kawasan perairan kepulauan yang dilindungi negara.

Menipisnya cadangan ikan di perairan Karimunjawa, terancamnya kelulushidupan ikan-ikan muda di kepulauan Karimunjawa, serta penyelamatan satwa terancam punah seperti penyu; membutuhkan penurunan intensitas penangkapan ikan, terutama dari cara tangkap yang tidak efisien dan merusak yang datang dari nelayan luar perairan.

Dalam prakteknya, nelayan berkolaborasi dengan aparat Balai Taman Nasional untuk memantau aktifitas perairan di zona konservasi disela rutinitas melaut Nelayan dan melaporkan ke balai melalui SMS jika insiden pelanggaran terjadi. Teknologi seluler menjembatani terobosan pengelolaan kawasan perlindungan laut secara kolaboratif di Indonesia.

Jauh di Afrika, SMS juga andil kuat dalam konservasi. Nelayan di pulau atau perairan pelosok sebelum menangkap spesies ikan lebih lanjut, mereka terlebih dahulu meng-SMS rekan mereka di pasar apakah jenis tersebut harganya sedang baik atau turun. Di Afrika Selatan, peminat ikan segar dan pehobi hidangan laut bisa SMS ke hotline resmi untuk cek apakah ikan tersebut tergolong 'lestari' atau tidak.

Terkait perlindungan spesies dan ekosistem secara tidak langsung, SMS dan teknologi seluler lainnya juga sudah sudah menjembatani kordinasi antara praktisi konservasi dengan donor konservasi - dengan mudah saat ini masyarakat bisa lakukan donasi dengan aplikasi selfon keluaran lembaga konservasi lingkungan internasional. SMS dan jejaring sosial seluler tidak luput juga menjembatani penyebaran berita konservasi, memudahkan pencernaan temuan ilmiah pad amasyarakat seperti contohnya: @laut_kita dan beberapa akun twitter yang di-follow-nya.

Ayo, tunggu apa lagi? Jangan berhenti gunakan dua ibu jari untuk sebar ajakan untuk andil selamatkan lingkungan pesisir dan laut kita.

2/3 Indonesia adalah lautan, pastikan hati dan tindakan kita 2/3 untuk konservasi lautan.

Rabu, 12 Oktober 2011

Solusi 4 - Terapkan resiko kredit usaha yang baik: Waktunya kembangangkan skema kredit usaha mikro bagi kaum perempuan di pesisir dan laut - bagian dari atasi penangkapan berlebih (overfishing)


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

'Nelayan-wati' di desa Lermatang, Panimbar, Indonesia. Penguatan dan pemberdayaan ekonomi kaum perempuan memegang potensi kuat dalam meredam praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan berlebih; sekaligus mendukung perencanaan keluarga pesisir dan pulau yang lebih baik serta mendukung kesejahteraan keluarga nelayan ekonomi lemah.
Foto: oxfamindonesia.wordpress.com

Fenomena penangkapan ikan berlebih, atau overfishing, sudah terjadi hampir di semua ekosistem terumbu karang dunia - termasuk Indonesia.

Ada sebuah keseragaman kondisi: pusat kekayaan tertinggi terumbu karang dunia umumnya berada di negara tropis, dimana jumlah penduduk pesisir terus bertambah cepat dan, sayangnya, pekerjaan melaut menjadi pilihan pencaharian terakhir bagi mereka dalam ekonomi lemah.

Tidak sedikit lembaga konservasi mencoba meredam permasalahan ini dengan menawarkan nelayan mata pencaharian pengganti. Namun kebanyakan gagal, sebab pekerjaan nelayan secara sosial ada nilai budaya dan memiliki karakteristik praktik ekonomi yang sulit digantikan.

Jika kita tengok pelaku nelayan yang melaut, maka terlihat mayoritas adalah laki-laki. Dalam kelompok terkecil masyarakat, yaitu keluarga, tidak banyak potensi kaum perempuan telah diberdayakan sepenuhnya dalam membantu menopang kesejahteraan keluarga. Keadaan semacam ini umum dijumpai di masyarakat pulau-pulau di Indonesia. Budaya dan adat terkadang melatarbelakangi.

Sejak tahun 1970-an, Grameen Bank* dan banyak institusi keuangan mikro lainnya telah membantu jutaan orang di negara berkembang untuk memulai kegiatan usaha mandiri (self-employment) tanpa syarat jaminan atau sejarah kredit yang pasti.

Kebanyakan dari inisiatif Grameen Bank terfokus pada perempuan, sebab dianggap memiliki resiko pinjaman yang rendah/baik dan cenderung bertanggungjawab menggunakan investasi usaha mereka semata untuk tujuan kesejahteraan keluarga mereka. Ini penting diterapkan bagi skema keuangan mikro untuk masyarakat nelayan miskin, termasuk di Indonesia.

Sebagai gambaran, seorang perempuan bisa mengajukan pinjaman kecil - misal sekecil Rp. 180.000 - sebagai modal untuk usaha wiraswasta yang memiliki potensi kuat untuk mengurangi kegiatan tangkap ikan keluarganya. Di lalu bisa memulai budidaya kerang atau rumput laut, sebagai contohnya, atau membeli hewan ternak seperti sapi, kambing, atau ayam untuk disembelih dan dijual kembali.

Agar pengajuan pinjaman modal lebih kuat untuk disetujui, penting juga jika rencana usaha yang diajukan perempuan tersebut mengurangi ketergantungan keluarganya yang tinggi pada ikan sebagai bahan makanan. Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan akan terus berlanjut kecuali masyarakat pesisir ekonomi lemah bisa mencari sumber protein hewani alternatif - saat in imasih banyak yang masih bergantung utama pada hasil laut.

Kaum perempuan pesisir dan pulau - mereka yang berpotensi kuat menciptakan  tujuan ganda  dalam meninngkatkan kesejahteraan keluarga pesisir dan pulau ekonomi lemah sekaligus tidak langsung menekan laju penangkapan ikan berlebih dan tidak ramah lingkungan untuk beri peluang ekosistem terumbu karang dan laut pulih.
Foto: oxfamindonesia.wordpress.com
Selain membawa masyarakat mengurangi ketergantungan tingginya sebagai nelayan, inisiatif keuangan mikro untuk kaum perempuan semacam ini juga mendukung usaha konservasi - diantaranya melalui tiga proses kunci:

Pertama, skema keuangan mikro tersebut memberi kesempatan perempuan dengan semangat wirausaha tinggi untuk mengembangkan proyek usaha yang mengutamakan pemikiran, keahlian, situasi serta batasan di tingkat lokal.

Situasi ini akan menciptakan aktifitas ekonomi lokal dengan peluang sukses lebih tinggi dibanding kebanyakan mata pencaharian alternatif saat ini. Banyak pencharian alternatif saat ini umumnya dibentuk oleh pihak / institusi diluar masyarakat itu sendiri - sangat bergantung keahlian praktisi yang datang dari masyarakat itu, dan ada biaya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk memfasilitasi praktisi eksternal tersebut.

Kedua, perempuan dengan keahlian ekonomi lebih ditengah masayrakat cenderung punya suara yang lebih kuat dalam mengelola urusan masyarakat.

Di negara tetangga kita, Filipina, tidak jarang kaum perempuan dilibatkan penuh dalam proses konsultasi pengelolaan sumber daya alam lokal. Di tempat lain juga sama. Kaum perempuan di kepulauan Pasifik sering melaporkan pada peneliti kelautan bahwa separuh hasil tangkap laut datang dari mereka setiap tahun-nya.

Peranan perempuan di pesisir, pualu dan laut besar, hanya saja pihak pemangku kebijaka masih jauh dari memberi perhatian, jauh dari pendataan statistik perikanan, dan bahkan jauh dari bagian pertimbangan untuk pengambilan keputusan pemerintah lokal. Perlu kita tanyakan pada pemangku kebijakan negara kita, sejauh mana mereka telah peka dan andil memperkuat dan memberdayakan ekonomi peeremupuan di pesisir dan pulau.

Keterlibatan peranan perempuan sudah jelas berperan kuat membentuk perencanaan konservasi sumber daya alam laut yang menjunjung suara seluruh masyarakat nelayan - ketimbang umumnya suara laki-laki saja.

Pemberdayaan perempuan juga cenderung membangun keutuhan masyarakat, yang bisa membawa usaha bersama masyarakat yang lebih kompak untuk andil dalam memajukan pengelolaan sumber daya alam.

Ketiga, sebagai imbas terpenting dari inisiatif keuangan mikro bagi perempuan, adalah terciptanya keluarga yang lebih kecil dan lebih berencana. Beberapa pengalam menunjukkan bahwa perempuan yang punya peluang ekonomi lebih besar cenderung memiliki jumlah anak yang lebih sedikit.

Ini sebuah keuntungan besar bagi masyarakat pesisir dan pulau di negara yang menjalankan program keluarga berencana - dimana pertumbuhan populasi menjadi faktor utama penghambat usaha konservasi alam, seperti Indonesia.

Masyarakat bagian dari ekosistem. Konservasi sumber daya pesisir dan laut yang semata melindungi kelestarian biota dan habitat justru menumbuhkan permasalahan baru - soal kesejahteraan manusia.

Pendekatan penguatan dan pemberdayaan sosioekonomi kaum perempuan semacam ini memang bukan solusi utama dalam mengatasi penangkapan berlabih, namun memberikan dampak besar. Bagaimana sistem pasar / perdagangan terus memicu permintaan seafood yang tidak terkendali adalah salah satu pekerjaan besar lain generasi saat ini yang perlu diatasi.

*) Bank Grameen adalah sebuah organisasi kredit mikro yang dimulai di Bangladesh yang memberikan pinjaman kecil kepada orang yang kurang mampu tanpa membutuhkan collateral. Sistem ini berdasarkan ide bahwa orang miskin memiliki kemampuan yang kurang digunakan. Yang berbeda dari kredit ini adalah pinjaman diberikan kepada kelompok perempuan produktif yang masih berada dalam status sosial miskin. Pola Grameen bank ini telah diadopsi oleh hampir 130 negara didunia (kebanyakan dinegara Asia dan Afrika). Jika diterapkan dengan konsisten, pola Grameen Bank ini dapat mencapai tujuan untuk membantu perekonomian masyarakat miskin melalui perempuan. Bank ini terpilih sebagai penerima Penghargaan Perdamaian Nobel (bersama dengan Muhammad Yunus) pada tahun 2006. (Referensi: Wikipedia)
Digubah kembali dari kutipan tulisan Amanda Vincent, oleh Siham Afatta

Jumat, 09 September 2011

Hutan bakau (mangrove) juga sekaya hutan tropis di daratan dalam menyimpan karbon: Pohon-pohon pesisir berperan kritis menurunkan greenhouse gas.

Mangrove sehat mendukung kesehatan biota dan ekosistem pesisir lainnya.
(Ilustrasi: E. Paul Oberlander, Woods Hole Oceanographic Institution)
Hutan bakau di pesisir kita ternyata juga menyimpan karbon seperti hutan-hutan terestrial (darat) lainnya di Bumi, menurut studi dari tim peneliti dari U.S. Forest Service and beberapa universitas. Temuan mereka di terbitkan online di jurnal ilmiah Nature Geoscience.

Tim peneliti dari stasitun riset Pacific Southwest and Northern milik U.S. Forest Service, University of Helsinki dan the Center for International Forestry Research (CIFOR) mengkaji kandungan karbon dari 25 huran mangrove di kawasan Indo-Pasifik dan temukan bahwa tiap hektar hutan mangrove menyimpan hingga empat kali lebih banyak karbon dibanding kebanyakan hutan tropis lainnya di dunia.

Hutan bakau telah lama dikenal sebagai ekosistem pesisir yang sangat produktif. Mereka mampu menjalankan siklus karbon dengan cepat. Namun, hingga temuan tim, belum pernah ada estimasi seberapa besan karbon yang tersimpan dalam ekosistem bakau. Informasi kandungan karbon pada ekosistem hutan itu penting peranannya, sebab, saat kita merombak tata-guna pesisir atau daratan (contoh: tebang pohon bakau, tebang pohon hutan tropis), maka stok karbon yang tersimpan dalam tiap tegakan pohon pada dasarnya hilang (siklus karbon berhenti) atau terlepas ke atmosfir (contoh: ketika pohon terurai atau dibakar akibat proses konsumsi manusia). Demikian saduran dari hasil penelitian yang dipimpin oleh Daniel Donato, ecologis dari Pacific Southwest Reseach Station di Hilo, Hawaii.

Hamparan luas hutan bakau di Sungai Lom, Kalimantan Timur - sedang dalam ancaman pembangunan proyek Jembatan pulau Balang. (Foto: Petr Colas).

Kemampuan hutan mangrove menyimpan jumlah kandungan karbon yang sangat besar terkait sekali dengan tempat hidup mereka di tanah berlumpur (sedimen) yang dalam dan kaya unsur hara. Rata-rata jumlah simpanan karbon dalam bakau-sedimen lima kali lebih besar dibanding hutan daratan tropis, temperate, dan boreal untuk tiap luasan area yang sebanding. Sistem akar hutan mangrove yang rumit, yang menjangkarkan tanaman tersebut ke sedimen yang terendam air, mampu memperlambat air pasang surut yang datang agar materi organik dan anorganik bisa tertangkap di permukaan sedimen. Kondisi rendah oksigen di perairan dan sedimen hutan bakau membuat laju pembusukan lambat, sehingga banyak jumlah karbon mengendap di tanah sedimen.

Bahkan, jika digabung antara tanah sedimen dengan tegakan pohon mangrove, maka hutan mangrove menyimpan jumlah karbon jauh lebih banyak lagi dibanding hutan tropis daratan lainnya.

Seorang nelayan membawa dahan dan ranting pohon mangrove yang ditebangi di kawasan hutan mangrove Mulyorejo, Surabaya, Jawa Timur. (Foto: beritadaerah.com)
Donato dan para peneliti juga melihat betapa besarnya karbon yang terlepas dari pembabatan hutan mangrove. Penelitian mereka menegaskan bahwa jika masyarakat bisa konsisten dalam mengelola bakau, maka hutan bakau adalah kandidat kuat untuk dilibatkan dalam program-program terkait usaha mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan laju deforestasi (penebangan hutan).

Hingga kini, hutan mangrove di penjuru dunia telah mengalami deforestasi yang cepat dan tinggi -- 30 hingga 50 persen bakau dunia telah hilang hanya dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang ini. Deforestasi hutan mangrove berakibat terlepasnya emisi gas greenhouse (gas rumah kaca / GRK) sebesar 0.02-0.12 petagram karbon per tahun-nya, atau 200.000.000.000 hingga 1.200.000.000 kilogram karbon tiap tahun. Angka ini sama dengan 10% atau sepersepuluh dari emisi GRK dari deforestasi di seluruh dunia, menurut penelitian tim.

Indonesia memiliki luasan hutan bakau terbesar di dunia saat ini, diperkirakan sekitar 2.5 hingga 4.5 hektar. Namun, 70% diperkirakan juga sudah dalam keadaan 'rusak'. Menyelamatkan hutan mangrove Indonesia adalah tanggungan generasi masyarakat Indonesia saat ini. Melestarikannya berarti mempersiapkan generasi dewasa Indonesia selanjutnya jauh dari resiko perubahan iklim.

Ingin mulai dengan mangrove di Indonesia? Mulailah dengan search 'Kesemat' di Google - lalu bertindak.

Referensi

Daniel C. Donato, J. Boone Kauffman, Daniel Murdiyarso, Sofyan Kurnianto, Melanie Stidham & Markku Kanninen. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature Geoscience, 2011; DOI: 10.1038/ngeo1123

Rabu, 24 Agustus 2011

Soft Coral sama pentingnya dengan Hard Coral.


Soft coral, atau karang lunak, lama dianggap ilmuan kelautan sebagai penyumbang kecil untuk kekokohan struktur terumbu karang. Penelitan terbaru dari Tel Aviv University menampik anggapan ini. Pelestarian karang lunak adalah bagian penting untuk kesehatan laut kita, dan mereka punya peranan besar pada pembangunan terumbu.

Hamparan karang lunak (soft coral) di terumbu karang Misool, Raja Ampat, Indonesia
Penelitan gabungan antara Tel Aviv University dan the Academia Sinica, The National Museum of Natural Science of Taiwan, dan National Taiwan University mengungkap bahwa karang lunak, sebagaimana karang keras (hard coral), - juga berperan besar membentuk pondasi terumbu, menurut Prof. Yehuda Benayahu dari Department of Zoology Tel Aviv University di George S. Wise Faculty of Life Sciences. 

Analisa mendalam terkini pada terumbu karang di Laut Cina Selatan mengungkap bahwa bagian besar dari 'pondasi' terumbu disana terbentuk dari elemen kerangka mikroskopis sclerites dari karang lunak yang berfungsi selayaknya semen pada tembok.

Sclerites mikroskopis - tampak seperti duri kecil dalam jaringan soft coral (lingkaran merah) - di dalam salah satu lengan tentakel soft coral. (Gambar: www.meades.org)
Temuan ini diterbitkan dalam jurnal ilmiah Coral Reefs dan kontras dengan pemahaman umum saat ini tentang karang lunak. Dengan ini, konservasi karang lunak juga sama pentingnya dengan karang keras, lumba-lumba dan paus - semua yang jadi komponen penting lingkungan laut.

- Membangun rumah dari tulang dan daging sendiri

Terumbu merupakan ekosistem yang berasal dari organisme biologis. Umumnya mereka terbangun dari 'semen' hasil sisa kerangka karang keras (hard coral / stony coral) yang mengandung zat berkapur (kalsium karbonat). Karang lunak, pada satu sisi, memiliki sclerites di jaringan tubuh mereka, yang tampak bagaikan duri-duri kecil atau duri landak - juga mengandung zat berkapur.

Di kawasan terumbu Kenting National Park, di Taiwan Selatan, para peneliti menemukan bahwa struktur terumbu disana yang sebelumnya diduga berasal dari karang keras dimasa lalu, ternyata hasil timbunan dari sclerites karang lunak yang telah tersemen dalam waktu yang lama, menjadi pondasi terumbu.

Karang lunak (soft coral) umum dianggap sebagai 'tikar tipis' diatas terumbu. Saat satu koloni karang lunak perlahan terurai, sclerites yang berukuran kurang dari 1 milimeter, diduga tersebar dan berkumpul di dasar terumbu / laut bersama serpihan cangkang kerang, duri bulu babi dan materi kecil lainnya.

Namun ternyata, sclerites menjadi bagian yang menyatu dalam ekosistem terumbu, dimana menjadi bagian utama materi 'pondasi' rumah bagi ikan, sesiput laut, alga dan lainnya.

Diluar lingkungan laut, karang lunak juga berperan dalam melindungi hunian manusia. Bongkahan besar dan struktur terumbu di pesisir yang terbentuk dari 'semen' sclerites karang lunak yang sudah mati, menjadi pemecah gelombang alami - melindungi daratan terhadap erosi pantai dan habitat laut saat topan dan badai.

- Karbon dioksida hasil manusia terus 'merebus' lautan kita.

Karang lunak tidak hanya tersebar luas di kawasan Indo-Pasifik namun juga sangat kaya keanekaragaman hayatinya, termasuk Indonesia sebagai titik utama-nya.

Hamparan luas karang lunak genus Sinularia sp di terumbu sekitar Manado Tua.
(Foto: Massimo Boyer / Kudalaut)
Karang lunak dengan nama kelompok genus Sinularia, salah satu karang lunak yang andil dalam membangun terumbu, terdiri atas sekitar 170 anggota spesies tersebar di dunia. Jumlah kekayaan spesies ini bisa dibilang paling tinggi dibanding kelompok karang keras Staghorn Coral yang yang tercatat beranggota 130 spesies.

Melihat penyebaran dan keanekaragaman karang lunak ini, jelas kelompok karang lunak masih belum diteliti sepenuhnya.

Karang lunak (soft coral) juga terancam terhapus keberadaannya dari laut. Satu penyebab utama adalah meningkatnya tingkat keasamam  / asiditas laut kita, akibat tercampurnya gas karbon dioksida hasil emisi manusia yang terus meningkat ke dalam laut.

Sejalan kita terus membakar bahan bakar minyak, air laut-pun semakin asam, dan materi organik berkapur laut(rangka tubuh karang, cangkang karang, dsb.) melapuk.

Karang lunak tidak cuma perlu dilindungi saja, namun juga perlu dipelajari lebih dalam tentang peranan mereka di ekosistem. Pertanyaan tentang secepat apa laju karang lunak bisa membangun struktur terumbu, ditengah tantangan lingkungan saat ini seperti perubahan temperatur, keasaman laut, dan perubahan muka air laut - masih belum terjawab.

- Referensi

M.-S. Jeng, H.-D. Huang, C.-F. Dai, Y.-C. Hsiao, Y. Benayahu. Sclerite calcification and reef-building in the fleshy octocoral genus Sinularia (Octocorallia: Alcyonacea). Coral Reefs, 2011; DOI: 10.1007/s00338-011-0765-z