Sabtu, 03 Agustus 2013

Untaian Domino Yang Terus Berjatuhan Karena Dampak dari Aktivitas Penangkapan Hiu

Mochamad Iqbal Herwata Putra

Setiap mahluk hidup yang ada di bumi diciptakan memiliki perananya masing-masing untuk menjaga keseimbangan ekosistem di bumi, akan tetapi kita sebagai manusia terkadang lupa atau mengabaikan “peranan-nya”.

Peranan anggota masyarakat dalam sebuah “ekosistem” tak jauh beda dengan peranan biota terhadap ekosistem yang ada dilautan, setiap mahluk hidup yang ada dilaut memiliki peranannya masing-masing untuk membuat keseimbangan.

Lautan hidup, kedalaman menyimpan rahasia, dan kita berimajinasi didalamnya, dalam cerita atau mitos. Banyak sekali cerita dan mitos yang dan membuat “mindset”  yang salah kepada masyarakat terhadap biota yang ada dilaut, mungkin yang paling banyak menjadi korban adalah HIU, dibanyak cerita, mitos, atupun film memberikan reputasi yang buruk terhadap hiu, sosok hiu yang menyeramkan dan memakan manusia, padahal hiu sama sekali tidak tertarik kepada manusia bahkan takut terhadap manusia. Hiu adalah mahluk hidup yang pemalu dan penuh kehati-hatian dan jarang ditemui, menjadi hal langkan bagi seorang penyelam untuk dapat berenang langsung di alam. Kasus penyerangan yang biasanya terjadi terhadap manusia biasanya hiu salah mengartikan manusia sebagai makanannya.

Statistik 2009 mencatat manusia berenang dilautan 7 milyar kali, hanya 60 orang yang tercatat diserang hiu dan diakhiri dengan 5 kematian, itu seperti 5 butir pasir dilautan. Bandingkan dengan angka 24.000 orang yang setiap harinya mati tersambar petir.

Hiu memerankan peran penting di setiap ekosistem dilautan yang begitu kompleks, dan manusia ikut memainkan peranan itu karena manusia juga ikut memanfaatkan hasil laut dan menjadi ujung dari setiap rantai makanan sehingga manusia masuk didalamnya.

Kesemua mahluk hidup bergantung satu sama lain. Sederhanannya bila seorang peranan polisi dihilangkan maka tingkat kriminalitas akan semakin tinggi dan tidak ada yang mengamankan dan menekan angka kriminalitas, sehingga kesemua peranan anggota masyarakat saling keterkaitan satu sama lain membentuk sebuah keseimbangan, dan bila salah satu peran dari anggota masyarakat tidak dijalankan maka akan berdampak buruk ke anggota masyarakat yang lain, hal tersebut seperti efek “domino” yang saling berhubungan.

Keterkaitan satu sama lain seperti untaian efek domino yang dihasilkan
(Gamber: Video Sanctuary Indonesia)
Hal tersebut sama seperti Hiu, bila fungsinya di hapuskan maka keseimbangan di lautan menjadi terganggu. Penelitian di Hawai menunjukan peranan Hiu Harimau terhadap ketersedian stok ikan Tuna muda dan Kuwe, mengapa demikian? Penelitian menunjukan adannya keterkaita antara Hiu Harimau, Burung Laut, Ikan Tuna muda dan Kuwe. Dalam area yang aman maka terjadi keseimbangan, tetapi bila peranan Hiu Harimau dihilangkan akan berdampak buruk pada stok Ikan Tuna muda dan Kuwe, hal tersebut karena Hiu Harimau memakan Burung laut, dan burung laut memakan Ikan Tuna muda dan Kuwe, bila peranan Hiu Harimau dihilangkan maka akan terjadi ledakan populasi Burung Laut sehingga akan lebih banyak memakan Ikan Tuna muda dan Kuwe, dampaknya perikanan hawai bisa terpuruk, itu seperti untaian kartu domino yang terus berjatuhan.

Keseimbangan ekosistem akan menghasilkan melimpahnya ikan Tuna muda dan Kuwe
Jatuhnya untaian kartu domino juga terjadi dilaut karibia, disini Hiu memerankan peranan pentingnya dalam menjaga keseimbangan kesehatan terumbu karang, dimana ada keterkaitan antara Hiu, kerapu, dan ikan herbivore (pemakan alga). Dalam area yang aman keterkaitan biota tersebut membentuk suatu keseimbangan di ekosistem terumbu karang, namun bila peran Hiu dihilangkan apa yang akan terjadi? Ledakan alga yang menutupi terumbu karang dan berdampak hilangnya terumbu karang rumah untuk para ikan ! mengapa demikian? Ternyata keterkaitannya adalah Hiu memerankan sebagai pengontrol populasi Kerapu yang memiliki selera makan yang tinggi terhadp ikan herbivore, apabila peran hiu dihilangkan maka akan terjadi ledakan populasi kerapu, ledakan populasi kerapu ini di sambut baik nelayan, namun kesenangan itu hanya sementara karena dengan predasi yang tinggi terhadap ikan herbivore  maka pertumbuhan alga tidak terkontrol dan menutupi terumbu yang lambat lamun merusak strukturnya dan akhirnya mati, hilangnya terumbu karang hilang juga rumah untuk para ikan hidup dan pada akhirnya perikanan juga ikut terpuruk.

Keterkaitan ikan Hiu, Kerapu, dan ikan Herbivor dalam menjaga kesehatan terumbu karang
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Ikan keluarga Achanturidae (Pemakan alga) yang mengontrol pertumbuhan alga
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)

Manusia memburu hiu secara brutal, hanya untuk memuaskan pasar untuk sup sirip hiu, akan tetapi dampaknya begitu besar terhadap ekosistem dilautan dan ekonomi masyarakat. Tetapi kita seakan buta dan tuli bahwa telah terjadi “kebakaran di bawah laut sana”  yang dapat merugikan manusia pada akhirnya. Hiu bukanlah tandingan untuk ikan-ikan ekonomis lainnya yang dapat menghasilkan keturunan dengan cepat, Hiu sangat lambat untuk dewasa secara seksual dan menjadi sangat terancam populasi nya oleh aktivitas pemancingan. Tapi kita memperlakukannya seperti ikan-ikan lainnya dan di buru secara terus menurus oleh kapal industry perikanan, dan dampaknya populasi-nya menurun secara global. Hiu bukanlah tandingan untuk kenur panjang, jaring pukat, dan permintaan pasar yang tinggi untuk sup sirip Hiu.

Tingkat reproduksi ikan Hiu
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Ikan Hiu di TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Sirip hiu yang dijemur
Pada akhirnya kembali lagi kepada kita manusia yang memiliki akal dan dapat mengendalikan ekosistem agar tetap terjaga keseimbangan-nya, sudah seharusnya kita peduli terhadap lingkungan karena kita sendiripun hidup didalamnnya. Sudah banyak gerakan-gerakan penentangan penangkapan hiu namun kembai lagi kepada kita sebagai konsumen, masih maukah kita membiarkan kebakaran terjadi dibawah laut sana? Sudah seharusnya kita menjadi manusia yang semakin bijak dengan memutuskan untuk tidak mengkonsumsi Hiu.

Hiu Martil yang diambil sirip-nya
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Aksi kampanye anak-anak pelajar negara Guam dengan sukses melobi pemerintahnya untuk menghentikan praktek perdagangan Hiu
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)

Sabtu, 30 Maret 2013

Saat terancam, koral percepat pertumbuhannya, dan perubahan warna menjadi tandanya.

Protein fluoresen pada tubuh koral
Foto : Cayman Islands Twilight Zone 2007 Exploration, Michael Lesser & Charles Mazel, NOAA-OE.
Penelitian dari the University of Southampton dan National Oceanography di Southampton memberi pemahaman baru tentang bagaimana koral membangun daya tahan dan mekanisme penyembuhan terhadap penyakit dan perubahan kondisi lingkungan.

Kajian yang diterbitkan di jurnal ilmiah Coral Reefs tahun 2012 lalu ungkap bahwa percepatan pertumbuhan menjadi proses fisologis yang melatar belakangi perubahan warna koral yang dipicu penyakit, luka dan stress dari lingkungan.

Studi tersebut menyelidiki peranan pigmen yang menyerupai protein hijau fluoresen  / green fluorecent protein (GFP-like) yang berikan warna hijau, merah dan ungu-biru pada banyak koral penyusun terumbu (reef building corals).

Para peneliti mengamati pigment GFP-like dari spesies koral Laut Merah, Teluk Arab/Persia, dan Fiji lalu temukan bahwa pigmen tersebut berada pada jaringan tubuh koral yang sedang tumbuh seperti di bagian ujung cabang dan tepi koloni, baik koloni yang sehat maupun yang alami kerusakan.

Dr Joerg Wiedenmann, Dosen Senior dari Biological Oceanography sekaligus Kepala Coral Reef Laboratory di the University of Southampton, bersama tim-nya kemukakan bahwa pigmen tersebut menjadi penanda terjadinya percepatan pertumbuhan koral sebagai respon keberadaan unsur biologis asing di dalam tubuh atau koloni koral. Pigment tersebut merupakan penemuan baru komponen kimia yang menjadi indikator proses tumbuh secara berlebihan sebagai wujud pertahanan tubuh alami koral untuk menetralisir keberadaan organisme yang membahayakan dengan cara .

Mereka temukan bahwa percepatan pertumbuhan tersebut merupakan proses di balik 'sindrom bintik biru-merah-mudah / pink-blue spot syndrome' - perubahan warna koral yang dipicu luka pada tubuh koral. Mereka juga temukan bahwa keberadaan cacing tabung (tube worms) dan gastropoda (sesiput laut) pada koloni karang juga berhubungan kuat dengan peningkatan fluoresensi warna merah di tepian bagian koloni alami pertumbuhan berlebih.

Para peneliti berhasil mendeteksi pertumbuhan dan penambahan jaringan tubuh koral menggunakan bio-marka (penanda biologis) dari pigmen GFP-like tersebut. Kandungan protein fluoresen dari koral ini juga sering dimanfaatkan sebagai penanda untuk riset biomedis dan farmasi, sebab fluoresensi mereka mudah sekali dideteksi.

Dr Joerg Wiedenmann menyebutkan bahwa masa depan terumbu karang ditentukan kuat oleh strategi pengelolaan yang mendukung pemulihan dan daya tahan mereka. Kesuksesan usaha pengelolaan terumbu karang juga bergantung pada usaha kita mengidentifikasi area atau kawasan terumbu karang yang rentan terhadap gangguan tingkat tinggi.

Penelitian semacam ini andil membantu identifikasi kesehatan terumbu karang sebab penggunaan pigmen GFP-like sebagai biomarka bisa menjadi indikator terjadinya stress/kerusakan mekanik pada koral, seperti contohnya, yang diakibatkan perenang atau penyelam atau indikasi keberadaan parasit atau penyakit koral.

Penelitan tersebut juga pertegas dampak negatif perubahan keadaan lingkungan terhadap terumbu karang. Pengasaman laut dan penghangatan laut akibat perubahan iklim serta peningkatan nutrisi sebab pencemaran di perairan terumbu mampu menghambat pertumbuhan koral. Dengan demikian ancaman semacam juga akan mengurangi kemampuan koral bertahan terhadap kolonisasi organisme lain, termasuk kemampuan pulih dari kerusakan fisik akibat manusia, seperti perusakan, atau alam, seperti badai.

Referensi:

C. D’Angelo, E. G. Smith, F. Oswald, J. Burt, D. Tchernov, J. Wiedenmann. Locally accelerated growth is part of the innate immune response and repair mechanisms in reef-building corals as detected by green fluorescent protein (GFP)-like pigments. Coral Reefs, 2012; DOI: 10.1007/s00338-012-0926-8