Tampilkan postingan dengan label Perikanan Lestari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perikanan Lestari. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 Januari 2015

Konservasi hiu diatas mangkok



Ikan-ikan dipilah sesuai jenisnya kedalam keranjang, lalu dengan sigap kedua pekerja segera membawa keranjang ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang sudah ramai sebelum terbitnya matahari.

Tidak boleh lengah berdiri diantara lalu lalang pengangkut ikan di salah satu pelabuhan perikanan terpadat di pesisir Pulau Jawa tersebut. Aktifitas bongkar muat dan transaksi semua berlangsung cepat, menjadi pemandangan sehari-hari di pelabuhan ini.


Di sebuah pelataran di TPI tampak sebuah kerumunan khusus bagi pengepul yang membeli ikan jenis hiu dan pari gitar. Saat itu tiga pengepul yang sedang mengamati dan memberikan arahan kepada anak buahnya untuk memotong sirip disemua bagian tubuh hiu dan pari gitar.

Sirip dikumpulkan jadi satu tumpukan besar, sedangkan dagingnya akan dijual kembali ke pembeli lainnya. Tampak juga tumpukan moncong-moncong pari gitar, salah satu pengepul berniat menjualnya untuk diekspor sebagai bahan baku kosmetik.



Tidak tanggung-tanggung. Dua jam saja berada ditengah aktifitas tersebut, hitungan kasar saya lebih dari 160 ekor hiu martil telah dipotong siripnya. Kebanyakan ukuran mereka kecil, menandakan usia juvenil.

Semua hiu dan pari yang ada saat itu merupakan tangkapan sampingan dari alat tangkap payang yang umum dioperasikan nelayan dengan kapal kapasitas 20-30 GT. Betul – sampingan - bukan tangkapan yang utama diincar nelayan. Keistimewaan fungsi biologi hiu saat itu tidak masuk perhitungan lagi. Baik hiu dan ikan tangkapan sampingan semata sama-sama ikan.

Daging hiu dijual untuk diolah menjadi daging asap atau daging yang kemudian dipasarkan di kota-kota sekitar di Jawa Timur. Seperti komoditi pangan lain, daging hiu juga bagian pasar domestik di Indonesia.

Pasaran hiu domestik bertahan antara lain sebab permintaan konsumen domestik terhadap produk olahan hiu, harga yang murah sebagai tangkapan sampingan, ketidakpahaman masyarakat terhadap pentingnya hiu dan peraturan yang ada. Bahkan saat sudah jadi daging olahan, tidaklah mudah bagi masyarakat untuk membedakan apakah itu daging hiu atau pari.

Beragam tantangan besar perlu kita kelola bersama untuk mengurangi tekanan pada populasi hiu. .
Beberapa pengusaha sirip hiu di Indonesia kini mulai memahami bahwa beberapa jenis hiu dilarang untuk diperdagangkan. Sembari mengambil beberapa sirip punggung hiu martil dengan panjang sekitar dua jengkal dewasa, pengepul menjelaskan bahwa sirip tersebut sudah dilarang, bahkan untuk memasarkannya keluar negeri pun tidak sembarangan.

Adanya kebijakan pengaturan perdagangan hiu baik di negara konsumen hiu dan di Indonesia berdampak pada bisnis sirip hiu. Pengusaha lebih berhati-hati dalam melayani kuota permintaan serta memilih jalur pemasaran sirip hiu. Namun, insentif peluang akses transportasi melalu udara maupun laut akan menjadi insetif utama untuk mempertahankan bisnis sirip hiu.

Di akhir 2014, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menambah deretan kebijakan perdagangan hiu yang ada.

KKP telah menambahkan  jenis hiu yang telah diratifikasi dalam CITES ke dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 59/ PERMEN-KP /2014 tentang  Larangan Pengeluaran Ikan Hiu koboi (Carcharinus longimanus), dan Hiu Martil (Sphyrna spp) dari Wilayah RI ke luar negara RI. 

Diharapkan peraturan ini, dalam penerapanya, membuat perizinan ekspor komoditi hiu yang lebih selektif.



Rantai perdagangan hiu dari nelayan hingga konsumen, dari tangan pengepul hingga restoran umumnya tidak terekspos ke khalayak luas, sebab umumnya tertutup. Namun semua bisa andil kurangi tekanan pada hiu.

Bersama dengan pemerintah yang menerapkan pengaturan dan pengawasan perdagangan hiu, masyarakat memiliki peranan yang sama kuat dalam mengontrol laju permintaan komoditi berbahan dasar hiu.

Kita sebagai konsumen bisa bantu dengan berusaha lebih cermat dan bijak, untuk tidak memilih hiu atau ikan laut yang populasinya terancam untuk hidangan laut kita.

Berdasarkan data WWF-Indonesia tahun 2014 di DKI Jakarta setidaknya 60-120 menu makanan berbahan olahan sirip hiu setiap bulannya dikonsumsi setiap restoran yang menyajikan menu hisit ini. Ini masih jauh angka konsumsi hiu sebenarnya yang mungkin lebih besar lagi, sebab belum menghitung konsumsi daging hiu di tingkat rumah tangga.

Kita sebagai masyarakat bisa lebih cermat dan bijak dengan:
  1. Tidak mengkonsumsi produk olahan hiu dan souvenir dari bagian hiu.
  2. Selalu bertanya kepada penjual mengenai bahan baku daging ikan yang akan dibeli, terutama pada ikan asin, daging asap dan abon ikan.
  3. Turut menginformasikan lokasi kuliner hiu melalui sosmed ke account twitter @ditkkji dan ditambahkan hashtag #SOSharks #Saveshark.
  4. Mendorong perusahaan kargo, ekspedisi, perhotelan dan restoran untuk tidak membeli, mengangkut, dan menyediakan produk hiu dengan mengisi petisi online atau mengirimkan surat resmi ke perusahaan.
  5. Mendorong Pemerintah provinsi untuk membuat kebijakan pelarangan konsumsi hiu melalui media komunikasi yang tersedia saat ini, seperti sosmed.
  6. Memberikan meneruskan informasi ini ke keluarga dan teman.

Sabtu, 03 Agustus 2013

Untaian Domino Yang Terus Berjatuhan Karena Dampak dari Aktivitas Penangkapan Hiu

Mochamad Iqbal Herwata Putra

Setiap mahluk hidup yang ada di bumi diciptakan memiliki perananya masing-masing untuk menjaga keseimbangan ekosistem di bumi, akan tetapi kita sebagai manusia terkadang lupa atau mengabaikan “peranan-nya”.

Peranan anggota masyarakat dalam sebuah “ekosistem” tak jauh beda dengan peranan biota terhadap ekosistem yang ada dilautan, setiap mahluk hidup yang ada dilaut memiliki peranannya masing-masing untuk membuat keseimbangan.

Lautan hidup, kedalaman menyimpan rahasia, dan kita berimajinasi didalamnya, dalam cerita atau mitos. Banyak sekali cerita dan mitos yang dan membuat “mindset”  yang salah kepada masyarakat terhadap biota yang ada dilaut, mungkin yang paling banyak menjadi korban adalah HIU, dibanyak cerita, mitos, atupun film memberikan reputasi yang buruk terhadap hiu, sosok hiu yang menyeramkan dan memakan manusia, padahal hiu sama sekali tidak tertarik kepada manusia bahkan takut terhadap manusia. Hiu adalah mahluk hidup yang pemalu dan penuh kehati-hatian dan jarang ditemui, menjadi hal langkan bagi seorang penyelam untuk dapat berenang langsung di alam. Kasus penyerangan yang biasanya terjadi terhadap manusia biasanya hiu salah mengartikan manusia sebagai makanannya.

Statistik 2009 mencatat manusia berenang dilautan 7 milyar kali, hanya 60 orang yang tercatat diserang hiu dan diakhiri dengan 5 kematian, itu seperti 5 butir pasir dilautan. Bandingkan dengan angka 24.000 orang yang setiap harinya mati tersambar petir.

Hiu memerankan peran penting di setiap ekosistem dilautan yang begitu kompleks, dan manusia ikut memainkan peranan itu karena manusia juga ikut memanfaatkan hasil laut dan menjadi ujung dari setiap rantai makanan sehingga manusia masuk didalamnya.

Kesemua mahluk hidup bergantung satu sama lain. Sederhanannya bila seorang peranan polisi dihilangkan maka tingkat kriminalitas akan semakin tinggi dan tidak ada yang mengamankan dan menekan angka kriminalitas, sehingga kesemua peranan anggota masyarakat saling keterkaitan satu sama lain membentuk sebuah keseimbangan, dan bila salah satu peran dari anggota masyarakat tidak dijalankan maka akan berdampak buruk ke anggota masyarakat yang lain, hal tersebut seperti efek “domino” yang saling berhubungan.

Keterkaitan satu sama lain seperti untaian efek domino yang dihasilkan
(Gamber: Video Sanctuary Indonesia)
Hal tersebut sama seperti Hiu, bila fungsinya di hapuskan maka keseimbangan di lautan menjadi terganggu. Penelitian di Hawai menunjukan peranan Hiu Harimau terhadap ketersedian stok ikan Tuna muda dan Kuwe, mengapa demikian? Penelitian menunjukan adannya keterkaita antara Hiu Harimau, Burung Laut, Ikan Tuna muda dan Kuwe. Dalam area yang aman maka terjadi keseimbangan, tetapi bila peranan Hiu Harimau dihilangkan akan berdampak buruk pada stok Ikan Tuna muda dan Kuwe, hal tersebut karena Hiu Harimau memakan Burung laut, dan burung laut memakan Ikan Tuna muda dan Kuwe, bila peranan Hiu Harimau dihilangkan maka akan terjadi ledakan populasi Burung Laut sehingga akan lebih banyak memakan Ikan Tuna muda dan Kuwe, dampaknya perikanan hawai bisa terpuruk, itu seperti untaian kartu domino yang terus berjatuhan.

Keseimbangan ekosistem akan menghasilkan melimpahnya ikan Tuna muda dan Kuwe
Jatuhnya untaian kartu domino juga terjadi dilaut karibia, disini Hiu memerankan peranan pentingnya dalam menjaga keseimbangan kesehatan terumbu karang, dimana ada keterkaitan antara Hiu, kerapu, dan ikan herbivore (pemakan alga). Dalam area yang aman keterkaitan biota tersebut membentuk suatu keseimbangan di ekosistem terumbu karang, namun bila peran Hiu dihilangkan apa yang akan terjadi? Ledakan alga yang menutupi terumbu karang dan berdampak hilangnya terumbu karang rumah untuk para ikan ! mengapa demikian? Ternyata keterkaitannya adalah Hiu memerankan sebagai pengontrol populasi Kerapu yang memiliki selera makan yang tinggi terhadp ikan herbivore, apabila peran hiu dihilangkan maka akan terjadi ledakan populasi kerapu, ledakan populasi kerapu ini di sambut baik nelayan, namun kesenangan itu hanya sementara karena dengan predasi yang tinggi terhadap ikan herbivore  maka pertumbuhan alga tidak terkontrol dan menutupi terumbu yang lambat lamun merusak strukturnya dan akhirnya mati, hilangnya terumbu karang hilang juga rumah untuk para ikan hidup dan pada akhirnya perikanan juga ikut terpuruk.

Keterkaitan ikan Hiu, Kerapu, dan ikan Herbivor dalam menjaga kesehatan terumbu karang
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Ikan keluarga Achanturidae (Pemakan alga) yang mengontrol pertumbuhan alga
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)

Manusia memburu hiu secara brutal, hanya untuk memuaskan pasar untuk sup sirip hiu, akan tetapi dampaknya begitu besar terhadap ekosistem dilautan dan ekonomi masyarakat. Tetapi kita seakan buta dan tuli bahwa telah terjadi “kebakaran di bawah laut sana”  yang dapat merugikan manusia pada akhirnya. Hiu bukanlah tandingan untuk ikan-ikan ekonomis lainnya yang dapat menghasilkan keturunan dengan cepat, Hiu sangat lambat untuk dewasa secara seksual dan menjadi sangat terancam populasi nya oleh aktivitas pemancingan. Tapi kita memperlakukannya seperti ikan-ikan lainnya dan di buru secara terus menurus oleh kapal industry perikanan, dan dampaknya populasi-nya menurun secara global. Hiu bukanlah tandingan untuk kenur panjang, jaring pukat, dan permintaan pasar yang tinggi untuk sup sirip Hiu.

Tingkat reproduksi ikan Hiu
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Ikan Hiu di TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Sirip hiu yang dijemur
Pada akhirnya kembali lagi kepada kita manusia yang memiliki akal dan dapat mengendalikan ekosistem agar tetap terjaga keseimbangan-nya, sudah seharusnya kita peduli terhadap lingkungan karena kita sendiripun hidup didalamnnya. Sudah banyak gerakan-gerakan penentangan penangkapan hiu namun kembai lagi kepada kita sebagai konsumen, masih maukah kita membiarkan kebakaran terjadi dibawah laut sana? Sudah seharusnya kita menjadi manusia yang semakin bijak dengan memutuskan untuk tidak mengkonsumsi Hiu.

Hiu Martil yang diambil sirip-nya
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)
Aksi kampanye anak-anak pelajar negara Guam dengan sukses melobi pemerintahnya untuk menghentikan praktek perdagangan Hiu
(Gambar: Video Sanctuary Indonesia)

Rabu, 26 Desember 2012

Penangkapan Ikan Pelagis di Rumpon Laut Dalam

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID
Dwi Ariyogagautama

Tak afdol rasanya jika sedang ada jadwal kunjungan ke desa Balauring, tetapi tidak melaut.  Sudah menjadi bagian dari pekerjaan yang dibiasakan untuk mengikuti aktivitas nelayan didesa ini. Lagi pula mengumpulkan stock foto nan exotic di tanah lomlen ini juga taka da habisnya.  Kali ini ketua forum nelayan (Pa Zainudin) sendiri yang bersedia menumpangi saya untuk ikut dikapalnya untuk menangkap tuna.

Berangkat jam 5:00 WITA, kami menuju kerumpon pribadi pa Zainudin, hanya 30 menit perjalanan. Sesampai di rumpon sudah ada aktivitas kapal purse seine yang sedang sibuk menarik jaringnya yang cukup besar dan dalam, menurut ketua kedalaman bisa mencapai 50 m. Target penangkapan alat tangkap ini merupakan ikan pelagis kecil seperti tongkol dan layang, namun sering tertangkap juga ikan sura (Rainbow Runner).  Pa Zaenudin kemudian memantau dan membantu proses penarikan jaring lingkar tersebut. Wajar hal ini untuk memastikan penarikan jarring tidak merusak rumpon miliknya dan beliau juga melihat berapa banyak ikan yang berhasil diangkat, karena akan ada pembagian hasil antara kapal pemilik rumpon dengan pemilik kapal purse seine itu sendiri. Sepengetahuan saya didesa ini sistem bagi hasil adalah 1/3 bagian untuk pemilik rumpon dari jumlah ikan yang terjual.

Bagi saya ini merupakan momen yang menarik untuk dituangkan kedalam lensa yang saya bawa..sambil mendayung menghadap sang matahari dibalik pulau Lomlen, klik klik klik berikut gambar yang saya dapatkan.

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID
Purse seine atau pukat cincin merupakan alat tangkap yang sangat efektif dalam penangkapan ikan pelagis kecil, apalagi jika ditambah dengan alat bantu rumpon peluang mendapatkan ikan dalam jumlah banyak semakin besar. Memperhitungkan arah arus, setting atau proses pelepasan jaring dipastikan mendapatkan ikan yang cukup hingga sangat banyak. Dampak negative purse seine adalah dapat menjadi tidak selektif jika mata jaringnya tidak sesuai dengan ikan target dan intensitas penggunaannya tinggi.  Disisi lain nelayan dengan alat tangkap lain yang selektif seperti pancing tuna, juga bergantung pada rumpon yang sama. Salah satu cara yang efektif dalam penangkapan tuna yaitu dengan rumpon dibandingkan dengan mengejar lumba-lumba. Perhitungan BBM dan kepastian keberadaan ikan lebih jelas.

Berdasarkan data WWF diawal tahun Januari-febuari 2012, ketika survey EAFM. Diperhitungkan bahwa pendapatan nelayan rata-rata perbulan baik dimusim paceklik, sedang maupun puncak pada alat tangkap purse seine setidaknya RP. 5.959.000/bulan sedangkan nelayan tuna sebesar Rp. 2.446.000/bulan. Oleh karena itu rumpon memiliki berkah tersendiri bagi penangkap ikan pelagis didaerah ini.

Dalam beberapa kasus, dijumpai juga adanya konflik internal diantara kedua pengguna alat tangkap yang berbeda tersebut diwilayah yang sama yaitu di rumpon terutama ketika trip atau intensitas penggunaan purse seine meningkat atau juga ketika musim puncak tuna tiba waktunya. Didaerah ini ataupun didaerah lainnya seperti di Kabir dan Adang di kabupaten Alor, pemancing tuna hampir tidak mempunyai rumpon khusus untuk dipancing saja yang mereka kelola. Rumpon yang tersebar sepanjang perairan utara Kabupaten Lembata dan Alor merupakan milik nelayan purse seine, lampara, Jala lompo dan perusahaan perikanan tuna yang menginvestasikan rumpon sebagai alat bantu nelayan tuna didesa target mereka.

Pemancing tuna sebagian besar masih bermasalah dalam pengaturan keuangan Rumah Tangga hingga faktor luar (eksternal) seperti perubahan musim perikanan dan faktor alam lainnya terus melemahkan kekuatan ekonominya. Hal ini sangat menyulitkan nelayan untuk dapat menginvestasikan modalnya untuk pembuatan rumpon secara individu, tapi bukan tidak memungkinkan hal ini terjawab jika dikumpulkan secara berkelompok. 

Pengaturan alat tangkap pelagis perlu diperhatikan dalam pemaanfaatannya, terlebih lagi jika dihadapi dengan adanya alat tangkap yang massif dan selektif didalam satu ruang wilayah yang sama dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Beberapa hal langkah yang diusulkan untuk diambil oleh berbagai pihak dalam mewujudkannya antara lain :
  1. Perlunya pengaturan jumlah rumpon pada wilayah tertentu - Sebenarnya sudah ada aturannya ditingkat pusat terkait rumpon seperti pembahasan tulisan sebelumnya,yaitu jarak antar rumpon yaitu 10 mil, tidak dipasang seperti pagar, dan harus memiliki perizinan yang sesuai dengan lokasi peletakannya, yaitu 2-4mil (perijinan kabupaten), 4-12 mil (perijinan provinsi) dan 12-200 mill (perijinan pusat). Identifikasi lebih baik dilakukan terlebih dahulu, karena permasalahan perijinan masih belum dipenuhi dibanyak tempat, kemudian diiringi dengan sosialisasi dalam memberikan pemahaman aturan rumpon tersebut dengan fokus menjawab permasalahan teknis didaerah kepulauan. Dan langkah terakhir dengan membuat sistem punish and reward pada pemilik rumpon yang mematuhi ataupun yang melanggar aturan yang sudah ada. Jika sudah ada zonasi perairan tersebut tentunya pengaturan ini bisa diintegrasikan didalam dokumen rencana pengelolaan kawasan (Management plan)
  2. Perlunya pengaturan jumlah effort (usaha penangkapan) bagi alat tangkap purse seine - Pemanfaatan purse seine tidak salah dalam hal ini selama menjawab kebutuhan ketahanan pangan lokal maupun domestic, namun akan berdampak buruk jika berlebihan dalam menjawab kebutuhan industri.  Melakukan Pengawasan dan pemantauan dalam pengecheckan kesesuaian ukuran mata jaring, pengaturan jumlah instensitas penangkapan memang sulit dilakukan, namun tetap perlu diimplementasikan untuk memberikan waktu bagi ikan target untuk recovery atau bereproduksi atau alternative lainnya adalah dengan membatasi perijinan kapal purse seine yang beroperasi pada wilayah tertentu dan memprioritaskan bagi nelayan dengan alat tangkap selektif lainnya.
  3. Pendampingan dalam pengelolaan keuangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) - Jika melihat pendapatan nelayan sebenarnya sudah melampaui UMR yang ada didaerah tersebut. Memberikan pemahaman kepada pengelolaa keuangan keluarga seperti istri nelayan dalam mengatur keuangan sangat menentukan tingkat kesejahteraan nelayan. Ketika musim puncak tentunya pendapatan nelayan melebihi dari angka disebutkan namun juga harus dapat menutupi kebutuhan ketika musim paceklik. Priortas pengeluaran untuk kepentingan kebutuhan pokok dan pendidikan anak harusnya lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk kegiatan social atau pesta sesuai adat yang ada.
  4. Mendorong pemasaran perikanan yang memiliki nilai tambah dalam hal ekonomi,social dan lingkungan - Sering dijumpai permintaan pasar melebihi dari kemampuan sumberdaya ikan disuatu daerah untuk recovery, walaupun minim sekali informasi seberapa banyak stock yang ada pada lembaga autoritas ataupun lembaga peneliti lokal. Kecenderungan pengurangan sumberdaya sudah terindikasi dengan menurunnya trend ukuran ikan dalam 5-10 tahun dan semakin jauhnya wilayah tangkapan nelayan. Tanpa mengindahkan peran pemerintah dalam mendorong pembangunan daerah, keberlanjutan perikanan juga perlu diiringi dalam proses pembangunan ini. Servis pemerintah dalam mendorong usaha perikanan yang kondusif bagi private sector perikanan juga diiringi dengan kontrol yang intensif untuk memastikan usaha tersebut memiliki nilai lebih dalam peningkatan pendapatan nelayan dengan harga yang sesuai, mendorong pembelian sesuai ukuran layak tangkap ikan yang ditargetkan, memenuhi perijinan dan peraturan yang berlaku termasuk kearifan lokal yang ada, serta memastikan adanya pencatatan perikanan yang dilaporkan. Meningkatkan nilai tambah ekonomi dapat didorong dengan menjaga kualitas produk ikan sehingga mendapatkan harga lebih tinggi, untuk perikanan tuna dapat mengacu pada buku panduan praktik (BMP) perikanan tuna dalam pendampingan teknis hal tersebut. Buku panduan dapat didownload pada link berikut ini. http://www.wwf.or.id/?24808/BMP---Perikanan-Tuna 

Setelah melihat aktivitas kapal purse seine tersebut, pa Zainudin kembali ke niat awal untuk mendapatkan tuna dan seperti biasa, kapal yang saya naikin selalu saja mendapatkan tuna dewasa yang siap didokumentasikan. Pada kesempatan ini, pa ketua mendapatkan 1 ekor tuna dengan bobot 60 kg, harga pada saat itu sebesar Rp.24.000/kg, dalam menjaga mutu ikan kami pun bersegera kembali menuju desa untuk menjual hasil tangkapan tersebut. Lumayan juga mendapatkan Rp.1.440.000 dalam sekali trip. Berikut oleh-oleh dari lapangan, semoga tidak pernah bosan melihat foto ini kawan (YG).

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID

Rabu, 30 Mei 2012

Musim tuna di perairan Laut Flores

Dwi Ariyogagautama - 14 September 2011


Akhirnya setelah 6 bulan nelayan melewati musim paceklik tuna yang bekepanjangan dalam tahun ini, terdengar kabar yang menggembirakan dari nelayan tuna di Kelurahan Kabir (kab. Alor) dengan hasil tangkapan mereka sebanyak 11 ekor tuna dengan berat rata-rata 50-60 kg perhari. Hal ini bagi mereka merupakan permulaan dari musim tuna di wilayah perairan laut Flores, cukup beralasan kenapa mereka bilang ini baru “Permulaan”, karena biasanya ketika musim tuna hasil tangkapan nelayan didesa ini bisa mencapai 1 ton/hari. (red :ikan apa beras tuh ^^!.)

Tuna merupakan salah satu jenis ikan beruraya (migrary species), seperti halnya paus dan penyu, tuna menjelajahi lautan Pasifik hingga melewati Laut sawu dalam siklus hidupnya. Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor yang biasa kami singkat menjadi “Solar” ditemukan 2 jenis tuna besar yaitu tuna ekor kuning/Madidihang/Serea/Yellowfin tuna dan Mata besar/Big eye tuna. Wilayah ini merupakan koridor pintu masuk semua jenis biota beruraya yang berasal dari laut Flores menuju laut Sawu atau sebaliknya. Kami sering menyebutnya bottle neck, sesuai artinya analogi ini ibarat leher botol yang mengecil dibandingkan badan botol itu sendiri, yaitu potensi sumberdaya perikanan yang tersebar di lautan luas, kemudian terkonsentrasi pada wilayah yang sempit diantara selat-selat diantara kepulauan 3 kabupaten tersebut. Oleh karena itu tuna yang dipastikan jalur migrasinya melewati koridor tersebut, mengalami tantangan untuk menghindari ancaman terhadap nelayan dengan mata-mata kailnya dan rumpon yang tersebar secara acak di perairan tersebut.

Bagi nelayan yang dinamakan musim puncak tuna, itu berarti bertepatan pada waktunya tuna sedang melewati daerah ini dalam migrasinya. Tekanan selain penangkapan tuna yang terpusat yaitu sering dijumpai tuna yang sedang bertelur pada musim tuna tersebut, yang berarti (tanpa didasari paper manapun !^^) wilayah pemijahan tuna tersebut pastinya masih di perairan NTT, melihat ukuran telur yang ditemukan pada tuna yang tertangkap yang rata-rata sepanjang 25 cm. Dilematik banget ketika kita membatasi penangkapan nelayan ketika musim tuna seperti ini.


Oke kembali ke ide utama, Namun tahun ini entah kenapa musim paceklik tuna tahun ini semakin panjang, sebelumnya musim tersebut berlangsung dari 5 bulan mulai dari Maret-Juli setiap tahunnya, namun saat ini berlangsung hingga Awal September. Sedangkan musim puncak penangkapan tuna biasanya november-febuari, taun ini masih belum diketahui apakah turut bergeser juga waktunya. Kejadian ini tidak berlangsung di wilayah Solar saja, nelayan penangkap tuna di Wakatobi juga mengalami kesulitan yang sama, biasanya musim tuna hanya selisih 1-2 bulan antara Wakatobi dan Solar.

Perubahan iklim jelas mempengaruhi pola migrasi tuna secara tidak langsung, baik melalui perubahan waktu musim barat dan timur hingga semakin panjangnya musim pancaroba diwilayah ini. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita beradaptasi terhadap perubahan iklim tersebut, dengan jalan mengurangi faktor tekanan dari kita sendiri. Solusi ini memang bukan hal baru, namun cuman mengingatkan kalian aja.

1. Regulasi alat tangkap

Ini paling dasar, pancing atau handline jelas yang direkomendasikan dalam penangkapan tuna. Pancing merupakan alat tangkap yang paling selektif dan ramah lingkungan, tapi tunggu dulu, jangan lupa ukuran tuna yang tertangkap dan banyaknya alat tangkap yang dioperasikan membuat hal ini juga sama tidak disarankan.

Secara teknis kedalaman penggunaan mata kail dan ukuran mata kail menentukan sekali besar kecilnya tuna yang tertangkap. Pemasangan pancing dipermukaan walaupun selektif tidak dipungkiri bisa mendapatkan tangkapan sampingan, seperti lumba-lumba.

Banyaknya armada tentunya banyak juga alat tangkap yang dipergunakan, ditambah lagi semakin rajinnya nelayan berupaya. Pemda harus tegas dalam pembatasan hal ini, kemudian bagaimana dengan alat tangkap longline???? Semenjak melihat penangkapan secara tradisional nelayan kita yang jago-jago begitu dengan alat tangkap seadanya tetapi mendapatkan hasil yang banyak, apalagi longline. Gue masih belum setuju dengan adanya longline seramah lingkungan apapun.

2. Regulasi alat bantu penangkapan

Gue lebih cenderung dalam konteks pengaturan rumpon, sebenarnya hal ini sudah diatur dalam Kepmen 30 tahun 2004 yang mengatur perijinan pemasangan yaitu:
2 – 4 mil laut à Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten/Kota
Di atas 4 – 12 mil laut à Dinas Perikanan Kelautan Provinsi
Di atas 12 – 200 mil laut à Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, KKP
Tapi apakah ini dipatuhi oleh kabupaten kepulauan?? Jawabnya jelas tidak berlaku (*dibeberapa daerah). Otonomi daerah membuat hal ini menjadi sia-sia, kebijakan tiap kabupaten dalam mengejar tuntuan Pendapatan Angaran Daerah (PAD) menghalalkan pemasangan rumpon sebanyak mungkin untuk menangkap tuna semaksimal mungkin. Damn

Instalasi rumpon tradisional

Penggunaan rumpon secara kolaboratif atau bersama-sama lebih baik dibandingkan memperbanyak rumpon pribadi yang cenderung rawan konflik sosial.

3. Regulasi wilayah tangkap

Saya akui sangat-sangat sulit untuk membagi wilayah tangkapan nelayan, walaupun dengan konsep zonasi pada MPA. Pembatasan waktu penangkapan pada wilayah tertentu ketika tuna bertelur juga masih dilematik antara kepentingan ekonomi dan konservasi. Namun sesuai fakta dilapangan bahwa adanya penggunaan purse seine di rumpon sangat tidak konservatif, bahkan sering juga ditemukan mata jaring <2inci. Selain menghabiskan sumberdaya ikan pelagis kecil, juga menimbulkan konflik antar nelayan dikarenakan makanan tuna sudah habis disapu rata sehingga tuna sulit ditemukan lagi dirumpon.

Walaupun sudah diatur tidak ada lagi perpanjangan perijinan kapal-kapal dengan purse seine, tetap saja dilapangan juragan kapal mengakalinya dengan memotong ukuran purse seine menjadi setengahnya, bisa disebut mini purse seine. Apapun bentuk dan ukurannya, purse seine, sebaiknya perlu ada kebijakan tidak diperbolehkannya penggunaan purse seine/mini purse seine yang dikombinasikan dengan rumpon.

4. Mengurangi permintaan produk (market demand)

Saya paling suka cara ini, segala bentuk eksploitasi sumberdaya laut sangat ditentukan oleh permintaan pasar. Walaupun saat ini sedang gencar-gencarnya kampanye untuk mengkonsumsi green product yang berarti produk tersebut ditangkap dengan cara yang ramah lingkungan, terdata, minim bycatach, hasil tangkapan dengan ukuran layak tangkap (dewasa dan tidak bertelur) dan berijin namun perlu diperhatikan juga sumber stocknya di alam. Kalau kita mengkonsumsi 1 atau beberapa jenis produk laut yang itu-itu aja seperti kerapu, tuna dan lobster, dipastikan stocknya yang sebelumnya banyak pasti berkurang. Alangkah bijaksananya jika kita mngkonsumsi produk-produk laut yang masih banyak stoknya di alam. Silakan download panduan untuk mengkonsumsi Seafood dengan bijak (Seafood Guide)

5. Mencabut ijin usaha pengusaha yang terlibat perdagangan tuna yang destructive

Ini masih berkaitan dengan point no. 4. ini pengalaman saya di lapangan. Perusahaan akan terus mencari produk tuna untuk pemasarannya, masalah akan muncul ketika permintaan produk khususnya yang eksport meningkat, sedangkan kapasitas nelayan tuna diwilayah tersebut terbatas, dengan berbagai cara ditempuh oleh perusahaan yang nakal. Mulai dari tingkatan terendah yaitu menambang armada, mendatangkan nelayan dari daerah lain, hingga level terparah menggunakan alat tangkap apapun termasuk menggunakan bom atau potasium. Mereka pun punya trik-trik sehingga produk tersebut tidak dapat diidentifikasikan hasil bom atau potas oleh konsumen manapun. Kalaupun produk yang didapat terdapat bagian yang rusak, bagian yang rusak akan dijual dalam bentuk bakso atau tuna kaleng. Malahan laku diproduksi di Surabaya. Who knows toh?

Ketegasan pemerintah untuk menyidik dan mencabut ijin perusahaan ini sangat diharapkan. Jangan berharap didemo dulu atau black campaign baru bergerak. Jangan takut untuk kehilangan PAD periode bapak, tapi pikirkan kelangsungan PAD wilayah bapak seterusnya.

6. Penghargaan bagi nelayan untuk penangkapan tuna yang tidak bertelur dan telah dewasa

Selama ini nelayan berasumsi menangkap lebih banyak lebih baik dibandingkan sedikit dengan harga dan kualitas baik, karena harga produknya sama saja atau tidak berbeda signifikan. Dalam menentukan harga pasar memang kompleks, tapi dengan kita hanya membeli produk ramah lingkungan lebih mahal sedikit saja harapannya, perusahaan juga melebihkan sedikit harga beli nelayan dengan produk yang baik, terutama yang sudah besar dan tidak bertelur.

Award tidak selalu dengan uang, penghargaan sosial dari keluarga, pemdes dan pemda juga sangat ampuh loh..apalagi dengan mendapatkan gelar-gelar kehormatan. Tergantung apapun yang menjadi berharga diadat tertentu pokonya.

7. Pengembangan rantai dingin diwilayah fishing ground tuna

Dalam mendukung produk kualitas ini jelas perlu diperhatikan, penangkapan banyak tapi harga rendah jelas itu juga pemborosan sumberdaya ikan dan ekonomi si nelayan. Improvisasi perusahaan dan nelayan dalam mengatasi rantai dingin perlu didukung. Project saya saat ini yaitu membuat palka pengawetan tuna dengan karpet ikan di kapal-kapal tradisional. Dibuat desain seflexible mungkin sehingga bisa dipindah-pindahkan sesuai keiinginan nelayan. Doakeun lancar ya guys.

8. Kebijakan yang sinergi antar wilayah administrasi

Ini sih klasik ya, antar kabupaten dalam 1 provinsi aja bisa punya kebijakan yang berbeda. Bahkan berlawanan, jadi mo ngomong apapun soal pengelolaan disuatu daerah tetapi daerah lain tidak sinergi, pengelolaan tersebut tidak jadi efektif. Nah kabupaten koridor perikanan tuna ini lah kunci sukses ga sukesnya pengelolaan perikanan tuna.



Semoga pertunaan di Indonesia semakin terkelola dengan bijak, tidak seperti nasib sodara-sodara tuna yang lain seperti Blue Fin Tuna yang semakin langka hingga hari ini (YG).



Rabu, 15 Februari 2012

Solusi 9 - Gunakan kekuatan dua ibu jari kita.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari'

Telepon seluler saat ini menjadi perantara kuat komunikasi instan bagi penduduk dunia - bahkan hingga masyarakat yang tidak punya telepon kabel. Jangkauan luas SMS sudah sepatutnya jadi terobosan alat bantu dalam konservasi laut.

SMS sudah menjadi salah satu cara terpopuler untuk komunikasi telepon, terutama di Asia. Cepat, langsung, dan umumnya lebih murah dibanding bicara. SMS juga bekerja dengan baik di kawasan terpencil, walaupun sinyal kadang terbatas untuk transmisi pembicaraan.

Nelayan Filipina berkoordinasi dengan SMS.
Foto: Stella Chiu-Freund / WWF Phillipines
Dengan SMS, kita yang mau andil dalam konservasi bisa memobilisasi tindakan, mendapatkan informasi, hingga menggalang dukungan. Bayangkan, contohnya, jika saja negara memiliki hotline jaringan SMS untuk jembatani tanggap darurat terkait permasalahan lingkungan pesisir dan laut yang terjadi seketika - seperti tumpahan minyak, perusakan terumbu karang, pembabatan mangrove hingga pencemaran air dari industri -; maka masyarakat tidak perlu menunggu kabar di koran keesokan hari yang sudah telat untuk ditindak lanjuti.

Masyarakat dan stakeholder yang menyaksikan kejadian semacam itu bisa SMS-kan laporan seketika pada hotline untuk dapatkan tanggapan resmi dari pihak terkait atau informal dari masyarakat sendiri. Bahkan dikombinasikan dengan social network melalui internet seluler, tidak menutup kemungkinan masyarakat membagi informasi foto, koordinat lokasi yang bisa perkuat berita tulisan mereka dengan bukti kuat terjadinya ancaman lingkungan.

Bahkan tanpa hotline resmi, kekuatan informal masyarakat bisa bawa perubahan besar.Di Filipina bagian tengah saat ini terbentuk aliansi 900 keluarga nelayan yang saling kirim SMS untuk koordinasikan usaha-usaha konservasi lokal untuk lindungi 150 kilometer busur terumbu atol.

Memanfaatkan telepon seluler yang didonasikan oleh masyarakat Filipina pendukung konservasi dari luar kawasan tersebut, nelayan-nelayan bisa dengan seketika mengingatkan kantor pengelola konservasi di tingkat provinsi hingga kepolisian lokal saat mereka jumpai aktifitas ilegal seperti pengeboman ikan, dan pengangkapan ikan yang dilarang seperti dengan pukat - hampir semua yang saat ini dorong ekosistem pesisir mereka ke penghabisan.

Dengan cara ini pula para pemimpin aliansi nelayan telah laporkan banyak pelanggaran konservasi di kawasan perlindungan hingga masalah terkait kelumpuhan birokrasi dari aparat konservasi pemerintah sendiri. Laporan mereka juga terbuka untuk umum, hingga media massa bisa menyentuh untuk sebarluaskan secara nasional kejadian di skala lokal. Luar biasa.

Di Indonesia, inisiatif serupa sudah dijalankan di Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah. Kerjasama antara aparat Balai Taman Nasional Karimunjawa dengan masyarakat dan kelompok nelayan Karimunjawa telah bentuk mekanisme kontak SMS untuk jaga kawasan perairan kepulauan yang dilindungi negara.

Menipisnya cadangan ikan di perairan Karimunjawa, terancamnya kelulushidupan ikan-ikan muda di kepulauan Karimunjawa, serta penyelamatan satwa terancam punah seperti penyu; membutuhkan penurunan intensitas penangkapan ikan, terutama dari cara tangkap yang tidak efisien dan merusak yang datang dari nelayan luar perairan.

Dalam prakteknya, nelayan berkolaborasi dengan aparat Balai Taman Nasional untuk memantau aktifitas perairan di zona konservasi disela rutinitas melaut Nelayan dan melaporkan ke balai melalui SMS jika insiden pelanggaran terjadi. Teknologi seluler menjembatani terobosan pengelolaan kawasan perlindungan laut secara kolaboratif di Indonesia.

Jauh di Afrika, SMS juga andil kuat dalam konservasi. Nelayan di pulau atau perairan pelosok sebelum menangkap spesies ikan lebih lanjut, mereka terlebih dahulu meng-SMS rekan mereka di pasar apakah jenis tersebut harganya sedang baik atau turun. Di Afrika Selatan, peminat ikan segar dan pehobi hidangan laut bisa SMS ke hotline resmi untuk cek apakah ikan tersebut tergolong 'lestari' atau tidak.

Terkait perlindungan spesies dan ekosistem secara tidak langsung, SMS dan teknologi seluler lainnya juga sudah sudah menjembatani kordinasi antara praktisi konservasi dengan donor konservasi - dengan mudah saat ini masyarakat bisa lakukan donasi dengan aplikasi selfon keluaran lembaga konservasi lingkungan internasional. SMS dan jejaring sosial seluler tidak luput juga menjembatani penyebaran berita konservasi, memudahkan pencernaan temuan ilmiah pad amasyarakat seperti contohnya: @laut_kita dan beberapa akun twitter yang di-follow-nya.

Ayo, tunggu apa lagi? Jangan berhenti gunakan dua ibu jari untuk sebar ajakan untuk andil selamatkan lingkungan pesisir dan laut kita.

2/3 Indonesia adalah lautan, pastikan hati dan tindakan kita 2/3 untuk konservasi lautan.

Jumat, 14 Oktober 2011

Solusi 5 - Bantu nelayan agar tambah bijak dengan hindari tangkapan sampingan (bycatch): Ide inovatif masyarakat berperan dalam modifikasi alat tangkap nelayan agar ramah biota laut.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Setiap harinya, ribuan kilometer tali pancing dan jaring tangkap ikan dibentangkan menusia di lautan. Alat-alat ini menangkap biota laut yang nelayan inginkan - dan juga, sayangnya, yang tidak inginkan.

Itulah 'tangkapan sampingan', atau 'bycatch', akibat kegiatan perikanan manusia yang menjadi ancaman utama bagi keselamatan beragam jenis penyu, hiu, dan spesies laut terancam punah (endangered) lainnya - demikina juga bagi keberlanjutan perikanan kita jangka panjangnya.

Untungnya, dengan modifikasi alat tangkap yang relatif mudah dan sederhana kita bisa mengurangi bycatch.

Di tahun 2004, World Wildlife Fund memulai International SmartGear Competition - sebuah kompetisi internasional untuk mendesain alat tangkap (fishing gear) yang inovatif, praktis dan tepat-biaya yang mampu selamatkan biota laut sekaligus memungkinkan nelayan lebih baik lagi mengincar jenis ikan yang ingin mereka tangkap. Tahun 2011 ini berhadiah total AS$ 57.500.

Di tahun 2005, pemenang utama menggagas ide untuk mengurangi penyu menjadi korban bycatch akibat metode tangkap menggunakan rawai atau longline. Tahu bahwa kebanyakan penyu tertangkap kail di kedalaman dangkal, Steve Beverly menggagas sistem tangkap agar bisa menempatkan kait umpan di kedalaman diatas 100 meter - mengurangi drastis pertemuan antara kait dengan penyu.

Tahun 2006, Michael Herr-mann menggagas penempatan magnit pada tali kail alat tangkap untuk mengusir hiu, sebab mereka sensitif dengan medan magnetik.

Kemudian ada inovasi 'circle hook', atau kait lingkar, modifikasi dari j-hook, atau kait-J; yang ditujukan untuk alat tangkap tuna. Perubahan sederhana bentuk kait, dari huruf J, ke huruf O, ternyata membuat kait lingkar jauh lebih sulit tertelan penyu, ketimbang kait J yang membuat pendarahan dalam dan sulit bernafas jika tertelan mereka.

Lalu ada Turtle Excluder Device, atau alat pelepas penyu, dimana modifikasi dilakukan pada alat tangkap pukat untuk udang. Dimana di bagian dalam pukat (trawl) ditempatkan palka khusus dengan sekat besi agar penyu punya jalur untuk melarikan diri saat terperangkap di kantung pukat, namun juga meminimalisir udang atau ikan yang lepas dari pukat.

Turtle Excluder Device
Penyu melepaskan diri dari pukat / traw melalui palka sekat besi yang disediakan.
Foto: NOAA
Baik anda nelayan, atau guru, pelajar, mahasiswa, insinyur, peneliti atau hobi cari solusi teknis di rumah - semua bisa andil membantu nelayan menjamin alat tangkap mereka ramah biota laut namun tetap mempertahankan fungsi asli alat tangkap untuk kesejahteraan mereka.

Saat anda dengar penyu, hiu, atau biota laut lainnya tak sengaja terjerat jaring nelayan; siapa tahu anda bisa bantu modifikasi alat tangkap para nelayan agar tidak membawa korban bycatch lebih banyak lagi.


Digubah kembali dari kutipan tulisan Kimberly Davis, oleh Siham Afatta

Selasa, 11 Oktober 2011

Solusi 3 - Ukuran itu penting: Ubah strategi panen ikan kita untuk hindari perubahan evolusioner ikan laut yang tidak alami..


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Ikan laut besar sedang didaratkan di pelabuhan.
Foto: blendungcity.com
Berpuluh-puluh tahun kita merasa benar mendorong para nelayan agar mengambil ikan yang terbesar saja. Mengembalikan ikan yang kecil ke laut agar memberikan kesempatan ikan kecil untuk tumbuh dan bereproduksi, sehingga keberlanjutan cadangan ikan masa depan terjamin - seperti itulah gambaran umumnya.

Namun, temuan riset terkini menjadi pelajaran bahwa cara tangkap 'pilih-pilih ukuran' semacam itu membawa dampak berlawanan dari yang kita kira.

Tidak cuma semakin kecil ukuran ikan yang berkembang biak dalam sebuah stok / populasi, namun ternyata mereka jadi semakin sulit untuk bertahan hidup dan bereproduksi - saat aktifitas penangkapan ikan mereda.

Demi populasi ikan yang lestari, siapa saja yang andil dalam mengelola praktik penangkapan ikan perlu merubah strategi panen mereka, agar perubahan evolusioner (evolusionary change) ikan laut di masa depan yang lebih sesuai, sekaligus menghindari penangkapan berlebih (overfishing).

Perikanan kita harus juga harus mulai melepaskan kembali sebagian besar ikan-ikan laut ukuran besar dewasa yang rutin ditangkap. Ternyata mengurangi jumlah tangkapan saja tidak cukup.

Jika ikan besar tidak ada yang disisakan, hanya mengandalakan kendali jumlah ikan yang tangkap sebagai patokan lestari, maka cadangan ikan laut di masa depan mungkin bisa pulih secara jumlah - namun tidak dalam ke keadaan fisiologis 'normal' mereka. Sebab mereka sudah mengalami evolusi pertumbuhan dan reproduksi yang jauh dari karakteristik aslinya.

Namun hingga saat ini, banyak ahli berasumsi bahwa perubahan evolusi hanya terjadi sangat lambat pada ikan laut liar - membutuhkan ribuan tahun - sehingga bisa diabaikan. Ikan laut liar juga diduga pertumbuhannya akan lebih cepat di kawasan yang ditangkap berlebih, sebab ikan yang berkompetisi untuk 'berebut' makanan lebih sedikit.

Ternyata, arus temuan dari penelitian terkini pada ikan laut liar dan juga yang di-biak-kan, juga dari simulasi ekologi ikan; temukan bahwa: pola panen ikan yang 'pilih-pilih ukuran' (size selective) bisa sebabkan perubahan genetik drastis yang memicu: (1) pertumbuhan ikan yang lebih lambat dan (2) ukuran dewasa yang lebih kecil dan dalam usia lebih muda / dewasa-dini.

Jika regenerasi ikan berlanjut terus demikian maka manusia memicu perubahan evolusi bisa terjadi lebih cepat. Hasil penelitian laboratorium menduga bahwa, dalam kondisi demikian yang berlanjut hanya dalam beberapa lapis generasi ikan, makan hasil panen/tangkapan ikan laut bisa berkurang hingga 50 persen.

Jika kita memang ingin menyisakan ikan lestari untuk generasi masa depan, maka pastikan generasi kita saat ini:
  1. tidak menangkap berlebih (tangkap ikan dalam jumlah yang lestari),
  2. mulai berkomitmen mengelola kawasan larang tangkap (agar ada ruang pasti agar jumlah, ukuran, dan jenis ikan bisa pulih), dan 
  3. jangan pilih-pilih ukuran ikan yang ditangkap untuk jenis ikan laut liar yang bermigrasi (tetapkan ukuran maksimum dan minimum lestari untuk di tangkap).
Yang paling mengkhawatirkan ialah perubahan evolusioner ikan terpantau saat sudah terlajnur terjadi, dan membalikan keadaan ekologis alami ikan laut bisa dikatakan hampir tidak mungkin - diluar kemampuan manusia.

Yang jelas, ini semua tanggungan generasi manusia saat ini yang masih hidup, yang terus mengeruk ikan laut ribuan ton-demi-ribuan-ton, dalam menit-demi-menit.

Ikan laut memiliki ukuran dewasa yang beragam. Manusia perlu cermat memilih ukuran besar dewasa ikan yang ditangkap,  dan juga menyisakan ikan besar dewasa dalam jumlah besar di lautan.
Foto: http://www.pac.dfo-mpo.gc.ca

Digubah kembali dari kutipan tulisan David Conover oleh Siham Afatta