Sabtu, 29 Agustus 2009

Perikanan Kita yang tak terkendali dan merusak - 3

Digubah kembali berdasarkan tulisan Nirmal Ghosh,pertama kali di-publsh di The Straaits Times (http://www.straitstimes.com).

Kesepakatan perlindungan karang yang menjanjikan?

Banyak ahli mengatakan bahwa kesepakatan enam negara baru-baru ini untuk melindungi Segitiga Karang (Coral Triangle) terlihat meyakinkan dalam kertas-nya, namun prakteknya mungkin bisa berbeda. Pejabat tinggi kementrian dari Indonesia, Timior Leste, Filipina dan Papua Nugini, Malaysia dan Kepulauan Solomon telah bersepakat untuk melindungi sekitar 20 persen dari kawasan luas tersebut.

Coral Triangle meupakan rumah dari sekitar 75% spesies karang dunia, juga bagi hutan lamun, bakau dan ikan laut.

Kawasan ini menahan bagian besar keanekaragaman hayati laut global serta menjadi kawasan memijah bagi ikan; namun sayangnya, dilatar belakangi keadaan laut dan samudera yang terus terdegradasi terdegradasi – karena juga merupakan ‘human triangle’. Urgensi ini kabarnya telah ditindaklanjuti melalui pertemuan para pejabat tinggi negara-negara tersebut di Manado untuk sepakat dalam menyelamatkan kawasan tersebut dalam World Ocean Conference (WOC).

Banyak yang sepakat bahwa Coral Triangel Initiative (CTI) penting dan memang sudah waktunya untuk diadakan; namun, usaha tersebut banyak mendapat kritik juga.

Di Manado,sekelompok nelayan kecil tradisional dari Filipina, ikut angkat suara. Mengangkat permasalahan tentang direbutnya hak tangkap mereka untuk menanggapi permintaan pasar saat ini dan mereka merasa akan dicegah untuk hal itu. "Nelayan tersebut dipaksa untuk pergi", ujar Patrick Batungbacal dari LSM Tambuyog yang berbasis di Filipina, pada The Strait Times. Beliau berkata bahwa pesan mereka adalah "Jangan rebut hak tangkap nelayan; masyarakat pesisir semestinya mengatur perairan mereka sendiri".

Sayangnya, hal serupa juga terjadi terhadap LSM WALHI dari Indonesia, yang mengangkat isu serupa. Saat WOC, mekanisme penyampaian aspirasi seperti ini, masih dianggap sebagai ‘demo’, dan berkesan mengganggu acara taraf internasional.

Para ilmuwan dan pakar lingkungan percaya bahwa sebuah kemajuan berarti bisa tercapai untuk pertamakalinya melibatkan enam pejabat tinggi kementrian dalam CTI melalui WOC 2009 kemarin. Selain penetapan kawasan perlindungan, pertemuan tersebut juga membahas isu seperti pengelolaan ekosistem pesisir dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Dilaporkan bahwa CTI telah menarik kesepakatan komitmen pendanaan sebesar 5 juta USD dari Indonesia dan FIlipina, dua juta USD dari Papua Nugini dan 1 juta USD dari Malaysia. Amerika Serikat sepakat memberikan dana sebesar 41.6 juta USD dan Australia 1.5 juta USD. The Global Environmental Facility akan menyediakan sekitar 63 juta USD.

Di Asia, CTI dianggap sebagai terobosan besar namun para ahli yang terlibat langsung di lapangan di bidang konservasi dan sumberdaya laut tidak begitu merayakan gebrakan politik lingkungan tersebut. Simon Funge-Smith, salah satu staff senior perikanan di FAO Bangkok, berkata bahwa permasalahan saat ini ialah bagaimana menjembatani antara perlindungan dan pemanfaatan sumberdata laut.

"Permasalahan akan muncul ketika Anda mendeklarasikan suatu kawasan perlindungan terkait dengan hajat banyak orang", ujar Simon.

CTI bisa memberikan kawasan perlindungan yang luas dan berarti karena peranan yang pasti untuk memberikan suaka bagi spesies laut. Namun, secara legal, perlindungan ini sangat bisa juga memisahkan masyarakat dalam jumlah besar dengan mata pencaharian mereka.

Armada pukat (trawler) komersil dengan daya jelajah antar negara bisa bergerak kemana saja, namun penduduk lokal (masyarakat pesisir) jelas tidak mobile. Dan tidak lupa bahwa ada jumlah manusia yang sangat besar tergantung pada sumberdaya laut di Coral Triangle.

Sudah menjadi kenyataan umum bahwa kawasan perlindungan alam baik di laut maupun di darat harus mendapatkan dukungan dari stakeholder lokal (tidak hanya pejabat daerah, pengelola bisnis, namun –terpenting – masyarakat pesisir) jika tujuan konservasi ingin tercapai.

"Pemerintah baik lokal hingga bilateral berharap laut bisa terus berproduksi namun keteladanan kita lemah bahkan patut dipertanyakan", ujar Funge-Smith. "Sudah semestinya kita bertindak agar perikanan kita bisa beristirahat sejenak."

Meng-istirahatkan, atau setidaknya, mengurangi intensitas perikanan di Indonesia; sayangnya sampai saat ini belum bisa terwujud.

Bahkan mengurangi kepadatan kendaraan bermotor di Jakarta (tempat berlangsungnya pusat pemerintahan)-pun masih gagal dengan implementasi TransJakarta beberapa tahun belakang ini. Apalagi yang terjadi disudut-sudut terpencil laut dan pulau kita.

Ada yang salah dalam berjalannya sistem dan kepribadian bangsa kita yang menghambat pelestarian laut.

---Selesai---

Tidak ada komentar: