Sabtu, 05 Maret 2011

Perikanan skala kecil kita saat ini (1): Baru memilih kaya, belum mau sejahtera.



Kajian sains perikanan skala kecil selalu mengemukakan bahwa kemiskinan terkait dengan ekploitasi sumberdaya perikanan yang berlebih.

Demikian pula dengan yang disebut Garrett Hardin di tahun 1968 sebagai 'Tragedi Lahan' - ketika sumberdaya ikan yang 'dimiliki semua orang' (namun tiada yang mengelola secara efektif) dimanfaatkan berlebih hingga jumlah tangkapan serta pemerataan pendapatan dari laut berkurang, hingga si nelayan dan lainnya yang biasa diuntungkan dari panen laut masuk dalam kemiskinan.

Lain kata: nelayan yang terlalu banyak mengejar ikan yang terlalu sedikit membawa pendapatan yang terlalu sedikit.

Di lain sisi, perikanan skala kecil - yang diperkirakan menduduki ±90% perikanan Indonesia (!) - memiliki peranan besar dalam kemanusiaan dan pembangunan sosio-ekonomi. Perikanan skala kecil yang saat ini masih berkonotasi 'perikanan skala kemiskinan' - sebenarnya pintu gerbang penuntasan kemiskinan jika kita tengok arus pendapatan, kesempatan pekerjaan, dan kontribusi ketahanan pangan yang saat ini berputar didalamnya dan besar jumlahnya.

Namun saat ini, perikanan skala kecil masih menjadi aktifitas 'harapan terakhir' bahkan sebagai 'jebakan kemiskinan' dan, tidak hanya di Indonesia, 20% mayoritas nelayan skala kecil negara berkembang hidup dalam 'batas terendah harga diri manusia'.

Membingungkan. Sebuah kegiatan manusia yang (i) membawa kemiskinan namun juga (ii) berpotensi menuntaskan kemiskinan. Nomor satu sudah menjadi momok, nomor dua banyak yang belum paham, tahu atau bahkan percaya.

Kunci persoalan miskin atau tidak-miskin di perikanan skala kecil terletak bagaimana Indonesia selama ini melihat ikan sebagai sumber 'kekayaan', ketimbang ikan sebagai sumber 'kesejahteraan'.

Indonesia selama ini tidak berhati-hati dengan iming-iming bahwa perdagangan ikan dengan negara lain (yang maju, terutama) akan menjadi mesin penuntasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi. Ini membuat orientasi akhir perikanan indonesia masih seputar 'agar menjadi kaya' - terbukti jelas dengan statitik ekspor ikan Indonesia yang selalu impresif tiap tahunnya.

Namun, orientasi akhir 'agar sejahtera' masih jauh dari realita - sebab keuntungan yang mengalir kembali dari perdagangan ikan global hingga bisa dirasakan nelayan skala kecil dan masyarakat lokal masih jauh dari nyata.

Inilah kesuksesan ekonomi berbasis kekayaan yang dipilih perikanan Indonesia saat ini (wealth-based model). Bukan berbasis kesejahteraan (welfare-based model).

Selayaknya mengatur jumlah harta - dalam hal ini ikan - , ekonomi berbasis kekayaan mengedepankan keberadaan ikan dan sumberdaya laut ekonomis lainnya sebagai penentu pengentasan kemiskinan serta degradasi sumberdaya/lingkungan yang terkait. Disini banyak ikan = banyak yang armada tangkap = banyak ancaman pada keberadaan ikan.

Disini laut dikelola layaknya sawah (agriculture model). Dalam prakteknya, pengendalian perikanan dilakukan dengan pembatasan ijin tangkap layaknya pemilik petak sawah mengatur jumlah petani penggarap yang berkerja. Juga penetapan daerah larang tangkap/konservasi, layaknya pemetakan sawah di daratan. Aktifitas tangkap dibatasi dengan penentuan ijin tangkap - alias 'sewa laut' - dengan tarif tertentu, yang nantinya pendapatan sewa akan 'diwujudkan' kembali ke nelayan.

Lanjut ke bagian (2): Laut bukan sawah

Tidak ada komentar: