Tampilkan postingan dengan label Tangkapan Sampingan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tangkapan Sampingan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Desember 2011

Solusi 7 - Sistem pasar perikanan yang menerapkan penghargaan bagi parktik yang lestari.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari

Perikanan manusia terus sebabkan tangkapan sampingan. Satwa terlindungi yang terancam tidak luput jadi imbas komersialisasi ikan global saat ini.
(Foto: Reuters)

Puluhan ribu ton biota laut tak sengaja tertangkap dan terbunuh akibat armada tangkap perikanan dunia. Inilah yang disebut tangkapan sampingan (bycatch) yang pada praktiknya juga mengancam biota laut terancam punah seperti hiu dan penyu.

Di negara dengan sistem pengelolaan perikanan yang relatif sudah maju, ada peraturan yang membatasi jumlah tangkapan sampingan yang boleh di ambil oleh Nelayan. Namun peneliti perikanan ungkap bahwa pendekatan regulasi tidak cukup melindungi satwa terancam yang populasinya sedang menurun drastis saat ini seperti penyu dan hiu.

Para peneliti ekonomi-ekologi perikanan tegaskan bahwa cara kita menjalankan pasar ekonomi perikanan juga bisa bawa perubahan. Solusi yang mereka ketengahkan adalah 'tradable bycatch credit', atau jika lugas diterjemahkan sebagai 'kredit tangkapan sampingan yang dapat diperdagangkan'.

Sederhananya, pasar ekonomi perikanan yang menerapkan kredit tangkapan sampingan berarti jika ada nelayan yang tak sengaja menjerat biota laut yang dilindungi diantara biota yang jadi tangkapan sampingannya - maka dia harus membeli 'poin' kredit dari Nelayan lain yang berhati-hati dalam tangkapan sampingannya.

Yang berlaku disini adalah, nelayan yang 'nakal' membayar 'denda'-nya kepada nelayan lain yang berhati-hati.

Sayangnya, walaupun sistim perikanan negara-negara dunia saat ini sudah mulai mengatur ke-'ramah-lingkungan-an cara tangkap mereka - sistim perdagangan ikan masih belum ciptakan dorongan finansial yang membuat pelaku tidak menangkap biota laut yang dilindungi. Justru sistem perdagangan ikan dunia saat ini cederung bangun permintaan yang tak henti akan biota laut yang dilindungi.

Balik ke kredit tangkapan sampingan. Dengan peraturan yang membatasi jumlah tangkapan sampingan, seluruh armada tangkap bisa diberhentikan menangkap saat mereka sudah capai jumlah maksimum yang diperbolehkan. Namun, peraturan ini ternyata buat kecenderungan Nelayan dan armada tangkap untuk secepat dan sebanyak mungkin tangkap ikan ketika 'sadar' bahwa jatah jumlah tangkapan sampingan mereka mendekati batas yang diperbolehkan.

Perilaku semacam itu berpotensi melumpuhkan perikanan sebab waktu dan usaha nelayan menjadi 'membabi-buta' tanpa perhatikan perlindungan satwa laut. Selain itu juga, nelayan yang 'tertib' menjaga batas tangkapannya dalam besaran yang lestari dirugikan akibat pupusnya harapan mereka untuk beri peluang populasi ikan laut pulih.

Solusi sederhana dicontohkan dari perikanan di Hawaii, ialah dengan menerapkan batasan kredit tangkapan sampingan bagi armada tangkap tiap tahunnya - misal, 200 kredit atau 'poin' untuk tiap nelayan yang terdaftar.

Contoh rakteknya, anggap jika denda untuk menangkap penyu adalah 250 poin, maka lebihan 50 poin tersebut harus dilunasi dengan membeli 50 poin dari Nelayan lain yang tertib.

Jika selama musim tangkap ternyata semakin banyak penyu yang tertangkap - anggap terburuknya, hingga Nelayan tidak ada kredit lagi - berarti mereka harus membayar harga 'poin' dari denda tangkapan sampingan dengan menaikkan harga ikan yang mereka jual di pasaran.

Ke siapa mereka membayar 'poin denda' tersebut? Ya ke Nelayan lain yang tertib. Jika tidak ada Nelayan yang tertib lagi, maka di bayar ke pemerintah pengawas perikanan. Namun situasi semacam ini jarang terjadi. Sebab yang diharapkan antar Nelayan ada sistem ekonomi yang saling mendisiplinkan antar mereka sendiri.

Satu contoh lain penerapan skema kredit dilakukan juga pada usaha pelestarian populasi ikan pedang / ikan todak yang sudah ditangkap berlebih. Saat Nelayan sudah dapat jatah kredit / 'poin' tangkapan sampingan tahunan mereka, mereka bisa menjual 'poin' tersebut ke pihak pasar/ industri perikanan.

Dengan dibelinya kredit secara tidak langsung nelayan dibayar untuk mengurangi tangkapannya. Tidak hanya mengurangi terbunuhnya ikan todak atau penyu, namun terciptanya subsidi yang datang dari pasar dagang. Dalam hal ini pasaran membeli sedikit mahal dari nelayan sebab mereka 'tertib' otomatis harga ikan pihak industri dipasaran juga akan naik. Disinilah pasar dagang ikan menciptakan kenaikan nilai jual ikan yang mendorong nelayan yang bertanggung-jawab. Inflasi yang positif.

Prakti semacam ini digagas dari pengamatan perikanan negara maju. Skemanya sejalan dengan konsep kredit emisi yang dapat diperdagangkan yang diterapkan perusahaan pencemar dalam industri energi dan manufaktur.

Namun, syarat utamanya adalah pengelola perikanan engara yang menjamin keberadaan pasar perikanan yang terstruktur dengan rapi dengan jalur lalu lintas ikan terpantau dengan kuat mulai penangkal (nelayan), hingga konsumen.

Catatan besar, disini Nelayan punya kekuatan kuat sebagai pelaku industri dalam menetapkan harga ikan. Sedangkan di Indonesia, Nelayan umumnya dikesampingkan akibat banyaknya perantara pasar ilegal, alias 'tengkulak'. Bahkan tidak jarang, tertib atau tidak tertib dalam cara tangkap, Nelayan tidak punya kuasa tentukan harga Ikan yang pantas buat kesejahteraannya.

Indonesia? Bisa saja kalau kita mau berbenah diri.

Digubah kembali dari laporan penelitian dari Geogre Sugihara oleh Siham Afatta

Ikan hasil kerja keras nelayan terkadang harganya tidak membayar keringat Nelayan. Nelayan yang 'memproduksi' ikan memiliki posisi tawar lemah dalam perdagangan ikan mereka sendiri.
(Foto: www.indomaritimeinstitute.org)
Referensi:

2009. Sugihara, G., and H. Ye. Reducing Chinook salmon bycatch with market-based incentives: individual tradable encounter credits (ITEC). A recommended approach for an industry market-incentive plan. Report and Testimony to the North Pacific Fishery Council (February 2009).

Nasib nelayan kian memburuk. May 23 2011. Indonesia Maritime Institute.

Jumat, 14 Oktober 2011

Solusi 5 - Bantu nelayan agar tambah bijak dengan hindari tangkapan sampingan (bycatch): Ide inovatif masyarakat berperan dalam modifikasi alat tangkap nelayan agar ramah biota laut.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Setiap harinya, ribuan kilometer tali pancing dan jaring tangkap ikan dibentangkan menusia di lautan. Alat-alat ini menangkap biota laut yang nelayan inginkan - dan juga, sayangnya, yang tidak inginkan.

Itulah 'tangkapan sampingan', atau 'bycatch', akibat kegiatan perikanan manusia yang menjadi ancaman utama bagi keselamatan beragam jenis penyu, hiu, dan spesies laut terancam punah (endangered) lainnya - demikina juga bagi keberlanjutan perikanan kita jangka panjangnya.

Untungnya, dengan modifikasi alat tangkap yang relatif mudah dan sederhana kita bisa mengurangi bycatch.

