Hamparan es kutub utara dan Greenland - sekarang dan nanti.
Foto: www.cedas.org/newsin3d.com
Di bulan Desember 2009 ini, sekitar 200 perwakilan Negara di dunia akan berkumpul di Copenhagen, Denmark, untuk menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PPB. Disanalah komitmen terbesar negara-negara dunia dalam mengurangi pengotoran atmosfir Kita akan terlihat.
Terus kenapa ?.
Terus kenapa ? adalah pertanyaan yang paling wajar untuk Kita lontarkan di benak Kita sebagai orang Indonesia. Jika begitu, bersyukurlah, berarti kita masih penasaran dengan diri Kita akan sejauh mana Kita bisa melindungi Laut. Lalu, mengapa tidak sekalian saja menyelamatkan Laut Kita?.
Jika ingin menyelamatkan lingkungan Laut, misalnya seperti ekosistem terumbu karang, berarti Kita harus berkomitmen menyelamatkan diri Kita dari Kita sendiri. Lain kata, menyelamatkan manusia esok dari manusia kini.
Mengapa esok? - karena yang merasakan sejauh mana ‘selamat’-nya Laut Kita adalah anak cucu kita, bukan Kita saat ini.
Mengapa kini? – Karena baik Laut, atmosfir dan daratan, mereka memerlukan perlindungan dari ‘sel kanker’ yang saat ini terus berkembang menggerogoti, yaitu Kita sendiri, manusia.
Menjelajah laut paling dalam, terbang ke bulan, penggandaan jaringan tubuh manusia dan hewan, membuat robot seukuran sel darah, bom nuklir – semua bisa dilakukan Kita. Hingga saat kini, kita bisa merubah iklim bumi kita.
Hei, mana kelanjutan ‘Copenhagen’-nya?
Oh, maaf, kembali fokus. Jadi, Desember ini, negara-negara peserta konferensi di Copenhagen akan mencoba menyepakati protokol baru dalam mengatasi perubahan iklim* dunia dan jumlah emisi gas rumah kaca yang akan mereka dikurangi.
Dalam konteks humor, Copenhagen bisa dibilang sebuah komitmen terbesar manusia di negara berkembang saat ini untuk mengendalikan intentistas dan frekuensi ‘kentut’ mereka di masa depan, agar tidak meracuni ekosistem sekitar mereka.
Foto: Coral Reef Targeted Research
Terhitung 11 November 2009 ini, jumlah emisi karbon dioksida di atmosfir Kita sekitar 385 ppm**. Angka ‘bencana’ bagi manusia dan ekosistem bumi adalah 450 ppm, namun bagi terumbu karang, ternyata ini masih terlalu tinggi.
Analisa terkini Charlie Veron dan rekan (2009) menyatakan bahwa, dibutuhkan kadar emisi CO2 atmosfir dibawah 360 ppm untuk menjamin kelangsungan ekologi terumbu karang kedepannya. Untuk mengimbangi pengasaman laut*** yang saat ini sudah berjalan dibawah 385 ppm dan telah berdampak pada terumbu karang dan ekosistem laut lainnya.
Di Copenhagen, para ilmuwan bahari akan ‘mendesak’ para pemimpin dunia untuk men-target penurunan emisi hingga 320 ppm untuk menghindari pengasaman laut berkelanjutan. Mari kita pantau terus media.
Berdasarkan Veron dkk., jika target ini tidak tercapai, dampak negatif seperti: pemutihan karang masal akibat meningkatnya suhu muka laut, terhambatnya pertumbuhan karang akibat air laut yang asam – akan berlanjut. Dalam nuansa 387 ppm saat ini, jika terus bertahan hingga 10 tahun kedepan saja, maka banyak terumbu dunia akan rusak, dan tak terpulihkan.
Sebagai bonus. Dengan laju peningkatan emisi saat ini, di kisaran tahun 2030-2040, jika manusia tidak bertindak, CO2 di atmosfir bisa mencapai 450 ppm. Dengan angka ini, frekuensi pemutihan karang masal terjadi setiap tahunya, dan serentak dengan kerusakan pengasaman laut dan serta dari gejala alam lainnya (badai pesisir yang semakin sering).
Di saat itu, ikan tidak banyak bertahan karena kehilangan rumah. Komoditas ikan semakin langka dan berharga. Masyarakat yang bergantung pada sumberdaya laut kehidupannya semakin terancam. Kompetisi sumberdaya laut semakin pesat, dan konflik / destabilisasi sosial akan lebih meningkat di kalangan masyarakat yang berketergantungan tinggi dengan sumber daya terumbu dan laut. Dan berita buruk seterusnya...
Hei, stop. Ada apa dengan ‘berlagak Tuhan’ disini? Adakah mampu kita ‘meramal’ masa depan terumbu karang dan teman-temannya?
Tak ada yang bermain Tuhan. Dan untuk menjawab ini akan kontradiktif dengan idealisme ilmiah-awam blog ini. Cukup balik lagi ke hati nurani Kita saat ini yang sedang bertanggung jawab akan kelestarian kebun besar laut dengan nama Coral Triangle / Segitiga Karang ini, dan kepedulian kita dengan nasib generasi penerus kita.
Kita sekarang sedang naik mobil, kecepatan 80 km/jam. Tiba-tiba di depan kita terlihat tikungan tajam. Seketika itu juga benak ita merespon 'menjelang tikungan Kita injak pedal rem perlahan dan konsentrasi penuh untuk berbelok dengan aman'.
‘Digdaya’-nya kemampuan ilmiah manusia saat ini dalam memprediksi iklim global tu SAMA responsifnya dengan tanggapan benak kita di uraian atas. Sehingga dengan seketika kita bisa masih mengambil keputusan untuk menghindari malapetaka. Saat ini kita sedang memasuki tikungan, nasib kita tergantung sejauh mana kemampuanKita menginjak rem dan memutar strir.
Lalu, disini apa peranan kita sebagai ‘Indonesia’ ? – akan berlanjut di bagian 2.
* Tentang ‘Perubahan klim/Pemanasan Global’, silahkan klik sini: Wikipedia Analisa terkini Charlie Veron dan rekan (2009) menyatakan bahwa, dibutuhkan kadar emisi CO2 atmosfir dibawah 360 ppm untuk menjamin kelangsungan ekologi terumbu karang kedepannya. Untuk mengimbangi pengasaman laut*** yang saat ini sudah berjalan dibawah 385 ppm dan telah berdampak pada terumbu karang dan ekosistem laut lainnya.
Di Copenhagen, para ilmuwan bahari akan ‘mendesak’ para pemimpin dunia untuk men-target penurunan emisi hingga 320 ppm untuk menghindari pengasaman laut berkelanjutan. Mari kita pantau terus media.
Berdasarkan Veron dkk., jika target ini tidak tercapai, dampak negatif seperti: pemutihan karang masal akibat meningkatnya suhu muka laut, terhambatnya pertumbuhan karang akibat air laut yang asam – akan berlanjut. Dalam nuansa 387 ppm saat ini, jika terus bertahan hingga 10 tahun kedepan saja, maka banyak terumbu dunia akan rusak, dan tak terpulihkan.
Sebagai bonus. Dengan laju peningkatan emisi saat ini, di kisaran tahun 2030-2040, jika manusia tidak bertindak, CO2 di atmosfir bisa mencapai 450 ppm. Dengan angka ini, frekuensi pemutihan karang masal terjadi setiap tahunya, dan serentak dengan kerusakan pengasaman laut dan serta dari gejala alam lainnya (badai pesisir yang semakin sering).
Di saat itu, ikan tidak banyak bertahan karena kehilangan rumah. Komoditas ikan semakin langka dan berharga. Masyarakat yang bergantung pada sumberdaya laut kehidupannya semakin terancam. Kompetisi sumberdaya laut semakin pesat, dan konflik / destabilisasi sosial akan lebih meningkat di kalangan masyarakat yang berketergantungan tinggi dengan sumber daya terumbu dan laut. Dan berita buruk seterusnya...
Hei, stop. Ada apa dengan ‘berlagak Tuhan’ disini? Adakah mampu kita ‘meramal’ masa depan terumbu karang dan teman-temannya?
Tak ada yang bermain Tuhan. Dan untuk menjawab ini akan kontradiktif dengan idealisme ilmiah-awam blog ini. Cukup balik lagi ke hati nurani Kita saat ini yang sedang bertanggung jawab akan kelestarian kebun besar laut dengan nama Coral Triangle / Segitiga Karang ini, dan kepedulian kita dengan nasib generasi penerus kita.
Kita sekarang sedang naik mobil, kecepatan 80 km/jam. Tiba-tiba di depan kita terlihat tikungan tajam. Seketika itu juga benak ita merespon 'menjelang tikungan Kita injak pedal rem perlahan dan konsentrasi penuh untuk berbelok dengan aman'.
‘Digdaya’-nya kemampuan ilmiah manusia saat ini dalam memprediksi iklim global tu SAMA responsifnya dengan tanggapan benak kita di uraian atas. Sehingga dengan seketika kita bisa masih mengambil keputusan untuk menghindari malapetaka. Saat ini kita sedang memasuki tikungan, nasib kita tergantung sejauh mana kemampuanKita menginjak rem dan memutar strir.
Lalu, disini apa peranan kita sebagai ‘Indonesia’ ? – akan berlanjut di bagian 2.
** Ppm = parts per million / bagian per sejuta, adalah satuan untuk kandungan gas tertentu di udara. Berdasarkan Observatorium NOOA / Mauna Loa. Data publikasi 11 november 2009
*** Pengasaman laut, lihat posting terdahulu Laut Kita dengan kategori ‘Pengasaman Laut / Ocean Acidification’
Referensi
- Carpenter, K., M. Abrar, G. Aeby, R. Aronson, S. Banks, A. Bruckner, A. Chiriboga, J. Cortes, J. Delbeek, and L. DeVantier. 2008. One-third of reef-building corals face elevated extinction risk from climate change and local impacts. Science 321:560. - Hoegh-Guldberg, O., P. Mumby, A. Hooten, R. Steneck, P. Greenfield, E. Gomez, C. Harvell, P. Sale, A. Edwards, K. Caldeira, N. Knowlton, C. Eakin, R. Iglesias-Prieto, N. Muthiga, R. Bradbury, A. Dubi, and M. Hatziolos. 2007. Coral Reefs Under Rapid Climate Change and Ocean Acidification. Science 318:1737-1742.
- Veron, J. E. N., O. Hoegh-Guldberg, T. M. Lenton, J. M. Lough, D. O. Obura, P. Pearce-Kelly, C. R. C. Sheppard, M. Spalding, M. G. Stafford-Smith, and A. D. Rogers. 2009. The coral reef crisis: The critical importance of <350 ppm CO2. Marine Pollution Bulletin 58:1428-1436.
1 komentar:
bener banget tuh... kita semua juga harus berperan aktif untuk menja kelestarian laut. bisa dilakuakn dengan hal yg kecil, misalnya jangan buang sampah sembarang ketika kita ada di pantai atau di tengah laut..
oia, jangan lupa mampir ke sini ya...
Posting Komentar