Tuna merupakan salah satu jenis ikan beruraya (migrary species), seperti halnya paus dan penyu, tuna menjelajahi lautan Pasifik hingga melewati Laut sawu dalam siklus hidupnya. Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor yang biasa kami singkat menjadi “Solar” ditemukan 2 jenis tuna besar yaitu tuna ekor kuning/Madidihang/Serea/Yellowfin tuna dan Mata besar/Big eye tuna. Wilayah ini merupakan koridor pintu masuk semua jenis biota beruraya yang berasal dari laut Flores menuju laut Sawu atau sebaliknya. Kami sering menyebutnya bottle neck, sesuai artinya analogi ini ibarat leher botol yang mengecil dibandingkan badan botol itu sendiri, yaitu potensi sumberdaya perikanan yang tersebar di lautan luas, kemudian terkonsentrasi pada wilayah yang sempit diantara selat-selat diantara kepulauan 3 kabupaten tersebut. Oleh karena itu tuna yang dipastikan jalur migrasinya melewati koridor tersebut, mengalami tantangan untuk menghindari ancaman terhadap nelayan dengan mata-mata kailnya dan rumpon yang tersebar secara acak di perairan tersebut.
Bagi nelayan yang dinamakan musim puncak tuna, itu berarti bertepatan pada waktunya tuna sedang melewati daerah ini dalam migrasinya. Tekanan selain penangkapan tuna yang terpusat yaitu sering dijumpai tuna yang sedang bertelur pada musim tuna tersebut, yang berarti (tanpa didasari paper manapun !^^) wilayah pemijahan tuna tersebut pastinya masih di perairan NTT, melihat ukuran telur yang ditemukan pada tuna yang tertangkap yang rata-rata sepanjang 25 cm. Dilematik banget ketika kita membatasi penangkapan nelayan ketika musim tuna seperti ini.
Oke kembali ke ide utama, Namun tahun ini entah kenapa musim paceklik tuna tahun ini semakin panjang, sebelumnya musim tersebut berlangsung dari 5 bulan mulai dari Maret-Juli setiap tahunnya, namun saat ini berlangsung hingga Awal September. Sedangkan musim puncak penangkapan tuna biasanya november-febuari, taun ini masih belum diketahui apakah turut bergeser juga waktunya. Kejadian ini tidak berlangsung di wilayah Solar saja, nelayan penangkap tuna di Wakatobi juga mengalami kesulitan yang sama, biasanya musim tuna hanya selisih 1-2 bulan antara Wakatobi dan Solar.
Perubahan iklim jelas mempengaruhi pola migrasi tuna secara tidak langsung, baik melalui perubahan waktu musim barat dan timur hingga semakin panjangnya musim pancaroba diwilayah ini. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita beradaptasi terhadap perubahan iklim tersebut, dengan jalan mengurangi faktor tekanan dari kita sendiri. Solusi ini memang bukan hal baru, namun cuman mengingatkan kalian aja.
1. Regulasi alat tangkap
Ini paling dasar, pancing atau handline jelas yang direkomendasikan dalam penangkapan tuna. Pancing merupakan alat tangkap yang paling selektif dan ramah lingkungan, tapi tunggu dulu, jangan lupa ukuran tuna yang tertangkap dan banyaknya alat tangkap yang dioperasikan membuat hal ini juga sama tidak disarankan.
Secara teknis kedalaman penggunaan mata kail dan ukuran mata kail menentukan sekali besar kecilnya tuna yang tertangkap. Pemasangan pancing dipermukaan walaupun selektif tidak dipungkiri bisa mendapatkan tangkapan sampingan, seperti lumba-lumba.
Banyaknya armada tentunya banyak juga alat tangkap yang dipergunakan, ditambah lagi semakin rajinnya nelayan berupaya. Pemda harus tegas dalam pembatasan hal ini, kemudian bagaimana dengan alat tangkap longline???? Semenjak melihat penangkapan secara tradisional nelayan kita yang jago-jago begitu dengan alat tangkap seadanya tetapi mendapatkan hasil yang banyak, apalagi longline. Gue masih belum setuju dengan adanya longline seramah lingkungan apapun.
2. Regulasi alat bantu penangkapan
Gue lebih cenderung dalam konteks pengaturan rumpon, sebenarnya hal ini sudah diatur dalam Kepmen 30 tahun 2004 yang mengatur perijinan pemasangan yaitu:
2 – 4 mil laut à Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten/Kota
Di atas 4 – 12 mil laut à Dinas Perikanan Kelautan Provinsi
Di atas 12 – 200 mil laut à Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, KKP
Tapi apakah ini dipatuhi oleh kabupaten kepulauan?? Jawabnya jelas tidak berlaku (*dibeberapa daerah). Otonomi daerah membuat hal ini menjadi sia-sia, kebijakan tiap kabupaten dalam mengejar tuntuan Pendapatan Angaran Daerah (PAD) menghalalkan pemasangan rumpon sebanyak mungkin untuk menangkap tuna semaksimal mungkin. Damn
Instalasi rumpon tradisional |
Penggunaan rumpon secara kolaboratif atau bersama-sama lebih baik dibandingkan memperbanyak rumpon pribadi yang cenderung rawan konflik sosial.
3. Regulasi wilayah tangkap
3. Regulasi wilayah tangkap
Saya akui sangat-sangat sulit untuk membagi wilayah tangkapan nelayan, walaupun dengan konsep zonasi pada MPA. Pembatasan waktu penangkapan pada wilayah tertentu ketika tuna bertelur juga masih dilematik antara kepentingan ekonomi dan konservasi. Namun sesuai fakta dilapangan bahwa adanya penggunaan purse seine di rumpon sangat tidak konservatif, bahkan sering juga ditemukan mata jaring <2inci. Selain menghabiskan sumberdaya ikan pelagis kecil, juga menimbulkan konflik antar nelayan dikarenakan makanan tuna sudah habis disapu rata sehingga tuna sulit ditemukan lagi dirumpon.
Walaupun sudah diatur tidak ada lagi perpanjangan perijinan kapal-kapal dengan purse seine, tetap saja dilapangan juragan kapal mengakalinya dengan memotong ukuran purse seine menjadi setengahnya, bisa disebut mini purse seine. Apapun bentuk dan ukurannya, purse seine, sebaiknya perlu ada kebijakan tidak diperbolehkannya penggunaan purse seine/mini purse seine yang dikombinasikan dengan rumpon.
4. Mengurangi permintaan produk (market demand)
Saya paling suka cara ini, segala bentuk eksploitasi sumberdaya laut sangat ditentukan oleh permintaan pasar. Walaupun saat ini sedang gencar-gencarnya kampanye untuk mengkonsumsi green product yang berarti produk tersebut ditangkap dengan cara yang ramah lingkungan, terdata, minim bycatach, hasil tangkapan dengan ukuran layak tangkap (dewasa dan tidak bertelur) dan berijin namun perlu diperhatikan juga sumber stocknya di alam. Kalau kita mengkonsumsi 1 atau beberapa jenis produk laut yang itu-itu aja seperti kerapu, tuna dan lobster, dipastikan stocknya yang sebelumnya banyak pasti berkurang. Alangkah bijaksananya jika kita mngkonsumsi produk-produk laut yang masih banyak stoknya di alam. Silakan download panduan untuk mengkonsumsi Seafood dengan bijak (Seafood Guide)
5. Mencabut ijin usaha pengusaha yang terlibat perdagangan tuna yang destructive
Ini masih berkaitan dengan point no. 4. ini pengalaman saya di lapangan. Perusahaan akan terus mencari produk tuna untuk pemasarannya, masalah akan muncul ketika permintaan produk khususnya yang eksport meningkat, sedangkan kapasitas nelayan tuna diwilayah tersebut terbatas, dengan berbagai cara ditempuh oleh perusahaan yang nakal. Mulai dari tingkatan terendah yaitu menambang armada, mendatangkan nelayan dari daerah lain, hingga level terparah menggunakan alat tangkap apapun termasuk menggunakan bom atau potasium. Mereka pun punya trik-trik sehingga produk tersebut tidak dapat diidentifikasikan hasil bom atau potas oleh konsumen manapun. Kalaupun produk yang didapat terdapat bagian yang rusak, bagian yang rusak akan dijual dalam bentuk bakso atau tuna kaleng. Malahan laku diproduksi di Surabaya. Who knows toh?
Ketegasan pemerintah untuk menyidik dan mencabut ijin perusahaan ini sangat diharapkan. Jangan berharap didemo dulu atau black campaign baru bergerak. Jangan takut untuk kehilangan PAD periode bapak, tapi pikirkan kelangsungan PAD wilayah bapak seterusnya.
6. Penghargaan bagi nelayan untuk penangkapan tuna yang tidak bertelur dan telah dewasa
Selama ini nelayan berasumsi menangkap lebih banyak lebih baik dibandingkan sedikit dengan harga dan kualitas baik, karena harga produknya sama saja atau tidak berbeda signifikan. Dalam menentukan harga pasar memang kompleks, tapi dengan kita hanya membeli produk ramah lingkungan lebih mahal sedikit saja harapannya, perusahaan juga melebihkan sedikit harga beli nelayan dengan produk yang baik, terutama yang sudah besar dan tidak bertelur.
Award tidak selalu dengan uang, penghargaan sosial dari keluarga, pemdes dan pemda juga sangat ampuh loh..apalagi dengan mendapatkan gelar-gelar kehormatan. Tergantung apapun yang menjadi berharga diadat tertentu pokonya.
7. Pengembangan rantai dingin diwilayah fishing ground tuna
Dalam mendukung produk kualitas ini jelas perlu diperhatikan, penangkapan banyak tapi harga rendah jelas itu juga pemborosan sumberdaya ikan dan ekonomi si nelayan. Improvisasi perusahaan dan nelayan dalam mengatasi rantai dingin perlu didukung. Project saya saat ini yaitu membuat palka pengawetan tuna dengan karpet ikan di kapal-kapal tradisional. Dibuat desain seflexible mungkin sehingga bisa dipindah-pindahkan sesuai keiinginan nelayan. Doakeun lancar ya guys.
8. Kebijakan yang sinergi antar wilayah administrasi
Ini sih klasik ya, antar kabupaten dalam 1 provinsi aja bisa punya kebijakan yang berbeda. Bahkan berlawanan, jadi mo ngomong apapun soal pengelolaan disuatu daerah tetapi daerah lain tidak sinergi, pengelolaan tersebut tidak jadi efektif. Nah kabupaten koridor perikanan tuna ini lah kunci sukses ga sukesnya pengelolaan perikanan tuna.
Semoga pertunaan di Indonesia semakin terkelola dengan bijak, tidak seperti nasib sodara-sodara tuna yang lain seperti Blue Fin Tuna yang semakin langka hingga hari ini (YG).
1 komentar:
tuna2 yang ditangkap nelayan tradisional pas musim puncak itu biasanya dijual kemana ya? buat konsumsi lokal? atau ekspor?
Posting Komentar