Cabang karang Acropora saat digerogoti Drupella
sehingga memutihkan karang akibat dimangsanya jaringan hidup karang.
(Foto: Andrew Baird, GBRMPA)
Jaringan polip karang masif sedang digerogoti Drupella.
Sejak kapan Kita tahu ancaman Drupella bagi terumbu karang?
Kasus kerusakan karang skala besar akibat Drupella pertama kali tercatat di tahun 1976 di pulau Miyake-Jima, Jepang bagian selatan (Moyer et al 1982). Kasus merebaknya Drupella (outbreak) juga pernah menyebabkan kerusakan karang yang luas di Filipina (Moyer et al 1982), Kepulauan Marshall (Boucher 1986), juga di barat Australia (Ayling & Ayling, 1987; Forde 1992; Osborne, 1992; Black & Johnson, 1994).
Bagaimanakah cara Drupella memangsa karang?
Ciri kerusakan biologis karang akibat prilaku koralivora Drupella (baik intensitas dan luasnya) cenderung serupa dengan dampak yang disebabkan Acanthaster planci (Bulu Seribu) (Moyer et al., 1982; Ayling & Ayling, 1987).
Drupella memilih mangsanya (umumnya koloni karang) karena berbagai alasan - yang cukup kompleks – diantaranya: bentuk pertumbuhan koloni karang, kemudahan mereka untuk mengambil jaringan karang yang hidup, produksi lendir dari karang, nilai nutrisi jaringan karang juga kemampuan pertahanan nematosit (sel penyengat) dari karang itu sendiri (Morton et al., 2002).
Jenis karang yang disukai Drupella umumnya karang bercabang dan foliosa, berpolip kecil dan menjulur tinggi (Moyer et al., 1982; Turner, 1994a). Namun, ini tidak menutup kemungkinan mereka untuk memangsa jaring karang masif, seperti yang terjadi di kepualuan Hongkong; meskipun karang bercabang hampir habis dan kualitas air menurun akibat perikanan merusak dan polusi (Morton dan Blackmore 2008).
Struktur mulut dan gigi (radula) siput laut Drupella mampu menembus pertahanan sel penyengat (nematosit) dari karang. Saat memangsa jaringan karang, otot mulut mereka mampu menjulur untuk mengambil jaringan polip hidup karang. Tubuh mereka juga terlapisi semacam lendir sehingga sel penyengat karang tidak bisa menembus ke jaringan halus Drupella (Robertson, 1970). Dimulut mereka juga terdapat gigi halus berbuku-buku (radula) yang diduga juga mendukung ketahanan mereka melawan sel penyengat karang (Fujioka, 1982).
Apakah diugaan ilmuwan saat ini tentang pemicu merebaknya Drupella?
Di tahun 2008, Morton dan Blackmore malakukan penelitian pada dua jenis gastropoda koralivora (Drupella rugosa dan Cronia margariticola). Analisa statistik mereka di 5 pulau di perairan Hongkong menunjukkan bahwa pola makan dan kelimpahan kedua Gastropoda ini terkait dengan temperatur air laut. Menjelang musim panas kelimpahan dan pola makan mereka meningkat, lebih tinggi dibandingkan saat musim dingin.
Drupella rugosa memiliki siklus hidup panjang dan relatif lamban pertumbuhannya (Black & Johnson, 1994; Turner, 1994a). Hal ini terkait dengan kelimpahan mereka yang musiman. Dalam siklus tahunan, ketika memasuki musim panas di pesisir bagian dalam, Drupella teramati bergerak keluar pasir menuju tempat karang berada. Diduga spesies ini tumbuh dan berkembang di dalam pasir saat musim dingin (saat temperatur air laut rendah) (Morton dan Blackmore 2008).
Gastropoda predator semacam Drupella mampu mendeteksi makanan mereka melalui mekanisme kemoresepsi (chemoreception) (Kohn, 1961). Dengan ini mereka bisa mengetahui keberadaan dan arah mangsa yang potensial bagi mereka (seperti karang) dari zat kimia yang dilepas dari calon mangsa (Kohn, 1961, 1983). Karang genus Acropora dan Montipora menjadi favorit Drupella mungkin terkait dengan zat aktif terkanding dalam karang tersebut yang membagkitkan selera Drupella.
Perlukah Kita kuatir akan hal ini?
Hingga saat ini belum ada solusi yang paling efektif dalam mengendalikan populasi gastropoda koralivora, seperti Drupella sp. salah satunya. Bahkan di Great Barrier Reef, Australia, dimana konservasi dan pengelolaan terumbu karang terluas dan terbaik di dunia saat ini; belum memiliki solusi tepat dalam mengatasi kemunculan Drupella.
Perlukah Kita kuatir akan hal ini? Jika dibandingkan dengan pemutihan karang masal (akibat pemanasan global), serta kerusakan fisik karang (terus berjalan akibat pola hidup dan budaya Kita); matinya karang akibat Drupella berdampak relatif kecil. Drupella menggerogoti karang, itu sudah tugas alami mereka. Bulu seribu menggerogoti karang, itu sudah tugas alami mereka. Semua komponen biota di ekosistem terumbu karang berjalan sesuai tugasnya masing-masing.
Satu lagi yang perlu dicatat ialah Kita, manusia, sejalan dengan pola hidup dan budaya yang kita banggakan saat ini, serentak terus memberikan kontribusi dalam perubahan iklim. Kita memiliki kekuatan besar dalam meng-kacau-kan iklim bumi. Laut semakin memanas, bumi menerima radiasi matahari semakin tinggi – menyiksa seluruh organisme di udara, darat, dan laut. Biota ekosistem yang sedang menjalankan tugasnya masing-masing terganggu. Ada yang tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan lingkungan (temperatur laut lebih tinggi dari normal - karang memutih), ada juga yang terpicu untuk melakukan tugasnya secara ekstrim (temperatur laut lebih tinggi dari normal- merebaknya koralivora: Drupella, Bulu Seribu).
Jika Kita ingin memutus siklus ekosistem laut resepnya sangat mudah:
- Terus mengkonsumsi makanan laut secara membabi-buta, tanpa pertimbangan akal sehat sehingga ikan cepat habis tanpa adanya kesempatan regenerasi.
- Jangan berhenti terlibat dalam perusakan kawasan terumbu karang baik secara fisik, kimiawi, langsung, maupun tidak langsung dan utamakan selalu untuk kepentingan kenyamanan diri, perut, harta dan kekuasaan serta selalu ber-orientasi jangka pendek, tidak memperdlikan nasib anak cucu.
- Jangan bosan-bosan menghamburkan listrik, bensin dan terus mengeemisi gas rumah kaca; karena semakin cepat iklim dunia terganggu dan memanas, semakin kacau pula tiap spesies dalam menjalankan tugasnya, semakin tidak stabil ekosistem terumbu karang.
- Jangan mau berkorban untuk lingkungan dan anak cucu ketika kenyamanan, harta, kekuasaan serta ketidak-pernah-puasan masih dalam prioritas kultur dan keseharian Kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar