Tahun 2009 berlalu, sudah sejauh manakah Kita menindaklanjuti pencemaran minyak di Laut Timor?
Otoritas di Australia mengakui tumpahan minyak mentah akibat meledaknya ladang minyak Montara di Celah Timor, telah memasuki perairan Indonesia. Tumpahan itu kini telah mendekati 51 mil laut dari Pulau Rote yang terletak di wilayah paling selatan Indonesia dan mengancam biota laut di perairan Indonesia, termasuk rumput laut yang dibudidayakan secara besar-besaran di Rote Ndao . Hasil penelitian cepat dari lembaga lingkungan di Timor juga menunjukkan hasil positif terjadinya pencemaran.
Bupati Kabupaten Rote Ndao, Lens Haning, dalam pertemuan dengan Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT), Ibrahim Agustinus Medah dan dua anggota DPRD, Nixon Messakh dan Somy Pandie, di Baa, Sabtu mengatakan, ia baru kembali dari mengikuti pertemuan dengan berbagai pihak terkait di Jakarta yang diprakarsai oleh Departemen Perhubungan, untuk membahas pencemaran Laut Timor.
Dari pertemuan itulah, katanya, ia memperoleh data tertulis dari pihak Australia yang melakukan pemantauan tumpahan minyak hingga ke wilayah perbatasan perairan dengan Indonesia dan menemukan ada gumpalan minyak mentah yang memasuki wilayah selatan Indonesia.
Karena laporan Australia itulah, sebuah tim terpadu yang melibatkan pejabat sejumlah departemen terkait di Indonesia, akan tiba di Kupang pada awal pekan depan, guna melakukan pembahasan terfokus.
Tim itu, menurut Bupati Lens Haning, juga diagendakan melakukan pemantauan langsung ke wilayah selatan perairan Indonesia, guna memastikan bahwa wilayah perairan Indonesia sudah tercemar, dan kemudian membahas berbagai rekomendasi untuk disampaikan kepada pemerintah Indonesia.
Dengan dasar rekomendasi itulah, pemerintah pusat melakukan komunikasi dengan Australia untuk penanganan selanjutnya. Dari pertemuan di Jakarta pada tanggal 21 Oktober lalu, ia mengaku memperoleh informasi bahwa Australia melakukan dua upaya untuk mengatasi masalah tumpahan minyak.
Upaya pertama adalah melakukan penyumbatan terhadap bagian ladang yang meledak dan bocor, namun untuk itu diperlukan waktu sekitar 52 hari. Sementara upaya kedua adalah kemungkinan melakukan penyemprotan terhadap gumpalan minyak mentah yang muncul di permukaan perairan untuk ditenggelamkan.
Menurut Bupati Lens Haning, upaya pertama membutuhkan waktu lama dan daerah yang dekat dengan tumpahan minyak yakni Kabupaten Rote Ndao dan wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, tidak berdaya untuk ikut campur tangan dalam upaya tersebut dan upaya kedua, disebutnya sebagai tidak mengatasi persoalan.
Ketua DPRD NTT, Ibrahim Agustinus Medah menyebut tindakan Australia melakukan penyemprotan untuk menenggelamkan tumpahan minyak, akan sangat berbahaya bagi biota laut di perairan Indonesia, terutama yang dekat dengan Pulau Rote dan sekitarnya.
Bupati Lens Haning, Ketua DPRD NTT, Ibrahim Agustinus Medah dan dua anggota dewan, Nixon Messakh dan Somy Pandie, sepaham bahwa kalaupun tumpahan minyak mentah tidak memasuki wilayah perairan Indonesia, bukan berarti tidak membahayakan biota laut. Karena, jika gumpalan minyak mentah itu terbawa arus dan mencemari perairan Indonesia, maka bahaya bagi penduduk di Rote Ndao selalu mengintai.
Bupati Lens Haning berharap, pemerintah pusat segera mengeluarkan sebuah keputusan yang bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat di wilayah paling selatan Indonesia itu
PENELITIAN AWAL BLDH NTT: TERBUKTI POSITIF MENCEMARI
Hasil analisa Badan Lingkungan Hidup Daerah Nusa Tenggara Timur (BLHD NTT) menunjukkan bahwa Laut Timor sudah positif tercemar minyak mentah (crude oil) yang bersumber dari ladang gas Montara yang meledak pada 21 Agustus lalu. Analisa BLHD NTT ini mengacu pada dua dari empat sample yang diambil dari perairan Laut Timor, kata analis dari BLHD NTT Inti Magarini kepada pers di Kupang, Sabtu, setelah bersama tim dari Posko Pencemaran Laut Timor bentukan pemerintah NTT melakukan penyisiran di Laut Timor sejak Kamis (22/10).
Magarini menegaskan, dua sample yang diambil pertama, baik secara fisik maupun kasat mata sudah positif tercemar minyak mentah (crude oil) yang diduga kuta berasal dari ladang gas Montara yang meledak pada 21 Agustus lalu di Laut Timor.
Pengambilan sample air laut oleh BLHD NTT itu berkaitan dengan laporan media yang memberitakan bahwa ribuan ekor ikan mati di Laut Timor karena wilayah perairan tersebut sudah tercemar minyak.
Guna mengetahui secara pasti dan akurat bahwa Laut Timor tercemar minyak, maka Posko Pencemaran Minyak Laut Timor bentukan pemerintah Provinsi NTT menurunkan sebuah tim yang melibatkan pula Administrator Pelabuhan (Adpel) Tenau Kupang, Polisi Perairan (Polair) Polda NTT, Pertamina, BLHD dan sejumlah wartawan dari media cetak dan elektronik.
Magarini menjelaskan, pihaknya mengambil empat sampel di perairan Laut Timor untuk melakukan penelitian guna mengetahui sejauh mana tingkat pencemaran minyak di Laut Timor.
“Kita mengambil empat sample air laut untuk diteliti lebih lanjut guna mengetahui tingkat serta kadar pencemarannya,” katanya menjelaskan.
Sampel pertama diambil pada titik kordinat 11.31.213 LS dan 122.59.530 BT, sekitar lima mil dari Pulau Landu di wilayah Kabupaten Rote Ndao. Sampel kedua diambil pada titik kordinat 11.09.372 LS dan 122.56.960 BT yang berlokasi sekitar 10 mil dari Pulau Ndana, juga di wilayah Kabupaten Rote Ndao. Sampel ketiga pada titik kordinat 11.31.797 LS dan 123.24.999 BT di lokasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, sekitar 10 mil dari Pulau Pasir (ashmore reef). Sampel keempat pada titik kordinat 10.43.01 LS dan 123.51.27 BT di wilayah perairan Kolbano, pantai selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Dua dari empat sampel itu (sampel pertama dan kedua, red), kata Magarini, sudah positif atau terindikasi kuat tercemar minyak mentah.
Namun, untuk membuktikan indikasi tersebut, tambahnya, harus dilakukan penelitian lebih lanjut di laboratorium yang hasilnya baru akan diketahui pada Selasa (27/10).
Tim pengambilan sampel pencemaran Laut Timor ini berangkat dari Pelabuhan Tenau Kupang pada Kamis (22/10) malam pukul 22:00 Wita menggunakan sebuah kapal milik Polair Polda NTT dengan nomor lambung 646 menuju ZEE.
Pengambilan sampel pertama dilakukan pada Jumat (23/10) pukul 06:00 Wita, sample kedua pada pukul 07:00 Wita dilokasi yang berbeda. Sedangkan, sampel ketiga diambil pada pukul 12:00 Wita di sekitar Pulau Pasir (ashmore reef) yang berbatasan langsung dengan wilayah perairan Australia. Sampel terakhir diambil pada pukul 18:00 Wita di perairan pantai selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Kolbano.
RUMPUT LAUT MULAI TERPENGARUH DAMPAK NEGATIF TUMPAHAN
Para petani rumput laut di perairan Rote Ndao dan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengaku dirugikan perusahaan minyak Montara yang telah menyebabkan pencemaran minyak mentah (crude oil) yang datang dari laut Timor.
“Kerugian itu nampak terlihat dari hasil panenan yang tercemar minyak mentah, sehingga penawaran pun drastis menurun, bahkan di wilayah tertentu justru tidak ada lagi penawaran,” kata salah satu petani rumput laut, Hermanus Fiah di Kupang, Minggu.
Menurut warga desa Dayama Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao-NTT, melihat fenomena tersebut, dirinya lebih memilih menggantung tujuh tali yang selama ini digunakan berbudidaya rumput laut karena aktivitasnya pasti tidak mendatangkan keuntungan.
“Mungkin akhir tahun 2009 merupakan tahun bencana bagi petani rumput laut di Kabupaten Rote Ndao, karena gara-gara pengusaha minyak dari perusahaan Montara yang tidak hati-hati dalam melaksanakan usahanya,” katanya.
Petani rumput laut lain, Ny Elisabeth Eik Fuah (40), mengeluhkan kerugian serupa. Ia mengaku, harga rumput laut yang dijual kini menurun drastis.
“Dulu standar harga terendah Rp20 ribu per kilogram, sekarang harga sudah turun Rp5000 per kilogram. Tahun ini kita tidak timbang lagi, tetapi langsung jual karena harga sangat rendah,” katanya.
Ny Elisabeth yang mengaku memiliki dua wilayah budidaya, yakni di pantai Ba`a Rote Ndao dan pantai Tablolong Kabupaten Kupang tersebut, tidak biasanya mendapat penghasilan seperti tersebut di atas.
“Biasa setiap dua bulan, saya panen dan hasilnya sekitar satu ton, tetapi mulai Agustus hingga September hasil seperti itu tidak didapati lagi,” katanya.
Ia mengaku sebagian kecil kerugian juga diakibatkan oleh penyakit namun kerugian besar dialami akibat kebocoran sumur minyak Australia di celah Timor beberapa waktu lalu.
Para petani meminta perhatian pemerintah dan lembaa kompeten lain untuk melakukan upaya pencegahan terhadap tumpahan minyak mentah itu, sehingga tidak berdampak lebih luas lagi, karena mengancam kehidupan ekonomi petani yang menggantungkan hidup pada biota laut itu.
“Kami akan menuntut mengembalikan kerugian, jika kelak sudah ada jalan keluar dan ada pihak yang mengaku bertangungjawab terhadap tumpahan minyak mentah tersebut,” katanya.
Sebelumnya petani rumput laut asal Kupang, Idris Mera juga mengaku areal budidaya rumput laut hingga selat Pukuafu mencapai ribuan hektare, sehingga membuat para petani rumput laut di wilayah Pantai Baru mulai resah dengan kondisi perairan budidaya yang sudah mulai tercemar minyak mentah itu.
Muntahan minyak mentah itu diduga kuat berasal dari ladang gas Montara di Laut Timor yang meledak pada 21 Agustus lalu.
Sampai saat ini, upaya untuk menghentikan kebocoran minyak dari ladang gas tersebut oleh PTTEP Australasia, sebuah perusahaan minyak asal Thailand yang mengolah ladang gas itu, belum juga berhasil meski sudah menggunakan peralatan teknologi canggih.
Minyak mentah serta partikel lainnya yang dimuntahkan dari ladang gas Montara itu dilaporkan rata-rata mencapai 500.000 liter setiap hari atau sekitar 1.200 barel.
Sumber : Antara, Oktober 2009
RIBUAN NELAYAN TIDAK BISA MELAUT
Pelaku perikanan tradisional Nusa Tenggara Timur (NTT) terancam mata pencahariannya akibat tumpahan ladang minyak di perairan Australia yang pencemarannya sudah memasuki perairan Indonesia. Sejumlah aktivis lingkungan mendesak pemerintah Australia segera menghentikan dan bertanggung jawab atas pencemaran tersebut.
Menurut Lita Mamonto, Manajer Kampanye Pesisir Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), pihak Australia melalui Australia Maritime Safety Authority (AMSA) telah mengakui secara resmi bahwa tumpahan minyak dari The Montara Well Head Platform telah memasuki wilayah perairan Nusa Tenggara Timur (NTT) sekitar 51 mil laut tenggara Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao. “Diperkirakan sekitar 500.000 liter per hari minyak mentah yang keluar,” kata Lita.
Kawasan tersebut tercemar pada tanggal 21 Agustus 2009. Ledakan dari Ladang Montara di Blok West Atlas, Laut Timor, perairan Australia posisi 12041’S/124032’ T mengakibatkan tumpahan minyak. Pencemaran kali ini cukup besar dan dampaknya hingga ke kawasan pantai selatan Pulau Rote dan Pulau Timor bagian selatan.
Masyarakat mengalami sakit akibat makan ikan tercemar dan nelayan tradisional kian sulit untuk melaut di perairan Laut Timor. “Penghasilan laut nelayan menurun hingga 60 persen, masyarakat sekitar banyak yang sakit di bagian pencernaan akibat mengonsumsi hasil laut yang tercemar tersebut,” tambah Lita.
Kebocoran minyak yang mencemari Laut Timor tersebut kian mencemaskan. Sejauh ini, upaya pencegahan yang dilakukan pihak Australia adalah menyemprotkan dispersant, yang berdampak menyembunyikan genangan minyak ke dasar laut. “Ini tidak menyelesaikan masalah, justru memindahkan masalah, di dasar laut malah akan merusak karang,” kata Mida Saragih, Knowledge Management KIARA.
Sumber: http://www.koran-jakarta.com/ berita-detail. php?id=39655