Kamis, 19 November 2009

Perubahan Iklim, Laut, Terumbu Karang, Copenhagen, Indonesia (2)

Di posting sebelumnya Kita tahu bahwa untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati laut, khususnya terumbu karang, dari pengasaman laut / ocean acidification; maka manusia mesti bisa berkomitmen untuk menurunkan kadar CO2 diatmosfir bumi dibawah 350 ppm (Veron 2009). 

Terus apa kaitannya dengan Kita sebagai Indonesia? 

Sebagai catatan. Di tahun 2006, negara pencemar atmosfir tertinggi adalah Cina, Amerika Serikat, Rusia, India dan Jepang. Sekitar 50% dari total emisi karbon buatan manusia berasal dari Cina dan Amerika dan negara Uni Eropa. Indonesia menduduki peringkat 19, tahun itu saja Kita melepas lebih dari 330 juta ton carbon ke atmosfir atau 1.2 % dari emisi karbon manusia di dunia tahun itu.

Kasarnya, jika dibagi rata, tiap penduduk menyumbang sekitar 1.5 ton karbon (CO2) ke atmosfir dalam satu tahun.

Melihat porsi sumbangan langsung 'kentut' Kita, pengaruh Kita dalam menurunkan kadar CO2 di atmosfir sangat kecil jika dibandingkan Cina dan AS satu banding lima puluh. Anggaplah  ekstrimnya, jika 10 tahun kedepan penduduk Indonesia berkomitmen tidak menggunakan listrik - balik ke jaman batu, maka kita hanya bisa andil menurunkan emisi karbon manusia sekitar 1-2%. 

Namun ini bukan menjadi alasan bagi Kita untuk tidak hemat energi. Secara tidak langsung, ketergantungan perekonomian/perdagangan kita dengan AS dan Cina, membawa kehidupan sehari-hari Kita yang berkontribusi dengan 'kentut' AS dan Cina.

Ini balik lagi ke moral dan kesadaran Indonesia. Moralnya - maukah kita memungut kotoran di tengah jalan, walapun nantinya ribuan kotoran pastinya akan berdatangan lagi - seakan sia-sia, namun berpengaruh. 

Kesadarannya - Sadarkah Kita, bahwa 'kentut' AS, Cina, Uni Eropa sedang meracuni ekosistem Indonesia melalui perubahan iklim?  

Siapkah satu-satunya warga Indonesia?

Perubahan iklim berjalan perlahan. Kejanggalan cuaca, badai, peralihan musim yang tidak menentu, air laut yang semakin mengikis pesisir; adalah dampak yang kita rasakan dari emisi karbon manusia dalam 10-20 tahun kebelakang. Dampak kadar CO2 sebesar 387 ppm yang manusia berikan pada atmosfir saat ini  akan terasa dalam perjalanan kita ke 10 - 20 tahun kedepan.

Selain dampak global perubahan iklim, dalam perjalanan Kita di tahun-tahun kedepan masih ada kemungkinan dampak lokak: kerusakan akibat bencana alam, pengambilan ikan laut yang saat ini tidak memberikan kesempatan ikan untuk regenerasi, pencemaran pesisir dan laut, perusakan terumbu karang, pembabatan lahan bakau pesisir untuk wisata dan industri, tekanan perekonomian masyarakat pesisir yang memicu mata pencaharian yang tidak bersahabat dengan alam, dan hal-hal buruk lainnya...

Daya kendali kita akan dampak global perubahan iklim sangat kecil, namun Kita punya pengaruh kuat dalam mengurangi dampak negatif lokal. Apakah wujud  dampak negatif lokal itu:

Degradasi lingkungan pesisir laut yang berkelanjutan hingga kini.

Ketika Kita hendak memancing ikan tersebut... menyantap seafood... membuang sampah..., menghembuskan asap kendaraan kita... memanfaatkan air bersih... merokok...berada di pantai / pulau / laut... mendirikan bangunan... membuat peraturan / kebijakan... memberi kepercayaan pada tokoh politik... menerima / memberikan uang pada seseorang...melepas jangkar kita, memilih dan melakukan pekerjaan Kita... tanyakan pada diri Kita:

Apakah saya dalam proses yang posisif bagi lingkungan dan anak cucu kita?


Yang tersisa di timur: Sebuah video terumbu karang di 'Raja Ampat'

Referensi 

Veron, J. E. N., O. Hoegh-Guldberg, T. M. Lenton, J. M. Lough, D. O. Obura, P. Pearce-Kelly, C. R. C. Sheppard, M. Spalding, M. G. Stafford-Smith, and A. D. Rogers. 2009. The coral reef crisis: The critical importance of <350 ppm CO2. Marine Pollution Bulletin 58:1428-1436.

Tidak ada komentar: