Rabu, 26 Desember 2012

Penangkapan Ikan Pelagis di Rumpon Laut Dalam

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID
Dwi Ariyogagautama

Tak afdol rasanya jika sedang ada jadwal kunjungan ke desa Balauring, tetapi tidak melaut.  Sudah menjadi bagian dari pekerjaan yang dibiasakan untuk mengikuti aktivitas nelayan didesa ini. Lagi pula mengumpulkan stock foto nan exotic di tanah lomlen ini juga taka da habisnya.  Kali ini ketua forum nelayan (Pa Zainudin) sendiri yang bersedia menumpangi saya untuk ikut dikapalnya untuk menangkap tuna.

Berangkat jam 5:00 WITA, kami menuju kerumpon pribadi pa Zainudin, hanya 30 menit perjalanan. Sesampai di rumpon sudah ada aktivitas kapal purse seine yang sedang sibuk menarik jaringnya yang cukup besar dan dalam, menurut ketua kedalaman bisa mencapai 50 m. Target penangkapan alat tangkap ini merupakan ikan pelagis kecil seperti tongkol dan layang, namun sering tertangkap juga ikan sura (Rainbow Runner).  Pa Zaenudin kemudian memantau dan membantu proses penarikan jaring lingkar tersebut. Wajar hal ini untuk memastikan penarikan jarring tidak merusak rumpon miliknya dan beliau juga melihat berapa banyak ikan yang berhasil diangkat, karena akan ada pembagian hasil antara kapal pemilik rumpon dengan pemilik kapal purse seine itu sendiri. Sepengetahuan saya didesa ini sistem bagi hasil adalah 1/3 bagian untuk pemilik rumpon dari jumlah ikan yang terjual.

Bagi saya ini merupakan momen yang menarik untuk dituangkan kedalam lensa yang saya bawa..sambil mendayung menghadap sang matahari dibalik pulau Lomlen, klik klik klik berikut gambar yang saya dapatkan.

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID
Purse seine atau pukat cincin merupakan alat tangkap yang sangat efektif dalam penangkapan ikan pelagis kecil, apalagi jika ditambah dengan alat bantu rumpon peluang mendapatkan ikan dalam jumlah banyak semakin besar. Memperhitungkan arah arus, setting atau proses pelepasan jaring dipastikan mendapatkan ikan yang cukup hingga sangat banyak. Dampak negative purse seine adalah dapat menjadi tidak selektif jika mata jaringnya tidak sesuai dengan ikan target dan intensitas penggunaannya tinggi.  Disisi lain nelayan dengan alat tangkap lain yang selektif seperti pancing tuna, juga bergantung pada rumpon yang sama. Salah satu cara yang efektif dalam penangkapan tuna yaitu dengan rumpon dibandingkan dengan mengejar lumba-lumba. Perhitungan BBM dan kepastian keberadaan ikan lebih jelas.

Berdasarkan data WWF diawal tahun Januari-febuari 2012, ketika survey EAFM. Diperhitungkan bahwa pendapatan nelayan rata-rata perbulan baik dimusim paceklik, sedang maupun puncak pada alat tangkap purse seine setidaknya RP. 5.959.000/bulan sedangkan nelayan tuna sebesar Rp. 2.446.000/bulan. Oleh karena itu rumpon memiliki berkah tersendiri bagi penangkap ikan pelagis didaerah ini.

Dalam beberapa kasus, dijumpai juga adanya konflik internal diantara kedua pengguna alat tangkap yang berbeda tersebut diwilayah yang sama yaitu di rumpon terutama ketika trip atau intensitas penggunaan purse seine meningkat atau juga ketika musim puncak tuna tiba waktunya. Didaerah ini ataupun didaerah lainnya seperti di Kabir dan Adang di kabupaten Alor, pemancing tuna hampir tidak mempunyai rumpon khusus untuk dipancing saja yang mereka kelola. Rumpon yang tersebar sepanjang perairan utara Kabupaten Lembata dan Alor merupakan milik nelayan purse seine, lampara, Jala lompo dan perusahaan perikanan tuna yang menginvestasikan rumpon sebagai alat bantu nelayan tuna didesa target mereka.

Pemancing tuna sebagian besar masih bermasalah dalam pengaturan keuangan Rumah Tangga hingga faktor luar (eksternal) seperti perubahan musim perikanan dan faktor alam lainnya terus melemahkan kekuatan ekonominya. Hal ini sangat menyulitkan nelayan untuk dapat menginvestasikan modalnya untuk pembuatan rumpon secara individu, tapi bukan tidak memungkinkan hal ini terjawab jika dikumpulkan secara berkelompok. 

Pengaturan alat tangkap pelagis perlu diperhatikan dalam pemaanfaatannya, terlebih lagi jika dihadapi dengan adanya alat tangkap yang massif dan selektif didalam satu ruang wilayah yang sama dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Beberapa hal langkah yang diusulkan untuk diambil oleh berbagai pihak dalam mewujudkannya antara lain :
  1. Perlunya pengaturan jumlah rumpon pada wilayah tertentu - Sebenarnya sudah ada aturannya ditingkat pusat terkait rumpon seperti pembahasan tulisan sebelumnya,yaitu jarak antar rumpon yaitu 10 mil, tidak dipasang seperti pagar, dan harus memiliki perizinan yang sesuai dengan lokasi peletakannya, yaitu 2-4mil (perijinan kabupaten), 4-12 mil (perijinan provinsi) dan 12-200 mill (perijinan pusat). Identifikasi lebih baik dilakukan terlebih dahulu, karena permasalahan perijinan masih belum dipenuhi dibanyak tempat, kemudian diiringi dengan sosialisasi dalam memberikan pemahaman aturan rumpon tersebut dengan fokus menjawab permasalahan teknis didaerah kepulauan. Dan langkah terakhir dengan membuat sistem punish and reward pada pemilik rumpon yang mematuhi ataupun yang melanggar aturan yang sudah ada. Jika sudah ada zonasi perairan tersebut tentunya pengaturan ini bisa diintegrasikan didalam dokumen rencana pengelolaan kawasan (Management plan)
  2. Perlunya pengaturan jumlah effort (usaha penangkapan) bagi alat tangkap purse seine - Pemanfaatan purse seine tidak salah dalam hal ini selama menjawab kebutuhan ketahanan pangan lokal maupun domestic, namun akan berdampak buruk jika berlebihan dalam menjawab kebutuhan industri.  Melakukan Pengawasan dan pemantauan dalam pengecheckan kesesuaian ukuran mata jaring, pengaturan jumlah instensitas penangkapan memang sulit dilakukan, namun tetap perlu diimplementasikan untuk memberikan waktu bagi ikan target untuk recovery atau bereproduksi atau alternative lainnya adalah dengan membatasi perijinan kapal purse seine yang beroperasi pada wilayah tertentu dan memprioritaskan bagi nelayan dengan alat tangkap selektif lainnya.
  3. Pendampingan dalam pengelolaan keuangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) - Jika melihat pendapatan nelayan sebenarnya sudah melampaui UMR yang ada didaerah tersebut. Memberikan pemahaman kepada pengelolaa keuangan keluarga seperti istri nelayan dalam mengatur keuangan sangat menentukan tingkat kesejahteraan nelayan. Ketika musim puncak tentunya pendapatan nelayan melebihi dari angka disebutkan namun juga harus dapat menutupi kebutuhan ketika musim paceklik. Priortas pengeluaran untuk kepentingan kebutuhan pokok dan pendidikan anak harusnya lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk kegiatan social atau pesta sesuai adat yang ada.
  4. Mendorong pemasaran perikanan yang memiliki nilai tambah dalam hal ekonomi,social dan lingkungan - Sering dijumpai permintaan pasar melebihi dari kemampuan sumberdaya ikan disuatu daerah untuk recovery, walaupun minim sekali informasi seberapa banyak stock yang ada pada lembaga autoritas ataupun lembaga peneliti lokal. Kecenderungan pengurangan sumberdaya sudah terindikasi dengan menurunnya trend ukuran ikan dalam 5-10 tahun dan semakin jauhnya wilayah tangkapan nelayan. Tanpa mengindahkan peran pemerintah dalam mendorong pembangunan daerah, keberlanjutan perikanan juga perlu diiringi dalam proses pembangunan ini. Servis pemerintah dalam mendorong usaha perikanan yang kondusif bagi private sector perikanan juga diiringi dengan kontrol yang intensif untuk memastikan usaha tersebut memiliki nilai lebih dalam peningkatan pendapatan nelayan dengan harga yang sesuai, mendorong pembelian sesuai ukuran layak tangkap ikan yang ditargetkan, memenuhi perijinan dan peraturan yang berlaku termasuk kearifan lokal yang ada, serta memastikan adanya pencatatan perikanan yang dilaporkan. Meningkatkan nilai tambah ekonomi dapat didorong dengan menjaga kualitas produk ikan sehingga mendapatkan harga lebih tinggi, untuk perikanan tuna dapat mengacu pada buku panduan praktik (BMP) perikanan tuna dalam pendampingan teknis hal tersebut. Buku panduan dapat didownload pada link berikut ini. http://www.wwf.or.id/?24808/BMP---Perikanan-Tuna 

Setelah melihat aktivitas kapal purse seine tersebut, pa Zainudin kembali ke niat awal untuk mendapatkan tuna dan seperti biasa, kapal yang saya naikin selalu saja mendapatkan tuna dewasa yang siap didokumentasikan. Pada kesempatan ini, pa ketua mendapatkan 1 ekor tuna dengan bobot 60 kg, harga pada saat itu sebesar Rp.24.000/kg, dalam menjaga mutu ikan kami pun bersegera kembali menuju desa untuk menjual hasil tangkapan tersebut. Lumayan juga mendapatkan Rp.1.440.000 dalam sekali trip. Berikut oleh-oleh dari lapangan, semoga tidak pernah bosan melihat foto ini kawan (YG).

Foto: Dwi Ariyogagautama / WWF-ID

Jumat, 14 Desember 2012

Kurangi limbah kimia berarti bantu terumbu karang hindari pemutihan

Berpikirlah 10 kali saat banyak-banyak menggunakan produk kimia. Baik di kota, ataupun di pesisir dan pulau, lepasan zat anorganik nitrogen dari produk kimia untuk perawatan dan sanitasi tubuh kita, jika terlepas ke perairan, maka kelangsungan hidup terumbu karang lebih rentan alami pemutihan.



Penelitian dari the University of Southampton (US) dan the National Oceanography Centre di Southhampton ungkap bahwa koral (karang) akan lebih rentan terhadap pemutihan (bleaching) jika terjadi ketidak seimbangan nutrian (zat hara) di perairan terumbu hidup.

Koral tersusun atas banyak polip yang terhubung satu dengan lain membangun jaringan hidup yang melapisi kerangka berkapur. Pertumbuhan jaringan tubuh koral bergantung pada alga ber-sel-satu disebut zooxanthellae, yang juga bersimbiosis dengan hidup di dalam jaringan polip karang.

Koral bersama zooxanthellae yang bernaung di dalamnya bergantung satu dengan lain. Sementara koral memberi alga zat hara dan tempat tinggal; alga, sebagai gantinya, menyediakan produk zat hara dari fotosintesis, yang menjadi sumber energi untuk pertumbuhan jaringan koral.

Suhu air yang tinggi - khususnya akibat pemanasan global yang sebabkan meningkatnya suhu rata-rata permukaan air laut di berbagai belahan dunia - dapat menghalangi reaksi fotosintesis yang dilakukan alga. Alhasil, terjadi penumpukan komponen oksigen yang beralih fungsi menjadi racun. Keadaan ini mengancam kesehatan jaringan tubuh koral dan memicu pelepasan zooxanthellae dari koral.

Tanpa alga tersebut, koral tampak putih - keadaan yang disebut sebagai 'bleaching'. Bleaching bisa sebabkan kematian koral, dan pemutihan koral yang terjadi masal mampu berikan dampak buruk pada fauna dan flora bergantung pada habitat terumbu yang dibentuk dari sehatnya pertumbuhan koral.

Sumber: Great Barrier Reef Marine Park Authority
Hasil kajian dari US tersebut diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature Climate Change. Peneliti temukan bahwa pengayaan nutrien (zat hara) di perairan mampu tingkatkan kemungkinan koral alami bleaching yang disebabkan suhu perairan yang tinggi.

Di dalam koral, pertumbuhan zooxanthellae dibatasi oleh jumlah asupan zat hara. Asupan zat hara tersebut dimanfaatkan untuk metabolisme alga yang juga berperan mengirimkan sejumlah ikatan karbon hasil fotosintesis-nya untuk koral inang mereka.

Namun, keseimbangan pertumbuhan alga (zooxanthellae) terganggu saat ketersediaan zat hara tertentu berkurang jauh dibawah kebutuhan fotosintesis jaringan sel alga. Keadaan ini disebut kelaparan zat hara atau nutrient starvation.

Peneliti dari US temukan bahwa saat suplai dari kandungan nitrogen terlarut lebih tinggi dibanding kandungan fosfat yang saat itu sedang rendah dan terbatas, maka alga dalam status kelaparan fosfat. Keadaan ini selanjutnya akan memicu penurunan efisiensi proses fotosintesis alga, dan meningkatkan kerentanan koral mengalami pemutihan yang dipicu peningkatan suhu dan intensitas cahaya.

Penelitian yang dipimpin Dr Jörg Wiedenmann ini menduga kuat bahwa dampak terburuk pada kesehatan koral bukan datang dari penambahan berlebih dari satu kelompok zat hara saja, misalnya nitrogen, namun juga berkombinasi dengan penghabisan zat hara lain, seperti fosfat, yang diakibatkan kebutuhan tinggi dari populasi zooxanthellae yang juga bertambah.

Temuan ini memberi penegasan bagi kita pentingnya pengelolaan pesisir kita untuk meredam dampak perubahan iklim. Dengan menjaga keseimbangan zat hara perairan di pesisir, maka kita andil dalam mitigasi dampak perubahan suhu laut terhadap terumbu karang.

Meminimalisir, atau bahkan menghentikan buangan limbah kita, mulai tinja, hingga limbah kimia rumah tangga dan industri - kesemuanya yang mampu mengganggu kesetimbangan zat hara di perairan, termasuk nitrogen dan fosfat - otomatis akan bantu terumbu karang bertahan menghadapi dampak perubahan iklim.

Toh jika kita efektif mengelola limbah, itupun efektif dalam jangka waktu pendek. Keutuhan tekad umat manusia dan bangsa-bangsa - cari tahu: KTT Perubahan Iklim Ke-18 di Doha, Qatar - dalam mengurangi drastis emisi gas rumah kaca juga tidak kalah penting dan kritis peranannya untuk meredam laju pemanasan global, menjamin terumbu karang tetap ada di masa depan.

Referensi:

Jörg Wiedenmann, Cecilia D’Angelo, Edward G. Smith, Alan N. Hunt, François-Eric Legiret, Anthony D. Postle, Eric P. Achterberg. Nutrient enrichment can increase the susceptibility of reef corals to bleaching. Nature Climate Change, 2012; DOI: 10.1038/nclimate1661





Jumat, 07 Desember 2012

Cara mamalia laut penyelam atasi penyakit dekompresi.

Paus dan penyelam, sedang menyelam.
Foto: ©Brian J. Skerry/allposters.com
Bagi kita yang pernah menyelam dengan SCUBA pasti kenal dengan bahaya penyakit dekompresi / decompression sickness (DCS). Dalam bahasa Inggris disebut juga "the bends".  DCS dipicu saat penyelam naik kepermukaan bersamaan dengan menurunya tekanan lingkungan. Jika penyelam terlalu cepat naik, keadaan ini bisa sebabkan gas yang diserap tubuh selama penyelaman terlepas dari kelarutannya di tubuh kita, memicu pembentukan gelembung-gelembung di dalam jaringan tubuh. Dampak dari DCS beragam, mulai nyeri di persendian, ruam di kulit, kelumpuhan, hingga kematian.

Lalu bagaimana dengan mamalia laut yang kerap menyelam ke kedalaman sebagai bagian dari rutinitasnya bertahan hidup?

Di bulan April 2010, Woods Hole Oceanographic Institution's Marine Mammal Center (MMC) mengundang sejumlah pakar dunia di bidang selam dan fisiologi penyelaman mamalia laut. Bersama-sama mereka adakan lokakarya untuk menjawab bagaimana mamalia laut mengelola gas di tubuhnya dalam lingkungan bertekanan. Dua puluh delapan peneliti berdiskusi dan berdebat dengan pengetahuan mereka yang terkini di bidang kinetika gas dan biologi mamalia laut penyelam, membahas khususnya soal laju perubahan konsentrasi gas di dalam tubuh hewan.

Lokakarya tersebut mebuahkan tulisan ilmiah "Deadly diving? Physiological and behavioural management of decompression stress in diving mammals," (Selam mematikan-kah? Pengelolaan fisiologis dan perilaku terhadap stress dekompresi pada mamalia penyelam) diterbitkan 21 Desember 2011 secara online di the Proceedings of the Royal Society B.

Sebelum itu, ada anggapan umum bahwa mamalia laut memiliki adaptasi anatomi, fisiologi dan perilaku sehingga DCS bukan masalah bagi mereka. Ini diperkuat sebab belum ada bukti bahwa mamalia laut rutin mengalami 'bends'. Namun, temuan terkini peneliti ungkap bahwa mamalia laut penyelam justru aktif menghindari DCS, ketimbang begitu saja menerima dampak DCS 'tanpa masalah'.

Peneliti mulai mempertanyakan anggapan lama sejak menemukan Beaked Whale (Paus Berparuh) yang terdampar di Kepulauan Canary di 2002. Dari otopsi jasad paus, peneliti dapatkan bukti gelembung di dalam tubuh paus. Paus-paus tersebut terdampar karena terpapar gelombang sonar dari armada angkatan laut yang berlatih.

Temuan ini membuat peneliti berpikir bahwa tubuh mamalia laut penyelam sebenarnya mengalami penumpukan gelembung nitrogen jauh lebih sering dari sebelumnya kita kira. Peneliti menduga mereka  memiliki respon 'timbal-balik' secara fisiologis untuk atasi DCS. Diantaranya, diduga kuat mamalia laut penyelam bisa mengelola kandungan nitrogen dalam darahnya, dan memiliki tingkat konsentrasi nitrogen yang lebih bervariasi dari yang sebelumnya diduga, berubah-rubah sesuai kedalaman yang kerap dijelajahi.

Memahami perilaku mamalia laut merupakan tantangan besar, sebab mamalia laut meluangkan hampir seluruh waktu hidupnya dibawah permukaan laut - dan tidak jarang sangat dalam dan jauh dari pesisir. Dengan inovasi teknologi terkini, peneliti MMC menggunakan alat pemindai CT untuk memeriksa jasad sampel mamalia laut dari tekanan kedalaman yang berbeda untuk memahami lebih dalam perilaku gas didalam tubuh mereka. Ini juga dilakukan untuk lihat pada kedalaman berapakah anatomi mamalia mulai otomatis 'mengunci' untuk hindari masalah kinetika-tekanan yang lebih parah.

Para peneliti juga melihat sampel riset di tahun 1940 yang mencatat paus yang mati setelah empat hingga lima ambilan nafas setelah terkena harpoon, meskipun luka tusuk termasuk ringan/tidak fatal, namun paus ternyata baru naik dari kedalaman 230m, belum cukup kesempatan untuk rekompresi. Demikian nasib serupa pada singa laut (sea lion) yang turun ke kedalaman 300 meter dalam waktu 3 menit lalu naik dalam waktu 9 menit. Hasil CT-scanning sample bangkai hewan-hewan temukan adanya pembentukan gelembung-gelembung di pembuluh darah mereka.

Bagaimana mamalia laut beradaptasi dengan DCS secara detail masih misteri. Laporan juga mengutip penelitian lain pada singa laut yang kadang mengurangi ambilan-nafas-nya. Diduga, dengan hanya menggunakan udara yang singa laut simpan di paru-paru saat menyelam, mereka perlahan meregulasi penambahan kandungan oksigen tubuhnya, sementara fisiologis tubuhnya (seperti seperti otot, dan sistem  pencernaan) memiliki kemampuan ekstra mengolah gas berlebih dalam darah (misal: mengurangi nitrogen). Demikian juga pada lumba-lumba hidung botol, terkadang setelah penyelaman dalam, mereka melakukan beberapa kali turun naik dalam kedalaman yang lebih dangkal, yang diduga untuk kurangi dampak DCS.

Laporan ilmiah mereka di kesimpulanya juga menyiratkan bahwa masih banyak lagi yang perlu dipelajari. Peneliti tegaskan bahwa mamalia laut hidup dalam tantangan mengelola gelembung-gelembung gas di dalam tubuh mereka. Jika memang demikian, dampak kegaduhan polusi dan gangguan lingkungan lainnya bisa memicu mamalia laut kedalam lingkungan yang abnormal sebab terganggunya proses penyesuaian gas mereka.


Saat penyelam manusia punya masalah gelembung gas dalam tubuh, apa yang mereka lakukan? Kita bisa pergi dan masuk dalam ruangan rekompresi, sehingga perlahan gas dilarutkan kembali dan bisa pulih. Atau jika memungkinkan, penyelam ambil tanki udara lagi, dan turun ke kedalaman untuk beberapa saat.

Namun bagaimana dengan lumba-lumba dan paus di permukaan air yang alami dekompresi? Tentunya mereka akan menyelam, namun saat mereka 'sial' atau terganggu navigasi-nya hingga masuk di perairan dangkal, kemungkinan besar nasib mereka adalah terdampar.

Selasa, 04 Desember 2012

Keindahan fluoresensi terumbu karang

Di bawah laut, terumbu karang yang sehat menyimpan pesona kelimpahan warna yang luar biasa menyejukkan mata. Namun, dalam kegelapan, biota-biota di terumbu karang, baik koral, ikan dan organisme lainnya juga menyimpan keindahan dari sifat fluoresensi mereka.

Fluoresensi terjadi saat sebuah benda menyerap satu gelombang cahaya dan memendarkan kembali panjang gelombang cahaya baru. Vidio berikut menayangkan bagaimana ketika cahaya UV (ultraviolet) diberikan pada biota laut - yang tidak tampak mata manusia - mereka melepas warna yang bisa ditangkap mata kita.


Selama ini gelombang UV tidak berperan besar dalam proses pertumbuhan karang / koral. Justru gelombang warna yang tampak-mata manusia (mejikuhibiniu), berperan dalam fotosintesis alga bersel-satu yang tinggal dalam kerangka karang. Prosesnya tidak jauh beda dengan fotosintesis daun.

Alga yang bersimbiosis pada koral memiliki pigmen, sehingga memberi warna pada karang. Sebagai timbal balik jasa tempat tinggal dari koral, alga tersebut juga menghasilkan zat organik yang dimanfaatkan polip karang untuk tumbuh, dalam hal ini membangun jaringan kerangka kapur.

Dalam pertumbuhannya, selapis-demi selapis kerangka berkapur dihasilkan mulai kecil dalam ukuran milimeter hingga besar mencapai struktur besar beraneka rupa dengan luasan meter hingga kilometer persegi. Proses berlangsung lama sekali. Hanya untuk bebrapa milimeter atau sentimeter pertambahan kerangka, diperlukan hitungan tahun. Namun kadan dalam hitungan menit atau detik, mereka rusak sebab diinjak wisatawan, terhantam jangkar kapal, atau badai.


Lihat menit ke 2:00 untuk pertumbuhan karang dalam animasi cepat.

Meskipun demikian, koral menyerap gelombang UV justru sebab fungsi mereka sebagai 'tabir surya' bawah air. Coral dan biota laut lainnya - yang ber-fluoresens jika dipapar sinar UV - diduga berperan meredam gelombang UV yang bisa merusak jaringan biologis makhluk bawah laut. Analoginya kurang lebih serupa dengan penggunaan krim tabir surya agar kulit kita tidak terbakar dan kanker kulit.

Semua keindahan di laut ada fungsinya. Cukup dinikmati sebatas di mata. Penyelaman malam berikutnya, pastikan senter UV kita bawa.



Referensi:

Reef R, Kaniewska P, Hoegh-Guldberg O (2009) Coral Skeletons Defend against Ultraviolet Radiation. PLoS ONE 4(11): e7995


Senin, 19 November 2012

Tinja ikan teri bantu tangkap emisi karbon ke dasar laut.


Ikan Teri (Foto: Jill Matsuyama / Flickr)
Ikan bertubuh kecil, seperti kelompok teri-teri-an, ternyata punya peran sebagai 'pompa biologis (biological pump)' di laut. Pompa biologis yang dimaksud adalah proses dimana biota laut berperan memindahkan karbon dioksida dari atmosfir dan permukaan laut menuju dasar laut.

Ikan kecil seperti teri-teri-an yang tergolong 'forage fish' - yaitu ikan yang 'terus makan' sepanjang mereka menjelajah laut - adalah pemangsa di jaring makanan terbawah. Mereka 'menyaring' kolom air untuk organisme mikro seperti plankton dan zat hara lain sebagai makanan.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports, dipimpin oleh Dr Grace Saba dari Institute of Marine and Coastal Sciences, Rutgers University (RU) dan Professor Deborah Steinberg dari Virginia Institute of Marine Science (VIMS), temukan bahwa kopepoda (copepod) dan hewan laut kecil 'melayang' lainnya punya peranan besar sebagai pompa biologis dengan memangsa alga fotosintetik yang ada di dekat permukaan, lalu melepaskan kandungan karbon yang mereka cerna dalam 'pelet feses' yang tenggelam ke lautan dalam dengan cepat. Padahal tubuh sel alga yang mereka santap sendiri pada dasarnya terlalu kecil dan ringan untuk tenggelam.

Deborah Steinberg dan rekan peneliti temukan bahwa 'pelet feses' atau 'tinja' dari zooplankton mampu tenggelam puluhan hingga ratusan meter kedalaman per harinya. Dari fakta ini mendasari mereka untuk teliti peranan biota-biota kecil ini dalam memindahkan karbon ke kedalaman laut. Namun, penelitian serupa untuk 'tinja' ikan masih sangat sedikit, hingga mereka akhirnya juga teliti pada ikan bertubuh kecil.

Dr. Grace Saba bersama tim mengumpulkan pelet feses dari teri-terian di Selat Santa Barbara di lepas pesisir California selatan. Tim menduga kuat bahwa laju tenggelamnya 'tinja' teri-terian capai sekitar 762 meter per hari, merujuk pada waktu yang dibutuhkan pelet menempuh panjang tabung berisi air di laboratorium kapal.

Dalam laporan penelitian, peneliti mengestimasi kecepatan tersebut mampu membawa pelet sampai menuju ke kisaran kedalaman 400-500 meter lokasi dalam waktu kurang dari satu hari!

Grace dan Deborah bersama tim juga menghitung kelimpahan pelet yang dihasilkan ikan-ikan mungil tersebut dari tiap sampel 6 meter kubik air yang mereka ambil. Mereka dapatkan kandungan karbon rata-rata sebanyak 22 mikrogram per pelet. Untuk ini mereka harus kerja keras memisahkan kandungan karbon dari kandungan hasil pencernaan lainnya yang kebanyakan dari alga ber sel satu seperti dinoflagelata dan diatom.

Disarikan dari laporan penelitian bahwa 22 mikrogram karbon mungkin angka yang kecil. Namun ketika kita kalikan dengan jumlah kelompok spesies ikan forage serta pelet feses yang mereka hasilkan di kawasan pesisir kaya zat hara - maka jumlah ini besar.

Tim perhitungkan bahwa 'aliran ke-bawah (downward flux)' kandungan karbon dari pelet feses ikan di kawasan studi mereka capai 251 miligram per meter persegi per hari. Angka ini setara atau bahkan lebih banyak dari jumlah materi organik tenggelam yang dikumpulkan oleh materi sedimen di dasar pesisir dan laut.

Tim menegaskan bahwa pelet feses ikan menjadi alat transportasi 'ekspres' pembawa materi di permukaan laut, seperti kandungan karbon, ke dasar laut. Disebutkan juga keadaan ini akan terdukung khususnya pada kondisi perairan yang sesuai, seperti pertemuan arus dengan lempeng benua yang membawa air lebih dingin yang kaya zat hara dari kedalaman, menuju kedalaman permukaan yang terpapar cahaya matahari.

Referensi:

Grace K. Saba, Deborah K. Steinberg. Abundance, Composition, and Sinking Rates of Fish Fecal Pellets in the Santa Barbara Channel. Scientific Reports, 2012; 2

#010 - Why settle


Klik untuk perbesar
Strip komik: Dwi Haryanti

Kamis, 01 November 2012

#009 - Tidak buru-buru settle

Dami merasa tidak ingin buru-buru settle. Ia merasa dirinya ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang menakjubkan menantinya di luar sana. Maka ia memutuskan untuk mencarinya. Perjalanannya dimulai dengan bertemu kerabatnya, tak jauh dari reef-flat tempat ia dilahirkan.

Klik untuk perbesar
Strip komik: Dwi Haryanti

Minggu, 28 Oktober 2012

Hiu paus naik ke permukaan laut untuk menghangatkan diri

Sebuah laporan ilmiah dalam the Journal of the Royal Society Interface mencoba menjawab kenapa hiu paus seringkali bergerak ke permukaan laut - fenomena yang masih secara ilmiah menjadi misteri tentang ikan terbesar di dunia ini.

Hasil riset terbaru dari Australia tersebut menunjukkan bahwa hiu paus dan ikan lain bergerak mendekati permukaan laut untuk menghangatkan diri setelah beberapa 'ronde' berenang di laut dalam.

Banyak ikan besar, termasuk tuna, ikan pedang, marlin, serta sejumlah hiu, diketahui gemar meluangkan waktunya berlama-lama di dekat atau di permukaan laut. Alasannya masih belum jelas. Namun hal ini kerap dilakukan menyusul setelah berenang turun ke perairan dalam - yang diduga untuk mencari makan. Padahal, mereka bernafas dengan insang dan mereka tidak perlu ke permukaan untuk mengambil udara, berbeda dengan paus.



Michele Thums dari University of Western Australian Ocean Institute di Crawley, bersama kolega lainnya memasang tag (penanda) pada beberapa hiu paus - tiga yang dijumpai di Ningaloo Reef in Australia Barat, dan satu di Pulau Christmas.

Alat penanda yang mereka gunakan dirancang agar bisa mencatat informasi rutin tentang kedalaman yang dilalui hiu paus, tingkat cahaya dan temperatur dari air. Hiu-hiu paus tersebut tercatat telah melakukan tiga macam penyelaman: penyelaman 'silih-ganti' di siang dan malam, dimana mereka meluangkan sekitar 10 hingga 20 menit di kedalaman, dan yang ketiga, yang tidak pernah dilaporkan sebelumnya: penyelaman yang sangat lama, sangat dalam selama lebih dari dua jam ! - dan dilanjutkan dengan berlama-lama di permukaan laut.

Temperatur air bervariasi ulai 28 derajat celcius di permukaan, hingga 14 C dari penyelaman terdalam, 300 meter dari permukaan.

Tim peneliti menemukan pola yang jelas: Semakin hangat air yang dijumpai ikan di saat penyelaman, semakin pendek waktu yang diluangkan hiu paus di permukaan setelahnya. Seusai penyelaman yang dalam, dan dingin, mereka meluangkan waktu lebih lama di permukaan, dibanding setelah penyelaman yang lebih dangkal dan lebih hangat.

Penelitian menduga, sebagaimana hipotesis sebelumnya, hiu paus perlu melakukan renang di permukaan (surface swims) untuk mengembalikan suhu tubuhnya ke tingkat yang optimal untuk melakukan proses biologis.

Penempatan tag secara manual pada hiu paus.
Foto: © CI/Mark Erdmann.
A. Bercak kulit yang khas pada tiap individu untuk identifikasi
B. Tag dengan pemancar satelit dipasang pada dorsal fin hiu paus.
Foto: Dr. Mark Meekan / AIMS
Hingga kini sangat sedikit pemahaman biologis tentang hiu paus. Ukuran mereka yang besar dan perilaku migratori (gemar menjelajah) membuat mereka sulit untuk menelliti mereka. Mereka meluangkan waktu yang sangat lama di laut lepas, tidak mudah membuntuti mereka, dan alat penanda juga sering lepas. Tim peneliti harus berusaha keras agar bisa memberi penanda pada empat ikan hiu paus.

Tim mencari hiu paus tersebut terlebih dahulu dengan pesawat terbang, lalu pesawat terbang mengerahkan peneliti lain di perahu ke lokasi tempat hiu paus berada. Setelah menjumpai, tim harus terjun ke air, belum lagi menghadapi kulit hiu paus yang sangat tebal dan kokoh menambah kesulitan pemasangan alat penanda di badan mereka.

Laporan riset mereka menegaskan pentingnya memahami kenapa hiu paus, dan kemungkinan juga pada ikan besar lainnya, meluangkan waktu di permukaan. Sebab pemahaman ini kritis untuk mencari tahu apa yang mengendalikan pergerakan mereka. Memahami pergerakan dan persebaran ikan akan membanti peneliti lebih baik memprediksi respon mereka terhadap perubahan lingkungan, dan tentunya untuk merancang strategi konservasi dan pengelolaan satwa besar ini dengan lebih efektif.

Di Indonesia, Hiu paus (Rhincodon typus) bisa dijumpai di perairan Kwatisore, Kabupaten Nabire, Papua. Hewan dengan sebutan lokal Gurano Bintang ini teramati selalu penampakannya sepanjang musim. Berbeda dengan di Australia yang muncul hanya di musim panas. 

Hewan yang relatif 'jinak' ini semakin tinggi publikasinya di media, membuat minat wisatawan untuk bertemu dengan hiu paus semakin tinggi. Pastinya, keberadaan mereka di permukaan air, dengan tenang dan 'jinak', merupakan bagian rutinitas untuk metabolisme mereka. Pastikan kita tidak andil menggangu proses tersebut.

Referensi

Thums, M., Meekan, M., Stevens, J., Wilson, S., & Polovina, J. (2012). Evidence for behavioural thermoregulation by the world's largest fish. Journal of The Royal Society Interface. Artikel riset bisa diunduh di sini

Selasa, 16 Oktober 2012

Ikan Semakin Kecil Sejalan Menghangatnya Suhu Lautan



Menghangatnya suhu lautan serta sistem iklim global diperkirakan berdampak pada ukuran ikan di laut yang semakin kecil, menurut kajian dari peneliti perikanan di the University of British Columbia (UBC).

Hasil penelitian yang diterbitkan 30 September lalu di jurnal ilmiah Nature Climate Change tersebut untuk pertama-kalinya melakukan proyeksi global tentang potensi penyusutan ukuran ikan dalam lautan dalam keadaan yang lebih hangat dan dengan oksigenasi yang lebih rendah.

Para peneliti melakukan komputasi permodelan untuk mengkaji lebih dari 600 spesies ikan dari kawasan-kawasan perairan di dunia dan temukan bahwa berat maksimum tubuh yang mereka bisa capai bisa menurun antara 14 hingga 20 persen antara rentang tahun 2000 dan 2050. Proyeksi permodelan mereka menunjukkan kawasan-kawasan di perairan tropis yang paling terpengaruh.

Persentase tersebut merupakan angka penurunan yang besar menurut laporan riset mereka. Penelitian lainya telah ungkap bahwa ikan laut secara umum akan merubah persebaran dan musim mereka dalam merespon perubahan iklim. Namun, temuan kepala peneliti William Cheung dan rekan di WBC membawa tambahan potongan puzzle besar yang belum cukup dipertimbangkan dalam usaha memahami efek perubahan iklim di lautan.

Riset mereka juga yang pertama kali dalam skala kajian global menerapkan konsep dasar bahwa pertumbuhan ikan dibatasi oleh suplai oksigen. Konsep ini dicetuskan 30 tahun silam oleh Daniel Pauly yang juga investigator utama dalam Sea Around Us Project bersama UBC.

Disarikan dari artikel riset tersebut, bahwa ikan selama perjalanan hidupnya menghadapi tantangan yang konstan yaitu: bagaimana caranya dapatkan oksigen yang secukup-cukupnya dari air untuk perumbuhannya. Sejalan dengan ukuran ikan tumbuh semakin besar, tantangan tersebut juga semakin besar. Riset dari tim UBC memprediksi bahwa dengan lautan yang terus menghangat dan terus berkurang proses oksigenasinya, ikan akan lebih cepat berhenti tumbuh dari semestinya.

Penelitian ini menegaskan pentingnya manusia untuk menekan laju emisi gas rumah kaca dan membangun strategi untuk memantau dan beradaptasi dengan perubahan alam yang sudah kita rasakan saat ini. Kecuali jika kita mau ambil resiko semakin terganggunya perikanan manusia, ketahanan pangan, dan kinerja ekosistem lautan.

Bumi dan ekosistem sudah didesain akan menyeimbangkan dirinya saat mengalami gangguan. Pada akhirnya sejauh apa kesiapan manusia untuk bertahan dan beradaptasi saat transisi alam tersebut terjadi.
Ini merupakan pekerjaan lintas generasi dan sejauh apa kita peduli dengan lautan dalam 3 dekade kedepan menentukan kesiapan tersebut.

Referensi

William W. L. Cheung, Jorge L. Sarmiento, John Dunne, Thomas L. Frölicher, Vicky W. Y. Lam, M. L. Deng Palomares, Reg Watson, Daniel Pauly. Shrinking of fishes exacerbates impacts of global ocean changes on marine ecosystems. Nature Climate Change, 2012; DOI: 10.1038/nclimate1691


'Overfishing' oleh Steve Greenberg



Edukasi Terumbu Karang dalam 4-menit

Berikut tayangan vidio yang menurut kami yang paling singkat, hanya 4 menit, dan tentunya sangat edukatif seputar terumbu karang saat ini. Vidio ini juga dipandu oleh Céline Cousteau, cucu dari Jacques-Yves Cousteau yang menemukan sistem SCUBA pertama kali.

Vidio ini patut diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Bantuan saudara akan berharga sekali jika bisa menyusun dan mencantumkan subtitel untuk vidio ini.

Terlalu banyak alga 'penolong' bisa berdampak buruk pada koral

Hamparan karang keras sehat bercabang Acropora sp. di Yapen, Papua Barat, Indonesia.
Foto: © Matthew Oldfield 2005

Studi terkini dari ilmuwan Ross Cunning dan Andrew Baker sari Universitas Miami (UM) temukan bahwa jika Koral (karang) terlalu banyak mengandung alga yang bersimbiosis bisa jadi lebih rentan akan dampak perubahan iklim.

Didalam jaringan Koral (hewan di dasar terumbu yang masih banyak keliru dianggap sebagai tanaman), hidup alga (tanaman) ber-sel-satu yang juga jadi kunci kelangsungan hidup hewan Koral sendiri.
Pembesaran mikroskopis alga bersel-satu (bintik coklat) dalam jaringan polip hewan Koral (struktur transparan) yang sedang menjulur dari kerangka Koral.
Foto: Maricopa
Namun, saat temperatur air disekitar terlalu hangat, alga-alga ini terlepas dari Koral. Proses ini menjadi salah satu penyebab terjadinya pemutihan karang (coral bleaching) dan bisa sebabkan kematian karang masal dan luas.

Hingga kini, beberapa peneliti beranggapan Koral dengan jumlah sel alga simbion yang lebih banyak akan lebih toleran dengan pemutihan dengan anggapan mereka 'punya cadangan alga banyak untuk dikorbankan'.

Namun temuan baru yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature Climate Change ini ungkap bahwa semakin banyak alga simbion dalam Koral, semakin parah kondisi pemutihan yang Koral alami. Peneliti beranggapan bahwa, di alam, jika terlalu banyak hal-hal yang baik ternyata bisa berdampak buruk. 



Penelitian Ross dan rekan juga amati bahwa jumlah alga yang menetap dalam jaringa koral berubah-ubah selama masa hidup Koral. Dengan ini, tingkat resiko Koral terhadap pemutihan karang-pun juga tidak tetap dan bervariasi.

Dalam penelitian mereka, Koral Kembang Kol (Pocillopora damicornis) dari teluk Pasifik di Panama. Selama enam bulan koral terus dipantau dalam laboratorium Experimental Hatchery di UM. Selama intu sampel Koral perlahan dihangatkan hingga akhirnya memutih. Jumlah sel alga yang bersimbiosis di dalam Koral ditinjau dengan analisa sampel DNA dengan teknik genetika kepekaan tinggi yang bisa tentukan perbandingan sel alga dengan sel koral. Kemajuan teknik pengukuran ini memungkinkan mereka melihat bahwa Koral dengan lebih banyak alga lebih parah alami pemutihan ketimbang dengan yang lebih sedikit. 

Koral Kembang Kol Pocillopora damicornis.
Foto: loiczsouthasia.org
Laporan penelitian kemukakaan juga implikasi temuan dalam konservasi. Koral akan lebih rentan terhadap pemutihan jika berada dalam lingkungan dengan jumlah alga simbion yang banyak di sekitarnya, seperti terumbu dekat pesisir yang tercemar oleh zat anorganik dari air buangan limbah dan lepasan air dari daratan (runoff).

Pencemaran perairan, di satu sisi, berasal dalam kawasan lokal. Namun, perlu diingat kita punya tekanan di tingkat global dari efek perubahan iklim. Menjaga kualitas perairan akan membeli waktu banyak untuk terumbu karang menghindar dari efek terburuk pemanasan global. Belum lagi ada efek pengasaman laut (ocean acidification) sebab semakin tingginya emisi karbondioksida yang melarut ke laut, yang melapukkan biota berkapur seperti Koral. Ini juga menjadi faktor tambahan yang pengaruhi kerentanan Koral terhadap pemutihan, disarikan dari laporan penelitian.

Referensi:

Ross Cunning, Andrew C. Baker. Excess algal symbionts increase the susceptibility of reef corals to bleaching. Nature Climate Change, 2012; DOI: 10.1038/nclimate1711


Taman Nasional Taka Bonerate (Film Dokumenter)

Tahun 2012 ini Balai Taman Nasional Taka Bonerate baru saja merilis dokumenter singkat, informatif, dan indah tentang kawasan tersebut.

Jangan lupa sampaikan pada kami di kolom komentar, apa yang terpikirkan tentang kawasan tersebut


Jumat, 17 Agustus 2012

Bangkit

Sebuah klip trailer dari film planetarium berjudul Coral Rekindling Venus:




Bangkitlah untuk samudera
Bangkitlah untuk lautan
Bangkitlah untuk koral
Bangkilah dalam kemanusiaan

Jantung dunia kini Anda genggam
Bangkitlah, biarkan diriku merasa hidup
Saat air mengalir jatuh dengan sunyi
Ibu-ku mulai menangis
Menangisi anaknya
Membayangkan apa yang digenggam si anak

Bangkitlah untuk koral
Bangkitlah untuk lautan
Bangkitlah saat masih ada yang bisa kita dikorbankan
Bangkitlah saat kita masih miliki kesempatan untuk memilih

============================================

Rise for the ocean
Rise for the sea
Rise for the coral
Rise in humanity

You hold the heart of this world
Rise, let me feel alive
When the waters fall silent
My mother started to cry
Crying for her children
Wonders that she held in her arms

Rise for the coral
Rise for the sea
Rise while there's still something left to lose
Rise while we still have a chance to choose

Lirik dari "Rise" oleh Antony and the Johnsons, soundtrack untuk film planetarium berjudul Coral Rekindling Venus

Situs: www.coralrekindlingvenus.com

Senin, 30 Juli 2012

Paus dan lumba-lumba: Mengapa mereka terdampar

Mengapa paus dan lumba-lumba terdampar di pantai? Tidak ada yang lebih tragis melihat paus - satu diantara satwa di bumi yang besar, anggun dan cerdas - terbaring tak berdaya, sekarat, di pantai. Terdamparnya paus, kadang secara masal, terjadi di berbagai belahan dunia - dan kita tidak tahu kenapa. Penelitian hingga kini masih sebatas hipotesa dan postulasi.

Banyak teori biologi dan ekologi yang menjelaskan kenapa paus dan lumba-lumba berenang ke perairan dangkal dan akhirnya terdampar.

Teori dari para peneliti menduga mereka mendamparkan dirinya sebab terluka atau sakit. Dalam keadaan ini mereka berenang terlalu dekat dengan pesisir untuk tujuan berlindung, namun malahan terperangkap sebab perubahan pasang ke surut. Gerombolan ikan sering kita sebut schools, untuk paus dan lumba-lumba disebut pods. Perilaku ini bagian dari karakteristik mereka sebagai makhluk yang bersosial. Terkadang, paus terdampar secara masal, sebab paus-paus yang sehat 'setia' - mereka tidak mau meninggalkan pod lain yang sedang sakit atau terluka, akhirnya ikut pula memasuki perairan dangkal.

'Pendamparan masal' (mass strandings) lumba-lumba terjadi lebih jarang dibanding paus. Diantara paus, jenis perenang laut dalam seperti paus sperma dan dan paus pilot, cenderung lebih sering terdampar dibandingkan paus pembunuh (orca) yang hidupnya memang lebih dekat pesisir.

Beberapa peneliti juga menduga paus mengejar mangsanya, atau beruaya, hingga terlalu dekat dengan pesisir, lalu terjebak saat perubahan pasang-surut. Namun teori ini juga ditolak sebab mereka terdampar biasanya di lokasi yang jauh dari habitat mangsa mereka, dan sering kali keadaan perut mereka kosong.

Teori yang saat ini paling kuat disepakati adalah adanya faktor yang mengganggu sistem navigasi paus, yang menyebabkan hilangnya daya tunjuk arah mereka, sehingga terlantar di perairan yang dangkal, hingga akhirnya terjebak di pantai.

Peneliti, baik sains dan pemerintahan, telah membuktikan hubungan antara sonar frekuensi rendah dan menengah yang dihasilkan kapal perang, dengan beberapa fenomena pendamparan masal yang bahkan mampu libatkan cidera serius pada paus dan juga lumba-lumba. Sonar militer teknologi tinggi, mampu melepas gelombang sonik bawah air - pada dasarnya sebuah suara yang sangat keras dan kuat - yang mampu merambat hingga ratusan mil di bawah air.

Di tahun 2000 bahaya sonar terhadap mamalia laut mendapat bukti kuat ketika empat spesies paus di Bahama terdampar setelah kapal perang AL AS melepaskan gelombang sonar frekuensi menengah di kawasan tersebut. Angkatan laut AS menolak pertanggung jawaban, meskipun penelitian jelas simpulkan bahwa sonar sebabkan tragedi tersebut.

Paus yang terdampar akibat sonar bisa dilihat dari trauma fisiknya, seperti pendarahan di otak, telinga dan jaringa dalam lainnya. Terdamparnya paus akibat sonar bisa disamakan dengan gejala penyakit dekompresi atau bends pada penyelam SCUBA yang terpicu akbiat penyelam naik ke permukaan terlalu cepat dari penyelaman dalam. Dari keadaan diduga kuat sonar menggagu pola selam mereka.

Penyebab lain terganggunya navigasi paus dan lumba-lumba adalah:
- Kondisi cuaca
- Penyakit (virus, luka di otak, parasit di telinga dan sinus)
- Aktifitas seismik bawah air (atau gempa bawah air / seaquakes)
- Anomali medan magnetik
- Topografi dasar laut yang tidak dikenal mereka.

Namun, pada akhirnya, tergantung bagaimana kita bertindak saat paus atau lumba-lumba terdampar. Jarak paus/lumba-lumba yang terdampar dengan keberadaan masyarakat sekitar sangat menentukan kelulushidupan mereka. Termasuk juga menggerakkan masyarakat, dan memberi kesadartahuan yang cukup bagi masyarakat untuk menolong mereka saat terdampar. Tahun 2011 lalu , di Christchurch, New Zealand, 100 lebih paus pilot terdampar. Bahkan sejak 1840, terhitung 13.000 pendamparan paus di sana.

Selain sonar kapal besar industrial, perubahan iklim juga diduga kuat andil sebabkan ini. Pemanasan global yang sebabkan peningkatan suhu air laut, alhasil kadang mempengaruhi perubahan suhu dilapisan kolom air di kedalaman. Suhu kedalaman yang dulu 'cocok' sebagai jalur navigasi paus, bisa jadi menjadi jalur 'baru' di kedalaman lebih dangkal. Demikian juga akibat berubahnya pemilihan habitat yang diminai ikan-ikan yang dimangsa paus. Ikan makanan mungkin berenang lebih dangkal dari habitat alaminya, sebab kedalaman 'suhu nyaman' mereka berubah, lalu dan paus mengikutinya untuk dimangsa.

Jadi kadang pendamparan paus bukan hubungan sebab-akibat secara langsung, namun efek domino terakhir dari rangkaian perubahan anomali alam. Whale and Dolphin Society menjabarkan beberapa saran untuk antisipasi dan respon kita saat menemukan paus terdampar (Bahasa Inggris).

Selain secara moral dan etis, sebuah kesalahan yang besar, bahkan fatal, bagi masyarakat jika menyentuh organ internal paus atau lumba-lumba yang terdampar (misal: membedah, memotong, atau bahkan mengkonsumsi).

Mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba adalah hewan di tingkat teratas rantai makanan. Biomagnifikasi tertinggi terjadi dalam tubuh mereka, yaitu penumpukan secara biologis polutan organik persisten dari rantai makanan yang dimangsa biota-biota di bawah mereka. Kata 'persisten' merupakan peringatan bagi kita, yang artinya polutan organik tersebut tidak mudah larut dalam tubuh kita, bersifat toksik (beracun) bahkan bersifat karsinogenik/mutagen, dan larut dalam lemak (mudah terserap dan menetap permanen dalam tubuh).

Sementara ini, kita tidak akan tahu pasti dengan segera penyebab paus atau lumba-lumba terdampar saat itu juga. Namun pastinya kita bisa usahakan penyebaran berita, penggalangan logistik bantuan, serta tenaga relawan penolong untuk melepas mereka yang terjebak di dangkalan.

Ketika masyarakat dengan proaktif dan otonom menyelamatkan satwa, disitulah kebangkitan bangsa berlangsung.

Referensi:
-  Tulisan dari Larry West, jurnalis isu lingkungan finalis piagam Pulitzer dan Meeman Award.
- Evans et al. 2005. Periodic variability in cetacean strandings: links to large-scale climate events. Biol Lett. 2005 June 22; 1(2): 147–150.
- Simmonds dan Isaac. 2007. The impacts of climate change on marine mammals: early signs of significant problems. Oryx (2007), 41 : pp 19-26
- WDCS International

Kamis, 14 Juni 2012

#006 - (Please) settle down

Klik untuk perbesar
Siklus hidup koral: Dalam satu tahun spesies koral kelompok ‘brooders’ bisa melakukan beberapa kali siklus pemijahan planula. Planula yang dilepaskan bertahan di kolom air selama berjam-jam hingga berhari-hari sampai temukan permukaan untuk melekat. Planula dan bayi lainnya menempuh 1 hingga tiga tahun lebih untuk membangun koloni dewasa baru.

Strip komik: Dwi Haryanti
Teks: Dwi Haryanti & Siham Afatta

Koloni beragam spesies koral dengan beragam usia berdasarkan ukurannya melekat di substrat dasar
Foto: Alina M. Szmant di University of North Carolina at Wilmington dan Ernesto Weil diUniversity of Puerto Rico Mayaguez

Rabu, 13 Juni 2012

#005 - Akhirnya Wisuda (2)

Klik gambar untuk ukuran besar
Walaupun intelektualitas organisme Dudu sudah teraklimatisasi untuk trofi sarjana muda dalam rantai pendidikan manusia, keadaan tersebut justru mempersempit ruang Dudu untuk beruaya di sosiosfer Indonesia.

Komik strip: Dwi Haryanti
Teks: Siham Afatta

Kamis, 07 Juni 2012

S.O.S (Save Our Sharks): Darurat bagi Hiu

Ahmad Hafizh Adyas

Bicara soal Hiu, rata-rata orang pasti langsung berfikir mengenai ikan pemangsa manusia yang menyeramkan, mempunyai gigi tajam dan merupakan ikan penguasa lautan yang agresif. Pemahaman tersebut terbentuk di masyarkat karena beredarnya cerita atau mitos di daerah atau suku tertentu hingga media film yang menjangkau hampir semua lapisan masyarakat. Film Jaws mungkin salah satu yang paling terkenal dalam membentuk pemahaman yang tidak tepat mengenai ikan yang termasuk satwa penting ini.

Lalu sebenarnya hiu itu mempunyai peran apa sih di ekosistem laut? dan kenapa Hiu menjadi penting? Ada beberapa fakta menakjubkan mengenai ikan ini yang belum banyak orang tahu. 

Hiu Terumbu Abu-abu / Gray Reef Shark (Carcharhinus amblyrhynchos).
Foto: © Jürgen Freund / WWF-Canon
Hiu atau di indonesia banyak masyarakat yang menyebutnya 'cucut' merupakan hewan yang memiliki ciri khusus, tubuhnya memiliki kerangka tulang rawan lengkap, bukan tulang sejati seperti kebanyakan ikan lainnya. Untuk pernafasannya Hiu menggunakan insang, yang terdapat pada celah yang ada di samping atau sedikit di belakang kepalanya. Hiu mempunyai tubuh yang dilapisi kulit dermal denticles. Keberadaan dermal denticles penting bagi hiu untuk melindungi kulit dari luka, serbuan parasit, dan untuk menambah fungsi aerodinamika ketika berenang di dalam air. Derma denticles begitu keras dan liat sehingga pada zaman dahulu sebelum ditemukan amplas, kulit hiu sering digunakan sebagai penghalus kayu. Bagian menarik lainnya dari Hiu adalah giginya. Gigi hiu gigi hiu terdiri dari beberapa lapisan dan terus tembuh sepanjang hidupnya. Bila ada yang tanggal maka lapisan lainnya akan menggantikan bagian hilang tersebut. Sepanjang hidupnya, Hiu dapat menghasilkan ribuan gigi! Tercatat di beberapa masyarakat tertentu ada yang menggunakan gigi hiu sebagai senjata.

Hingga saat ini ada sekitar 440 jenis hiu yang diketahui yang dapat ditemukan disemua lautan di dunia, dan sebagian kecil dapat ditemukan di estuari dan sungai. Dari ratusan jenis hiu hanya 3 jenis, The great white shark, The tiger shark and The bull shark, yang sering terkait dengan serangan pada manusia. Ketika di laut, kemungkinan anda tenggelam 100 kali lebih tinggi dibanding kemungkinan digigit hiu. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa kemungkinan manusia dibunuh oleh hiu 1 : 300 juta! Bandingkan dengan kemungkinan terbunuh oleh kecelakaan pesawat sebesar 1 : 10 juta.

Hiu telah ada di bumi ini sejak sekitar 464 juta tahun yang lalu, mereka berhasil bertahan dari berbagai seleksi alam. Perannya sebagai salah satu predator tertinggi di ekosistem membuat populasi mereka untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut tetap terjaga selama berjuta-juta tahun. Namun, terlepas dari itu semua dan walaupun hiu dikenal sebagai penguasa lautan, keadaannya di lautan saat ini semakin mengkhawatirkan. Sejak beberapa dekade terakhir ini muncul gangguan baru bagi populasi mahluk berdarah dingin ini, yaitu mahluk berdarah panas dari daratan: Manusia! Hanya untuk memenuhi permintaan sebagian kalangan, diperkirakan 100 juta hiu terbunuh setiap tahunnya, dimana 73 juta diantaranya karena pemotongan sirip hiu untuk sup. 

Gray Reef Shark 'buntung' seusai dibuang dari kapal setelah sirip diambil.
Foto: © Jürgen Freund / WWF-Canon
Saat ini 50-80% sirip hiu dunia didatangkan ke Honkong, dan terdapat kajian yang menyatakan 89% penduduk di hongkong pernah memakan sup sirip hiu pada jamuan perkawinan. Bagi beberapa kalangan memang ini merupakan tradisi turun temurun pada setiap acara perkawinan, sayangnya belakangan ini tradisi ini semakin bergeser. Peningkatan kesejahteraan membuat hidangan sup sirip hiu ini tidak lagi terbatas pada acara perkawinan saja, namun hampir selalu dihidangkan setiap ada perayaan apapun. Pergeseran tradisi ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya permintaan akan hidangan sup sirip hiu. Para nelayan berlomba-lomba menangkap hiu yang akibatnya beberapa jenis hiu yang statusnya terancam meningkat drastis. Pada 2010 terdapat 180 species hiu yang berstatus terancam dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya 15 species. Beberapa jenis hiu pelagis yang berstatus terancam antara lain: Great white shark, Blue shark, Longfin mako, Shortfin mako, Basking shark, Whale shark, Tiger shark, dan Thresher shark. Hampir semua spesies tersebut dapat kita jumpai di Indonesia.

Penangkapan hiu secara berlebihan dapat menjadi masalah karena sebagian besar hiu tidak bereproduksi dengan cepat seperti ikan lainnya, yang berarti sangat rentan terhadap eksploitasi besar-besaran. Sebagai contoh pada hiu-hiu pelagis tingkat reproduksinya hanya 2-3 keturunan saja setiap tahun. Dan sangat lambat untuk mencapai usia matang, sekitar 10 tahun atau lebih. 

Foto: WWF-Indonesia/Observer
Beberapa penelitian mengenai pengaruh menurunnya populasi hiu telah dikemukakan beberapa peneliti. Walaupun beberapa masih bersifat hipotesis namun tidak terbantahkan bahwa hilangnya hiu sebagai predator puncak dapat mempengaruhi kelimpahan, distribusi dan tingkah laku hewan-hewan lainnya di ekosistem lautan. Sebagai contoh terdapat penelitian yang menyatakan bahwa pola distribusi beberapa ikan ekonomis seperti tuna, kerapu dan kakap dipengaruhi oleh keberadaan hiu dalam perairan. Potensi hiu akan lebih berharga bagi kesejahteraan manusia bila dapat kita kelola secara bertanggungjawab. Ambil contoh pada 2011, terdapat kajian yang dilakukan oleh Australian Institute of Marine Science menyatakan bahwa 1 Hiu karang di Palau menghasilkan hampir $2 juta dollar dari ekotourism sepanjang hidupnya. Bandingkan dengan harga jual sirip hiu termahal ukuran jumbo (≥ 30 cm) yang hanya seharga $ 250 dollar/kg.

Di Indonesia dan kebanyakan negara-negara di dunia perikanan hiu masih terus berkembang. Ketiadaan regulasi di negara-negara tersebut mengenai perikanan hiu membuat hewan ini seperti tidak terlindungi oleh keserakahan segelintir manusia.

Hiu yang tertangkap oleh kegiatan perikanan bisa kita klasifikasi menjadi dua bagian. Hiu yang tertangkap memang sebagai target tangkapan dan hiu sebagai bycatch (tertangkap tidak sengaja pada kegiatan perikanan). Secara global, saat ini resiko kepunahan dari ¾ populasi hiu dan pari pelagis meningkat sebagai akibat dari penangkapan yang berlebihan (over fishing). Menurut FAO, lebih dari setengah dari hiu yang beruaya jauh sudah mengalami kelebihan tangkap (overexploited). Di sebagian besar wilayah di dunia mereka telah ditangkap tanpa ada pengelolaan yang baik selama berpuluh-puluh tahun. Hasilnya semakin banyak populasi hiu yang semakin menurun. Sebagai contoh, beberapa populasi hiu di pantai Atlantic telah menurun hingga 99% dalam kurun waktu 35 tahun terakhir dan menuju ke arah kepunahan.

Bagaimanapun, bahkan terkadang ketika suatu negara mengakui bahwa mereka mentargetkan hiu, seringkali hiu masih tidak dikelola sebagai “target tangkapan” dengan pembatasan tangkap dan langkah pengelolaan perikanan lainnya. Hiu yang tertangkap di perikanan komersial harus dengan jelas dibedakan apakah termasuk target tangkapan atau bycatch dan dikelola dengan baik sesuai kategorinya. Untuk hiu sebagai bycatch langkah-langkah mitigasi harus diterapkan, sedangkan hiu sebagai target tangkapan, TAC (total allowable catch) yang jelas serta kuota tangkap harus di berlakukan. Selama ketidakjelasan ini terus terjadi, usaha pengelolaan perikanan hiu akan terhambat.

Di Indonesia sendiri, menurut hasil kajian WWF-Indonesia pada 2010 walau masih terdapat beberapa perikanan hiu di daerah-daerah, namun, kebanyakan hiu yang tertangkap merupakan bycatch dari kegiatan perikanan lain seperti Tuna Longline atau Purse seine. Rendahnya selektifitas alat tangkap seperti longline dan purse seine telah membuat beberapa praktisi perikanan melakukan riset bagaimana menerapkan langkah-langkah mitigasi terhadap bycatch hiu pada alat tangkap tersebut. Beberapa solusi modifikasi alat tangkap seperti penggunaan kail lingkar, imbauan untuk tidak menggunakan wire (kawat) pada tali pancing serta yang terbaru pemasangan magnet di ujung tali pancing terbukti dapat menurunkan tingkat bycatch hiu pada kegiatan perikanan.

Selain karena penangkapan yang berlebih maupun bycatch, hilangnya habitat hiu di laut juga merupakan salah satu faktor penurunan populasi hiu. Laju pembangunan yang sangat cepat tanpa mengindahkan kesinambungan dengan alam serta pencemaran dan polusi laut juga mengakibatkan hilangnya beberapa habitat penting yang dapat mendukung populasi hiu. 

Hiu di-/ter-tangkap armada longline
Foto: © Cat Holloway / WWF-Canon
Tapi hiu bukan tanpa harapan, saat ini beberapa negara-negara kepulauan kecil di Samudra pasifik, seperti Palau dan Kepulauan Marshall yang tengah mempersiapkan suaka hiu terbesar di dunia. Luas daerah suaka yang disiapkan mencakup kawasan laut seluas dua juta kilometer persegi. Rencana ini akan menambah luas suaka hiu yang sudah ada dari 2,7 juta kilometer persegi menjadi 4,6 juta kilometer persegi. Selain itu, Kepulauan Marshall juga akan melarang semua jenis penjualan berbagai produk yang berasal dari hiu dan melarang penangkapan hiu di perairannya.

Yang terbaru adalah lolosnyanya rancangan undang-undang 376 di negara bagian California, USA, setelah melalui hasil kajian bahwa 70% penduduk Chinese-American di California mendukung RUU ini. RUU ini berisi melarang penjualan, perdagangan dan kepemilikan produk hiu, khususnya sirip di negara bagian tersebut. Hal ini menjadi penting karena California dikatakan sebagai sumber terbesar permintaan sirip hiu diluar Asia, sehingga RUU ini menunjukkan langkah besar untuk menurunkan tekanan terhadap populasi hiu. Bila nanti RUU ini disahkan menjadi regulasi hukum yang mengikat, maka California akan mengikuti Hawaii, Washington, dan Oregon, dimana regulasi yang serupa telah berhasil disahkan. Mengingat bahwa tingkat perdagangan hiu saat ini sangat tidak berkelanjutan, maka pendekatan melalui mekanisme pasar seperti ini menjadi sangat penting untuk mengisi gap ketiadaan atau kegagalan regulasi perikanan di lapangan.

Pengelolaan sumberdaya hiu kedepannya harus terus diperbaiki dan ditingkatkan serta dievaluasi agar sumberdaya hiu dapat terus lestari. Hal itu tentu saja juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat pesisir, sehingga semua langkah pengelolaan tersebut dapat dilakukan bukan saja demi keberadaan dan kelangsungan hiu di alam tetapi juga memastikan bahwa masyarakat pesisir khususnya nelayan dapat terus menerus memanfaatkan sumberdaya di lautan untuk kesejahteraannya.

Sebagian isi tulisan juga telah dipublikasikan di Majalah DiveMag Indonesia Edisi April 2012