Bangunan alami yang dibentuk hewan karang ini juga menjadi tempat hidup kelompok biota lain. Beragam kelompok biota hidup di dasar terumbu mulai dari moluska, krustasea, echinodermata, polichaeta, porifera, dan tunikata. Selain itu, keadaan terumbu yang sehat bisa menjadi naungan ratusan jenis spesies plankton hingga ikan dapat ditemukan di perairan sekitarnya.
Suharsono (2008) menjelaskan bahwa, sebab biota-biota tersebut, terumbu karang menjadi gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut. Bagi biota, terumbu karang menjadi tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, berpijah, daerah asuhan dan tempat berlindung bagi hewan laut lainnya.
Terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik secara global yang mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Terumbu karang merupakan sumber bahan makanan langsung maupun tidak langsung dan sumber obat-oatan. Terumbu karang sebagai pelindung pantai dan hempasan ombak dan sumber utama bahan-bahan kontruksi.
Gambar 1. Terumbu karang di lautan Sumber :Veron (2000) |
Menurut Abdullah dan Saktiyono (2007), Bioteknologi merupakan penerapan (aplikasi) secara terpadu antara ilmu-ilmu diantaranya ilmu mikrobiologi, kimia, biokimia, genetika, biologi sel, biologi molekuler, dan teknik kimia yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Namun, pada akhir-akhir ini istilah bioteknologi lebih sering diterapkan pada aplikasi biologi ke arah molekuler atau genom, dimana materi genetik dimanipulasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Salah satu penerapan ilmu Bioteknologi yang diterapkan untuk memecahkan permasalah pada terumbu karang adalah penemuan bakteri yang bersimbiosis terhadap penyakit karang jenis Acropora yaitu Black Band Disease (BBD) yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono dan Prof Ocky Karna Radjasa di perairan Karimunjawa pada tahun 2006.
BBD merupakan penyakit akibat bakteri virulen (yang dapat menyebabkan penyakit) terutama menyerang jenis karang batu. Komunitas bakteri BBD didomonasi oleh jenis cyanobacteria (bakteri autotrof fotosintetik yang berbahaya bagi hewan dan manusia karena memproduksi racun bagi saraf, hati, dan sel).
Komunitas bakteri yang berasosiasi dengan penyakit BBD pada karang bercabang Acropora sp, dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik kultur dependent (membuat kultur jaringan baru yang sama dengan induknya). Teknik molekuler 16S rDNA (amplifikasi 16S DNA ribosom) digunakan untuk penanda karakterisasi antara individu yang pengerjaannya meliputi ekstraksi dan amplifikasi DNA, sekuensiasi gen rDNA hasil amplifikasi PCR, dan analisis filogenetik.
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu teknik perbanyakan (amplikasi) potongan DNA secara invitro. PCR melibatkan 3 proses yaitu Denaturasi (pemisahan) rantai DNA template, Annealing (penempelan) pasangan primer pada DNA target, dan Extension (pemanjangan) primer atau reaksi polimeresasi yang dikatalisis oleh DNA polimerase (Rahayu & Nugroho, 2015).
Analisis sekuen gen 16S rDNA menunjukkan bahwa isolat BBD1 memiliki kekerabatan terdekat dengan bakteri Myroboides odaratimimus (99.0%), isolat BBD2 dengan Bacillus algicola (99.0%), isolat BBD3 adalah M.A. bacterium (99.0%). Jadi Bakteri M. odoratimimus strain BBD1, B. algicola strain BBD2, dan Marine Alcaligenaceae bacterium strain BBD3 merupakan bakteri yang berasosiasi dengan penyakit Black band Disease (BBD) diperairan Karimunjawa.
Hasil ini memberikan informasi mengenai komunitas bakteri yang berasosiasi dengan suatu penyakit yaitu BBD pada karang, sehingga memungkin penerapan suatu cabang pendekatan molekuler yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono dan Prof Ocky Karna Radjasa di perairan Karimunjawa pada tahun 2006 dapat menerangkan suatu etilogi penyakit yaitu etilogi penyakit pada BBD yang menjangkit terumbu karang.
Penerapan ilmu bioteknologi yang lainnya juga diperlihatkan pada penelitan yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono tentang karakteristik dan identifikasi Bakteri Simbion Karang Goniastrea aspera yang resisten terhadap logam berat copper (Cu) di Pulau Panjang, Jepara pada tahun 2009.
Di lingkungan laut, metal Cu digunakan sebagi cat pelindung kapal untuk mencegah biokorosi. Namun ketika pelaku industri maritim secara kolosal mengalihkan penggunaan cat pelindung berbasis metal Pb ke cat pelindung berbasis metal Cu, menyebabkan kandungan metal Cu juga meningkat di lingkungan laut yang dapat mengganggu ekosistem terumbu karang.
Febrita et al. (2013), menuturkan bahwa kandungan logam berat terutama logam berat CU dalam perairan dapat meningkat, terutama dengan meningkatnya aktivitas seperti transportasi, pelabuhan, industri minyak bumi, dan pemukiman penduduk yang padat.
Goering et al. (1995), menjelaskan bahwa metal Cu merupakan unsur yang esensial yang diperlukan dalam jumlah sedikit oleh organisme. Namun, apabila unsur tersebut terdapat dalam jumlah berlebih akan bersifat toksik terhadap organisme laut. Disamping itu, keberadaan Cu pada ekosistem perairan terus mendapatkan perhatian karena daya toksisitas semakin meningkat.
Metode yang digunakan dengan mengisolasi (misahkan bateri yang diinginkan dari karang) bakteri serta menguji sensitivasi dengan metode agar, uji MIC (Minimal inhibitory concentration) untuk melihat hasil isolat yang memiliki toleransi tertinggi terhadap logam Cu, Ekstraksi dan Amplikasi DNA dengan PCR. Pelenitian yang dilakukan Sabdono (2009) mendapatkan hasil yang menunjukkan adanya keragaman bakteri terhadap toleransi logam Cu meskipun bakteri tersebut diisolasi dari jenis karang yang sama.
Hal lain ditunjukkan dengan pendekatan molekular dalam pengolahan terumbu karang. sekarang-pun mulai diperhatikan. Saat kondisi terumbu karang semakin rusak, ini akan mengakibatkan perubahan komposisi spesies dalam hal ini komposisi spesies terumbu karang akan semakin menurun, sedangkan perubahan komposisi spesies akan mengurangkan akan keanekaragamn genetik pada suatu populasi.
Ambariyanto dalam pidato pengukuhan guru besar Universitas Diponegoro pada tahun 2010 menjelaskan bahwa kondisi sumberdaya hayati yang rusak akan mengabitkan banyaknya organisme laut yang mengalami kepunahan. Keanekaragaman genetik merupakan suatu variasi di dalam populasi, di karenakan adanya keragaman individu yang mendiami suatu populasi tersebut. Keanekaragaman genetik dapat dijadikan kunci konservasi karena dapat menjaga populasi dari kerusakan ataupun kepunahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma et al. (2016), dengan karang lunak Sarcophyton trocheliophorum pada populasi laut Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi dengan mencoba melihat keanekaragaman genetik spesies tersebut serta pentinga terhadap kawasan konservasi. Penelitian dengan menggunakan penanda genetik ND2 (NDAH dehydrogenase-2 merupakan gen protein) yang terdapat pada mitokondria DNA.
Hasil yang didapatkan Kusuma et al. adalah keanekaragaman genetik karang lunak S. trocheliophorum di daerah perairan Jawa sebesar 0.600, perairan Sulawesi sebesar 0.815, dan perairan Nusa Tenggara sebesar 0.972. Hal ini menandakan bahwa keanekaragaman genetik S. trocheliophorum di Jawa lebih kecil dibandingkan dengan Sulawesi dan Nusa Tenggawa, yang dimungkinkan karena aktivitas manusia yang berdampak pada perairan di daerah Jawa lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.
Masih banyak lagi hasil penemuan dalam bidang bioteknologi dari terumbu karang yang pada intinya ekosistem terumbu karang merupakan anugerah yang telah diciptakan seperti ekosistem lainnya yang memberikan banyak manfaat untuk kita, tidak hanya kepentingan ekologis tetapi juga dapat memecahkan permasalahan dalam kehidupan manusia, seperti yang telah disebutkan. Mari jaga terumbu karang kita agar tetap lestari dan sampai anak cucu kita, agar dapat melestarikannya dan mengembangkan terus keilmuan alam.
Referensi
Gambar 2. Karang Acropora sp. terkena penyakit BBD Sumber : Google |
Analisis sekuen gen 16S rDNA menunjukkan bahwa isolat BBD1 memiliki kekerabatan terdekat dengan bakteri Myroboides odaratimimus (99.0%), isolat BBD2 dengan Bacillus algicola (99.0%), isolat BBD3 adalah M.A. bacterium (99.0%). Jadi Bakteri M. odoratimimus strain BBD1, B. algicola strain BBD2, dan Marine Alcaligenaceae bacterium strain BBD3 merupakan bakteri yang berasosiasi dengan penyakit Black band Disease (BBD) diperairan Karimunjawa.
Hasil ini memberikan informasi mengenai komunitas bakteri yang berasosiasi dengan suatu penyakit yaitu BBD pada karang, sehingga memungkin penerapan suatu cabang pendekatan molekuler yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono dan Prof Ocky Karna Radjasa di perairan Karimunjawa pada tahun 2006 dapat menerangkan suatu etilogi penyakit yaitu etilogi penyakit pada BBD yang menjangkit terumbu karang.
Penerapan ilmu bioteknologi yang lainnya juga diperlihatkan pada penelitan yang dilakukan oleh Prof. Agus Sabdono tentang karakteristik dan identifikasi Bakteri Simbion Karang Goniastrea aspera yang resisten terhadap logam berat copper (Cu) di Pulau Panjang, Jepara pada tahun 2009.
Di lingkungan laut, metal Cu digunakan sebagi cat pelindung kapal untuk mencegah biokorosi. Namun ketika pelaku industri maritim secara kolosal mengalihkan penggunaan cat pelindung berbasis metal Pb ke cat pelindung berbasis metal Cu, menyebabkan kandungan metal Cu juga meningkat di lingkungan laut yang dapat mengganggu ekosistem terumbu karang.
Febrita et al. (2013), menuturkan bahwa kandungan logam berat terutama logam berat CU dalam perairan dapat meningkat, terutama dengan meningkatnya aktivitas seperti transportasi, pelabuhan, industri minyak bumi, dan pemukiman penduduk yang padat.
Gambar 3. Aktivitas pengecatan kapal Sumber : Google |
Metode yang digunakan dengan mengisolasi (misahkan bateri yang diinginkan dari karang) bakteri serta menguji sensitivasi dengan metode agar, uji MIC (Minimal inhibitory concentration) untuk melihat hasil isolat yang memiliki toleransi tertinggi terhadap logam Cu, Ekstraksi dan Amplikasi DNA dengan PCR. Pelenitian yang dilakukan Sabdono (2009) mendapatkan hasil yang menunjukkan adanya keragaman bakteri terhadap toleransi logam Cu meskipun bakteri tersebut diisolasi dari jenis karang yang sama.
Hal lain ditunjukkan dengan pendekatan molekular dalam pengolahan terumbu karang. sekarang-pun mulai diperhatikan. Saat kondisi terumbu karang semakin rusak, ini akan mengakibatkan perubahan komposisi spesies dalam hal ini komposisi spesies terumbu karang akan semakin menurun, sedangkan perubahan komposisi spesies akan mengurangkan akan keanekaragamn genetik pada suatu populasi.
Ambariyanto dalam pidato pengukuhan guru besar Universitas Diponegoro pada tahun 2010 menjelaskan bahwa kondisi sumberdaya hayati yang rusak akan mengabitkan banyaknya organisme laut yang mengalami kepunahan. Keanekaragaman genetik merupakan suatu variasi di dalam populasi, di karenakan adanya keragaman individu yang mendiami suatu populasi tersebut. Keanekaragaman genetik dapat dijadikan kunci konservasi karena dapat menjaga populasi dari kerusakan ataupun kepunahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma et al. (2016), dengan karang lunak Sarcophyton trocheliophorum pada populasi laut Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi dengan mencoba melihat keanekaragaman genetik spesies tersebut serta pentinga terhadap kawasan konservasi. Penelitian dengan menggunakan penanda genetik ND2 (NDAH dehydrogenase-2 merupakan gen protein) yang terdapat pada mitokondria DNA.
Hasil yang didapatkan Kusuma et al. adalah keanekaragaman genetik karang lunak S. trocheliophorum di daerah perairan Jawa sebesar 0.600, perairan Sulawesi sebesar 0.815, dan perairan Nusa Tenggara sebesar 0.972. Hal ini menandakan bahwa keanekaragaman genetik S. trocheliophorum di Jawa lebih kecil dibandingkan dengan Sulawesi dan Nusa Tenggawa, yang dimungkinkan karena aktivitas manusia yang berdampak pada perairan di daerah Jawa lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.
Masih banyak lagi hasil penemuan dalam bidang bioteknologi dari terumbu karang yang pada intinya ekosistem terumbu karang merupakan anugerah yang telah diciptakan seperti ekosistem lainnya yang memberikan banyak manfaat untuk kita, tidak hanya kepentingan ekologis tetapi juga dapat memecahkan permasalahan dalam kehidupan manusia, seperti yang telah disebutkan. Mari jaga terumbu karang kita agar tetap lestari dan sampai anak cucu kita, agar dapat melestarikannya dan mengembangkan terus keilmuan alam.
Referensi
- Ambariyanto. (2010). Kebijakan Pengelolahan Organisme Laut dilindungi : Kasus Kerang Raksasa. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. UNDIP
- Abdullah, M., & Saktiyono. (2007). IPA Terpadu SMP dan MTs Jilid 3A. Jakarta: Erlangga.
- Febrita Elya, Darmadi, Trisnani T. (2013). Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu) Pada Siput Merah (Cerihidea sp) di Perairan Laut Dumai Provinsi Riau. Prosiding Semirata FMIPA. Universitas Lampung. Lampung
- Kusuma A. B., Bengen D.G., Maduppa H., Subhan B., & Arafat D. (2016). Keanekaragaman Genetik Karang Lunak Sarcophyton trocheliophorum pada Populasi Laut Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Jurnal Enggano, Vol. 1 (1) : 89-86.
- Rahayu D.W., & Nugroho E.D. (2015). Biologi Molekuler : dalam Perspektif Konservasi. Penetbit : Plantaxia, Yogyakarta.
- Sabdono, A. (2009). Karakteristik dan Identifikasi Bakteri Simbion Karang Goniastrea aspera Resisten Terhadap Logam Berat Copper (Cu) dari P.Panjang, Jepara. Ilmu Kelautan , Vol.14 (3) :117-125
- Sabdono, A., & Radjasa, O. K. (2006). Karakteristik Molekuler Bakteri yang Berasosiasi dengan Penyakit BBD (Black Band Disease) pada Larang Acropora dp di Perairan Karimunjawa. Ilmu Kelautan , Vol. 11 (3) : 158-162.
- Suharsono. (2008). Jenis-Jenis Karang di Indonesia. Jakarta : LIPI Press.
- Sukarno, R. (1995). Ekosistem Terumbu kArang dan Masalah Pengelolahannya, Materi Pendidikan dan PelatihanMetodologi Penelitian Penentuan Kondisi Karang. LON-LIPI-UNDIP. 1-10 hal
- Veron, J. (2000). Coral of The World : Volume 1-3. Australia: Australian Institute of Marine Science.