Posting ulang dari Kiara Foundation, untuk menambah kepekaan Kita akan hubungan sosio-ekologis manusia dengan laut Indonesia saat ini.
Toto M - Kiara Foundation
"Dipenghujung tahun 2009 ini ada tiga kado keprihatinan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Hal itu terungkap dalam acara ‘Refleksi Kelautan Perikanan 2009 dan Proyeksi 2010’ yang digelar oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), yang dilangsungkan di hotel Cemara jalan Cemara I Menteng Jakarta Pusat hari ini (30/12).
KIARA mengatakan, bahwa ketiga kado yang dimaksud itu adalah, yang pertama National Summit. Karena menurut KIARA, 19 butir National Summit program ekonominya dalam sektor kelautan dan perikanan bukan kepada nelayan tradisional melainkan mengarah kepada industri dan investasi. Sehingga hal itu akan merugikan bagi nelayan tradisioal dan masyarakat pesisir."
Foto: Rebecca Weeks/ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies
Nelayan tradisional menangkap ikan di kawasan terumbu karang dengan alat sederhana dan perahu kayu, kadang bermotor. Ikan besar sudah diambil lebih dahulu oleh armada tangkap modern. Sehingga ikan yang belum dewasa sjadi tangkapan akhir bagi nelayan tradisional, mengancam siklus regenerasi populasi ikan.
Kegiatan semacam ini umum dijumpai di kawasan konservasi (Taman Laut Nasional) di Indonesia. Kebutuhan mereka untuk makan sehari-hari dan jualan ikan semakin tertekan dengan peraturan konservasi yang melarang penangkapan ikan di kebun mereka. Tidak jarang kegiatan mereka berdampak negatif pada habitat ikan itu sendiri - terumbu karang.
Gencarnya peraturan dan praktik konservasi laut cenderung menutup pintu bagi nelayan tersebut, dengan alternatif mata pencaharian yang sangat minim bagi nelayan, sehingga konflik konservasi terus berlanjut. Meskipun demikian, keuntungan perikanan Indonesia pada umumnya larinya masih ke pemerintah dan pengusaha internasional, sangat sedikit yang ke nelayan. 30 tahun sudah peraturan perikanan Indonesia berevolusi, nelayan masih saja dipinggirkan dalam pasar perikanan.
"Kado yang kedua lanjut KIARA, adalah Copenhagen Accord, sebagai dokumen KTT iklim ke 15 yang dinilai melemahkan negara kepulauan dan memperparah kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir."
Bahkan negara-negara yang menyumbang emisi karbon terbesar di dunia seperti: Amerika Serikat, China, Australia, India, dan negara Uni-Eropa; masih saja sulit untuk menyepakati target penurunan emisi 2020 hingga 350 ppm. Semua dengan alasan ekonomi, ekonomi, ekonomi. Amerika serikat, yang menyumbang 30% emisi dunia saat ini, dengan keras hati hanya bisa menurunkan hingga 17% untuk 20 tahun kedepan. Di Copenhagen, delegasi negara-negara berkembang banyak yang kecewa dengan sikap negara-negara kaya dan maju. Saat ini konsentrasi CO2 dunia sekitar 380 ppm, terumbu karang dan biota laut lainnya agar bisa bertahan dalam 5 dekade kedepan, memerlukan konsentrasi dibawah 350 ppm. Indonesia hanya bisa menunggu, meskipun demikian, dari dalam Kita menggerogoti Laut Kita sendiri.
"Sedangkan kado keprihatinan ketiga bagi nelayan dan masyarakat pesisir yang dimaksud oleh KIARA, adalah pembelian 150 buah mobil mewah yang diperuntukan buat menteri kabinet Indonesia bersatu (KIB) jilid II yang masing – masing diperkirakan seharga Rp 1,3 miliar.
KIARA menilai, bahwa Presiden dan Menteri tidak memiliki sensitivitas atas keprihatinan ekonomi nelayan yang merosot 40 sampai 50 persen ditahun 2009. KIARA mengatakan, seandainya dana sebesar tersebut dipergunakan untuk membeli dan membenahi peralatan untuk tangkap ikan bagi nelayan, maka 10 ribu keluarga nelayan dapat menangkap ikan dengan lebih baik."
"Selamat Tahun Baru 2010"
Foto: Sterling Zumbrunn / Conservation International