Tampilkan postingan dengan label Pengasaman Laut. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengasaman Laut. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Februari 2019

Tinja berkhasiat untuk pasir laut yang bersih

Di laut dunia saat ini terdapat sekitar 1.250 spesies teripang. Teripang kadang disebut juga timun laut, gamat, sea cucumber, atau bĂȘche-de-mer.

Teripang yang tampil dalam vidio di bawah ini adalah jenis Thelenota anax. Dia sedang ‘buang air besar’.

Tinja teripang ternyata penting untuk ekosistem. Untuk spesies satu ini, dia menggunakan tentakel-tentakelnya untuk meraih sedimen di dasar laut lalu memasukkanya ke mulutnya. Jika di darat, maka teripang adalah hewan yang gemar ‘makan tanah’.

Unsur organik dari sedimen dasar laut diserap dalam perutnya. Bahan sedimen anorganik sebagian besar dikembalikan lagi ke alam.

Alhasil, ‘pup’ sedimen yang dikembalikan teripang alam keadaanya lebih bersih dari saat dia makan. Pasir bersih dari 'tinja' teripang adalah pasir bisa mencegah tumbuhan alga merebak di dalam laut. Alga yang berlebih mengambil oksigen di air, sehingga ikan bisa terganggu kesehatanya. Namun tidak sebab pasir yang bersih.

Selain itu, kawasan padang lamun di pesisir bisa tumbuh lebih subur ketika teripang berada disekitarnya.

Bahkan terumbu karang juga dapat manfaat dari teripang. Sebab kandungan alkali dari tinja teripang, membantu menjaga keasaman kolom air disekitarnya. Sehingga efek pengasaman laut akibat terlarutnya gas polusi karbondioksida dari manusia yang larut ke laut bisa ditekan.

Di laut teripang jauh dari rupawan apalagi eksotis. Bahkan warnanya serupa dengan tinjanya. Meskipun demikian, jelas teripang punya peranan penting di bawah air sana.

Jika kita merasa kurang dalam penampilan kita, tidak apa-apa, terpenting adalah menebar kebaikan. Tebarkanlah manfaat ke sekitar kita, dengan ikhlas, lega dan sebanyak-banyaknya, seperti teripang melepas tinjanya.

Salam teripang.



Rabu, 16 Februari 2011

Lautan yang mengasam: Terumbu karang butuh perlindungan jauh lebih besar lagi.

Saat ini manusia terus meng-asam-kan dan menghangatkan lautan dunia. Kita perlu berusaha lebih giat lagi untuk menyelamatkan Terumbu Karang.

Terumbu dengan koral yang terjaga (atas)
dan koral dalam status kelulushidupan rendah, diselimuti alga (bawah).
(Foto: Siham Afatta / Karimunjawa, Indonesia)

Studi terkini dari tim ilmuwan internasional mengemukakan bahwa pengasaman laut dan pemanasan global akan berlangsung bersamaan dengan dampak lokal manusia seperti penangkapan ikan berlebih dan buangan nutrien dari daratan - terus semakin melemahkan terumbu karang dunia disaat mereka sedang mencoba bertahan saat ini.

Permodelan ekologis yang dilakukan oleh tim yang digagas Dr Ken Anthony dari ARC Centre of Excellence for Coral Reed Studies dan Global Change Institute di The University of Queensland menemukan bahwa: terumbu yang sudah mengalami penangkapan berlebih serta terpapar lepasan nutrien dari erosi di daratan akan semakin rentan akan peningkatan CO2 di atmosfir yang diakibatkan pembakaran bahan bakar fosil.

Studi mereka adalah yang pertama kali menggabungkan proses skala global seperti pemanasan iklim dan pengasaman laut, dengan faktor lokal seperti penangkapan berlebih dan buangan aliran dari daratan (runoff); dalam memprediksi kombinasi dampak pada terumbu karang.

'Resep mudah untuk menghapus terumbu karang dari Bumi'
(Foto: Paul Marshall, Ken Anthony)

"Saat kadar CO2 menanjak hingga 450-500 bagian persejuta (ppm) - sebagaimana diprediksi terjadi di 2050 - sejauh apa usaha kita bisa mengelola dampak lokal di terumbu (seperti perikanan dan polusi dari daratan) menjadi penentu untama mampu bertahannya terumbu karang, jika tidak, alga bisa mengambil alih tempat tumbuh koral di terumbu" - dikutip dari artikel ilmiah mereka.

Kondisi laut yang menghangat menyebabkan kematian koral masal yang berkala karena pemutihan, sedangkan pengasaman air laut - akibat CO2 yang larut dari atmosfir - melemahkan koral dengan menganggu kemampuan mereka membangun struktur koral, membuat koral lebih rentan akan dampak badai.

Jika koral juga dipengaruhi oleh buangan nutrisi (polusi) dari daratan - sehingga 'menyuburkan' alga dan diperparah dengan penangkapan berlebih ikan kakatua dan biota lainya berperan menjaga terumbu bersih dari alga sehingga terumbu bisa pulih kembali setelah sebuah gangguan) - maka, dalam situasi ini, terumbu bisa sepenuhnya dilingkupi alga, menggantikan koral yang menetap diatas terumbu.

Permodelan yang dilakukan tim peneliti, meskipun simulasi dilakukan tidak dalam skenario ekstrim, sudah mampu menghasilkan prediksi kritis bagi terumbu di negara berkembang seperti Indonesia - dimana terumbu karang berdampingan selalu dengan tingkat gangguan tinggi dari aktifitas manusia.

Sederhananya, model mereka menguak bahwa semakin banyak CO2 dilepaskan manusia, semakin sulit keadaan bagi koral untuk bertahan. Koral akan membutuhkan segala macam pertolongan yang mereka bisa dapat dari segala usaha pengelolaan yang manusia bisa lakukan untuk mencegah mereka kalah tumbuh dan dilingkupi rumput laut.

Terumbu karang di negara berkembang, dimana terumbu dunia paling banyak berada, seperti Indonesia; saat ini dihadapkan selalu dengan penangkapan berlebih dan nutrifikasi. Mereka saat ini sangat rentan, dimana kapasitas para pengelola terumbu dan pemerintah menentukan nasib mereka di masa depan.

Dalam sisi global, jika kesepakatan manusia gagal dalam menstabilkan dan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfir Bumi, maka jenis koral pembangun struktur dasar terumbu seperti Acropora, bisa hilang dalam jumlah besar - meskipun usaha pengelolaan di skala lokal dilakukan sebaik apapun.

Spesifiknya, usaha pengelolaan sekala lokal seperti menjaga populasi ikan herbivori serta pencegahan buangan erosi daratan berlebih, zat pupuk dan limbah dari daratan - menjadi kunci peran dalam menjaga ketahanan koral dalam proses penstabilan CO2 di masa depan.

Di Indonesia, tindakan tidak ramah lingkungan pada terumbu karang terkait dengan instabilitas perekonomian masyarakat pesisir. ±90% nelayan Indonesia adalah nelayan skala-kecil. Namun, Lebih 60% keuntungan tangkap ikan di Indonesia mengalir ke 5% nelayan asing.

Komitmen pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan masyarakat nelayan dan pesisir dari kemiskinan, menentukan selamatnya terumbu karang dan kelestarian perikanan Indonesia dalam dekade kedepan. Kesadartahuan dan proaktif masyarakat dalam menjaga kelestarian laut juga akan kritis dalam menentukan nasib pesisir dan laut. 

Referensi
  • Kenneth R. N. Anthony, Jeffrey A. Maynard, Guillermo Diaz-Pulido, Peter J. Mumby, Paul A. Marshall, Long Cao, Ove Hoegh-Guldberg. Ocean acidification and warming will lower coral reef resilience.Global Change Biology, 2011; DOI: 10.1111/j.1365-2486.2010.02364.x

Sabtu, 13 November 2010

Masa kelam terumbu karang: Garis besar solusi untuk terumbu karang dunia yang terus menghilang.

Terumbu karang dunia sedang bermasalah. Sebab berbagai faktor seperti pengasaman laut, naiknya temperatur akubat perubahan iklim, penangkapan ikan berlebih dan polusi - tutupan karang dunia telah munurun hingga sekitar 125.000 kilometer persegi dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang. Banyak biolog laut, seperti Charlie Veron, mantan kepala peneliti di Australian Institute of Marine Science, memprediksi bahwa terumbu karang akan hilang dalam satu abad kedepan. Tahun 2010 ini-pun, pemutihan karang masal, dimana karang kehilangan protozoa simbiotik-nya dan semakin rentan akan penyakit dan kematian - terjadi di sepanjang pesisir Indonesia, Filipina, dan beebrapa pulau Karibia. Namun, sebuah artikel jurnal di Trends in Ecology and Evolution mencoba mengangkat srategi untuk mengatasi keterpurukan terumbu karang, termasuk beberapa kisah sukses, untuk menyelamatkan mereka.


Atas: Tingginya dan seringnya gangguan lokal dan global pada terumbu memicu lebih seringnya pemutihan karang serta penurunan terumbu karang yang serius di penjuru dunia. Bawah: Terumbu karang yang sehat, seperti di Great Barrier Reef, juga menampung keanekaragaman hayati yang tinggi.
Foto: Atas: © Bruce Carlson; Bawah: © Great Barrier Reef Marine Park Authority


"Saat ini kita SUDAH punya pemahaman ilmiah yang cukup tentang penyebab penurunan terumbu - yang kita perlukan saat ini adalah gambaran yang lebih jelas untuk menolong mereka berbalik arah menuju keadaan optimal mereka di masa lalu, melalui pemulihan," ujar penulis utama, Terry Huges dari Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies di James Cook University.

Berbagai riset dunia telah menunjukkan bahwa terumbu karang memiliki daya lenting (resiliensi) dan mampu pulih dari fenomena gangguan skala besar.

Sebagai contoh, dalam artikel dijelaskan bahwa pada situs terumbu skalal lokal di pulau Heron di Great barrier Reef hampir setiap dekade secara rutin kehilangan hampir seluruh karang-nya akibat badai. Namun tetap memiliki kemampuan pemulihan yang cukup cepat dan kecenderungan struktur terumbu berubah dan berbeda jauh dari keadaan terumbu di masa lalu sangat kecil.

Namun, dampak manusia memiliki pengaruh berbeda dibanding dampak alam, seperti badai. Terumbu karang saat in bukan lagi menghadapi gangguan atau bencana alami yang datang, mereda, dan lewat. Namun, pengaruh manusia yang ditulis sebagai "dampak manusia yang kronis", merupakan gangguan yang konstan dan bertahan dalam kurun waktu lama. Dampak manusia saat ini membuat kemampuan alami karang untuk pulih tidak bisa membandingi 'dentuman' kematian karang yang terus terpicu akibat gangguan manusia.


Mekanisme pemutihan karang. Keadaan normal (kiri) dimana alga ber-sel satu (zooxanthellae) berada di lapisan jaringan karang. Keadaan terganggu (tengah): zooxanthellae lepas dari lapisan jaringan karang. Keadaan sekarat: Karang menuju kematian sebab jaringan karang tidak tumbuh tanpa adanya zooxanthellae, dan alga halus (alga filamen) bisa tumbuh di permukaan kerangka karang yang mati. Proses ini bisa terjadi pada ribuan koloni, menyebabkan fenomena pemutihan karang masal.
Gambar: www.solcomhouse.com/coralreef.htm



"Dalam satu abad kebelakan, banyak terumbu-dekat-pantai di bagian dalam Great Barrier Reef telah tertutupi sedimen dan makroalga, dan menunjukkan sedikit kemampuan atau indikasi akan pemulihan menuju kondisi semula yang 'kaya karang", tulis para peneliti.



Kiri: Terumbu yang memiliki resiliensi / daya lenting tinggi dengan struktur yang kaya akan karang hidup keras. Kanan: Terumbu yang sudah mengalami gangguan dimana struktur sudah berubah dimana komposisi makroalga melampaui jumlah karang keras. Membantu terumbu berbalik dari kanan ke keadaan di kiri adalah salah satu tugas kita dalam mengelola terumbu saat ini.
Foto: Kiri: © E. Turak; Kanan: © A. Hoey


Terry Hughes berkata, "kunci untuk menyelamatkan terumbu terletak di dalam pemahaman kita mengapa beberapa terumbu mengalami degenerasi menjadi hamparan rumput laut dan tidak bisa pulih lagi - kejadian yang disebut "perubahan fase" -; sementara di terumbu lain karang-nya mampu puli kembali dengan sukses - sebuah kemampuan yang disebut daya lenting atau resiliensi.

Para peneliti juga mengangkat beberapa tempat dimana terumbu karang yang berbalik pulih akibat adanya usaha pencegahan dampak manusia terkait penurunan karang di masa lalu. Sebagai contohnya, mengakhiri buangan limbah di Teluk Kanehoe di Hawaii telah memungkinkan karang untuk pulih; kembalinya populasi bulu babi di beberapa bagian kepulauan Karibia telah memungkinkan karang untuk bangkit 'melawan' rumput laut; dan di Filipina regulasi yang lebih efektif untuk penangkapan ikan berlebih telah memungkinkan ikan kakatua untuk pulih kembali - sejenis ikan terumbu yang membantu karang pulih dengan memakan rumput laut (makroalga) kompetitor karang.



Ikan terumbu herbivora: (Arah jarum jam dari pojok atas-kiri) Ikan Kakatua, Surgeonfish, Rudderfish, Angelfish, Damselfish dan, Rabbitfish. Ikan-ikan ini berperan sebagai 'tukang rumput' di terumbu, memakan alga yang tumbuh diantara karang sehingga jumlah alga terkendali dan karang dapat ruang dan cahaya untuk tumbuh. Jika ikan ini dihidangkan  di suatu kawasandan disantap, berarti pertanda ikan perdator ekonomis sudah mulai habis ditangkap, dan ikan herbivora pun jadi incaran, kemampuan pemulihan terumbu pun terancam dan semakin rentan akan gangguan lainya. PERHATIKAN JENIS IKAN YANG ANDA SANTAP, JANGAN MAKAN IKAN-IKAN TERUMBU INI.
Foto: © Garry allen.

"Krisis terumbu karang dunia umumnya terkait juga dengan krisis kepemerintahan, sebab kita sudah tau apa yang perlu dilakukan, namun aksi atau tindakan (untuk mengurangi polusi, menekan emisi gas rumah kaca, mencegah penangkapan berlebih dan merusak) tidak dilakukan," ujar Terry Hughes.

Studi tersebut juga menyarankan agar berbagai pemerintahan untuk melibatkan para peneliti yang memahami studi daya lenting terumbu karang dalam pengembangan kebijakan terkait penyelamatan terumbu karang. Sebagai tambahan, pemerintah sebaiknya fokus dalam pendidikan masyarakat lokal, perubahan mekanisme tata guna lahan dalam mencegah lepasan polusi, memperkuat hukum untuk melindungi terumbu karang, memperbaiki pengaturan penangkapan berlebih, dan bekerja dengan institusi internasional, seperti Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dalam penyediaan perlindungan yang lebih baik bagi karang yang terancam punah.

Namun tentunya, satu bongkahan batu besar lainnya adalah perubahan iklim. Dalam masa pengasaman laut saat ini, sebab meingkatnya emeisi karbon serta menghangatnya temperatur laut - akan membawa keterpurukan terumbu karang meskipun tindakan yang mendukung daya lenting karang dilakukan.

Dalam perspektif global para peneliti mengatakan juga bahwa pemerintah negara dunia juga harus "menghadapi perubahan iklim sebagai isu utama yang paling penting bagi pengelolaan dan konservasi terumbu karang dengan menekan tajam emisi gas rumah kaca."

Terry Hughes menambahkan, "tanpa tindakan yang segera, pemanasan global dan pengasaman laut dalam waktu kedepan yang belum terlihat akan menjadi jaminan kuat gagalnya terumbu karang. Meskipun memungkinkan sekali untuk memicu pemulihan terumbu karang seusai rentetan pemutihan karang melalui tindakan lokal seperti menjaga dan meningkatkan kualitas air dan melindungi herbivora terumbu, intervensi semacam ini tidak akan menjadikan terumbu 'tahan-perubahan-iklim'."

Namun, pesan di akhir artikel tidak memberikan harapan yang kelam dan terpuruk bagi karang, melainkan: "the world's coral reefs can still be saved… if we try harder".

Terumbu karang masih bisa diselamatkan… jika kita berusaha lebih kuat lagi.

Referensi

Terry P. Hughes, Nicholas A.J. Graham, Jeremy B.C. Jackson, Peter J. Mumby, and Robert S. Steneck. Rising to the challenge of sustaining coral reef resilience. Trends in Ecology and Evolution Vol.25 No.11. doi:10.1016/j.tree.2010.07.011.

Kamis, 05 Agustus 2010

Emisi karbon mengancam populasi ikan.

Emisi karbon dioksida manusia bisa berdampak signifikan bagi populasi ikan dunia, menurut penelitian terkini di Australia.

Akibat kandungan CO2 yang meningkat, juvenil ikan berenang menjauhi habitat terumbu-nya sehingga resiko kematian akibat dimakan predator lebih tinggi. 
(Foto: Dr Mark McCormick, ARC Centre of Excellence for Coral Reef studies)

Bayi ikan dengan bisa menjadi santapan mudah bagi predator saat lautan dunia menjadi semakin asam akibat CO2 yang diserap dari aktifitas manusia.

Dalam serangkaian eksperimen yang dilaporkan dalam Proceedings of the National Academy of Science (PNAS), tim riset menemukan bahwa sejalan dengan meningkatnya tingkat karbon dan meng-asam-nya lautan, tingkah laku bayi ikan berubah dramatis - dalam hal berkurangnya peluang kelulushidupan sebesar 50 hingga 80 persen.

"Ketika CO2 meningkat di atmosfir dan larut dalam lautan, air menjadi sedikit lebih asam. Pada akhirnya ini akan mencapai titik dimana indera penciuman dan tingkah laku larva ikan berubah secara signifikan," ujar Professor Philip Munday dari the Australian Research Council's Centre of Excellence for Coral Reef Studies (CoECRS) di James Cook University.

"Bukannya menghindari predator, mereka bisa menjadi tertarik dengan predator. Larva ikan tersebut tampaknya kehilangan kewaspadaan alamiahnya dan mulai mengambil resiko besar, seperti berenang ke lautan lepas -- dengan konsekuensi yang mematikan tentunya."

Dr Mark Meekan dari the Australian Institute of Marine Science, salah satu penulis artikel jurnal tersebut, berkata bahwa perubahan tingkah laku ikan bisa memberikan implikasi serius terhadap keberlanjutan populasi ikan sebab lebih sedikit bayi ikan yang bisa bertahan hidup untuk regenerasi populasi dewasa.

"Setiap kita menyalakan mobil atau lampu, CO2 dihasilkan dan diserap lautan, pada akhirnya membuat laut sedikit lebih asam. pH lautan telah menurun 0.1 satuan dan bahkan bisa lebih lagi hingga 0.3 - 0.4 satuan jika kita terus melepaskan CO2 dalam laju yang meningkat saat ini.

"Kita sudah tahu bahwa ini akan berdampak yang tidak diinginkan bagi karang, hewan laut bercangkang, plankton dan organisme yang memiliki pengapuran dalam rangka tubuhnya. Sekarang kita mulai tahu bahwa keadaan ini juga bisa berdampak pada biota laut lainnya, sebagaimana pada ikan."

Penelitian sebelumnya dari Prof. Munday dan rekan-rekan menemukan bahwa bayi clownfish 'Nemo' tidak bisa sulit dalam navigasi pulang ke habitatnya dalam kondisi laut yang lebih asam. Experimen terkininya mencakup beragam spesies ikan dan menunjukkan bahwa air laut yang ter-asidifikasi menghasilkan perubahan yang membahayakan dalam tingkah laku ikan."

"Jika manusia terus membakar batubara dan minyak dalam laju saat ini, tingkat CO2 atmosfir bisa mencapai 750 - 1000 bagian persejuta di akhir abad ini. Keadaan ini bisa mengasamkan laut lebih cepat dari yang sudah terjadi dalam kurun 650.000 tahun ke belakang.

"Dalam experimen ini, kami menggunakan air laut yang dikondisikan sebagaimana keasaman di akhir abad - dalam situasi kita yang tidak melakukan apa-apa dalam mengurangi emisi. Bayi ikan kami kondisikan dalam air laut tersebut, dalam aquarium, dan dikembalikan ke laut untuk diamati bagaimana tingkah laku mereka setelah itu.

"Ketika kami kembalikan ke terumbu, kami menemukan bahwa mereka berenang menjauhi sarang/tempat berlindungnya mereka dan kemungkinan kematian mereka lima hingga delapan kali lebih tinggi dibanding bayi ikan normal," ujar Professor Munday.

Beliau menambahkan bahwa, sebagai catatan, dampak ini bisa terjadi baru dari pemanasan global saja, sebagai konsekuensi langsung emisi karbon manusia.

Tim peneliti menyimpulkan bahwa, "Hasil kami menunjukkan bahwa tambahan CO2 yang diserap lautan berpotensi dalam melemahkan kesuksesan rekrutmen ikan dan secara langsung berdampak bagi keberlangsungan populasi ikan di masa depan."

Prof. Munday menambahkan, dalam laporan tahun 2008 tentang status perikanan dunia oleh UN-FAO bahwa, "potensi maksimum ikan liar yang bisa ditangkap dari lautan saat ini sudah tercapai" Jika Kita menambah dampak pengasaman laut dan dampak berubahan iklim lainnya, berarti ada alasan kuat Kita perlu cemas akan habisnya cadangan ikan dunia dimasa depan dan jumlah sumber pangan yang bisa kita dapat dari laut."

Referensi:

Philip L. Munday, Danielle L. Dixson, Mark I. McCormick, Mark Meekan, Maud C.O. Ferrari and Douglas P. Chivers. Replenishment of fish populations is threatened by ocean acidification. PNAS, July 6, 2010 DOI: 10.1073/pnas.1004519107

Minggu, 25 April 2010

Kotoran ikan Paus bisa menurunkan kandungan karbon: Wow, banyak kandungan zat besi !

Bersiaplah untuk berita 'jorok' untuk kali ini. Namun, berita jorok ini telah jadi banyak headline di awal tahun ini seperti:
Penelitian terkini mengungkap peranan kotoran ikan Paus dalam produktifitas Perairan Selatan dunia. Ilmuwan dari Australian Antarctic Division (AAD) dan the Antarctic Climate and Ecosystem Cooperative Research Centre sedang melihat bagaimana Krill dan ikan Paus mempengaruhi kandungan nutrisi zat besi di Perarian Selatan.

Ikan paus sedang 'pup'.
Foto: http://www.planktos-science.com/

Iron (zat besi) adalah elemen esensial di lautan yang memungkinkan terjadinya produksi tumbuhan akuatik, umum dikenal sebagai Algae, yang menyerap karbon dioksida (CO2).

Ketika Algae mati, mereka tenggelam dan mengikat Iron dari permukaan laut, namun kebanyakan Algae umumnya dimakan Krill, yang kemudian menjadi santapan favorit hewan yang jauh lebih besar seperti Singa Laut, Pinguin dan ikan Paus.

Krill, makanan favorit ikan Paus.
Foto: http://www.somas.stonybrook.edu/

Penelitian yang dilakukan Dr Steve Nicol dan rekan di AAD mencoba melihat sampel feses dan jaringan tubuh empat spesies paus Baleen dan sampel jaringan tubuh dari tujuh spesies Krill.

Video Paus berburu Krill


Para peneliti menemukan bahwa Krill menumpuk zat iron yang mereka konsumsi di dalam tubuh mereka, dan sebab mereka berenang dekat permukaan mereka juga berperan menjaga zat iron berada di lapisan teratas lautan. Sebab itulah kandungan Iron di kotoran ikan Paus sangat tinggi.

Sekitar 24% dari total kandungan zat Iron di permukaan Perairan Selatan saat ini berada didalam jaringan tubuh Krill. Wow. Peranan sangat besar untuk kelompok makhluk berukuran 1 - 2 centimeter.

Estimasi terkini biomasa Krill di Perairan Selatan adalah 379 juta ton, menyimpan sekitar 15.000 ton zat Iron.

Ketika ikan paus mengkonsumsi Krill yang kaya-akan-zat-Iron, mereka membuang kebanyakan dari Iron tersebut ke laut, secara langsung 'memberi pupuk' pada laut dan memicu bergulirnya siklus rantai makan bagi Krill lagi.

Kandungn iron di feses Paus Baleen terhitung bisa mencapai 10 juta kali kandungan Iron di air laut Antartika.

Sebelum perikanan komersil paus dimulai awal satu abad lalu, paus biasa mengkonsumsi sekitar 190 juta ton Krill, yang berarti sekitar 7.6000 ton  feses -kaya-zat-besi.

Kemampuan 'memupuk' laut  yang luar biasa ini menjadikan ikan Paus berperan dalam mendaur ulang sekitar 12% kandungan zat iron di lapisan atas Perairan Selatan.

Peranan Krill dan ikan Paus dalam daur ulang nutrisi laut menjelaskan kita bagaimana ekosistem Kita mendukung proses 'memangsa' dan 'dimangsa' antara populasi biota mini dengan raksasa.

Penelitian ini memperkirakan bahwa, di masa depan, meningkatnya populasi ikan Paus dan Krill akan memberikan dampak positif dalam kesuburan ekosistem Perairan Selatan dan meningkatkan kemampuan laut untuk menyerap CO2.

Berlebihannya Kita dalam mencemari atmosfir melalui emisi karbon Kita telah mendukung ekspansi manusia dalam merusak laut melalui fenomena Pengasaman laut / Ocean Acidification. Sekecil-kecilnya komponen dan proses di alam ini adalah God given dan semua ada tujuannya. Bahkan Paus dan Krill, mereka punya tugas alamiah menjaga kandungan CO2 di laut.

Pertanyaanya adalah, apakah 'sampah CO2' yang kita sumbang ke laut setiap harinya seimbang dengan  kemampuan laut dan biotanya untuk bertahan? Berapa lama lagikah ikan Paus bisa bertahan menjalankan tugas mulia-nya dengan kapasitas pembantaian paus oleh  manusia yang terus merajalela?


Referensi 

Nicol, S, Bowie, A, Jarman, S, Lannuzel, D, Meiners, KM & Merwe, Pvd 2010, 'Southern Ocean iron fertilization by baleen whales and Antarctic krill', Fish and Fisheries, vol. 9999, no. 9999

Sabtu, 09 Januari 2010

Pengasaman laut mengganggu pendengaran mamalia laut ?



Lumba-lumba.
Foto dari Peebee23 di iStockPhoto.com

Terus bertambahnya karbon dioksida di atmosfir Bumi meyebabkan lautan semakin asam (acidic ocean). Kenyataannya, pengasaman laut menjadi juga bagian pemicu matinya karang sehingga alga berlebihan hingga tulang rongga telinga ikan yang terlalu besar. Tidak itu saja, perubahan kimia laut juga diduga merubah nuansa akustik di laut dalam, menurut penelitan terkini diterbitkan online dalam laporan Nature Geoscience; sehingga suara diterima lebih keras di telinga hewan yang bergantung pada suara untuk navigasi di kedalaman.

Saat ini, yang lagi sengit diperdebatkan adalah menurunnya laju pengapuran pada hewan laut (karang, udang, kerang-kerangan, dll.) sebagai dampak negatif pengasaman laut. Namun, saat ini yang masih kurang diantisipasi adalah konsekuensi pengasaman laut terhadap penyerapan suara di bawah air.

Ketika lautan menjadi lebih asam - akibat sumbangan besar karbon dioksida manusia saat ini - kandungan zat kimia peredam-suara (seperti magnesium sulfat dan asam borat) menurun, sehingga suara, terutama gemuruh ber-frekuensi rendah (hingga 5.00 Hertz), bisa merambat lebih jauh

Menggunakan prediksi lepasan karbondioksida dan model lautan dunia, para peneliti menemukan bahwa penyerapan suara bisa menurun hingga 60 persen di perairan lintang atas dan dalam dalam tiga abad kedepan. Ditambah dengan kebisingan berfrekuensi rendah dari aktifitas manusia, seperti konstruksi, pelayaran dan sonar, maka telinga penghuni laut disajikan kegaduhan yang terus bertambah.

Pemimpin riset tersebut, Tatiana Ilyina dari the School of Ocean and Earth Science and Technology di the University of Hawaii, Honolulu; memprediksikan bahwa setelah abad ke-21 ini, kemampuan penyerapan suara oleh zat kimia laut untuk kisaran frekuensi 100 hingga 10 Hertz akan menurun hingga separuh di kawasan yang mendapat terpaan suara dari aktifitas industri.

'Dengungan' frekuensi-rendah secara alami terjadi karena gelombang dan hujan di permukaan laut - begitupula dari hewan itu sendiri. Namun, Ilyina dan rekan menegaskan bahwa, terlalu banyaknya suara berfrekuensi rendah memberikan sejumlah pengaruh pada kehidupan laut dalam tingkah laku dan biologis, termasuk kerusakan jaringan tubuh, terdamparnya Cetacean (pe-paus-an) dan hilang pendengaran sementara pada lumba-lumba.

Tentunya, bertambahnya jarak tempuh suara sebenarnya dapat membatu ketajaman pendengaran beberapa hewan, membuat jangkauan komunikasi antar-paus saat ini lebih jauh lagi. Ilyina juga menulis bahwa spesies laut beradaptasi dengan beragam kekuatan suara, namun, konsekuensi meningkatnya transmisi suara jarak-jauh dalam frekuensi suara yang penting bagi mamalia laut masih belum diketahui.