Tampilkan postingan dengan label Ikan Paus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ikan Paus. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Juli 2012

Paus dan lumba-lumba: Mengapa mereka terdampar

Mengapa paus dan lumba-lumba terdampar di pantai? Tidak ada yang lebih tragis melihat paus - satu diantara satwa di bumi yang besar, anggun dan cerdas - terbaring tak berdaya, sekarat, di pantai. Terdamparnya paus, kadang secara masal, terjadi di berbagai belahan dunia - dan kita tidak tahu kenapa. Penelitian hingga kini masih sebatas hipotesa dan postulasi.

Banyak teori biologi dan ekologi yang menjelaskan kenapa paus dan lumba-lumba berenang ke perairan dangkal dan akhirnya terdampar.

Teori dari para peneliti menduga mereka mendamparkan dirinya sebab terluka atau sakit. Dalam keadaan ini mereka berenang terlalu dekat dengan pesisir untuk tujuan berlindung, namun malahan terperangkap sebab perubahan pasang ke surut. Gerombolan ikan sering kita sebut schools, untuk paus dan lumba-lumba disebut pods. Perilaku ini bagian dari karakteristik mereka sebagai makhluk yang bersosial. Terkadang, paus terdampar secara masal, sebab paus-paus yang sehat 'setia' - mereka tidak mau meninggalkan pod lain yang sedang sakit atau terluka, akhirnya ikut pula memasuki perairan dangkal.

'Pendamparan masal' (mass strandings) lumba-lumba terjadi lebih jarang dibanding paus. Diantara paus, jenis perenang laut dalam seperti paus sperma dan dan paus pilot, cenderung lebih sering terdampar dibandingkan paus pembunuh (orca) yang hidupnya memang lebih dekat pesisir.

Beberapa peneliti juga menduga paus mengejar mangsanya, atau beruaya, hingga terlalu dekat dengan pesisir, lalu terjebak saat perubahan pasang-surut. Namun teori ini juga ditolak sebab mereka terdampar biasanya di lokasi yang jauh dari habitat mangsa mereka, dan sering kali keadaan perut mereka kosong.

Teori yang saat ini paling kuat disepakati adalah adanya faktor yang mengganggu sistem navigasi paus, yang menyebabkan hilangnya daya tunjuk arah mereka, sehingga terlantar di perairan yang dangkal, hingga akhirnya terjebak di pantai.

Peneliti, baik sains dan pemerintahan, telah membuktikan hubungan antara sonar frekuensi rendah dan menengah yang dihasilkan kapal perang, dengan beberapa fenomena pendamparan masal yang bahkan mampu libatkan cidera serius pada paus dan juga lumba-lumba. Sonar militer teknologi tinggi, mampu melepas gelombang sonik bawah air - pada dasarnya sebuah suara yang sangat keras dan kuat - yang mampu merambat hingga ratusan mil di bawah air.

Di tahun 2000 bahaya sonar terhadap mamalia laut mendapat bukti kuat ketika empat spesies paus di Bahama terdampar setelah kapal perang AL AS melepaskan gelombang sonar frekuensi menengah di kawasan tersebut. Angkatan laut AS menolak pertanggung jawaban, meskipun penelitian jelas simpulkan bahwa sonar sebabkan tragedi tersebut.

Paus yang terdampar akibat sonar bisa dilihat dari trauma fisiknya, seperti pendarahan di otak, telinga dan jaringa dalam lainnya. Terdamparnya paus akibat sonar bisa disamakan dengan gejala penyakit dekompresi atau bends pada penyelam SCUBA yang terpicu akbiat penyelam naik ke permukaan terlalu cepat dari penyelaman dalam. Dari keadaan diduga kuat sonar menggagu pola selam mereka.

Penyebab lain terganggunya navigasi paus dan lumba-lumba adalah:
- Kondisi cuaca
- Penyakit (virus, luka di otak, parasit di telinga dan sinus)
- Aktifitas seismik bawah air (atau gempa bawah air / seaquakes)
- Anomali medan magnetik
- Topografi dasar laut yang tidak dikenal mereka.

