Selasa, 14 April 2009

Terumbu karang yang tersisa dan terancam.


'Healthy and Sustainable Reef'
 (ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies/Marine Photobank)

Kita telah kehilangan sekitar 19% dari tutupan terumbu karang di dunia saat ini; diestimasikan 15% terancam akan hilang dalam kurun waktu 10-20 tahun mendatang; dan 20% akan hilang dalam 20-40 tahun. Estimasi terebut dibentuk berdasarkan opini para ahli, terdiri dari 372 ilmuwan terumbu karang dan pengelola dari 96 negara. Dua estimasi disebutkan sebelumnya, dibentuk dalam skenario 'kegiatan manusia sperti biasanya / business as usual' dan belum memperhitungkan ancaman dari perubahan iklim global atau pengolalaan yang efektif di masa depan dalam pelestarian karang. Namun, 46% dari terumbu karang dunia saat ini dalam keadaan relatif  'sehat' dan tidak dalam ancaman perusakan yang berarti, kecuali ancaman iklim global yang 'tidak bisa diprediksi saat ini'.

Selaku editor, Wilkinson juga merangkum kemunduran yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun (Sejak laporan status 2004 hingga 2008) serta sedikit proyeksi kedepan, antara lain:
  • Gempa dan tsunami di Samudera Hinda tanggal 26 Desember 2004, mengakibatkan  kerusakan di ekosistem pesisir, namun tidak sebanding dengan jumlah korban jiwa (±170.000). 70% armada perikanan hilang, akuakultur gagal, 30% terumbu karang di kawasan hepasan tsunami rusak parah. Demikian juga pada ±600 hektar lamun dan 85.000 hektar mangrove, hilang.
  • 2005 merupakan tahun terpanas di belahan bumi Utara sejak setelah 1998 dan telah mengakibatkan pemutihan karang masal dan badai sepanjang luasan Karibia di 2005, mematikan banyak karang, juga merusak kawasan terumbu terkait.
  • Degradasi terus berlanjut bagi karang yang dekat dengan pusat populasi manusia dalam bentuk hilangnya tutupan karang, populasi ikan dan kemungkinan terhadap biodiversitas.
  • Bukti terus bertambah akan dampak langsung perubahan iklim global pada terumbu karang dengan bukti jelas bahwa meningkatnya keasaman laut (ocean acidification) akan menyebabkan kerusakan lebih besar pada terumbu di masa depan.
  • Kajian sosio-ekonomi banyak digunakan sebagai pendekatan dalam pengambian keputusan dalam pengelolaan terumbu karang. Hal ini ditujukan untuk memperkuat dan menghidupkan struktur pengelolaan tradisional, khususnya di kawasan Pasifik.
  • Namun, degradasi terumbu karang akan memberikan konsekuensi yang tak terduga bagi sekitar 500 juta orang yang bergantung pada terumbu karang untuk makan, perlindungan pesisir, bahan bangunan dan pendapatan dair pariwisata. Ini juga termasuk 30 juta orang yang secara langsung bergantung total pada terumbu karang untuk mata pencaharian mereka atau tempat dimana mereka tinggal (atoll).
  • Permasalahan bagi coral reef managers (pengelola terumbu karang) juga meningkat, dimana diperkirakan 50% populasi dunia akan hidup sepanjang pesisir di tahun 2015, menambah tekanan yang tidak berkesinambungan bagi sumberdaya pesisir. Terumbu yang mereka kelola akan menjadi kurang atraktif namun lebih kuat. Meningkatnya harga pangan dan bahan bakar, komersialisasi aktifitas perikanan dan krisis finansial global akan menambah overfishing (penangkapan berlebih) dan habisnya stok ikan bagi negara-negara miskin; dan
  • Solusi masih tetap dengan membangun Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Areas / MPA) yang saling terkait dalam jejaring serta pengelolaan oleh semua pemangku azaz, khususnya komunitas pengguna.
Referensi: Wilkinson, C. (2008) Status of Coral Reefs of The World: 2008. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Centre, Townsville, Australia, 296 p. 

Tidak ada komentar: