Bagaimana dengan ekonomi perikanan berbasis kesejahteraan (welfare-based model)?
Untuk model ekonomi perikanan yang satu ini, fokus utama bukan pada menjaga kekayaan laut, namun menjaga kesejahtaeraan nelayan, dalam hal ini nelayan skala kecil.
Model ekonomi berbasis kesejahteraan membantah model ekonomi perikanan berbasis kekayaan dimana: kelimpahan sumberdaya ikan tidak ada hubungan linier dengan kesejahteraan nelayan.
Disini hukum "sedikit ikan = terlalu banyak yang menangkap ikan = terlalu sedikit pendapatan = kemiskinan" tidak berlaku. Sebab model kekayaan membuat ilusi bahwa "jika ikan bisa diperbanyak maka nelayan kaya".
Namun, untuk Indonesia model berbasis kekayaan saat ini tidak sesuai, sebab wealth-model datang dari konsep perikanan barat negara maju. Model ini berjalan baik dengan asumsi sektor pencaharian non-perikanan, seperti agrikultur, industri, pariwisata; lebih menarik bagi masyarakat dan mendominasi perekonomian nasional.
Indonesia saat initidak seperti itu. Banyak sedikitnya ikan bukan penentu utama banyak sedikitnya orang terlibat dalam perikanan skala kecil, sehingga tidak secara langsung menentukan kaya-miskin-nya mereka yang terlibat. Sebab perikanan skala kecil di Indonesia bikan masalah kaya/miskin, namun masalah bekerja atau tidak bekerja, dan rentan atau tidak rentan, dan sejahtera atau tidak sejahtera.
Spesifiknya, ada mekanisme fungsi 'tersembunyi' dari perikanan skala kecil. Pertama, perikanan skala kecil menjadi 'katup pengaman' bagi mereka yang memiliki keterbatasan keahlian perkerjaan yang hanya bisa bergantung langsung dan kuat pada sumber daya alam terbuka. Kedua, perikanan skala kecil merupakan 'jaringan keamanan' sebagai sektor pekerjaan alternatif atau tambahan bagi mereka di sektor non-perikanan yang sedang butuh sokongan sebab ganguan dalam pencaharian.
Lalu bagai mana ekonomi berbasis kesejahteraan bisa menggantikan pendapatan konsep 'sewa laut' dari ekonomi berbasis kekayaan?
Kuncinya terletak dalam bagaimana Indonesia mau membawa nelayan skala kecil memiliki akses untuk pasar global. Dalam hal ini siklus perputaran 'uang ikan ' dipersempit. Disini nelayan skala kecil memiliki kapasitas penuh dalam menangkap, mengolah, mendistribusikan, hingga memasarkan ke luar Indonesia, dan arus perputaran uang ada di lingkaran nelayan skala kecil.
Dalam hal ini akselerasi transaksi dipercepat, dan resiko salah kelola arus pendapatan jauh diperkecil. Sebab kelompok-kelompok nelayan menanggung resiko 'balik modal' masing-masing. Jauh lebih baik ketimbang andil dalam 'pasar global semu' dimana nelayan industri (armada asing atau pengusaha asing) datang, menyewa laut, menangkap dan membayar ikan yang ditangkap, kemudian dikumpulkan di pusat, lalu didistribusikan kembali dalam berbagai wujud ke masyarakat - sebuah siklus yang terlalu panjang.
Dalam situasi perubahan iklim saat ini Kerentanan perikanan skala kecil (nelayan tradisional dan komersil skala kecil) akan meningkat, baik sebab semakin tingginya resiko bekerja, dan terganggunya produktifitas dan distribusi ikan.
Intervensi perlu dilakukan dari skala lokal hingga pusat untuk meningkatkat kapasitas perikanan skala kecil agar tidak termarginalkan dan memiliki posisi tawar kuat dalam kompetisi pasar perikanan nasional dan global global. Dalam prosesnya, fokus 'penyewaan laut' perlu dialihkan, dengan lebih lagi pada penyediaan jaringan pengamanan sosial, kredit mikro dan pengadaan asuransi jiwa formal bagi nelayan skala kecil agar bisa melemahkan proses pemiskinan yang terstruktur dalam jangka panjangnya, serta kesiapan yang lebih matang dalam merespon 'gagal panen' dan resiko gejolak alam lainnya.
Bukan berarti 'sewa laut' tidak penting. Hanya saja prioritas saat ini ialah meningkatkan kapasitas perikanan skala kecil yang tidak dipungkiri sangat intensif pekerja, dan menjanjikan ruang pencegahan kemiskinan dari daya tampung perikanan skala kecil untuk mereka yang sangat bergantung pada alam dan sebagai alternatif sektor kerja bagi mereka transisi di sektor non-perikanan. Alhasil, sebuah sektor kerja yang bisa mencegah kemiskinan.
Nelayan mungkin tergolong miskin, namun pastikan mereka tetap sejahtera (bisa bekerja, ada pendapatan, dan memiliki jaminan sosial dan asuransi sebagaimana mestinya jaminan pekerja di Indonesia).