Tampilkan postingan dengan label Video. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Video. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Desember 2012

Keindahan fluoresensi terumbu karang

Di bawah laut, terumbu karang yang sehat menyimpan pesona kelimpahan warna yang luar biasa menyejukkan mata. Namun, dalam kegelapan, biota-biota di terumbu karang, baik koral, ikan dan organisme lainnya juga menyimpan keindahan dari sifat fluoresensi mereka.

Fluoresensi terjadi saat sebuah benda menyerap satu gelombang cahaya dan memendarkan kembali panjang gelombang cahaya baru. Vidio berikut menayangkan bagaimana ketika cahaya UV (ultraviolet) diberikan pada biota laut - yang tidak tampak mata manusia - mereka melepas warna yang bisa ditangkap mata kita.


Selama ini gelombang UV tidak berperan besar dalam proses pertumbuhan karang / koral. Justru gelombang warna yang tampak-mata manusia (mejikuhibiniu), berperan dalam fotosintesis alga bersel-satu yang tinggal dalam kerangka karang. Prosesnya tidak jauh beda dengan fotosintesis daun.

Alga yang bersimbiosis pada koral memiliki pigmen, sehingga memberi warna pada karang. Sebagai timbal balik jasa tempat tinggal dari koral, alga tersebut juga menghasilkan zat organik yang dimanfaatkan polip karang untuk tumbuh, dalam hal ini membangun jaringan kerangka kapur.

Dalam pertumbuhannya, selapis-demi selapis kerangka berkapur dihasilkan mulai kecil dalam ukuran milimeter hingga besar mencapai struktur besar beraneka rupa dengan luasan meter hingga kilometer persegi. Proses berlangsung lama sekali. Hanya untuk bebrapa milimeter atau sentimeter pertambahan kerangka, diperlukan hitungan tahun. Namun kadan dalam hitungan menit atau detik, mereka rusak sebab diinjak wisatawan, terhantam jangkar kapal, atau badai.


Lihat menit ke 2:00 untuk pertumbuhan karang dalam animasi cepat.

Meskipun demikian, koral menyerap gelombang UV justru sebab fungsi mereka sebagai 'tabir surya' bawah air. Coral dan biota laut lainnya - yang ber-fluoresens jika dipapar sinar UV - diduga berperan meredam gelombang UV yang bisa merusak jaringan biologis makhluk bawah laut. Analoginya kurang lebih serupa dengan penggunaan krim tabir surya agar kulit kita tidak terbakar dan kanker kulit.

Semua keindahan di laut ada fungsinya. Cukup dinikmati sebatas di mata. Penyelaman malam berikutnya, pastikan senter UV kita bawa.



Referensi:

Reef R, Kaniewska P, Hoegh-Guldberg O (2009) Coral Skeletons Defend against Ultraviolet Radiation. PLoS ONE 4(11): e7995


Selasa, 16 Oktober 2012

Edukasi Terumbu Karang dalam 4-menit

Berikut tayangan vidio yang menurut kami yang paling singkat, hanya 4 menit, dan tentunya sangat edukatif seputar terumbu karang saat ini. Vidio ini juga dipandu oleh CĂ©line Cousteau, cucu dari Jacques-Yves Cousteau yang menemukan sistem SCUBA pertama kali.

Vidio ini patut diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Bantuan saudara akan berharga sekali jika bisa menyusun dan mencantumkan subtitel untuk vidio ini.

Taman Nasional Taka Bonerate (Film Dokumenter)

Tahun 2012 ini Balai Taman Nasional Taka Bonerate baru saja merilis dokumenter singkat, informatif, dan indah tentang kawasan tersebut.

Jangan lupa sampaikan pada kami di kolom komentar, apa yang terpikirkan tentang kawasan tersebut


Jumat, 17 Agustus 2012

Bangkit

Sebuah klip trailer dari film planetarium berjudul Coral Rekindling Venus:




Bangkitlah untuk samudera
Bangkitlah untuk lautan
Bangkitlah untuk koral
Bangkilah dalam kemanusiaan

Jantung dunia kini Anda genggam
Bangkitlah, biarkan diriku merasa hidup
Saat air mengalir jatuh dengan sunyi
Ibu-ku mulai menangis
Menangisi anaknya
Membayangkan apa yang digenggam si anak

Bangkitlah untuk koral
Bangkitlah untuk lautan
Bangkitlah saat masih ada yang bisa kita dikorbankan
Bangkitlah saat kita masih miliki kesempatan untuk memilih

============================================

Rise for the ocean
Rise for the sea
Rise for the coral
Rise in humanity

You hold the heart of this world
Rise, let me feel alive
When the waters fall silent
My mother started to cry
Crying for her children
Wonders that she held in her arms

Rise for the coral
Rise for the sea
Rise while there's still something left to lose
Rise while we still have a chance to choose

Lirik dari "Rise" oleh Antony and the Johnsons, soundtrack untuk film planetarium berjudul Coral Rekindling Venus

Situs: www.coralrekindlingvenus.com

Sabtu, 17 September 2011

Mereka yang melekat kuat dengan laut: Warga Bajau berburu di dasar laut

Subin, Nelayan Bajau, di Borneo berburu di dasar laut - dua setengah menit di dasar dari satu tarikan nafas. Cuplikan klip dari BBC Human Planet - Oceans - Into the blue (Pertama kali tayang 13 Januari 2011).



Rabu, 29 Juni 2011

Belut laut bertubuh tembus pandang.

Vidio dibawah ini diambil dari Seraya, Bali, Indonesia:



Belut laut bertubuh transparan? Ya. Seekor Leptochepalus, yang berarti 'kepala datar', adalah larva transparan dari belut air tawar, belut laut, dan hewan lain dalam Superordo Elomorpha. Jenis ikan laut yang memiliki tahapan larva Leeptochepalus diantaranya yang awam adalah Moray Eel, dan Garden Eel serta belut air tawar yang termasuk dalam famili Anguilidae, dan lebih dari 10 famili belut laut yang tidak umum.

Leptochepalus - larva belut.
(Foto: Ross Hopcroft / University of Alaska Faribanks)
Leptochepali (sebutan jamak untuk Leptochepalus), memiliki tubuh lateral yang pipih berisi kandungan serupa jeli di dalam tubuhnya dan lapisan tipis otot di luar tubuhnya. Organ tubuh mereka kecil perpaduan karakteristik ini membuat mereka tampak tembus pandang saat hidup. Kandungan sel darah merah di tubuh mereka sangat sedikit hingga mencapai tahapan larva glass eel yang sudah mulai menyerupai belut.

Dibandingkan larva ikan umumnya, mereka bisa tumbuh relatif lebih besar, antara 60 hingga 300 mm dan fase hidup larva mereka lama mulai tiga bulan hingga satu tahun. Pola gerak renang mereka serupa dengan ikan di famili Anguliform lainnya, dan bisa 'perseneling maju dan mundur'. Santapan mereka belum diketahui pasti, sebab tidak dijumpai zooplankton - makanan khas larva ikan - di dalam perut mereka. Diduga mereka makan partikel kecil yang melayang di lautan, dikenal sebagai marine snow.

Untuk menjumpai mereka, kita mungkin perlu berenang cukup dalam, sebab mereka bisa berada hingga 100 meter dari permukaan laut. Mereka ada hampir di seluruh perairan dunia, mulai perairan temperatur-sedang bagian bumi selatan hingga tropis, dimana umumnya belut laut dewasa ditemukan.

Bagi anda yang menekuti sains kelautan, biota satu ini bisa jadi fokus penelitian, sebab masih belum banyak dipahami seluk-beluknya, dan menjadi tantangan biolog laut. Sebab mereka sangat rapuh dan makan partikulat kecil ketimbang zooplankton, dan mereka perenang yang mahir dan bisa menghindari jaring plankton yang umum digunakan biolog untuk mengambil sampel hidup mereka.

Selasa, 15 Februari 2011

Jeremy Jackson: Bagaimana Kita merusak lautan. (English)

Tim editor saat menengok TED.com mendapatkan presentasi yang mencengangkan dari ekologis terumbu karang Jeremy Jackson yang membeberkan status kritis lautan saat ini: di-tangkap-berlebih, di-panaskan, di-cemarkan, dengan tanda-tanda bahwa semua akan menjadi lebih buruk. Foto yang ciamik dan statistik memperkuat presentasinya. Kenapa simak Jeremy Jackson? Klik disini.





Kamis, 05 Agustus 2010

Jutaan penyu diperkirakan telah mati akibat perikanan komersil dunia.

Jumlah penyu yang terjerat oleh alat tangkap ikan komersil dalam 20 tahun kebelakang mungkin telah mencapai jutaan, menurut studi peer-review yang mengkompilasi data bycatch (tangkapan sampingan) penyu dari perikanan gillnet (jaring insang), trawl (pukat) dan longline (rawai) di dunia.

Penyu ikut tertangkap.
(Foto: www.endoverfishing.org)

Studi tersebut dipublikasikan online tanggal 6 April di Jurnal Conservation Letters, menganalisa data yang dikumpulkan dari beberapa artikel jurnal ilmiah, laporan pemerintah, laporan teknis dan proceeding simposia yang diterbitkan antara tahun 1990 hingga 2008. Semua data berdasarkan pengamatan langsung lapangan atau wawancara dengan nelayan. Studi ini tidak mencakup data dari perikanan rekreasi.


'Pesta' penyu akibat gillnet.


(Photo © Projeto Tamar Brazil-Image Bank)


Enam dari tujuh spesies penyu dunia saat ini terdaftar sebagai vulnerable (rentan), endangered (terancam punah), atau critically endangered (kritis terancam punah) dalam IUCN Red List of Threatened Species.

"Pengamatan lapangan langsung dan wawancara dengan nelayan mengindikasikan 85.000 penyu telah terjerat antara 1990 dan 2008. Namun, sebab laporan ini hanya mewakili kurang dari satu persen armada perikanan yang ada didunia, belum lagi dengan sedikit atau bahkan tidak ada informasi dari perikanan skala kecil di penjuru dunia, kami mengestimasi bahwa total sebenarnya setidaknya dua digit lebih tinggi lagi;" ujar Bryan Wallace, penulis utama dari artikel ilmiah baru ini.

Wallace adalah penasehat senior untuk the Sea Turtle Flagship Program di Conservation International dan asisten professor di Nicholas School of the Environment, Duke University.

Ulasan data global mereka mengungkap bahwa laju bycatch tertinggi yang dilaporkan dari perikanan longline datang dari kawasan Baja California, Meksiko; laju tertinggi untuk perikanan gillnet terjadi di kawasan Adriatik Utara laut Mediterania dan untuk trawl laju tertinggi terjadi di lepas semenanjung Uruguay.


'Pesta' penyu akibat longline.
(Photo © Projeto Tamar Brazil-Image Bank)


Ketika laju bycatch dan jumlah aktifitas perikanan yang teramati untuk ketiga jenis alat tangkap digabungkan dan di-rangking untuk semua kawasan, empat kawasan muncul sebagai prioritas konservasi utama: laut Pasifik Timur, Mediterania, Atlanik Barat Daya dan Atlantic Barat Laut.

"Meskipun angka kami hanya estimasi, mereka tetap menunjukkan pentingnya keberadaan panduan atau aturan main dalam peralatan dan praktik perikanan untuk membantu mengurangi dampak negatif ini", ujar Bryan.

Pencegahan efektif untuk mengurangi bycatch penyu termasuk penggunaan kait lingkar dan umpan ikan dalam perikanan longline, dan Turtle Excluder Device (TED) di trawling. Kebanyakan dari modifikasi alat tangkap yang efektif malahan dikembangkan oleh nelayan sendiri.


Cara kerja TED dalam membuat ruang bagi penyu untuk 'kabur'.
(Foto: danamccauley.wordpress.com)



Bryan berkata bahwa perikanan longline Hawaii dan perikanan Australia telah mengurangi bycatch secara signifikan melalui hubungan kerja yang dekat antara nelayan dengan pemerintah pengelola, penggunaan pengamat di geladak dan modifikasi alat wajib dan inovasi teknologi. TurtleWatch, sebuah database real-time menyediakan update harian untuk temperatur air dan kondisi laut lainnya yang menandakan dimana penyu bisa ditemui, telah memandu nelayan dalam menghindari penempatan alat tangkap di lokasi tersebut.

Pendekatan lainnya, seperti penetapan kawasan perlindungan laut dan penetapan quota tangkap, juga mengurangi bycatch, menjaga biodiversitas laut dan memicu stok ikan yang sehat - dalam beberapa kasus, ujar Bryan.

Penyu melepaskan diri dari pukat melalui TED.
(Vidio: NOAA office of education)

Bycatch dari perikanan adalah ancaman akut bagi populasi penyu dunia saat ini. Banyak hewan laut mati atau terluka akibat interaksi ini," ujar Bryan. "Namun pesan kami intinya bahwa ini bukan kehilangan semata. Pengelola dan nelayan bisa memilik peralatan yang bisa mereka gunakan untuk mengurangi bycatch, menjaga biodiversitas laut dan mendukung stok ikan yang sehat, sehingga semua menang, termasuk penyu."

Telaah diri kita baik-baik sebelum menyantap seafood di depan mata kita.
Bagaimana dengan Laut, Kita dan Indonesia?

Referensi:
Wallace et al. Global patterns of marine turtle bycatch. Conservation Letters, 2010; DOI: 10.1111/j.1755-263X.2010.00105.x


Kapal Cina penuh dengan penyu ditahan di Tarakan Kalimantan.
(Foto: www.wildlifeextra.com)

Kamis, 01 Juli 2010

Damselfish, si tukang kebun, bertugas memangkas dan memanen alga di karang.

Semakin dalam penelitian manusia saat ini dalam biologi ikan karang. Salah satu spesies ikan Damselfish, Stegates nigircans, ternyata secara selektif 'memangkas' alga tertentu di karang, dan membiarkan jenis alga merah Polysiphonia untuk tumbuh. Alga kegemaran damselfish initernyata, alga halus tipis yang sering kita jumpai melapisi karang yang baru mati (Recently Dead Coral) atau yang sudah tak berbentuk (Rock). 


 
Stegates nigircans
Stegates nigircans
Stegates nigircans
Stegates nigircans dalam teritorial 'kebun'-nya.

Begini ceritanya, Hiroki Hata dari Universitas Ehime, Jepang, bersama tim peneliti secara khusus menginvestigasi prilaki Damselfish sebagai 'tukang kebun'. Mereka mensurvei 320 teritorial dari 18 jenis Damselfish. Mereka juga menengok hingga alga jenis apa yang berasosiasi dengan mereka. Tidak tanggung-tanggung, pengamatan dilakukan di Mesir, Kenya, Mauritius, Maladewa, Thailand, Borneo, Kepulauan Okinawa dan the Gerat Barrier Reef. 

Menarik sekali bahwa Damselfish ternyata tidak memilik organ untuk mencerna serat selulosa, dan minim akan ensim pencernaan untuk mencerna berbagai jenis alga.Alga kegemaran mereka, alga merah Polysiphonia, tidak begitu bisa bersaing dengan jenis alga lain yang tidak bisa dimakan Damselfish, dan ternyata Damselfish membiarkan mereka Polysiphonia dengan memakan alga-alga lain itu. Luar biasa, ikan Damselfish 'berkebun' !. Dan ketika Poly siphonia sudah cukup lebat, mereka 'panen'. 

Kegiatan 'berkebun' ini sebuah temuan baru keterkaitan mutualistik antara alga Polysiphonia dan jenis Damselfish tertentu, dan menjadi salah satu hal baru tentang hubungan ikan dan alga di habitat air. Menariknya lagi, interaksi alga laut dan Damselfish yang herbivori (pemakan tumbuhan) lebih sering terjadi di Indo Pasifik. 

Dalam kunjungan terumbu berikutnya, menetaplah sejenak ketika jumpa Damselfish. Lihat perilaku mereka memakan alga, jika ada alga lapisan tipis alga yang tidak dimakan, kemungkinan itu Polysiphonia. Ternyata hingga 'beludru' halus alga yang melapisi batuan, karang mati, semua punya peranan. Kelompok Polysiphonia sendiri terdiri lebih dari 100 spesies, dan untuk membedakannya diperlukan mikroskop. Luar biasa kerja para peneliti itu tentunya. 
Referensi 

Hiroki Hata, Katsutoshi Watanabe and Makoto Kato. Geographic variation in the damselfish-red alga cultivation mutualism in the Indo-West Pacific. BMC Evolutionary Biology, 2010

Sabtu, 05 Juni 2010

Terjun bebas: Underwater base jump.

Vidio dibawah menceritakan segalanya. Juara dunia freediving Guillaume Nery menyelami Dean's Blue Hole di Bahama - sebuah gua vertikal bawah air sedalam 202 meter, dengan diameter 25 - 35 meter. Luarbiasanya, proses vidiografi juga sepenuhnya dilakukan dalam tahanan nafas oleh Julie Gautier. 

Minggu, 28 Maret 2010

Politik skala global manusia belum mampu melindungi spesies laut: Konferensi CITES, Doha, 2010.



Sekitar 1.500 delegasi perwakilan negara, masyarakat pribumi, lembaga non-pemerintahan, dan pengusaha menghadiri pertemuan CITES ke 15 di Doha. CITES adalah Konvensi perdagangan internasional terhadap satwa terancam punah), beranggotakan 175 negara terlibat secara voluntir dan mengasilkan kesepakatan yang legal – alias, mereka harus menjalanan kesepakatan konvensi.

Selama dua minggu di 13-25 Maret 2010, konferensi kali ini mengangkat Bluefin Tuna, Hiu dan Beruang Kutub dalam agenda utama. Namun, pengajuan larang dagang Bluefin Tuna, Hiu, Beruang Kutub, termasuk Red dan Pink Coral ditolak oleh lebih dari duapertiga peserta konvensi.


Saat ini diperkirakan 52% stok ikan atau kelompok spesies ikan dunia dalam akselerasi eksploitasi tinggi, 19% ekploitasi berlebih, dan 9% hampir habis atau pulih dari penghabisan. Selain Monako, A.S. dan Palau mengajukan perlindungan untuk beberapa spesies Hiu Martil seperti Scalloped Hammerhead juga Oceanic Whitetip. Jutaan baru dari dua jenis hiu ini saja setiap tahun ditangkap untuk permintaan siripnya. A.S. mendukung perlindungan menyeluruh untuk perdagangan komersil Beruang Kutub terkait ancaman perubahan iklim. 

Scalloped hammerhead shark
(Foto: www.elasmodiver.com)

Oceanic whitetip shark
(Foto: www.flmnh.ufl.edu)

Konferensi kali ini ‘dimenangkan’ oleh Jepang saat kesepakatan akhir berlangsung Kamis 25 Maret 2010, dengan 'kesuskesan' mereka dalam menolak proposal pelarangan Bluefin Tuna, pemberian suara penuh menolak pengaturan perdagangan coral, dan bergabung dengan negara Asia lainnya dalam mencegah segelintir spesies Hiu duntuk masuk dalam daftar perlindungan CITES.

CITES yang semula sebuah badan konservasi dunia yang diikuti negara-negara manusia kaya di dunia, seketika itu dikendalikan oleh arus uang besar, perdagangan dan ekonomi. Sama sebagaimana pertemuan iklim di Copenhagen, ketika sains dan politik bertemu, pemimpin dunia saling melobi sendiri-sendiri dalam ruang tertutup.

Jepang yang punya mobilisasi kuat agar perikanan dijauhkan dari CITES, kubu Uni Eropa dan Amerika terpecah antara yang mendukung ban (pelarangan) dengan yang tidak. Beberapa bulan sebelum CITES, Jepang telah melobi beberapa pemerintahan baik besar dan kecil. Ketika konferensi di Qatar, Jepang mengirim 30 delegasi yang sebelumnya pernah bekerja dan memahami penuh mekanisme di CITES.

Namun, tidak hanya Jepang saja yang semestinya ‘dipojokkan’ sebab, 80% Bluefin Tuna di Jepang adalah impor. Impor dari mana? Dari Amerika Serikat yang mengambil Atlantic Bluefin dan Uni Eropa yang mengambil Mediterranean Bluefin. Bahkan diduga kuat Jepang berani hinga membeli suara dari negara berkembang Afrika dalam konferensi untuk meperkuat penolakan larangan Bluefin Tuna.


 Fishinf down world's sharks - Discoverynews.com

Temuan ilmiah kondisi Bluefin Tuna – tanpa dibumbu uang – maka niscaya akan menjadi keputusan mutlak manusia global untuk melindungi, melihat realita pahit kelestariannya saat ini. Namun manusia mepertaruhkan jutaan dan milyaran dolar untuk perdagangan ikan ini, kenyataan ilmiah telah berubah menjadi kesepakatan politis semata.

CITES, Doha, Maret 2010 - AlJazeera

Dimanakah Indonesia? Indonesia baru saja dikeluarkan dari CITES karena tidak bisa mengimplementasikan kesepakatan CITES di negara tersebut. Ini terungkap dari peraturan nasional yang melarang ekspor primata liar yang ternyata hanya ‘pura-pura’ dari pemerintah Indonesia. Lebih lanjut baca Chain of Suffering/Rantai Penderitaan oleh BUAV.

Tidak di Indonesia, tidak di Dunia, tiada ampun bagi spesies bahari untuk ekonomi manusia.

Ketika semua pohon telah ditebang
Ketika semua hewan habis diburu
Ketika air habis tercemar
Ketika udara tidak sehat untuk dihirup
Lalu kita sadar bahwa uang tidak bisa dimakan.

Cree Prophecy

Overfishing Tuna

Sharkwater

Jumat, 20 November 2009

Anak karang vs Lautan asam

Dwi Haryanti

Bulan Maret lalu saya mendapatkan kesempatan untuk turut serta dalam sebuah riset di lapangan untuk mengamati spawning masal karang. Saya bersama beberapa rekan ditempatkan di sebuah pulau kecil di bagian timur kepulauan Karimunjawa. Kesempatan langka yang sudah lama saya nanti-nantikan, karena sebagai mahasiswa sains yang selalu berkutat dengan topik-topik mengenai biologi dan reproduksi karang, saya sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuk telur karang secara langsung.

Coral spawning SUPER slick - kumpulan telur, embrio dan larva yang terapung di Scott's Reef, Great Barrier Reef Australia(James Guest, Jurnal Science, 2008) 

Anda pernah melihat telur karang?

Jika Anda beruntung, pada hari-hari di sekitar bulan purnama, di musim-musim peralihan (dalam hal ini, di Indonesia, yang saya ketahui sekitar bulan Maret-April dan Oktober-Novenber) mungkin Anda akan menemui satu malam dimana laut menebarkan bau amis, dan terlihat semacam slick berwarna pink-orange mengapung di laut ataupun terbawa arus menuju pantai dan dermaga. Saat itulah karang sedang melakukan spawning masal. Masyarakat lokal di Karimunjawa menyebutnya “Tai Arus”, mungkin karena bau amisnya, dan warnanya. Namun dengan begitu saya jadi lebih mudah mengingatnya :)

Telur karang dilepaskan bersama-sama dengan satu tujuan: memperbesar kesempatan sebuah generasi baru untuk hidup dan tumbuh. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi calon-calon anak karang yang baru dilepaskan. Selain hempasan ombak ke pantai yang berpotensi menggagalkan mereka untuk hidup, ada juga predator seperti ikan. Yang berhasil dibuahi akan berkembang menjadi satu individu baru bernama ‘planula’.

Sebelum menempel ke dasar perairan dan membentuk koloni karang, planula akan mengembara mencari tempat yang cocok untuk menetap. Badannya yang dibekali dengan kandungan lemak memiliki dua fungsi, pertama sebagai pengatur daya apung (Ya, benar, meski sangat kecil, mereka juga aktif berenang, dengan bulu-bulu getar mikroskopis), dan juga sebagai cadangan makanan. Satu tantangan tersendiri untuk para planula pengembara agar dapat menemukan tempat baru sebelum cadangan makanan mereka habis. Dan belum berhenti disitu, karena setelah settle atau menempel, planula akan mulai bermetamorfosis, membentuk polip (bentuknya tidak akan seperti telur lagi, melainkan akan berubah menjadi seperti mangkok, dengan mulut dan tentakel), dan membangun kerangka kapur.


Tahapan metamorfosis planula, dari bentuk telur lonjong, hingga polip kerangka kapur muda.

Terumbu karang, yang kita lihat sebagai taman bawah laut berwarna-warni, seperti yang kita ketahui, komponen penyusun utamanya tak lain adalah hewan-hewan karang kecil yang mengendapkan kerangka kapur hingga dalam berbagai bentuk dan rupa. Merekalah planula-planula pengembara yang berhasil bertahan hidup. Dalam siklus hidupnya, fase metamorfosis planula menjadi polip dapat dikatakan sebagai tahapan yang sangat rentan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keberhasilan metamofosis sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti suhu, pencahayaan-kaitannya dengan radiasi sinar matahari, dan juga tingkat keasaman laut (pH). 



'Coral Spawning sata bulan purnama, Okinawa, Jepang - www.aquageographic.com

Apabila kita menyimak posting sebelumnya mengenai asidifikasi laut dan segala skenario di masa depan yang berkaitan dengan perubahan komposisi kimia lautan, maka faktor-faktor diatas perlu digarisbawahi. Laut yang asam tidak hanya mengikis perlahan terumbu karang (dewasa, jika boleh dikatakan demikian) yang sudah ada, namun juga dapat menghambat regenerasi dan pertumbuhan anak-anak karang.

 Coral spawning di Florida Keys, AS dari NOAA

Seberapa besar kelentingan atau daya tahan mereka terhadap perubahan lingkungan, dan seberapa jauh anak karang yang baru akan tumbuh dapat beradaptasi terhadap laut yang asam memang belum diketahui. Tugas kita adalah untuk mengkaji dan mengerti, lalu bersama-sama melakukan upaya-upaya untuk turut menjaganya. Menekan emisi karbon menjadi solusi yang dapat dilakukan hampir oleh semua orang. Hal kecil yang akumulasi dampaknya bisa jadi besar. Memberi kesempatan satu generasi untuk hidup.

Untuk Laut, dan untuk Kita.

Referensi:
~ Omori & Fujiwara (2004) Manual for restoration and remediation of coral reef.
~ Munasik (2002) Reproduksi seksual karang di Indonesia: Suatu kajian.
~ Kleypas et al (2006) Impacts of ocean ccidification on coral reefs and other marine calcifier 

Kamis, 19 November 2009

Perubahan Iklim, Laut, Terumbu Karang, Copenhagen, Indonesia (2)

Di posting sebelumnya Kita tahu bahwa untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati laut, khususnya terumbu karang, dari pengasaman laut / ocean acidification; maka manusia mesti bisa berkomitmen untuk menurunkan kadar CO2 diatmosfir bumi dibawah 350 ppm (Veron 2009). 

Terus apa kaitannya dengan Kita sebagai Indonesia? 

Sebagai catatan. Di tahun 2006, negara pencemar atmosfir tertinggi adalah Cina, Amerika Serikat, Rusia, India dan Jepang. Sekitar 50% dari total emisi karbon buatan manusia berasal dari Cina dan Amerika dan negara Uni Eropa. Indonesia menduduki peringkat 19, tahun itu saja Kita melepas lebih dari 330 juta ton carbon ke atmosfir atau 1.2 % dari emisi karbon manusia di dunia tahun itu.

Kasarnya, jika dibagi rata, tiap penduduk menyumbang sekitar 1.5 ton karbon (CO2) ke atmosfir dalam satu tahun.

Melihat porsi sumbangan langsung 'kentut' Kita, pengaruh Kita dalam menurunkan kadar CO2 di atmosfir sangat kecil jika dibandingkan Cina dan AS satu banding lima puluh. Anggaplah  ekstrimnya, jika 10 tahun kedepan penduduk Indonesia berkomitmen tidak menggunakan listrik - balik ke jaman batu, maka kita hanya bisa andil menurunkan emisi karbon manusia sekitar 1-2%. 

Namun ini bukan menjadi alasan bagi Kita untuk tidak hemat energi. Secara tidak langsung, ketergantungan perekonomian/perdagangan kita dengan AS dan Cina, membawa kehidupan sehari-hari Kita yang berkontribusi dengan 'kentut' AS dan Cina.

Ini balik lagi ke moral dan kesadaran Indonesia. Moralnya - maukah kita memungut kotoran di tengah jalan, walapun nantinya ribuan kotoran pastinya akan berdatangan lagi - seakan sia-sia, namun berpengaruh. 

Kesadarannya - Sadarkah Kita, bahwa 'kentut' AS, Cina, Uni Eropa sedang meracuni ekosistem Indonesia melalui perubahan iklim?  

Siapkah satu-satunya warga Indonesia?

Perubahan iklim berjalan perlahan. Kejanggalan cuaca, badai, peralihan musim yang tidak menentu, air laut yang semakin mengikis pesisir; adalah dampak yang kita rasakan dari emisi karbon manusia dalam 10-20 tahun kebelakang. Dampak kadar CO2 sebesar 387 ppm yang manusia berikan pada atmosfir saat ini  akan terasa dalam perjalanan kita ke 10 - 20 tahun kedepan.

Selain dampak global perubahan iklim, dalam perjalanan Kita di tahun-tahun kedepan masih ada kemungkinan dampak lokak: kerusakan akibat bencana alam, pengambilan ikan laut yang saat ini tidak memberikan kesempatan ikan untuk regenerasi, pencemaran pesisir dan laut, perusakan terumbu karang, pembabatan lahan bakau pesisir untuk wisata dan industri, tekanan perekonomian masyarakat pesisir yang memicu mata pencaharian yang tidak bersahabat dengan alam, dan hal-hal buruk lainnya...

Daya kendali kita akan dampak global perubahan iklim sangat kecil, namun Kita punya pengaruh kuat dalam mengurangi dampak negatif lokal. Apakah wujud  dampak negatif lokal itu:

Degradasi lingkungan pesisir laut yang berkelanjutan hingga kini.

Ketika Kita hendak memancing ikan tersebut... menyantap seafood... membuang sampah..., menghembuskan asap kendaraan kita... memanfaatkan air bersih... merokok...berada di pantai / pulau / laut... mendirikan bangunan... membuat peraturan / kebijakan... memberi kepercayaan pada tokoh politik... menerima / memberikan uang pada seseorang...melepas jangkar kita, memilih dan melakukan pekerjaan Kita... tanyakan pada diri Kita:

Apakah saya dalam proses yang posisif bagi lingkungan dan anak cucu kita?


Yang tersisa di timur: Sebuah video terumbu karang di 'Raja Ampat'

Referensi 

Veron, J. E. N., O. Hoegh-Guldberg, T. M. Lenton, J. M. Lough, D. O. Obura, P. Pearce-Kelly, C. R. C. Sheppard, M. Spalding, M. G. Stafford-Smith, and A. D. Rogers. 2009. The coral reef crisis: The critical importance of <350 ppm CO2. Marine Pollution Bulletin 58:1428-1436.