Namun, pada akhirnya, tergantung bagaimana kita bertindak saat paus atau lumba-lumba terdampar. Jarak paus/lumba-lumba yang terdampar dengan keberadaan masyarakat sekitar sangat menentukan kelulushidupan mereka. Termasuk juga menggerakkan masyarakat, dan memberi kesadartahuan yang cukup bagi masyarakat untuk menolong mereka saat terdampar. Tahun 2011 lalu , di Christchurch, New Zealand, 100 lebih paus pilot terdampar. Bahkan sejak 1840, terhitung 13.000 pendamparan paus di sana.

Selain sonar kapal besar industrial, perubahan iklim juga diduga kuat andil sebabkan ini. Pemanasan global yang sebabkan peningkatan suhu air laut, alhasil kadang mempengaruhi perubahan suhu dilapisan kolom air di kedalaman. Suhu kedalaman yang dulu 'cocok' sebagai jalur navigasi paus, bisa jadi menjadi jalur 'baru' di kedalaman lebih dangkal. Demikian juga akibat berubahnya pemilihan habitat yang diminai ikan-ikan yang dimangsa paus. Ikan makanan mungkin berenang lebih dangkal dari habitat alaminya, sebab kedalaman 'suhu nyaman' mereka berubah, lalu dan paus mengikutinya untuk dimangsa.

Jadi kadang pendamparan paus bukan hubungan sebab-akibat secara langsung, namun efek domino terakhir dari rangkaian perubahan anomali alam. Whale and Dolphin Society menjabarkan beberapa saran untuk antisipasi dan respon kita saat menemukan paus terdampar (Bahasa Inggris).

Selain secara moral dan etis, sebuah kesalahan yang besar, bahkan fatal, bagi masyarakat jika menyentuh organ internal paus atau lumba-lumba yang terdampar (misal: membedah, memotong, atau bahkan mengkonsumsi).

Mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba adalah hewan di tingkat teratas rantai makanan. Biomagnifikasi tertinggi terjadi dalam tubuh mereka, yaitu penumpukan secara biologis polutan organik persisten dari rantai makanan yang dimangsa biota-biota di bawah mereka. Kata 'persisten' merupakan peringatan bagi kita, yang artinya polutan organik tersebut tidak mudah larut dalam tubuh kita, bersifat toksik (beracun) bahkan bersifat karsinogenik/mutagen, dan larut dalam lemak (mudah terserap dan menetap permanen dalam tubuh).

Sementara ini, kita tidak akan tahu pasti dengan segera penyebab paus atau lumba-lumba terdampar saat itu juga. Namun pastinya kita bisa usahakan penyebaran berita, penggalangan logistik bantuan, serta tenaga relawan penolong untuk melepas mereka yang terjebak di dangkalan.

Ketika masyarakat dengan proaktif dan otonom menyelamatkan satwa, disitulah kebangkitan bangsa berlangsung.

Referensi:
-  Tulisan dari Larry West, jurnalis isu lingkungan finalis piagam Pulitzer dan Meeman Award.
- Evans et al. 2005. Periodic variability in cetacean strandings: links to large-scale climate events. Biol Lett. 2005 June 22; 1(2): 147–150.
- Simmonds dan Isaac. 2007. The impacts of climate change on marine mammals: early signs of significant problems. Oryx (2007), 41 : pp 19-26
- WDCS International

Rabu, 17 Agustus 2011

Paus Ramadhan di Teluk Mutiara-Alor Kabupaten Alor-NTT

Dwi Ariyogagautama, 5 Agustus 2011

Tanggal 3 Agustus 2011 yang lalu tepatnya pukul 17:00 WITA terlihat semburan paus sebanyak 4 ekor, 3 berukuran besar dan 1 berukuran kecil. Lokasi pertama terlihat tepat 100-200m didepan kantor WWF-Indonesia Solar Project yaitu di teluk Mutiara -Kabupaten Alor-NTT. Kordinatnya yaitu : LS : -8,22463369, BT 124,53206501. Banyak orang yang melihat kejadian langka ini, bukan hanya staff WWF tapi juga penduduk lokal dan turis yang kebetulan berada di pelabuhan Kalabahi dalam rangka Sail Wakatobi.

Gambar 1. Peta lokasi ditemukannya 4 Paus Biru
Diperkirakan kedalaman teluk ini diatas 30m, dan paus tersebut berenang disekitar bagan apung. Kami sempat merekam paus tersebut dalam jarak sekitar 50m ketika bernafas (breathing), deskripsi yang dapat kami lihat adalah punggungnya yang selebar ±2m memiliki warna hitam dan terdapat bercak-bercak putih. Semburannya tunggal setinggi 5-6m untuk paus yang besar dan ±2m untuk paus yang kecil. Sebelum menyembur terlihat tonjolan terlebih dahulu, kemudian diiringi semburan, 4-5detik kemudian sirip dorsal terlihat kepermukaan (total punggung terlihat dipermukaan 7 detik), diperkirakan punggung yang terlihat sepanjang 4-5 m.

Gambar 2. Urutan Paus ketika bernafas

Gambar 3. Semburan diperkirakan 5-6 meter (Khaifin)

Berdasarkan pengamatan kami, jenis paus yang paling mendekati ciri-ciri tersebut adalah berjenis Paus Biru atau Blue Whale (Balaenoptera musculus). Secara berkelompok paus tersebut berenang bersama anak paus. Hingga Pukul 18:00 WITA 2 paus masih terlihat disekitar bagan apung (1 paus berukuran besar dan 1 paus berukuran kecil)., sedangkan 2 lainnya sudah berenang menjauhi pantai.

Paus Biru itu sendiri termasuk dalam salah satu jenis biota laut yang masuk dalam daftar merah (Red list ) yaitu statusnya terancam punah (endanger) berdasarkan IUCN (2000). Total populasi diseluruh dunia diperikarakan berkisar 5000-12.000 ekor pada tahun 2002 (Wikipedia).

Ancaman-ancaman yang ada juga dapat mempengaruhi populasi yang ada, yaitu seperti terkena baling-baling kapal, aktivitas kesibukan pelayaran di tempat migrasi mereka sehingga dapat mengganggu komunikasi antar Paus Biru, terakumulasinya bahan kimia seperti Polychlorinated biphenyl (PCB) didalam tubuh paus juga sudah pernah ditemukan, dan juga perubahan iklim pun menjadi ancaman terhadap pola distribusi dan pasokan makanan mereka. Sedangkan ancaman keberadaan paus biru yang kami temukan di teluk Mutiara ini yaitu padatnya aktivitas pelayaran dari kapal-kapal cargo dan kapal penumpang antar pulau, kemudian ancaman berikutnya adalah dikhawatirkan ketika air surut.

Hingga tanggal 4 Agustus 2011, paus tersebut pun masih terlihat di lokasi yang sama. Saat ini perairan Kabupaten Alor telah menjadi daerah pencadangan Kawasan konservasi laut Daerah (KKLD) Kabupaten.Alor semenjak dideklarasikan pada Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2009 untuk perluasan daerah KKLD Selat Pantar menjadi KKLD Kabupaten Alor seluas 400.083 ha. Dalam luasan perairan Kabupaten Alor tersebut merupakan salah satu jalur migrasi hewan-hewan laut yang dilindungi, seperti halnya mamalia laut (Cetacean). Berdasarkan data Benjamin Kahn (2002) ditemukan 7 jenis paus dan 5 jenis lumba-lumba yang melintasi perairan kabupaten Alor, serta berdasarkan pengamatan WWF-Indonesia Solar Project terdapat juga Duyung (Dugong dugon). Paus biru telah teridentifikasi dilokasi ini bukan saja sebagai potensi alam yang dapat mengangkat nama Kabupaten Alor, namun upaya untuk melindungi keberadaannya juga sangat penting, melalui KKLD Alor ini diharapkan segala potensi alam laut dapat terkelola dengan baik untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat kabupaten Alor (YG).




Minggu, 25 April 2010

Kotoran ikan Paus bisa menurunkan kandungan karbon: Wow, banyak kandungan zat besi !

Bersiaplah untuk berita 'jorok' untuk kali ini. Namun, berita jorok ini telah jadi banyak headline di awal tahun ini seperti:
Penelitian terkini mengungkap peranan kotoran ikan Paus dalam produktifitas Perairan Selatan dunia. Ilmuwan dari Australian Antarctic Division (AAD) dan the Antarctic Climate and Ecosystem Cooperative Research Centre sedang melihat bagaimana Krill dan ikan Paus mempengaruhi kandungan nutrisi zat besi di Perarian Selatan.

Ikan paus sedang 'pup'.
Foto: http://www.planktos-science.com/

Iron (zat besi) adalah elemen esensial di lautan yang memungkinkan terjadinya produksi tumbuhan akuatik, umum dikenal sebagai Algae, yang menyerap karbon dioksida (CO2).

Ketika Algae mati, mereka tenggelam dan mengikat Iron dari permukaan laut, namun kebanyakan Algae umumnya dimakan Krill, yang kemudian menjadi santapan favorit hewan yang jauh lebih besar seperti Singa Laut, Pinguin dan ikan Paus.

Krill, makanan favorit ikan Paus.
Foto: http://www.somas.stonybrook.edu/

Penelitian yang dilakukan Dr Steve Nicol dan rekan di AAD mencoba melihat sampel feses dan jaringan tubuh empat spesies paus Baleen dan sampel jaringan tubuh dari tujuh spesies Krill.

Video Paus berburu Krill


Para peneliti menemukan bahwa Krill menumpuk zat iron yang mereka konsumsi di dalam tubuh mereka, dan sebab mereka berenang dekat permukaan mereka juga berperan menjaga zat iron berada di lapisan teratas lautan. Sebab itulah kandungan Iron di kotoran ikan Paus sangat tinggi.

Sekitar 24% dari total kandungan zat Iron di permukaan Perairan Selatan saat ini berada didalam jaringan tubuh Krill. Wow. Peranan sangat besar untuk kelompok makhluk berukuran 1 - 2 centimeter.

Estimasi terkini biomasa Krill di Perairan Selatan adalah 379 juta ton, menyimpan sekitar 15.000 ton zat Iron.

Ketika ikan paus mengkonsumsi Krill yang kaya-akan-zat-Iron, mereka membuang kebanyakan dari Iron tersebut ke laut, secara langsung 'memberi pupuk' pada laut dan memicu bergulirnya siklus rantai makan bagi Krill lagi.

Kandungn iron di feses Paus Baleen terhitung bisa mencapai 10 juta kali kandungan Iron di air laut Antartika.

Sebelum perikanan komersil paus dimulai awal satu abad lalu, paus biasa mengkonsumsi sekitar 190 juta ton Krill, yang berarti sekitar 7.6000 ton  feses -kaya-zat-besi.

Kemampuan 'memupuk' laut  yang luar biasa ini menjadikan ikan Paus berperan dalam mendaur ulang sekitar 12% kandungan zat iron di lapisan atas Perairan Selatan.

Peranan Krill dan ikan Paus dalam daur ulang nutrisi laut menjelaskan kita bagaimana ekosistem Kita mendukung proses 'memangsa' dan 'dimangsa' antara populasi biota mini dengan raksasa.

Penelitian ini memperkirakan bahwa, di masa depan, meningkatnya populasi ikan Paus dan Krill akan memberikan dampak positif dalam kesuburan ekosistem Perairan Selatan dan meningkatkan kemampuan laut untuk menyerap CO2.

Berlebihannya Kita dalam mencemari atmosfir melalui emisi karbon Kita telah mendukung ekspansi manusia dalam merusak laut melalui fenomena Pengasaman laut / Ocean Acidification. Sekecil-kecilnya komponen dan proses di alam ini adalah God given dan semua ada tujuannya. Bahkan Paus dan Krill, mereka punya tugas alamiah menjaga kandungan CO2 di laut.

Pertanyaanya adalah, apakah 'sampah CO2' yang kita sumbang ke laut setiap harinya seimbang dengan  kemampuan laut dan biotanya untuk bertahan? Berapa lama lagikah ikan Paus bisa bertahan menjalankan tugas mulia-nya dengan kapasitas pembantaian paus oleh  manusia yang terus merajalela?


Referensi 

Nicol, S, Bowie, A, Jarman, S, Lannuzel, D, Meiners, KM & Merwe, Pvd 2010, 'Southern Ocean iron fertilization by baleen whales and Antarctic krill', Fish and Fisheries, vol. 9999, no. 9999