Di tahun 2004, World Wildlife Fund memulai International SmartGear Competition - sebuah kompetisi internasional untuk mendesain alat tangkap (fishing gear) yang inovatif, praktis dan tepat-biaya yang mampu selamatkan biota laut sekaligus memungkinkan nelayan lebih baik lagi mengincar jenis ikan yang ingin mereka tangkap. Tahun 2011 ini berhadiah total AS$ 57.500.

Di tahun 2005, pemenang utama menggagas ide untuk mengurangi penyu menjadi korban bycatch akibat metode tangkap menggunakan rawai atau longline. Tahu bahwa kebanyakan penyu tertangkap kail di kedalaman dangkal, Steve Beverly menggagas sistem tangkap agar bisa menempatkan kait umpan di kedalaman diatas 100 meter - mengurangi drastis pertemuan antara kait dengan penyu.

Tahun 2006, Michael Herr-mann menggagas penempatan magnit pada tali kail alat tangkap untuk mengusir hiu, sebab mereka sensitif dengan medan magnetik.

Kemudian ada inovasi 'circle hook', atau kait lingkar, modifikasi dari j-hook, atau kait-J; yang ditujukan untuk alat tangkap tuna. Perubahan sederhana bentuk kait, dari huruf J, ke huruf O, ternyata membuat kait lingkar jauh lebih sulit tertelan penyu, ketimbang kait J yang membuat pendarahan dalam dan sulit bernafas jika tertelan mereka.

Lalu ada Turtle Excluder Device, atau alat pelepas penyu, dimana modifikasi dilakukan pada alat tangkap pukat untuk udang. Dimana di bagian dalam pukat (trawl) ditempatkan palka khusus dengan sekat besi agar penyu punya jalur untuk melarikan diri saat terperangkap di kantung pukat, namun juga meminimalisir udang atau ikan yang lepas dari pukat.

Turtle Excluder Device
Penyu melepaskan diri dari pukat / traw melalui palka sekat besi yang disediakan.
Foto: NOAA
Baik anda nelayan, atau guru, pelajar, mahasiswa, insinyur, peneliti atau hobi cari solusi teknis di rumah - semua bisa andil membantu nelayan menjamin alat tangkap mereka ramah biota laut namun tetap mempertahankan fungsi asli alat tangkap untuk kesejahteraan mereka.

Saat anda dengar penyu, hiu, atau biota laut lainnya tak sengaja terjerat jaring nelayan; siapa tahu anda bisa bantu modifikasi alat tangkap para nelayan agar tidak membawa korban bycatch lebih banyak lagi.


Digubah kembali dari kutipan tulisan Kimberly Davis, oleh Siham Afatta

Kamis, 05 Agustus 2010

Jutaan penyu diperkirakan telah mati akibat perikanan komersil dunia.

Jumlah penyu yang terjerat oleh alat tangkap ikan komersil dalam 20 tahun kebelakang mungkin telah mencapai jutaan, menurut studi peer-review yang mengkompilasi data bycatch (tangkapan sampingan) penyu dari perikanan gillnet (jaring insang), trawl (pukat) dan longline (rawai) di dunia.

Penyu ikut tertangkap.
(Foto: www.endoverfishing.org)

Studi tersebut dipublikasikan online tanggal 6 April di Jurnal Conservation Letters, menganalisa data yang dikumpulkan dari beberapa artikel jurnal ilmiah, laporan pemerintah, laporan teknis dan proceeding simposia yang diterbitkan antara tahun 1990 hingga 2008. Semua data berdasarkan pengamatan langsung lapangan atau wawancara dengan nelayan. Studi ini tidak mencakup data dari perikanan rekreasi.


'Pesta' penyu akibat gillnet.


(Photo © Projeto Tamar Brazil-Image Bank)


Enam dari tujuh spesies penyu dunia saat ini terdaftar sebagai vulnerable (rentan), endangered (terancam punah), atau critically endangered (kritis terancam punah) dalam IUCN Red List of Threatened Species.

"Pengamatan lapangan langsung dan wawancara dengan nelayan mengindikasikan 85.000 penyu telah terjerat antara 1990 dan 2008. Namun, sebab laporan ini hanya mewakili kurang dari satu persen armada perikanan yang ada didunia, belum lagi dengan sedikit atau bahkan tidak ada informasi dari perikanan skala kecil di penjuru dunia, kami mengestimasi bahwa total sebenarnya setidaknya dua digit lebih tinggi lagi;" ujar Bryan Wallace, penulis utama dari artikel ilmiah baru ini.

Wallace adalah penasehat senior untuk the Sea Turtle Flagship Program di Conservation International dan asisten professor di Nicholas School of the Environment, Duke University.

Ulasan data global mereka mengungkap bahwa laju bycatch tertinggi yang dilaporkan dari perikanan longline datang dari kawasan Baja California, Meksiko; laju tertinggi untuk perikanan gillnet terjadi di kawasan Adriatik Utara laut Mediterania dan untuk trawl laju tertinggi terjadi di lepas semenanjung Uruguay.


'Pesta' penyu akibat longline.
(Photo © Projeto Tamar Brazil-Image Bank)


Ketika laju bycatch dan jumlah aktifitas perikanan yang teramati untuk ketiga jenis alat tangkap digabungkan dan di-rangking untuk semua kawasan, empat kawasan muncul sebagai prioritas konservasi utama: laut Pasifik Timur, Mediterania, Atlanik Barat Daya dan Atlantic Barat Laut.

"Meskipun angka kami hanya estimasi, mereka tetap menunjukkan pentingnya keberadaan panduan atau aturan main dalam peralatan dan praktik perikanan untuk membantu mengurangi dampak negatif ini", ujar Bryan.

Pencegahan efektif untuk mengurangi bycatch penyu termasuk penggunaan kait lingkar dan umpan ikan dalam perikanan longline, dan Turtle Excluder Device (TED) di trawling. Kebanyakan dari modifikasi alat tangkap yang efektif malahan dikembangkan oleh nelayan sendiri.


Cara kerja TED dalam membuat ruang bagi penyu untuk 'kabur'.
(Foto: danamccauley.wordpress.com)



Bryan berkata bahwa perikanan longline Hawaii dan perikanan Australia telah mengurangi bycatch secara signifikan melalui hubungan kerja yang dekat antara nelayan dengan pemerintah pengelola, penggunaan pengamat di geladak dan modifikasi alat wajib dan inovasi teknologi. TurtleWatch, sebuah database real-time menyediakan update harian untuk temperatur air dan kondisi laut lainnya yang menandakan dimana penyu bisa ditemui, telah memandu nelayan dalam menghindari penempatan alat tangkap di lokasi tersebut.

Pendekatan lainnya, seperti penetapan kawasan perlindungan laut dan penetapan quota tangkap, juga mengurangi bycatch, menjaga biodiversitas laut dan memicu stok ikan yang sehat - dalam beberapa kasus, ujar Bryan.

Penyu melepaskan diri dari pukat melalui TED.
(Vidio: NOAA office of education)

Bycatch dari perikanan adalah ancaman akut bagi populasi penyu dunia saat ini. Banyak hewan laut mati atau terluka akibat interaksi ini," ujar Bryan. "Namun pesan kami intinya bahwa ini bukan kehilangan semata. Pengelola dan nelayan bisa memilik peralatan yang bisa mereka gunakan untuk mengurangi bycatch, menjaga biodiversitas laut dan mendukung stok ikan yang sehat, sehingga semua menang, termasuk penyu."

Telaah diri kita baik-baik sebelum menyantap seafood di depan mata kita.
Bagaimana dengan Laut, Kita dan Indonesia?

Referensi:
Wallace et al. Global patterns of marine turtle bycatch. Conservation Letters, 2010; DOI: 10.1111/j.1755-263X.2010.00105.x


Kapal Cina penuh dengan penyu ditahan di Tarakan Kalimantan.
(Foto: www.wildlifeextra.com)