Tampilkan postingan dengan label Damselfish. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Damselfish. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Agustus 2010

Jangan berisik di terumbu: Ikan menjauhi habitat baik mereka sebab polusi suara di laut, bahkan hingga kematian.

Meningkatnya polusi suara di lautan membuat ikan menjauh dari habitat yang sesuai bagi mereka, bahkan mungkin hingga kematian, menurut penelitian terbaru oleh tim Britania Raya bekerja di Great Barrier Reef.

Staghorn Damselfish
(Foto: aquarium.aquarioepeixes.com.br)

Setelah beberapa minggu berkembang di laut, bayi ikan tropis bergantung pada suara alam untuk mencari terumbu karang dimana mereka bisa bertahan dan berkembang. Namun, tim peneliti menemukan bahwa pengaruh singkat suara asrifisial (red: buatan) membuat ikan tertarik dengan suara yang tidak sesuai.

Pada penelitian sebelumnya, Dr Steve Simpson, Senior Researcher dari School of Biological Science - the University of Bristol, menemukan bahwa bayi ikan terumbu memanfaatkan bunyi-bunyian dari ikan lain, udang dan bulu babi sebagai patokan mencari terumbu karang. Dengan polusi suara dari kapal laut, pembangkit listrik tenaga angin dan kegiatan eksplorasi minyak yang meningkat, Steve kuatir bahwa perilaku alami ikan ini sedang terancam.

Ketika baru beberapa minggu umurnya, bayi ikan terumbu secara alami ditantang untuk mencari dan memilih habitat yang sesuai. Suara-suara terumbu memberikan informasi vital bagi mereka, namun mereka dapat belajar, mengingat dan tertarik dengan bunyi-bunyian yang salah, dan Kita bisa saja membawa mereka ke arah yang salah; ujar Steve.

Menggunakan perangkap cahaya malam bawah air, Steve dan timnya mengoleksi bayi Damselfish dari kawasan terumbu karang. Ikan-ikan tersebut dikumpulkan dalam tangki dengan speaker bawah air yang memainkan suara alami terumbu atau campuran nada-nada buatan. Malam berikutnya ikan dipindah dalam ruang pilah (semacam tabung panjang dengan beragam percabangan menuju akhir tabung dan ikan bisa bergerak dengan bebas memilih jalur akhir yang mereka kehendaki) dengan suara alami atau buatan di lantunkan. Semua ikan menyukai jalur yang menuju suara terumbu, namun hanya ikan yang telah dipengaruhi campuran nada buatan memilih jalur renang yang berbeda, lainnya cenderung menjauhi suara buatan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan dapat belajar suara-suara baru dan mengingatnya beberapa jam kemudian, menghapus mitos memori-tiga-detik ikan, ujar Steve.

Salah satu kolaborator Steve, Dr Mark Meekan, menambahkan: Ini juga menunjukkan bahwa bayi ikan dapat membedakan suara, dan berdasarkan pengalaman mereka, menjadi tertarik pada suara yang telah mengganggu prilaku mereka pada saat malam terpenting dalam hidup mereka.

Dalam lingkungan yang berisik, perombakan prilaku alami dapat berdampak buruk pada suksenya populasi dan regenerasi stok ikan di masa mendatang.

Steve menambahkan bahwa: Suara yang dihasilkan kegiatan manusia telah meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun kebelakang, sebab perahu mesin kecil, pelayaran, pengeboran, tongkang dan konstruksi laut, dan pengujian seismik yang ada saat ini bisa menyamarkan suara ikan dan petikan capit udang. Jika ikan tidak sengaja mengikuti suara yang salah, pemberhentian akhir mereka bisa jadi dekat dengan daerah konstruksi atau mengikuti arah kapal ke laut lepas.

Lalu, bagaimana menurutmu tentang berita ini untuk Laut dan Kita di Indonesia?

Referensi:
University of Bristol (2010, August 3). Human noise pollution in ocean can lead fish away from good habitats and off to their death. ScienceDaily. Retrieved August 5, 2010, from http://www.sciencedaily.com /releases/2010/08/100803212015.htm

Kamis, 01 Juli 2010

Damselfish, si tukang kebun, bertugas memangkas dan memanen alga di karang.

Semakin dalam penelitian manusia saat ini dalam biologi ikan karang. Salah satu spesies ikan Damselfish, Stegates nigircans, ternyata secara selektif 'memangkas' alga tertentu di karang, dan membiarkan jenis alga merah Polysiphonia untuk tumbuh. Alga kegemaran damselfish initernyata, alga halus tipis yang sering kita jumpai melapisi karang yang baru mati (Recently Dead Coral) atau yang sudah tak berbentuk (Rock). 


 
Stegates nigircans
Stegates nigircans
Stegates nigircans
Stegates nigircans dalam teritorial 'kebun'-nya.

Begini ceritanya, Hiroki Hata dari Universitas Ehime, Jepang, bersama tim peneliti secara khusus menginvestigasi prilaki Damselfish sebagai 'tukang kebun'. Mereka mensurvei 320 teritorial dari 18 jenis Damselfish. Mereka juga menengok hingga alga jenis apa yang berasosiasi dengan mereka. Tidak tanggung-tanggung, pengamatan dilakukan di Mesir, Kenya, Mauritius, Maladewa, Thailand, Borneo, Kepulauan Okinawa dan the Gerat Barrier Reef. 

Menarik sekali bahwa Damselfish ternyata tidak memilik organ untuk mencerna serat selulosa, dan minim akan ensim pencernaan untuk mencerna berbagai jenis alga.Alga kegemaran mereka, alga merah Polysiphonia, tidak begitu bisa bersaing dengan jenis alga lain yang tidak bisa dimakan Damselfish, dan ternyata Damselfish membiarkan mereka Polysiphonia dengan memakan alga-alga lain itu. Luar biasa, ikan Damselfish 'berkebun' !. Dan ketika Poly siphonia sudah cukup lebat, mereka 'panen'. 

Kegiatan 'berkebun' ini sebuah temuan baru keterkaitan mutualistik antara alga Polysiphonia dan jenis Damselfish tertentu, dan menjadi salah satu hal baru tentang hubungan ikan dan alga di habitat air. Menariknya lagi, interaksi alga laut dan Damselfish yang herbivori (pemakan tumbuhan) lebih sering terjadi di Indo Pasifik. 

Dalam kunjungan terumbu berikutnya, menetaplah sejenak ketika jumpa Damselfish. Lihat perilaku mereka memakan alga, jika ada alga lapisan tipis alga yang tidak dimakan, kemungkinan itu Polysiphonia. Ternyata hingga 'beludru' halus alga yang melapisi batuan, karang mati, semua punya peranan. Kelompok Polysiphonia sendiri terdiri lebih dari 100 spesies, dan untuk membedakannya diperlukan mikroskop. Luar biasa kerja para peneliti itu tentunya. 
Referensi 

Hiroki Hata, Katsutoshi Watanabe and Makoto Kato. Geographic variation in the damselfish-red alga cultivation mutualism in the Indo-West Pacific. BMC Evolutionary Biology, 2010