Konservasi sumber daya alam laut adalah hasil rajutan benang-benang kecil pemberian individu, masyarakat dan institusi sosial sebagai respons kebutuhan suatu kawasan alam - seperti contohnya, membatasi akses manusia untuk luasan terumbu karang yang terancam, mempertahankan keberadaan mangrove dari alih fungsi, atau mengatur pola penangkapan spesies ikan yang populasinya terancam habis.
Namun, sementara kita dan masyarakat 'merajut' konservasi di tingkat lokal, perlu disadari bahwa kita memasuki era dimana ekosistem pesisir dan laut mendapat pengaruh multi-ancaman yang datang dan berinteraksi di skala global. 2/3 dari Indonesia adalah lautan, namun apakah 2/3 lebih rakyat saat ini punya andil kuat dalam konservasi sumber daya laut?
Professor Terry Hughes, Direktur Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies, di James Cook University, Townsville, Australia kemukakan bahwa, jika kita ambil contoh satu ekosistem laut seperti terumbu karang misalnya, maka krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini pada akhirnya disebabkan oleh krisis governance (krisis kepemerintahan / krisis penguasaan).
"Banyak usaha (penyelamatan lingkungan) sudah dilakukan namun gagal, bukan disebabkan lemahnya pengetahuan sains, namun sebab lemahnya dukungan dari masyarakat lokal dan pemerintah" menurutnya.
Baik di negara-negara dunia, termasuk Indonesia, banyak kawasan ditetapkan sebagai 'cagar alam', namun kebanyakan perlindungan dan pelestarian tidak berjalan sukses sebab kebutuhan masyarakat lokal dikesampingkan dan gagal menggaet dukungan penuh masyarakat dalam konservasi.
Kita kita tengok keluar dari terumbu karang, ke 'ladang' besar perairan Indonesia yang seluruhnya terus dipanen ikannya dan biota lainnya, maka salah satu akar permasalahan ekploitasi serta penghabisan sumber daya adalah minim-nya kesejahteraan masyarakan pesisir dan kelompok nelayan.
Jika kita tengok individu yang saat ini kita 'cap' sebagai aktor perusak utama, maka banyak pemicu utamanya adalah kemiskinan yang bawa keputus-asaan untuk penghidupan. Toh, jika memang terkadang landasan penyebabnya murni ketidak-pedulian atau keserakahan, itupun terkadang refleksi dari individu yang tumbuh dengan keterbatasan pendidikan dan pembinaan sebab imbas miskin / tidak sejahtera. Tidak jarang juga mereka menjadi kepanjangan tangan pihak yang serakah, menjadi berketergantungan sebab pihak tersebut bisa redam keputuasaan pengihdupan mereka.
Demikian jika kita tengok sisi governance, dimana Pemerintah Republik Indonesia punya kekuatan besar untuk arahkan dan lakukan perubahan secara tegas di masyarakat, maka saat ini kita memiliki pemerintah yang masih lemah untuk menjadi wasit yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam laut kita.
Mengapa lemah? Sebab Pemerintah Indonesia saat ini masih menjalankan negara yang berkemampuan kuat mengeksploitasi alam, namun timbal baliknya tidak sebanding dalam mensejahterakan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan ekosistem - seperti nelayan dan masyarakat pesisir. Bahkan eksploitasi tidak terkendali dimana usaha preservasi / pelestarian jauh lebih rendah bahkan nihil.
Dikutip dalam Suara Merdeka, 6 Februari 2012:
"Dari sekitar 30 juta penduduk miskin di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, lebih dari sepertiganya adalah nelayan. Kondisi ini kontras dengan 2/3 luas wilayah yang terdiri dari lautan. Mestinya lebih sejahtera."
"Data dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) menyebutkan, sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jumlah nelayan pada tahun 2008 masih berada di bawah garis kemiskinan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat ada 2,7 juta nelayan Indonesia, 80 persen adalah nelayan kecil. Dari jumlah itu, lebih dari 95 persen adalah nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana dan modal produksi terbatas. Penghasilannya memperihatinkan juga."
"KKP juga mencatat kenaikan nilai produksi dari tahun ke tahun. Dalam perspektif dagang, kenaikan nilai produksi ini mestinya berimbas pada pemerataan kesejahteraan nelayan. Apalagi, 75 persen kebutuhan protein nasional disediakan oleh nelayan tradisional."
"Ironis, melihat situasi perikanan nasional saat ini, peran pemerintah justru dipinggirkan oleh korporasi multinasional. Hal ini ditandai dengan beberapa indikasi. Pertama, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa selama triwulan I/2011, total investasi di sektor perikanan mencapai 1,2 juta dolar AS dan seluruhnya merupakan investasi asing."
"Kedua, data BPS 2011 menunjukkan nilai impor ikan dan produk perikanan terus naik. Namun pemerintah justru berperan aktif melemahkan daya saing nelayan dengan mengabaikan amanah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan."
"Pasal 48 ayat (2), misalnya, dinyatakan bahwa pungutan perikanan tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Namun ada beberapa daerah yang mengabaikannya. Misalnya di Kendal diberlakukan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Retribusi TPI di Kabupaten Kendal."
"Senada dengan itu, Pasal 25B ayat (2) juga mewajibkan kepada pemerintah untuk mengutamakan kepentingan produksi dan pasokan di dalam negeri demi kebutuhan konsumsi nasional sebelum dipasarkan ke luar negeri. Ironisnya, ekspor digenjot, tetapi di saat bersamaan produk perikanan impor juga membanjiri pasar dalam negeri dengan harga lebih murah. Dalihnya era perdagangan bebas."
2/3 lautan kita miliki, namun Indonesia meng-impor ikan. Jelas ada yang salah dalam governance Indonesia.
Dikutip dalam Suara Merdeka, 6 Februari 2012:
"Dari sekitar 30 juta penduduk miskin di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, lebih dari sepertiganya adalah nelayan. Kondisi ini kontras dengan 2/3 luas wilayah yang terdiri dari lautan. Mestinya lebih sejahtera."
"Data dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) menyebutkan, sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jumlah nelayan pada tahun 2008 masih berada di bawah garis kemiskinan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat ada 2,7 juta nelayan Indonesia, 80 persen adalah nelayan kecil. Dari jumlah itu, lebih dari 95 persen adalah nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana dan modal produksi terbatas. Penghasilannya memperihatinkan juga."
"KKP juga mencatat kenaikan nilai produksi dari tahun ke tahun. Dalam perspektif dagang, kenaikan nilai produksi ini mestinya berimbas pada pemerataan kesejahteraan nelayan. Apalagi, 75 persen kebutuhan protein nasional disediakan oleh nelayan tradisional."
"Ironis, melihat situasi perikanan nasional saat ini, peran pemerintah justru dipinggirkan oleh korporasi multinasional. Hal ini ditandai dengan beberapa indikasi. Pertama, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa selama triwulan I/2011, total investasi di sektor perikanan mencapai 1,2 juta dolar AS dan seluruhnya merupakan investasi asing."
"Kedua, data BPS 2011 menunjukkan nilai impor ikan dan produk perikanan terus naik. Namun pemerintah justru berperan aktif melemahkan daya saing nelayan dengan mengabaikan amanah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan."
"Pasal 48 ayat (2), misalnya, dinyatakan bahwa pungutan perikanan tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Namun ada beberapa daerah yang mengabaikannya. Misalnya di Kendal diberlakukan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Retribusi TPI di Kabupaten Kendal."
"Senada dengan itu, Pasal 25B ayat (2) juga mewajibkan kepada pemerintah untuk mengutamakan kepentingan produksi dan pasokan di dalam negeri demi kebutuhan konsumsi nasional sebelum dipasarkan ke luar negeri. Ironisnya, ekspor digenjot, tetapi di saat bersamaan produk perikanan impor juga membanjiri pasar dalam negeri dengan harga lebih murah. Dalihnya era perdagangan bebas."
2/3 lautan kita miliki, namun Indonesia meng-impor ikan. Jelas ada yang salah dalam governance Indonesia.
Namun, kita punya kekuatan untuk merubah sistem pemerintahan. Jika toh belum bisa, sebagai rakyat, pastikan segala tindak-tanduk kita memanfaatkan lingkungan dan sumber daya pesisir dan laut benar-benar berkontribusi dalam pelestarian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pastikan juga dampak positif tersebut terjadi secara bersamaan, tidak terpisah. Sebab terkadang usaha kita tingkatkan kesejahteraan masyarakat justru andil memperparah degradasi lingkungan - atau sebaliknya. Konservasi perlu cermat sosial, tidak hanya cermat biologis atau ekologis saja.
Pastikan juga, pilihlah selalu pemimpin-pemimpin di masyarkat hingga di kursi Pemerintahan yang memang punya kapasitas yang misi realistis untuk melestarikan lingungan dan secara bersamaan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan sumber daya alam tersebut. Berdampinganlah selalu dengan peneliti lingkungan, praktisi konservasi, dan praktisi hak asazi / kesejahteraan masyarakat - untuk bahu-membahu memastikan pemimpin dan sistem pemerintahan kita mewujudkan kapasitas dan misi tersebut.
Terpentingnya, sebagai wujud Nasionalisme kita, pastikan juga kita mau keluar dari zona kenyamanan kita untuk jadi bagian rakyat yang andil lestarikan pesisir dan laut. Menyuarakan perubahan tidak mudah dan dimulai hati hingga tindakan.
Terpentingnya, sebagai wujud Nasionalisme kita, pastikan juga kita mau keluar dari zona kenyamanan kita untuk jadi bagian rakyat yang andil lestarikan pesisir dan laut. Menyuarakan perubahan tidak mudah dan dimulai hati hingga tindakan.