Sabtu, 25 Juni 2011

Sekilas tentang Dugong dugon

Dwi Ariyogagautama

Berangkat dari rasa perjumpaaan dengan si duyung, akhirnya menebalkan semangat gue untuk baca report-report lembaga lain tentang mamalia ini.. Padahal enakkan menebalkan dompet ya ^^!.

Dugong atau Duyung dengan nama ilmiah Dugong dugon, berasal dari family Dugongidae. Hanya ada 1 spesies dalam famili ini. Dugong masih sodaraan dengan Manatee atau lebih dikenal dengan pesut. Mereka di ordo yang sama yaitu Sirenia. Dibandingkan mamalia lainnya, mereka justru lebih dekat kekerabatannya dengan gajah. Mamailia memiliki panjang tubuh 2,4 – 3,0 meter dengan berat tubuh berkisar 230 – 908 kilogram (Skalalis, 2007).

Dugong memiliki persebaran yang luas meliputi 37 negara, mulai dari pantai Afrika Timur hingga Vanuatu, namun jika dibandingkan dengan jumlahnya dialam Dugong mengalami masalah serius sehingga mereka digolongkan rentan menuju kepunahan oleh The World Conservation Union (IUCN). Menurut, Perrin, et al (1996) diduga Dugong sudah punah diperairan Kalimantan. Benarkah?

Gambar 1. Persebaran Dugong diseluruh dunia

Berdasarkan data tahun 1994, populasi Dugong di Indonesia diperkirakan sekitar 1.000 ekor saja, yang tersebar disepanjang hamparan lamun di Indonesia, yaitu antara lain (Suwelo & Ginting (pers comm. 2000)):
  1. Sumatera ( Riau, Bangka dan Kepulauan Belitung)
  2. Jawa ( Taman Nasional Ujung Kulon, pantai Cilegon, Pantai Labuhan, Cilacap bagian selatan, Segara Anakan, dan Blambangan(Banyuwangi) bagian tenggara)
  3. Kalimantan ( Teluk Balikpapan, Kotawaringin, Kepulauan Karimata, Teluk Kumai, Kepulauan Derawan)
  4. Sulawesi ( Sulawesi Utara- Arakan Wawontulap, Kepulauan Bunaken, Sulawesi tengah-kepulauan Togian, Wakatobi dan Taman Nasional Takabonerate)
  5. Bali (Bali Selatan ; pantai Uluwatu and Padang-padang)
  6. Nusa Tenggara Timur (NTT) (Sikka, Semau, Sumba, Lembata and Kepulauan Flores, Teluk Kupang, dan Taman nasional Pulau Komodo)
  7. Maluku (Kepulauan Aru termasuk Aru Tenggara Marine reserve, Kepulauan Lease (Haruku, Saparua, Nusa Laut, Seram, and Halmahera bagian selatan (Syamsudinpers comm. 2001)
  8. Papua Barat (Kepulauan Biak dan Padaido, Sorong, pesisir Fakfak, Taman nasional Teluk Cendrawasih dan Taman nasional Wasur)

Bagi Dugong, hamparan padang lamun yang luas merupakan rumah sekaligus tempat yang paling nyaman buat dia, terutama daerah yang terlindungi seperti di teluk, daerah bakau yang luas dan dangkal, daerah pantai yang teduh. Anderson (1981), menyebutkan Dugong akan ke perairan dangkal seperti gosong (pulau pasir) dan Estuarin untuk melahirkan, hal ini diduga sebagai strategi untuk meminimalisir ancaman dari hiu.

Walaupun beberapa referensi menyebutkan Dugong memakan jenis lamun apa saja yang ada disuatu perairan, namun mereka lebih menyukai spesies pioner seperti lamun dengan genus Halophila dan Halodule. Dugong mempunyai kebiasaan makan yang rakus, dimana yang dewasa dapat menghabiskan 25 – 30 kg lamun basah setiap harinya. Dugong yang pernah dipelihara di Gelanggang Samudra Jaya Ancol memakan 30 – 40 kg lamun basah setiap harinya. Sedangkan di kolam penampungan di Australia, duyung sanggup memakan 50 – 55 kg lamun basah per hari (Azkab 1998).

Gambar 2. Jenis Lamun kesukaan Dugong (Halophila dan Halodule) (http://algabase.org)

Tingkat reproduksi Dugongs sangat rendah, jika diandaikan mereka hidup damai sentosa tanpa ada ancaman oleh manusia, populasi mereka hanya bertambah 5% pertahunnya. Hal ini dikarenakan umumnya Dugong hanya melahirkan 1 ekor anak saja setiap 9-10 tahun (Skalalis, 2007). Ditambah lagi ketika ketersediaan makanan mereka kurang, mereka akan menunda musim kawin. Dugong betina tertua yang ditemukan diperairan Indonesia diperkirakan berumur 73 tahun.

Angka 1.000 ekor seperti dijelaskan diawal itu masih diakui belum valid, angka sebenarnya tentunya lebih rendah, terutama lagi assesment tersebut tahun 2002, dah 9 tahun yang lalu bo. Metode pengambilan data umumnya menggunakan transek sejajar dengan garis pantai dan interview masayarakat, namun dibeberapa tempat seperti Australia bagian utara dan negara-negara Arab menggunakan survey udara (naik pesawat ^^!, modal bener) sepanjang pantai, sehingga dapat mencakup persebaran dan dan kelimpahan berdasarkan gradasi kedalaman.

Ancaman alam dan antropogenik turut meningkatkan angka kematian hewan pemalu ini. Predator alamia Dugong adalah Hiu, Paus pembunuh (Orcinus Orca) dan buaya. Sedangkan dari faktor manusia yaitu perburuan baik untuk kebutuhan adat, konsumsi hingga diperdagangkan, tidak sengaja tertangkap dan hasil sampingan (by catch) dari pengunaan jaring, terluka dikarenakan baling-baling kapal, dan degradasi habitatnya yang berdampak pada pengurangan ketersediaan makanan, seperti penambangan, reklamasi pantai, pembersihan pantai (umumnya pembuatan bangunan pantai) dan sedimentasi tinggi akibat penebangan hutan.

Di Kabupaten Lembata, sebagian masyarakat memiliki kepercayaan bahwa Dugong merupakan penjelmaan dari orang yang meninggal, sehingga penduduk akan menjaganya. Namun berbeda halnya dengan suku Aborigin di Australia mereka mengkonsumsi Dugong untuk kepentingan adat. Sedangkan suku Bajo dan sebagian besar masyarakat di daerah gue kerja (Solar) justru mempercayai bahwa dengan mengumpulkan air matanya atau mengkonsumsi daging Dugong dapat menarik lawan jenis.WTF idea..

Ketidakseimbangan angka kehidupan dan kematian Dugong tersebut, merupakan ancaman yang serius terhadap populasi mamalia ini, kalo bisa dibilang langka..sudah pantaslah..berapa persen kah orang Indonesia yang melihat Dugong di alam J. Apakah kita hanya berharap melihat di tempat hiburan di Ancol saja? Kasihan sekali Dugong itu berada di aquarium L (pasca nonton filem “The Cove”)

Upaya konservasi sudah sejak lama dilakukan di negeri tercinta kita ini, salah satunya yaitu pada pertengahan tahun 1980, Pemerintah provinsi NTT membuat aturan untuk menjaga Dugong dengan memberikan hadiah kepada masyarakat yang menolong Dugong yang terdampar. Hal ini tidak berlangsung dengan baik, karena pemerintah tidak meregulasikannya secara hukum.

Jika ingin melindungi Dugong dalam jangka panjang, lebih baik kita memperhatikan habitatnya juga, management yang komprehensif (cah ileh, ngerti kaga ^^!) antara isu penebangan liar dan tata ruang peisisir kudu sejalan. Pariwisata tidak harus bikin bangunan di pantai juga kan? kuliner juga ga harus reklamasi pantai juga toh?

Pengaturan bukaan lahan untuk garamisasi yang sedang digalakan juga melihat sikon. Identifikasi dulu jenis dan luasan lamun dan kemungkinan daerah Dugong, sebelum memutuskan, dukung dan implementasikan program-program penanaman pohon yang diadakan oleh berbagai pihak tanpa berpikir ada kepentingan politis atau green washingoleh sebagian oknum ..opsss hee,heee

Pendidikan dan kampanye terhadap masyarakat mengenai kelangkaan jenis ini juga jangan pernah berhenti, mpe berbusa juga kudu diperjuangkan. Tanamkan ke anak-anak kita jangan hanya senang melihat Duyung di BBC chanel, Natgeo atau di aquarium raksasa saja.

Selagi ilmuwan-ilmuwan yang bersemangat dalam membuat riset tentang mamalia laut, ahli hukum menunggu hasil riset ilmuwan dalam menyusun Undang-undang perlindungan, pemerintah dan LSM yang berkoar-koar secara moral untuk menjaganya, sebaik kita juga dukung dengan memperluas lahan hijau. (YG)


Referensi :

  • Marsh, HELENE. 2002.Dugong Status Report and Action Plans for Countries and Territories.UNEP
  • Azkab, M.H. 1998. Duyung sebagai pemakan lamun. Oseana Volume XXIII, Nomor 3 & 4, 1998: 35 – 39. P3O-LIPI, Jakarta.
  • Skalalis, Diana, 2007. Karya Tulis : Model Konservasi Dugong (Dugong dugon Muller). Universitas Padjajaran.

Tidak ada komentar: