Kamis, 07 Juni 2012

S.O.S (Save Our Sharks): Darurat bagi Hiu

Ahmad Hafizh Adyas

Bicara soal Hiu, rata-rata orang pasti langsung berfikir mengenai ikan pemangsa manusia yang menyeramkan, mempunyai gigi tajam dan merupakan ikan penguasa lautan yang agresif. Pemahaman tersebut terbentuk di masyarkat karena beredarnya cerita atau mitos di daerah atau suku tertentu hingga media film yang menjangkau hampir semua lapisan masyarakat. Film Jaws mungkin salah satu yang paling terkenal dalam membentuk pemahaman yang tidak tepat mengenai ikan yang termasuk satwa penting ini.

Lalu sebenarnya hiu itu mempunyai peran apa sih di ekosistem laut? dan kenapa Hiu menjadi penting? Ada beberapa fakta menakjubkan mengenai ikan ini yang belum banyak orang tahu. 

Hiu Terumbu Abu-abu / Gray Reef Shark (Carcharhinus amblyrhynchos).
Foto: © Jürgen Freund / WWF-Canon
Hiu atau di indonesia banyak masyarakat yang menyebutnya 'cucut' merupakan hewan yang memiliki ciri khusus, tubuhnya memiliki kerangka tulang rawan lengkap, bukan tulang sejati seperti kebanyakan ikan lainnya. Untuk pernafasannya Hiu menggunakan insang, yang terdapat pada celah yang ada di samping atau sedikit di belakang kepalanya. Hiu mempunyai tubuh yang dilapisi kulit dermal denticles. Keberadaan dermal denticles penting bagi hiu untuk melindungi kulit dari luka, serbuan parasit, dan untuk menambah fungsi aerodinamika ketika berenang di dalam air. Derma denticles begitu keras dan liat sehingga pada zaman dahulu sebelum ditemukan amplas, kulit hiu sering digunakan sebagai penghalus kayu. Bagian menarik lainnya dari Hiu adalah giginya. Gigi hiu gigi hiu terdiri dari beberapa lapisan dan terus tembuh sepanjang hidupnya. Bila ada yang tanggal maka lapisan lainnya akan menggantikan bagian hilang tersebut. Sepanjang hidupnya, Hiu dapat menghasilkan ribuan gigi! Tercatat di beberapa masyarakat tertentu ada yang menggunakan gigi hiu sebagai senjata.

Hingga saat ini ada sekitar 440 jenis hiu yang diketahui yang dapat ditemukan disemua lautan di dunia, dan sebagian kecil dapat ditemukan di estuari dan sungai. Dari ratusan jenis hiu hanya 3 jenis, The great white shark, The tiger shark and The bull shark, yang sering terkait dengan serangan pada manusia. Ketika di laut, kemungkinan anda tenggelam 100 kali lebih tinggi dibanding kemungkinan digigit hiu. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa kemungkinan manusia dibunuh oleh hiu 1 : 300 juta! Bandingkan dengan kemungkinan terbunuh oleh kecelakaan pesawat sebesar 1 : 10 juta.

Hiu telah ada di bumi ini sejak sekitar 464 juta tahun yang lalu, mereka berhasil bertahan dari berbagai seleksi alam. Perannya sebagai salah satu predator tertinggi di ekosistem membuat populasi mereka untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut tetap terjaga selama berjuta-juta tahun. Namun, terlepas dari itu semua dan walaupun hiu dikenal sebagai penguasa lautan, keadaannya di lautan saat ini semakin mengkhawatirkan. Sejak beberapa dekade terakhir ini muncul gangguan baru bagi populasi mahluk berdarah dingin ini, yaitu mahluk berdarah panas dari daratan: Manusia! Hanya untuk memenuhi permintaan sebagian kalangan, diperkirakan 100 juta hiu terbunuh setiap tahunnya, dimana 73 juta diantaranya karena pemotongan sirip hiu untuk sup. 

