Uraian keadaan dibawah yang terjadi dipasar Mahacai Bangkok yang mungkin serupa umumnya keadaan di lapangan perikanan lokal Indonesia:
Dalam senja tropis yang lembab, perahu-perahu mulai berdatangan, membongkar muatan keranjang-keranjang plastik berisi ikan, udang, cumi-cumi dan kepiting. Sudah menunggu, beberapa orang pria yang mensortir tangkapan, bekerja diantara tumpukan es. Kebanyakan ikan-ikan masih kejang-kejang, masih segar; kepiting, seperti biasa, dilibat kuat oleh tali plastik. Kesemuanya ditangkap langsung oleh nelayan – yang besar kemungkinan datang dari armada pukat (trawler) di laut lepas sana.
Ikan laut dijaja di Pasar Mahacai, Thailand
(Foto: www.indiajungles.com)
Kait besi digunakan untuk menyeret keranjang-keranjang tangkapan tersebut, bergabung dengan udang-udang gemuk yang ditangkap dekat kawasan pesisir. Kebanyakan tangkapan dibeli langsung untuk pengolah seafood dan pemilik restoran; Mahacai menjadi pemasok utama industri seafood thailand dan permintaan besar pasaran di Bangkok.
Duduk di perahu setelah menurunkan 2 keranjang ikan, cumi-cumi dan udang - hasil tangkapan setelah 2 hari di laut - Sayan Taengpoo, 46, ayah dari emat orang anak, 20 tahun pengalaman nelayan, berkata bahwa perkembangan industri di kawasan telah memperbururk kualitas air, dan tangkapan terus menurun sejak 10 tahun lalu. Naiknya harga pasatan seafood juga dibarengi dengan naiknya harga bahn bakar dan perawatan. Kombinasi keduanya membuat pekerjaan semakin sulit.
Tangkapan segar Cumi di Pasar Mahacai, Thailand
(Foto: www.indiajungles.com)
Pak Viroj Limsit, direktur pengelola exportir besar Narong Seafood, di kantor-nya yang dekat dengan pasar juga berkata bahwa tangkapa terus menurun. 'Alasannya sederhana, penangkapan berlebih (overcatching) di masa lalu dan kurangnya pengendaliansumberdaya alam di perairan Thailand,' beliau berkata.
Teluk Thailand yang relatif tegolong dangkal merupakan salah satu kawasan perikanan terpadat di dunia. Nelayan Thailand, dalam kurun waktu 15 tahun belakang ini, karena kompetisi dan stok menurun, terdorong hingga menjelajah ke kawasan Oman, India, Bangladesh, Myanmar, Indonesia dan Vietnam dibawah ijin tangkap resmi.
'Biaya (retribusi) meningkat, disertai dengan implementasi peraturan dan regulasi mempersulit kami dalam penangkapan ikan di kawasan asing', ujar Pak Viroj. 'Bahkan di tahun 2007, Indonesia berhenti mengeluarkan ijin penangkapan ikan bagi kapal tangkap asing.'
Permasalahan semacam ini menerpa kawasan Thailand, Indonesia-pun nampaknya tidak luput, dan ini umum terjadi di dunia saat ini. Di haparan lautan planet kita saat ini, jumlah kapal tangkap mekanik (modern) diestimasi sekitar 2.1 juta, dan dari ribuan dari mereka terdaftar dalam Organisasi Pangan dan Agrikultur (FAO) dalam kewarganegaraan yang 'tidak diketahui'.
Trawler skala industri saat ini hampir-hampir melumpuhkan kekayaan perikanan lautan dunia, dan memperburuk puluhan juta matapencaharian nelayan kecil lokal. Di sebagian daerah di Filipin, dengan lautnya yang juga ditangkap secara berlebih baik oleh Filipino sendiri dan asing, golongan nelayan ini hanya bisa membawa rata-rata sekitar 3000 Peso (Rp 600.000) per bulannya.
Di berbagai belahan dunia saat ini, armada komersial trawler terus mengejar ikan yang semakin sedikit jumlahnya. Dan sejalan dengan menghilangnya jenis ikan-ikan khusus pasar 'permintaan-besar', organisme laut yang berada di rantai makanan lebih rendah semakin bertambah, karena sedikitnya predator. Namun, mereka tidak luput dari target longline dan jaring, yang seringkali ditarik oleh kapal, mengoyak dasar laut tanpa pandang bulu, menggaruk semua makhluk hidup yang ada di sana.
Trawler industrial meggaruk dasar lautan
(Foto: Brian Skerry, isiria.wordpress.com)
Untuk setiap kilo yang sampai ke pasar semacam Manchai di Thailand, 10 kilo - dan terkadang hingga 100 kilogram - dari tangkapan dibuang begitu saja karena tidak bisa dperdagangkan - biasa disebut sebagai bycatch (tangkapan sampingan). 'Tidak hanya dasar laut yang mengalami kerusakan yang berarti, pembuangan tangkapan ikan yang tidak diinginkan juga memperparah keadaan,' terkutip juga dari laporan dari laut Arafura di Indonesia.
Beragam ikan pari dan jenis ikan lainnya dibuang ke laut dari perahu nelayan udang sebagai bycatch
(Foto: Brian Skerry, isiria.wordpress.com)
Perairan tropis dangkal menderita tekanan ganda baik dari pertumbuhan populasi nelayan lokal dan juga perikanan skala-industrial, yang umumnya tidak teregulasi. Indonesia merugi sekitar US$ 2 miliar setap tahunnya dari perikanan ilegal, tak terlaporkan, tak teregulasi (illegal , unreported and unregulated fishing).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar