Terumbu karang dunia sedang bermasalah. Sebab berbagai faktor seperti pengasaman laut, naiknya temperatur akubat perubahan iklim, penangkapan ikan berlebih dan polusi - tutupan karang dunia telah munurun hingga sekitar 125.000 kilometer persegi dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang. Banyak biolog laut, seperti Charlie Veron, mantan kepala peneliti di Australian Institute of Marine Science, memprediksi bahwa terumbu karang akan hilang dalam satu abad kedepan. Tahun 2010 ini-pun, pemutihan karang masal, dimana karang kehilangan protozoa simbiotik-nya dan semakin rentan akan penyakit dan kematian - terjadi di sepanjang pesisir Indonesia, Filipina, dan beebrapa pulau Karibia. Namun, sebuah artikel jurnal di Trends in Ecology and Evolution mencoba mengangkat srategi untuk mengatasi keterpurukan terumbu karang, termasuk beberapa kisah sukses, untuk menyelamatkan mereka.
Atas: Tingginya dan seringnya gangguan lokal dan global pada terumbu memicu lebih seringnya pemutihan karang serta penurunan terumbu karang yang serius di penjuru dunia. Bawah: Terumbu karang yang sehat, seperti di Great Barrier Reef, juga menampung keanekaragaman hayati yang tinggi.
Foto: Atas: © Bruce Carlson; Bawah: © Great Barrier Reef Marine Park Authority
"Saat ini kita SUDAH punya pemahaman ilmiah yang cukup tentang penyebab penurunan terumbu - yang kita perlukan saat ini adalah gambaran yang lebih jelas untuk menolong mereka berbalik arah menuju keadaan optimal mereka di masa lalu, melalui pemulihan," ujar penulis utama, Terry Huges dari Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies di James Cook University.
Berbagai riset dunia telah menunjukkan bahwa terumbu karang memiliki daya lenting (resiliensi) dan mampu pulih dari fenomena gangguan skala besar.
Sebagai contoh, dalam artikel dijelaskan bahwa pada situs terumbu skalal lokal di pulau Heron di Great barrier Reef hampir setiap dekade secara rutin kehilangan hampir seluruh karang-nya akibat badai. Namun tetap memiliki kemampuan pemulihan yang cukup cepat dan kecenderungan struktur terumbu berubah dan berbeda jauh dari keadaan terumbu di masa lalu sangat kecil.
Namun, dampak manusia memiliki pengaruh berbeda dibanding dampak alam, seperti badai. Terumbu karang saat in bukan lagi menghadapi gangguan atau bencana alami yang datang, mereda, dan lewat. Namun, pengaruh manusia yang ditulis sebagai "dampak manusia yang kronis", merupakan gangguan yang konstan dan bertahan dalam kurun waktu lama. Dampak manusia saat ini membuat kemampuan alami karang untuk pulih tidak bisa membandingi 'dentuman' kematian karang yang terus terpicu akibat gangguan manusia.
Mekanisme pemutihan karang. Keadaan normal (kiri) dimana alga ber-sel satu (zooxanthellae) berada di lapisan jaringan karang. Keadaan terganggu (tengah): zooxanthellae lepas dari lapisan jaringan karang. Keadaan sekarat: Karang menuju kematian sebab jaringan karang tidak tumbuh tanpa adanya zooxanthellae, dan alga halus (alga filamen) bisa tumbuh di permukaan kerangka karang yang mati. Proses ini bisa terjadi pada ribuan koloni, menyebabkan fenomena pemutihan karang masal.
Gambar: www.solcomhouse.com/coralreef.htm
"Dalam satu abad kebelakan, banyak terumbu-dekat-pantai di bagian dalam Great Barrier Reef telah tertutupi sedimen dan makroalga, dan menunjukkan sedikit kemampuan atau indikasi akan pemulihan menuju kondisi semula yang 'kaya karang", tulis para peneliti.
Kiri: Terumbu yang memiliki resiliensi / daya lenting tinggi dengan struktur yang kaya akan karang hidup keras. Kanan: Terumbu yang sudah mengalami gangguan dimana struktur sudah berubah dimana komposisi makroalga melampaui jumlah karang keras. Membantu terumbu berbalik dari kanan ke keadaan di kiri adalah salah satu tugas kita dalam mengelola terumbu saat ini.
Foto: Kiri: © E. Turak; Kanan: © A. Hoey
Terry Hughes berkata, "kunci untuk menyelamatkan terumbu terletak di dalam pemahaman kita mengapa beberapa terumbu mengalami degenerasi menjadi hamparan rumput laut dan tidak bisa pulih lagi - kejadian yang disebut "perubahan fase" -; sementara di terumbu lain karang-nya mampu puli kembali dengan sukses - sebuah kemampuan yang disebut daya lenting atau resiliensi.
Para peneliti juga mengangkat beberapa tempat dimana terumbu karang yang berbalik pulih akibat adanya usaha pencegahan dampak manusia terkait penurunan karang di masa lalu. Sebagai contohnya, mengakhiri buangan limbah di Teluk Kanehoe di Hawaii telah memungkinkan karang untuk pulih; kembalinya populasi bulu babi di beberapa bagian kepulauan Karibia telah memungkinkan karang untuk bangkit 'melawan' rumput laut; dan di Filipina regulasi yang lebih efektif untuk penangkapan ikan berlebih telah memungkinkan ikan kakatua untuk pulih kembali - sejenis ikan terumbu yang membantu karang pulih dengan memakan rumput laut (makroalga) kompetitor karang.
Ikan terumbu herbivora: (Arah jarum jam dari pojok atas-kiri) Ikan Kakatua, Surgeonfish, Rudderfish, Angelfish, Damselfish dan, Rabbitfish. Ikan-ikan ini berperan sebagai 'tukang rumput' di terumbu, memakan alga yang tumbuh diantara karang sehingga jumlah alga terkendali dan karang dapat ruang dan cahaya untuk tumbuh. Jika ikan ini dihidangkan di suatu kawasandan disantap, berarti pertanda ikan perdator ekonomis sudah mulai habis ditangkap, dan ikan herbivora pun jadi incaran, kemampuan pemulihan terumbu pun terancam dan semakin rentan akan gangguan lainya. PERHATIKAN JENIS IKAN YANG ANDA SANTAP, JANGAN MAKAN IKAN-IKAN TERUMBU INI.
Foto: © Garry allen.
"Krisis terumbu karang dunia umumnya terkait juga dengan krisis kepemerintahan, sebab kita sudah tau apa yang perlu dilakukan, namun aksi atau tindakan (untuk mengurangi polusi, menekan emisi gas rumah kaca, mencegah penangkapan berlebih dan merusak) tidak dilakukan," ujar Terry Hughes.
Studi tersebut juga menyarankan agar berbagai pemerintahan untuk melibatkan para peneliti yang memahami studi daya lenting terumbu karang dalam pengembangan kebijakan terkait penyelamatan terumbu karang. Sebagai tambahan, pemerintah sebaiknya fokus dalam pendidikan masyarakat lokal, perubahan mekanisme tata guna lahan dalam mencegah lepasan polusi, memperkuat hukum untuk melindungi terumbu karang, memperbaiki pengaturan penangkapan berlebih, dan bekerja dengan institusi internasional, seperti Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dalam penyediaan perlindungan yang lebih baik bagi karang yang terancam punah.
Namun tentunya, satu bongkahan batu besar lainnya adalah perubahan iklim. Dalam masa pengasaman laut saat ini, sebab meingkatnya emeisi karbon serta menghangatnya temperatur laut - akan membawa keterpurukan terumbu karang meskipun tindakan yang mendukung daya lenting karang dilakukan.
Dalam perspektif global para peneliti mengatakan juga bahwa pemerintah negara dunia juga harus "menghadapi perubahan iklim sebagai isu utama yang paling penting bagi pengelolaan dan konservasi terumbu karang dengan menekan tajam emisi gas rumah kaca."
Terry Hughes menambahkan, "tanpa tindakan yang segera, pemanasan global dan pengasaman laut dalam waktu kedepan yang belum terlihat akan menjadi jaminan kuat gagalnya terumbu karang. Meskipun memungkinkan sekali untuk memicu pemulihan terumbu karang seusai rentetan pemutihan karang melalui tindakan lokal seperti menjaga dan meningkatkan kualitas air dan melindungi herbivora terumbu, intervensi semacam ini tidak akan menjadikan terumbu 'tahan-perubahan-iklim'."
Namun, pesan di akhir artikel tidak memberikan harapan yang kelam dan terpuruk bagi karang, melainkan: "the world's coral reefs can still be saved… if we try harder".
Terumbu karang masih bisa diselamatkan… jika kita berusaha lebih kuat lagi.
Referensi
Terry P. Hughes, Nicholas A.J. Graham, Jeremy B.C. Jackson, Peter J. Mumby, and Robert S. Steneck. Rising to the challenge of sustaining coral reef resilience. Trends in Ecology and Evolution Vol.25 No.11. doi:10.1016/j.tree.2010.07.011.