Gray Reef Shark 'buntung' seusai dibuang dari kapal setelah sirip diambil.
Foto: © Jürgen Freund / WWF-Canon
Saat ini 50-80% sirip hiu dunia didatangkan ke Honkong, dan terdapat kajian yang menyatakan 89% penduduk di hongkong pernah memakan sup sirip hiu pada jamuan perkawinan. Bagi beberapa kalangan memang ini merupakan tradisi turun temurun pada setiap acara perkawinan, sayangnya belakangan ini tradisi ini semakin bergeser. Peningkatan kesejahteraan membuat hidangan sup sirip hiu ini tidak lagi terbatas pada acara perkawinan saja, namun hampir selalu dihidangkan setiap ada perayaan apapun. Pergeseran tradisi ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya permintaan akan hidangan sup sirip hiu. Para nelayan berlomba-lomba menangkap hiu yang akibatnya beberapa jenis hiu yang statusnya terancam meningkat drastis. Pada 2010 terdapat 180 species hiu yang berstatus terancam dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya 15 species. Beberapa jenis hiu pelagis yang berstatus terancam antara lain: Great white shark, Blue shark, Longfin mako, Shortfin mako, Basking shark, Whale shark, Tiger shark, dan Thresher shark. Hampir semua spesies tersebut dapat kita jumpai di Indonesia.

Penangkapan hiu secara berlebihan dapat menjadi masalah karena sebagian besar hiu tidak bereproduksi dengan cepat seperti ikan lainnya, yang berarti sangat rentan terhadap eksploitasi besar-besaran. Sebagai contoh pada hiu-hiu pelagis tingkat reproduksinya hanya 2-3 keturunan saja setiap tahun. Dan sangat lambat untuk mencapai usia matang, sekitar 10 tahun atau lebih. 

Foto: WWF-Indonesia/Observer
Beberapa penelitian mengenai pengaruh menurunnya populasi hiu telah dikemukakan beberapa peneliti. Walaupun beberapa masih bersifat hipotesis namun tidak terbantahkan bahwa hilangnya hiu sebagai predator puncak dapat mempengaruhi kelimpahan, distribusi dan tingkah laku hewan-hewan lainnya di ekosistem lautan. Sebagai contoh terdapat penelitian yang menyatakan bahwa pola distribusi beberapa ikan ekonomis seperti tuna, kerapu dan kakap dipengaruhi oleh keberadaan hiu dalam perairan. Potensi hiu akan lebih berharga bagi kesejahteraan manusia bila dapat kita kelola secara bertanggungjawab. Ambil contoh pada 2011, terdapat kajian yang dilakukan oleh Australian Institute of Marine Science menyatakan bahwa 1 Hiu karang di Palau menghasilkan hampir $2 juta dollar dari ekotourism sepanjang hidupnya. Bandingkan dengan harga jual sirip hiu termahal ukuran jumbo (≥ 30 cm) yang hanya seharga $ 250 dollar/kg.

Di Indonesia dan kebanyakan negara-negara di dunia perikanan hiu masih terus berkembang. Ketiadaan regulasi di negara-negara tersebut mengenai perikanan hiu membuat hewan ini seperti tidak terlindungi oleh keserakahan segelintir manusia.

Hiu yang tertangkap oleh kegiatan perikanan bisa kita klasifikasi menjadi dua bagian. Hiu yang tertangkap memang sebagai target tangkapan dan hiu sebagai bycatch (tertangkap tidak sengaja pada kegiatan perikanan). Secara global, saat ini resiko kepunahan dari ¾ populasi hiu dan pari pelagis meningkat sebagai akibat dari penangkapan yang berlebihan (over fishing). Menurut FAO, lebih dari setengah dari hiu yang beruaya jauh sudah mengalami kelebihan tangkap (overexploited). Di sebagian besar wilayah di dunia mereka telah ditangkap tanpa ada pengelolaan yang baik selama berpuluh-puluh tahun. Hasilnya semakin banyak populasi hiu yang semakin menurun. Sebagai contoh, beberapa populasi hiu di pantai Atlantic telah menurun hingga 99% dalam kurun waktu 35 tahun terakhir dan menuju ke arah kepunahan.

Bagaimanapun, bahkan terkadang ketika suatu negara mengakui bahwa mereka mentargetkan hiu, seringkali hiu masih tidak dikelola sebagai “target tangkapan” dengan pembatasan tangkap dan langkah pengelolaan perikanan lainnya. Hiu yang tertangkap di perikanan komersial harus dengan jelas dibedakan apakah termasuk target tangkapan atau bycatch dan dikelola dengan baik sesuai kategorinya. Untuk hiu sebagai bycatch langkah-langkah mitigasi harus diterapkan, sedangkan hiu sebagai target tangkapan, TAC (total allowable catch) yang jelas serta kuota tangkap harus di berlakukan. Selama ketidakjelasan ini terus terjadi, usaha pengelolaan perikanan hiu akan terhambat.

Di Indonesia sendiri, menurut hasil kajian WWF-Indonesia pada 2010 walau masih terdapat beberapa perikanan hiu di daerah-daerah, namun, kebanyakan hiu yang tertangkap merupakan bycatch dari kegiatan perikanan lain seperti Tuna Longline atau Purse seine. Rendahnya selektifitas alat tangkap seperti longline dan purse seine telah membuat beberapa praktisi perikanan melakukan riset bagaimana menerapkan langkah-langkah mitigasi terhadap bycatch hiu pada alat tangkap tersebut. Beberapa solusi modifikasi alat tangkap seperti penggunaan kail lingkar, imbauan untuk tidak menggunakan wire (kawat) pada tali pancing serta yang terbaru pemasangan magnet di ujung tali pancing terbukti dapat menurunkan tingkat bycatch hiu pada kegiatan perikanan.

Selain karena penangkapan yang berlebih maupun bycatch, hilangnya habitat hiu di laut juga merupakan salah satu faktor penurunan populasi hiu. Laju pembangunan yang sangat cepat tanpa mengindahkan kesinambungan dengan alam serta pencemaran dan polusi laut juga mengakibatkan hilangnya beberapa habitat penting yang dapat mendukung populasi hiu. 

Hiu di-/ter-tangkap armada longline
Foto: © Cat Holloway / WWF-Canon
Tapi hiu bukan tanpa harapan, saat ini beberapa negara-negara kepulauan kecil di Samudra pasifik, seperti Palau dan Kepulauan Marshall yang tengah mempersiapkan suaka hiu terbesar di dunia. Luas daerah suaka yang disiapkan mencakup kawasan laut seluas dua juta kilometer persegi. Rencana ini akan menambah luas suaka hiu yang sudah ada dari 2,7 juta kilometer persegi menjadi 4,6 juta kilometer persegi. Selain itu, Kepulauan Marshall juga akan melarang semua jenis penjualan berbagai produk yang berasal dari hiu dan melarang penangkapan hiu di perairannya.

Yang terbaru adalah lolosnyanya rancangan undang-undang 376 di negara bagian California, USA, setelah melalui hasil kajian bahwa 70% penduduk Chinese-American di California mendukung RUU ini. RUU ini berisi melarang penjualan, perdagangan dan kepemilikan produk hiu, khususnya sirip di negara bagian tersebut. Hal ini menjadi penting karena California dikatakan sebagai sumber terbesar permintaan sirip hiu diluar Asia, sehingga RUU ini menunjukkan langkah besar untuk menurunkan tekanan terhadap populasi hiu. Bila nanti RUU ini disahkan menjadi regulasi hukum yang mengikat, maka California akan mengikuti Hawaii, Washington, dan Oregon, dimana regulasi yang serupa telah berhasil disahkan. Mengingat bahwa tingkat perdagangan hiu saat ini sangat tidak berkelanjutan, maka pendekatan melalui mekanisme pasar seperti ini menjadi sangat penting untuk mengisi gap ketiadaan atau kegagalan regulasi perikanan di lapangan.

Pengelolaan sumberdaya hiu kedepannya harus terus diperbaiki dan ditingkatkan serta dievaluasi agar sumberdaya hiu dapat terus lestari. Hal itu tentu saja juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat pesisir, sehingga semua langkah pengelolaan tersebut dapat dilakukan bukan saja demi keberadaan dan kelangsungan hiu di alam tetapi juga memastikan bahwa masyarakat pesisir khususnya nelayan dapat terus menerus memanfaatkan sumberdaya di lautan untuk kesejahteraannya.

Sebagian isi tulisan juga telah dipublikasikan di Majalah DiveMag Indonesia Edisi April 2012









Tidak ada komentar: