Sabtu, 17 Januari 2015

Konservasi hiu diatas mangkok



Ikan-ikan dipilah sesuai jenisnya kedalam keranjang, lalu dengan sigap kedua pekerja segera membawa keranjang ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang sudah ramai sebelum terbitnya matahari.

Tidak boleh lengah berdiri diantara lalu lalang pengangkut ikan di salah satu pelabuhan perikanan terpadat di pesisir Pulau Jawa tersebut. Aktifitas bongkar muat dan transaksi semua berlangsung cepat, menjadi pemandangan sehari-hari di pelabuhan ini.


Di sebuah pelataran di TPI tampak sebuah kerumunan khusus bagi pengepul yang membeli ikan jenis hiu dan pari gitar. Saat itu tiga pengepul yang sedang mengamati dan memberikan arahan kepada anak buahnya untuk memotong sirip disemua bagian tubuh hiu dan pari gitar.

Sirip dikumpulkan jadi satu tumpukan besar, sedangkan dagingnya akan dijual kembali ke pembeli lainnya. Tampak juga tumpukan moncong-moncong pari gitar, salah satu pengepul berniat menjualnya untuk diekspor sebagai bahan baku kosmetik.



Tidak tanggung-tanggung. Dua jam saja berada ditengah aktifitas tersebut, hitungan kasar saya lebih dari 160 ekor hiu martil telah dipotong siripnya. Kebanyakan ukuran mereka kecil, menandakan usia juvenil.

Semua hiu dan pari yang ada saat itu merupakan tangkapan sampingan dari alat tangkap payang yang umum dioperasikan nelayan dengan kapal kapasitas 20-30 GT. Betul – sampingan - bukan tangkapan yang utama diincar nelayan. Keistimewaan fungsi biologi hiu saat itu tidak masuk perhitungan lagi. Baik hiu dan ikan tangkapan sampingan semata sama-sama ikan.

Daging hiu dijual untuk diolah menjadi daging asap atau daging yang kemudian dipasarkan di kota-kota sekitar di Jawa Timur. Seperti komoditi pangan lain, daging hiu juga bagian pasar domestik di Indonesia.

Pasaran hiu domestik bertahan antara lain sebab permintaan konsumen domestik terhadap produk olahan hiu, harga yang murah sebagai tangkapan sampingan, ketidakpahaman masyarakat terhadap pentingnya hiu dan peraturan yang ada. Bahkan saat sudah jadi daging olahan, tidaklah mudah bagi masyarakat untuk membedakan apakah itu daging hiu atau pari.

Beragam tantangan besar perlu kita kelola bersama untuk mengurangi tekanan pada populasi hiu. .
Beberapa pengusaha sirip hiu di Indonesia kini mulai memahami bahwa beberapa jenis hiu dilarang untuk diperdagangkan. Sembari mengambil beberapa sirip punggung hiu martil dengan panjang sekitar dua jengkal dewasa, pengepul menjelaskan bahwa sirip tersebut sudah dilarang, bahkan untuk memasarkannya keluar negeri pun tidak sembarangan.

Adanya kebijakan pengaturan perdagangan hiu baik di negara konsumen hiu dan di Indonesia berdampak pada bisnis sirip hiu. Pengusaha lebih berhati-hati dalam melayani kuota permintaan serta memilih jalur pemasaran sirip hiu. Namun, insentif peluang akses transportasi melalu udara maupun laut akan menjadi insetif utama untuk mempertahankan bisnis sirip hiu.

Di akhir 2014, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menambah deretan kebijakan perdagangan hiu yang ada.

KKP telah menambahkan  jenis hiu yang telah diratifikasi dalam CITES ke dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 59/ PERMEN-KP /2014 tentang  Larangan Pengeluaran Ikan Hiu koboi (Carcharinus longimanus), dan Hiu Martil (Sphyrna spp) dari Wilayah RI ke luar negara RI. 

Diharapkan peraturan ini, dalam penerapanya, membuat perizinan ekspor komoditi hiu yang lebih selektif.



Rantai perdagangan hiu dari nelayan hingga konsumen, dari tangan pengepul hingga restoran umumnya tidak terekspos ke khalayak luas, sebab umumnya tertutup. Namun semua bisa andil kurangi tekanan pada hiu.

Bersama dengan pemerintah yang menerapkan pengaturan dan pengawasan perdagangan hiu, masyarakat memiliki peranan yang sama kuat dalam mengontrol laju permintaan komoditi berbahan dasar hiu.

Kita sebagai konsumen bisa bantu dengan berusaha lebih cermat dan bijak, untuk tidak memilih hiu atau ikan laut yang populasinya terancam untuk hidangan laut kita.

Berdasarkan data WWF-Indonesia tahun 2014 di DKI Jakarta setidaknya 60-120 menu makanan berbahan olahan sirip hiu setiap bulannya dikonsumsi setiap restoran yang menyajikan menu hisit ini. Ini masih jauh angka konsumsi hiu sebenarnya yang mungkin lebih besar lagi, sebab belum menghitung konsumsi daging hiu di tingkat rumah tangga.

Kita sebagai masyarakat bisa lebih cermat dan bijak dengan:
  1. Tidak mengkonsumsi produk olahan hiu dan souvenir dari bagian hiu.
  2. Selalu bertanya kepada penjual mengenai bahan baku daging ikan yang akan dibeli, terutama pada ikan asin, daging asap dan abon ikan.
  3. Turut menginformasikan lokasi kuliner hiu melalui sosmed ke account twitter @ditkkji dan ditambahkan hashtag #SOSharks #Saveshark.
  4. Mendorong perusahaan kargo, ekspedisi, perhotelan dan restoran untuk tidak membeli, mengangkut, dan menyediakan produk hiu dengan mengisi petisi online atau mengirimkan surat resmi ke perusahaan.
  5. Mendorong Pemerintah provinsi untuk membuat kebijakan pelarangan konsumsi hiu melalui media komunikasi yang tersedia saat ini, seperti sosmed.
  6. Memberikan meneruskan informasi ini ke keluarga dan teman.