Gambar 1. DNA barcode (Sumber : Google) |
Ketika kita berbicara tentang konservasi, di dalam benak pikiran pastilah suatu hal untuk menjaga, dan melindungi. Dalam buku Biologi Konservasi yang ditulis oleh Indrawan et al, tahun 2007, menyebutkan terdapat lima prinsip tentang konservasi yang tengah berkembang saat ini yaitu: (1) keanekaragaman spesies dan komunitas biologi harus dilindungi, (2) kepunahan spesies dan populasi yang terlalu cepat harus dihindari, (3) kompleksitas ekologi harus dijaga, (4) evolusi harus terus berlanjut, dan (5) keanekaragaman hayati memiliki nilai intrinsik. Hal ini dikarenakan manusia menggantungkan hidupnya terhadap apa yang ada di alam semesta ini, sebagai contoh hewan, tumbuhan, jamur, dan bahkan mikroorganisme layaknya bakteri juga kita perlukan untuk keperluan hidup manusia.
Salah satu cara awal untuk melindungi suatu organisme adalah dengan mengenali organisme tersebut. Pada awalnya, untuk mengenali organisme yaitu dengan mengetahui bentuk tubuh, dan karakteristik hidup pada organisme tersebut. Namun pada saat ini mengenali suatu organisme cukup dari urutan basa nukleotida yang berada di lokus DNA organisme tertentu, sehingga dikenali karakteristik urutan basa nukleotida yang berbeda pada masing-masing spesies bahkan individu masing-masing organisme. Cara tersebut dikenal dengan teknik DNA barcode, Neigel et al (2007) menyebutkan bahwa DNA Barcode merupakan metode identifikasi taksonomi yang menggunakan lokus DNA tertentu salah satunya dengan lokus cytochrome oxidase subunit I (COI) yang berada pada DNA dalam organel sel mitokondria atau dikenal dengan mtDNA. Aspek yang menarik dari metode barcode untuk mengidentifikasi spesies adalah metode tersebut dapat digunakan pada setiap siklus kehidupan organisme tersebut (larva, juvenil atau individu) yang terkadang sulit diidentifikasi melalui cara tradisional yaitu morfologi taksonomik.
Lalu, kenapa harus DNA mitokondria (mtDNA) dan lokus COI ?
mitokondria yang merupakan salah satu organel sel organisme eukariotik (Tumbuhan, Binatang, Manusia, dan beberapa jamur) yang berfungsi sebagai respirasi sel, dan didalam organel tersebut terdapat materi genetik yang disebut dengan mtDNA. mtDNA ini mempunyai kelebihan dibandingkan inti DNA yang terdapat pada organel nukleus yaitu diturunkan secara maternal (melalui satu jalur yaitu dari ibu) sehingga memudahkan dalam memahami struktur nenek moyang atau evolusi dari organisme tersebut (Rahayu dan Nugroho, 2015). mtDNA memiliki jumlah salinan DNA yang banyak, pada sel yang sama terdapat 100-10.000 salinan DNA. Hal itu menyebabkan mengisolasi atau mendapatkan DNA melalui mtDNA lebih mudah daripada DNA inti (Rahayu dan Nugroho, 2015).
Lokus COI merupakan gen yang mengkode protein dalam mtDNA. Cytochrome oxidase subunit I (COI) merupakan reprensentatif dari semua gen penyandi protein, dan COI banyak digunakan dalam studi variasi genetik maupun hubungan kekerabatan pada suatu organisme. Penggunaan penanda genetik dengan memanfaatkan gen COI dipilih karena merupakan gen yang berevolusi relatif cukup cepat dan paling stabil diantara gen-gen lain yang terdapat dalam mtDNA (Gambar 2.), sehingga sering digunakan untuk analisis keragaman genetik pada klasifikasi organisme yang lebih rendah (famili, genus dan spesies) (Rahayu dan Nugroho, 2015).
Gambar 2. Mitokondria DNA (mtDNA) berserta lokus-lokus gen didalamnya (Sumber : Wikipedia.org) |
Saat ini organisme laut mulai diperhatikan keberlangsungan hidupnya, salah satunya di Indonesia sendiri. Kita ketahui sendiri makhluk karismatik seperti hiu, pari manta, dan paus, bisa membawa surga parawisata sendiri dan dengan adanya hal itu maka pundi-pundi pun akan masuk dalam kantong manusia maupun suatu pemerintahan daerah tersebut. Namun dilain pihak, hewan-hewan tersebut seperti hiu contohnya selalu menjadi perburuan yang hangat karena permintaan ekspor dan sup sirip ikan hiu seperti yang telah di ceritakan dalam artikel Laut & Kita sebelumnya dengan judul : Kesalahan kita terhadap peranan hiu.
Gambar 3. Sirip hiu yang diperdagangkan disalah satu wilayah Indonesia yaitu Bali (Sumber :Sembiring et al, 2015) |
Ketika hiu diburu dan hanya di ambil siripnya dan tubuhnya dibuang sehingga menghilangkan jejak. Menimbulkan kesulitan untuk identifikasi jenis hiu apa tersebut ketika sudah berada dalam pasaran, sehingga tidak diketahui status hiu tersebut berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resource). Namun penelitian Sembiring et al, (2015), dengan menggunakan teknik DNA barcode dapat mengidentifikasi dan mengetahui status sirip hiu tersebut yang diperdagangkan di sekitar pasar tradisional dan eksportir sirip hiu di Indonesia. Hasilnya dari 852 sirip hiu yang didapatkan jenis hiu terbanyak yaitu Carcharhinus falciformis atau silky sharks dengan frekuensi 19.07% yang termasuk status dalam IUCN yaitu near theartened atau hampir terancam, Sphyrna lewini atau hiu martil sebanyak 10.48% termasuk status dalam IUCN yaitu near theartened atau hampir terancam, dan Prionace glauca atau Blue sharks sebanyak 9.25% 10.48% termasuk status dalam IUCN yaitu endangered atau terancam punah.
Selain hiu, Yusmalinda et al, (2017), juga dapat mengidentifikasi cetacea yang terdampar di perairan Indonesia. Mengenali cetacea terdampar merupakan salah satu hal yang sulit, karena sebagian individu yang terdampar hanya menyisakan sebagian tubuhnya, atau sebagian tubuhnya sudah hilang sehingga sulit mengidentifikasinya secara morfologi. Whale Stranding Indonesia (WSI) mencatat bahwa lebih dari 21% cetacean terdampar di Indonesia, tidak terindentifikasi. Sehingga diperlukan seuatu pendekatan teknik DNA barcode untuk menjawab hal tersebut. Dari 26 sampel yang berhasil di amplifikasi atau perbanyak DNA taget dengan proses Polymerase Chain Reaction (PCR), mampu mengidentifikasi 15 spesies dan 13 genus cetacea yang terdampar diperairan Indonesia.
Gambar 4. Paus yang terdampar diperairan Gilimanuk, Bali pada tahun 2010 yang di foto oleh BKSDA, Bali (Sumber : Yusmalinda et al, 2017) |
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian diatas, penggunaan teknologi seperti DNA barcode dapat membantu masyarakat, stakeholder, dan pemerintah dalam bekerja efisien seperti menyelamatkan jenis hiu yang terancam punah atau dilindungi dari perdaganngan sirip hiu dan mengidentifikasi jenis cetacea yang terdampar sehingga dapat memonitoring cetacea yang terdampar. Penggunaan DNA barcode memberikan kemajuan teknologi yang berguna untuk menyelamatkan organisme-organisme yang terancam ataupun untuk konservasi lingkungan.
Referensi
Referensi
- Sembiring A., N.P.D. Pertiwi., A. Mahardini., R. Wulandari., E.M. Kurniasih., A.W. Kuncoro., N.K.D. Cahyani., A.W. Anggoro., M. Ulfa., H. Madduppa., K.E. Capenter., P.H. Barber. 2015. DNA barcoding reveals targeted fisheries for endangered sharks in Indonesia. Fisheries Research. 164 : 130-134
- Indrawan, M., Primack R.B., Supriatna J. 2007. Biologi konservasi (Edisi Revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 626 hal
- Neigel, J., A. Domingo., J. Stake. 2007. DNA Barcoding as a Tool for Coral Reef Conservation. Coral Reefs. 26 : 487-499
- Rahayu, D.D. dan E.D. Nugroho. 2015. Biologi Molekuler dalam Perspektif Konservasi. Plantaxia. Yogyakarta. 185 hlm.
- Yusmalinda, N.L.A., A.W. Anggoro., D.M. Suhendro., I.M.J. Ratha., D. Suprapti., Kreb., N.K.D. Cahyani. 2017. Identifikasi Jenis pada Cetacea Terdampar di Indonesia dengan Teknik Molekular. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol. 9 (465-474) (DOI : http://dx.doi.org/10.29244/jitkt.v9i2.19283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar